Selama ini, kupikir masalahku
terlalu banyak. Dan bahkan, aku sering mengumpat, bersumpah-serapah,
dan berusaha untuk mengkambing-hitamkan keadaan di sekelilingku atas
segala macam penderitaan yang aku alami, semenjak aku kecil, hingga
dewasa kini.
Sore itu, di akhir bulan Juli, hujan yg biasanya pantang turun dibulan itu, jatuh berderai-derai, membentuk sebaris gorden air yang bahkan menghalangi pandangan mataku. Aku baru saja pulang dari menghadiri suatu seminar tentang manfaat menulis bagi kesehatan. Mungkin karena tadinya Matahari bersinar terang benderang, aku tak curiga sedikitpun bahwa sore itu langit akan mengkhianati aku, dengan menumpahkan air hujannya.
Seperti biasanya, berbagai macam umpatan keluar dari mulutku, yg sudah pasti jika terdengar oleh orang lain, mereka akan menganggapku tidak sopan dan tak berbudi pekerti halus. Tapi aku tak pernah peduli, toh selama ini umpatan itu bahkan menjadi seperti ciri khas-ku. Jika sehari saja aku tidak mengumpat, orang rumah pasti akan langsung bertanya kalau aku sakit, dan biasanya itu benar. Kalau aku sakit, aku tak mengumpat, mengutuk, atau memaki.
Emperan-emperan toko mulai penuh dengan para pejalan kaki yg berteduh dari derasnya hujan. Sebagian beruntung mendapat tempat yg cukup kering, sebagian lagi mengalami nasib yg sama seperti aku, terpaksa merelakan pundak sebelah kena tetesan air, akibat mendapat tempat berteduh tepat di bawah tirisan air di emperan toko.
Tiba-tiba, terasa celana panjangku di tarik-tarik oleh seseorang. Aku hendak memaki, namun urung kulakukan karena ternyata yg menarik kain celana panjangku adalah seorang anak perempuan, berwajah tirus, mungkin umurnya sekitar 6 atau 7 tahun.
“Kak, mau sewa payungku?” tanya anak itu penuh harap. Dia sedikit menggigil, dan kulihat jari-jari tangannya mengerut. Rupanya dia sudah sedikit lama kena air. Aku yg pada dasarnya bukanlah seseorang yg ramah hanya menggelengkan kepalaku, dan langsung memasang tampang judes.
“Ayolah Kak, bayarannya cuma seribu, kok..” desaknya lagi. Tiba-tiba aku merasa dingin, ternyata pundakku yg kena air dari tirisan sudah basah kuyup.
“Okelah, mana payungnya!” dari pada menunggu hujan berhenti yg tak tentu kapan, sedangkan pundakku sudah basah dan aku sudah mulai merasa kedinginan, mungkin lebih baik ku sewa saja payung, dan bergegas naik ke angkot untuk pulang kerumah.
“Kak…boleh nggak nanti tambahin uangnya seribu lagi?” aku sedang bergegas menuju ke tempat angkot jurusan rumahku ketika anak itu memecahkan kebisuannya. Darahku seketika mendidih. Inilah akibatnya, kalau orangtua tidak pernah mendidik anak mereka. Mereka akan mulai jadi penjahat diusia mereka yang masih snagat muda. Pertama mereka akan bekerja seperti anak ini, kemudian mencuri, dan kebetulan dia seorang anak perempuan, sudah pasti akan menjadi pelacur.
“Kamu tuh ya, sudah dikasih hati malah minta lagi, sudah untung aku mau memakai payungmu!” bentakku judes. Anak itu menatapku, tapi tak terlihat sedikitpun rasa takut di matanya, yg ada malah seperti sebuah pengharapan. “Dasar anak mata duitan, sekalian jadi pelacur sana, uangnya banyak!!” tambahku makin galak. Ni anak, nggak ada takutnya sama sekali rutukku kesal dalam hati.
“Kak…” panggil anak itu lagi. Lama-lama anak ini bikin kesal, aku baru mau membentaknya lagi, tapi kulihat dia malah menatap aku dengan senyumnya yg lebar, khas senyum anak kecil. Ada gigi depan atasnya yg ompong sebiji.
“Kakak tahu tempat itu dimana? Saya mau kerja disitu asal uangnya banyak..” senyumnya makin melebar saat bertanya. Aku yang jadi bingung.
“Kerja apa? kamu ini makin aneh saja!!” rutukku kesal.
“Saya mau kok kerja jadi PELACUR seperti yg kakak bilang tadi, yang uangnya banyak itu, lho!!..Soalnya saya mau bawa Mama ke dokter, dia sakit panas sejak minggu yg lalu, dan belum sembuh sampai sekarang..” Ada nada sendu diujung ceritanya. Aku terhenyak, dan dadaku tiba-tiba terasa seperti dipukul palu. Perih.
“Saya masih terlalu kecil ya, Kak? yahh..mungkin nanti saja, kalau saya sudah besar. Di Sekolah, teman saya yg namanya Upu, dia mau jadi dokter, katanya kalau jadi dokter uangnya banyak. Tapi saya sudah tahu cita-cita saya nanti, saya mau jadi PELACUR saja seperti kata kakak, kan uangnya banyak, biar keluarga saya nggak miskin lagi, biar bisa makan enak, dan kalau mama sakit, saya bisa bawa ke dokter..” tatapan anak itu menerawang, seperti tengah menghayalkan semua yg dia ucapkan. Sedangkan aku, lidahku seperti terikat ke langit-langit mulut. Tak mampu aku bersuara, apalagi memaki atau bersumpah serapah..
“Kak, tuh opletnya sudah ada, uangnya tambah seribu lagi ya, Kak??..” ujarnya lagi, meminta penuh harap. Seribu perasaan berkecamuk dalam hatiku. Tanpa berkata apa-apa, kukembalikan payung anak itu, meskipun aku belum naik ke atas oplet. Dengan riang, anak itu malah memayungiku hingga aku naik dan duduk di kursi dekat jendela didalam oplet biru itu, sambil berlari-lari kecil mengikuti oplet yg mulai berjalan pelan. Dia menunggu upah ojek payungnya. Kukeluarkan uang seratus ribuan dari dalam dompetku, dan kulemparkan pada anak itu, yg menangkapnya dengan sigap, sejenak ternganga melihat jumlah uang yg kuberikan. Sedetik kemudian dia melambai-lambai kearah oplet tumpanganku yg semakin menjauh. Aku tak mendengarnya, tapi bisa kubaca bibirnya yg membentuk kalimat “terima kasih”. Tidak, aku yg berterima kasih..atas pelajaran yg telah diberikan kepadaku.
Sore itu, di akhir bulan Juli, hujan yg biasanya pantang turun dibulan itu, jatuh berderai-derai, membentuk sebaris gorden air yang bahkan menghalangi pandangan mataku. Aku baru saja pulang dari menghadiri suatu seminar tentang manfaat menulis bagi kesehatan. Mungkin karena tadinya Matahari bersinar terang benderang, aku tak curiga sedikitpun bahwa sore itu langit akan mengkhianati aku, dengan menumpahkan air hujannya.
Seperti biasanya, berbagai macam umpatan keluar dari mulutku, yg sudah pasti jika terdengar oleh orang lain, mereka akan menganggapku tidak sopan dan tak berbudi pekerti halus. Tapi aku tak pernah peduli, toh selama ini umpatan itu bahkan menjadi seperti ciri khas-ku. Jika sehari saja aku tidak mengumpat, orang rumah pasti akan langsung bertanya kalau aku sakit, dan biasanya itu benar. Kalau aku sakit, aku tak mengumpat, mengutuk, atau memaki.
Emperan-emperan toko mulai penuh dengan para pejalan kaki yg berteduh dari derasnya hujan. Sebagian beruntung mendapat tempat yg cukup kering, sebagian lagi mengalami nasib yg sama seperti aku, terpaksa merelakan pundak sebelah kena tetesan air, akibat mendapat tempat berteduh tepat di bawah tirisan air di emperan toko.
Tiba-tiba, terasa celana panjangku di tarik-tarik oleh seseorang. Aku hendak memaki, namun urung kulakukan karena ternyata yg menarik kain celana panjangku adalah seorang anak perempuan, berwajah tirus, mungkin umurnya sekitar 6 atau 7 tahun.
“Kak, mau sewa payungku?” tanya anak itu penuh harap. Dia sedikit menggigil, dan kulihat jari-jari tangannya mengerut. Rupanya dia sudah sedikit lama kena air. Aku yg pada dasarnya bukanlah seseorang yg ramah hanya menggelengkan kepalaku, dan langsung memasang tampang judes.
“Ayolah Kak, bayarannya cuma seribu, kok..” desaknya lagi. Tiba-tiba aku merasa dingin, ternyata pundakku yg kena air dari tirisan sudah basah kuyup.
“Okelah, mana payungnya!” dari pada menunggu hujan berhenti yg tak tentu kapan, sedangkan pundakku sudah basah dan aku sudah mulai merasa kedinginan, mungkin lebih baik ku sewa saja payung, dan bergegas naik ke angkot untuk pulang kerumah.
“Kak…boleh nggak nanti tambahin uangnya seribu lagi?” aku sedang bergegas menuju ke tempat angkot jurusan rumahku ketika anak itu memecahkan kebisuannya. Darahku seketika mendidih. Inilah akibatnya, kalau orangtua tidak pernah mendidik anak mereka. Mereka akan mulai jadi penjahat diusia mereka yang masih snagat muda. Pertama mereka akan bekerja seperti anak ini, kemudian mencuri, dan kebetulan dia seorang anak perempuan, sudah pasti akan menjadi pelacur.
“Kamu tuh ya, sudah dikasih hati malah minta lagi, sudah untung aku mau memakai payungmu!” bentakku judes. Anak itu menatapku, tapi tak terlihat sedikitpun rasa takut di matanya, yg ada malah seperti sebuah pengharapan. “Dasar anak mata duitan, sekalian jadi pelacur sana, uangnya banyak!!” tambahku makin galak. Ni anak, nggak ada takutnya sama sekali rutukku kesal dalam hati.
“Kak…” panggil anak itu lagi. Lama-lama anak ini bikin kesal, aku baru mau membentaknya lagi, tapi kulihat dia malah menatap aku dengan senyumnya yg lebar, khas senyum anak kecil. Ada gigi depan atasnya yg ompong sebiji.
“Kakak tahu tempat itu dimana? Saya mau kerja disitu asal uangnya banyak..” senyumnya makin melebar saat bertanya. Aku yang jadi bingung.
“Kerja apa? kamu ini makin aneh saja!!” rutukku kesal.
“Saya mau kok kerja jadi PELACUR seperti yg kakak bilang tadi, yang uangnya banyak itu, lho!!..Soalnya saya mau bawa Mama ke dokter, dia sakit panas sejak minggu yg lalu, dan belum sembuh sampai sekarang..” Ada nada sendu diujung ceritanya. Aku terhenyak, dan dadaku tiba-tiba terasa seperti dipukul palu. Perih.
“Saya masih terlalu kecil ya, Kak? yahh..mungkin nanti saja, kalau saya sudah besar. Di Sekolah, teman saya yg namanya Upu, dia mau jadi dokter, katanya kalau jadi dokter uangnya banyak. Tapi saya sudah tahu cita-cita saya nanti, saya mau jadi PELACUR saja seperti kata kakak, kan uangnya banyak, biar keluarga saya nggak miskin lagi, biar bisa makan enak, dan kalau mama sakit, saya bisa bawa ke dokter..” tatapan anak itu menerawang, seperti tengah menghayalkan semua yg dia ucapkan. Sedangkan aku, lidahku seperti terikat ke langit-langit mulut. Tak mampu aku bersuara, apalagi memaki atau bersumpah serapah..
“Kak, tuh opletnya sudah ada, uangnya tambah seribu lagi ya, Kak??..” ujarnya lagi, meminta penuh harap. Seribu perasaan berkecamuk dalam hatiku. Tanpa berkata apa-apa, kukembalikan payung anak itu, meskipun aku belum naik ke atas oplet. Dengan riang, anak itu malah memayungiku hingga aku naik dan duduk di kursi dekat jendela didalam oplet biru itu, sambil berlari-lari kecil mengikuti oplet yg mulai berjalan pelan. Dia menunggu upah ojek payungnya. Kukeluarkan uang seratus ribuan dari dalam dompetku, dan kulemparkan pada anak itu, yg menangkapnya dengan sigap, sejenak ternganga melihat jumlah uang yg kuberikan. Sedetik kemudian dia melambai-lambai kearah oplet tumpanganku yg semakin menjauh. Aku tak mendengarnya, tapi bisa kubaca bibirnya yg membentuk kalimat “terima kasih”. Tidak, aku yg berterima kasih..atas pelajaran yg telah diberikan kepadaku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar