oleh :Dwi Handoko
Resep Meramu Hidup
Dengan ontelnya yang sudah usang, lelaki paruh baya itu berusaha
menjajakan dagangannya, dari satu warung ke warung lainnya yang berjarak
30-an kilometer. Kelebatan kendaraan bermotor roda dua yang
disaksikannya berseliweran tiap hari di hadapannya, sama sekali tak
memikat di hatinya. Laju sepeda motor yang tentu lebih cepat dibanding
sepeda tuanya, sama sekali tidak menggiurkannya. Dia lebih asyik
menikmati ontelnya yang sudah berjasa
menghidupi anak dan istrinya selama belasan tahun dengan berjualan kerupuk
itu.
Langkah sepedanya yang pelan, ternyata mewujud pula dalam perilakunya
yang kalem dan tenang. Itulah yang terjadi manakala waktu shalat tiba,
Zhuhur atau Ashar. Entah kerupuknya masih menggunung setinggi 1,5
meter, maupun
setengahnya, dia selalu singgah di masjid. Bahkan, lima atau 10
menit sebelum tiba waktu shalat, dia sudah duduk tafakur di rumah Allah
itu, menanti azan
dikumandangkan. Sesungging senyum, dia tebarkan manakala berjumpa
dengan orang lain. Dari perilakunya, sama sekali tak terlihat gaya
orang yang sedang dikejar setoran.
Setelah menunaikan shalat, biasanya seusai shalat Zhuhur, lalu
bakdiah Zhuhur, dia mengambil posisi di sudut masjid. Kemudian pria
yang rambutnya sebagian telah memutih itu pun merebahkan tubuhnya
seenaknya. Tidur, berbantalkan handuk kecil yang biasa melingkari
lehernya. Kalau ada kipas angin masjid yang dihidupkan, biasanya dia
mengambil tempat di bawahnya. Mungkin agar terasa lebih sejuk dan
membangkitkan pulasnya
tidur. Tapi, dia sendiri tak pernah kelihatan menghidupkan kipas
angin tersebut. Dia menyadari benar etika seorang musafir, kendati
jamaah atau mukimin di situ sudah menganggap dia sebagai bagian dari
jamaah masjid karena seringnya ikut shalat berjamaah, terutama Zhuhur
dan
Ashar.
Setelah shalat dan tubuh kembali fresh, dia kembali mengayuh sepedanya
untuk mencari karunia Ilahi di muka bumi. Entah, berapa warung lagi yang
harus dia datangi dan tawari kerupuknya. Jam berapa pula dia kembali
pulang, menemui keluarga tercintanya. Selain lelaki ini telah berjasa
pada negeri, yang telah menciptakan lapangan pekerjaan, meski hanya
untuk dirinya sendiri.
Namun, pelajaran yang tak kurang nilainya adalah bagaimana dia
membingkai dan meramu hidup ini dengan indahnya. Bagaimana dia
merangkai aktivitas hariannya menjadi sebuah paduan harmoni yang manis
dalam konteks ibadahnya pada Allah, baik secara vertikal maupun
horizontal. Lelaki sederhana ini mengajarkan banyak hal; tentang
kesederhanaan, tawakal, sikap tidak tergopoh-gopoh (karena itu datang
dari setan), tidur siang agar bisa qiyamullail (bangun malam), shalat
di awal waktu dan berjamaah, serta tentang
manajemen waktu. Banyak ayat Alquran yang menerangkan pentingnya hal-hal
tersebut di atas. Salah satunya surah al- Ashr yang bercerita soal waktu.
Ketika banyak orang kacau-balau dan tidak tepat waktu dalam shalatnya,
dengan dalih banyak pekerjaan atau waktu mepet, lelaki sederhana ini
justru piawai sekali dalam menjadikan waktu-waktu shalat sebagai pemandu
dari aktivitas hariannya.
Oleh: Makmum Nawawi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar