PERTANYAAN
Ahmad Syaifuddin
Assalamu'alaikum... "Tentang istilah DP/uang muka".
Pertanyaanya:
Apabila dlm suatu transaksi jual beli si calon pembeli uda ngasih DP,
tp karena suatu SEBAB sehingga calon pembeli membatalkan transaksi jual
beli. Apakah uang DP ini jd hak si PENJUAL/PEMBELI?
JAWABAN
Cikong Mesigit
wa'alaikumussalam
ini ada dlm dokumen group sahabat.tak gotong:
====================================================
Masaji Antoro:
Wa'alaikumsalam
JUAL BELI SISTEM PANJER (UANG MUKA)
بَيْعُ الْعَرَبُونِ
التَّعْرِيفُ :
1
- الْعَرَبُونُ بِفَتْحَتَيْنِ كَحَلَزُونٍ ، وَالْعُرْبُونُ وِزَانُ
عُصْفُورٍ ، لُغَةٌ فِيهِ . وَالْعُرْبَانُ بِالضَّمِّ لُغَةٌ ثَالِثَةٌ
(1) ، بِوَزْنِ الْقُرْبَانِ (2) . وَأَمَّا الْفَتْحُ مَعَ الإِْسْكَانِ
فَلَحْنٌ لَمْ تَتَكَلَّمْ بِهِ الْعَرَبُ (3) .
وَهُوَ مُعَرَّبٌ (4) . وَفَسَّرُوهُ لُغَةً : بِمَا عُقِدَ بِهِ الْبَيْعُ (5) .
وَفِي
الاِصْطِلاَحِ الْفِقْهِيِّ : أَنْ يَشْتَرِيَ السِّلْعَةَ ، وَيَدْفَعَ
إِلَى الْبَائِعِ دِرْهَمًا أَوْ أَكْثَرَ ، عَلَى أَنَّهُ إِنْ أَخَذَ
السِّلْعَةَ ، احْتَسَبَ بِهِ مِنَ الثَّمَنِ ، وَإِنْ لَمْ يَأْخُذْهَا
فَهُوَ لِلْبَائِعِ (6) .
__________
(1) المصباح المنير مادة : " عرب "
(2) مختار الصحاح مادة : " عرب "
(3) حاشية القليوبي على شرح المحلي 2 / 186
(4) تحفة المحتاج 4 / 322
(5) القاموس المحيط مادة : " عربون " باب النون فصل العين . فنونه أصلية . كما نص عليه الفيومي
(6)
الشرح الكبير في ذيل المغني 4 / 58 ، وانظر كشاف القناع 3 / 195 ، وقارن
بالشرح الكبير للدردير 3 / 63 ، وشرح المحلي على المنهاج 2 / 186 ، وتحفة
المحتاج 4 / 322 وبالتعريف الذي في المصباح المنير في المادة المذكورة
نفسها
الْحُكْمُ الإِْجْمَالِيُّ :
2 - وَالْفُقَهَاءُ مُخْتَلِفُونَ فِي حُكْمِ هَذَا الْبَيْعِ :
(
أ ) فَجُمْهُورُهُمْ ، مِنَ الْحَنَفِيَّةِ وَالْمَالِكِيَّةِ
وَالشَّافِعِيَّةِ ، وَأَبُو الْخَطَّابِ مِنَ الْحَنَابِلَةِ ، يَرَوْنَ
أَنَّهُ لاَ يَصِحُّ ، وَهُوَ الْمَرْوِيُّ عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ
اللَّهُ عَنْهُمَا وَالْحَسَنِ كَمَا يَقُول ابْنُ قُدَامَةَ ، وَذَلِكَ :
لِلنَّهْيِ عَنْهُ فِي حَدِيثِ عَمْرِو بْنِ شُعَيْبٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ
جَدِّهِ ، قَال : نَهَى النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ
بَيْعِ الْعُرْبَانِ (1)
وَلأَِنَّهُ
مِنْ أَكْل أَمْوَال النَّاسِ بِالْبَاطِل ، وَفِيهِ غَرَرٌ (2) ،
وَلأَِنَّ فِيهِ شَرْطَيْنِ مُفْسِدَيْنِ : شَرْطَ الْهِبَةِ لِلْعُرْبُونِ
، وَشَرْطَ رَدِّ الْمَبِيعِ بِتَقْدِيرِ أَنْ لاَ يَرْضَى (3) .
وَلأَِنَّهُ شَرَطَ لِلْبَائِعِ شَيْئًا بِغَيْرِ عِوَضٍ ، فَلَمْ يَصِحَّ ، كَمَا لَوْ شَرَطَهُ لأَِجْنَبِيٍّ (4) .
وَلأَِنَّهُ
بِمَنْزِلَةِ الْخِيَارِ الْمَجْهُول ، فَإِنَّهُ اشْتَرَطَ أَنَّ لَهُ
رَدَّ الْمَبِيعِ مِنْ غَيْرِ ذِكْرِ مُدَّةٍ ، فَلَمْ يَصِحَّ ، كَمَا
لَوْ قَال : وَلِي الْخِيَارُ ، مَتَى شِئْتُ رَدَدْتُ السِّلْعَةَ ،
وَمَعَهَا دِرْهَمٌ (5) .
__________
(1)
حديث : " نهى عن بيع العربان . . . " . أخرجه أبو داود ( 3 / 768 ط عزت
عبيد دعاس ) . وضعفه ابن حجر في التلخيص ( 3 / 17 شركة الطباعة الفنية )
(2) شرح الخرشي بحاشية العدوي عليه 5 / 78
(3) شرح المنهج وحاشية الجمل عليه 3 / 72 ، وتحفة المحتاج 4 / 322 ، وشرح المحلي على المنهاج 2 / 186 ، وانظر نيل الأوطار 5 / 154
(4) الشرح الكبير في ذيل المغني 4 / 58
(5) المرجع السابق 4 / 58 ، 59
3 - ( ب ) وَمَذْهَبُ الْحَنَابِلَةِ جَوَازُ هَذِهِ الصُّورَةِ مِنَ الْبُيُوعِ .
وَصَرَّحُوا
بِأَنَّ مَا ذَهَبَ إِلَيْهِ الأَْئِمَّةُ مِنْ عَدَمِ الْجَوَازِ ، هُوَ
الْقِيَاسُ ، لَكِنْ قَالُوا : وَإِنَّمَا صَارَ أَحْمَدُ فِيهِ إِلَى مَا
رُوِيَ عَنْ نَافِعِ بْنِ الْحَارِثِ ، أَنَّهُ اشْتَرَى لِعُمَرَ دَارَ
السِّجْنِ مِنْ صَفْوَانَ بْنِ أُمَيَّةَ ، فَإِنْ رَضِيَ عُمَرُ ،
وَإِلاَّ فَلَهُ كَذَا وَكَذَا ، قَال الأَْثْرَمُ : قُلْتُ لأَِحْمَدَ :
تَذْهَبُ إِلَيْهِ ؟ قَال : أَيَّ شَيْءٍ أَقُول ؟ هَذَا عُمَرُ رَضِيَ
اللَّهُ عَنْهُ .
وَضَعَّفَ
الْحَدِيثَ الْمَرْوِيَّ عَنْ عَمْرِو بْنِ شُعَيْبٍ فِي النَّهْيِ عَنْهُ
(1) . لَكِنْ قَرَّرَ الشَّوْكَانِيُّ أَرْجَحِيَّةَ مَذْهَبِ
الْجُمْهُورِ ؛ لأَِنَّ حَدِيثَ عَمْرِو بْنِ شُعَيْبٍ قَدْ وَرَدَ مِنْ
طُرُقٍ يُقَوِّي بَعْضُهَا بَعْضًا ، وَلأَِنَّهُ يَتَضَمَّنُ الْحَظْرَ ،
وَهُوَ أَرْجَحُ مِنَ الإِْبَاحَةِ ، كَمَا تَقَرَّرَ فِي الأُْصُول (2
A. DEFINISI
Uang muka dalam istilah fiqih dikenal dengan al-‘Arabuun
الْعَرَبُونُ
Kata ini memiliki padanan kata (sinonim) dalam bahasa Arabnya yaitu, ‘Urbuun (الْعُرْبُونُ), dan juga ‘Urbaan (الْعُرْبَانُ)
Secara bahasa artinya yang jadi transaksi dalam jual beli.
Berkata penulis kitab Al Mishbah Al Munier (hal. 401),“Al Arabun dengan
difathahkan huruf ‘Ain dan Ra’nya.Sebagian ulama menyatakan, yaitu
seorang membeli sesuatu atau menyewa sesuatu dan memberikan sebagian
pembayarannya atau uang sewanya kemudian menyatakan,‘Apabila transaksi
sempurna maka kita hitung ini sebagai pembayaran dan bila tidak maka itu
untukmu dan aku tidak meminta kembali darimu.’
Dikatakan Al ‘Urbun dengan wazan ‘Ushfur dan Al ‘Urbaan dengan huruf nun asli.
Al Ashma’i menyatkan, Al-’Urbun adalah kata ajam (non arab) yang diarabkan.
Bentuk jual beli ini dapat diberi gambaran sebagai berikut:
Sejumlah
uang yang dibayarkan dimuka oleh seseorang pembeli barang kepada si
penjual. Bila transaksi itu mereka lanjutkan, maka uang muka itu
dimasukkan ke dalam harga pembayaran. Kalau tidak jadi, maka menjadi
milik si penjual.Atau seorang pembeli menyerahkan sejumlah uang
danmenyatakan, “Apabila saya ambil barang tersebut maka ini adalah
bagian dari nilai harga dan bila saya tidak jadi mengambil (barang itu),
maka uang (DP) tersebut untukmu.”
Atau
seorang membeli barang dan menyerahkan kepada penjualnya satu dirham
atau lebih dengan ketentuan apabila si pembeli mengambil barang
tersebut, maka uang panjar tersebut dihitung pembayaran dan bila gagal
maka itu milik penjual.
Jelas disini bahwa sistem jual beli ini dikenal dalam masyarakat kita dengan pembayaran DP atau uang jadi.
B. HUKUM JUAL BELI SISTEM PANJER (UANG MUKA)
Dalam permasalahan ini para ulama berbeda pendapat menjadi dua pendapat:
1. Jual beli dengan uang muka (panjar) ini tidak sah.
Inilah
pendapat mayoritas ulama dari kalangan Hanafiyyah, Malikiyyah dan
Syafi’iyyah. Al Khothobi menyatakan, “Para ulama berselisih pendapat
tentang kebolehan jual beli ini. Malik, Syafi’i menyatakan
ketidaksahannya, karena adanya hadits dan karena terdapat syarat fasad
dan Al Ghoror Juga hal ini masuk dalam kategori memakan harta orang lain
dengan bathil.
Demikian juga Ash-habul Ra’yi (madzhab Abu Hanifah -pen) menilainya tidak sah.”
Ibnu
Qudamah menyatakan, “Ini pendapat Imam Malik,Al Syafi’i dan Ash-hab Al
Ra’yi dan diriwayatkan juga dari Ibn Abbas dan Al Hasan Al Bashri.”
Dasar argumentasi mereka di antaranya:
a. Hadits Amru bin Syuaib, dari ayahnya, dari kakeknya bahwa ia berkata,
ِ نَهَى النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ بَيْعِ الْعُرْبَانِ (1)
Rasulullah
shollallohu ‘alaihi wa sallam melarang jual beli dengan sistem uang
muka. (HR. Abu Daud dan di Dhifkan oleh Ibn Hajar)
Imam
Malik menyatakan, “Dan menurut yang kita lihat –wallahu A’lam- (jual
beli) ini adalah seorang membeli budak atau menyewa hewan kendaraan
kemudian menyatakan, ‘Saya berikan kepadamu satu dinar dengan ketentuan
apabila saya gagal beli atau gagal menyewanya maka uang yang telah saya
berikan itu menjadi milikmu.’
b.
Jenis jual beli semacam itu termasuk memakan harta orang lain dengan
cara batil, karena disyaratkan bagi si penjual tanpa ada kompensasinya.
Sedangkan memakan harta orang lain hukumnya haram sebagaimana firman Allah,
“Hai
orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu
dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku
dengan suka sama suka diantara kamu. Dan janganlah kamu membunuh dirimu;
sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu.” (Qs. An Nisaa’ 4:
29)
Imam
Al Qurthubi dalam Tafsirnya (5/150) menyatakan,“Diantara bentuk memakan
harta orang lain dengan bathila dalah jual beli dengan panjar (uang
muka). Jual beli ini tidak benar dan tidak boleh menurut sejumlah ahli
fiqih dari ahli Hijaz dan Iraq, karena termasuk jual beli perjudian,
ghoror, spekulatif, dan memakan harta orang lain dengan batil tanpa
pengganti dan hadiah pemberian dan itu jelas batil menurut ijma’.
c.
Karena dalam jual beli itu ada dua syarat batil: syarat memberikan uang
panjar dan syarat mengembalikan barang transaksi dengan perkiraan salah
satu pihak tidak ridha. Padahal Rasululloh shollallohu ‘alaihi wa
sallam bersabda,
“Tidak boleh ada hutang dan jual beli dan dua syarat dalam satu jual beli.” (HR Al Khomsah).
Hukumnya
sama dengan hak pilih terhadap hal yangtidak diketahui (Khiyaar Al
Majhul). Kalau disyaratkan harus ada pengembalian barang tanpa
disebutkan waktunya, jelas tidak sah. Demikian juga apabila dikatakan,
“Saya punya hak pilih. Kapan mau, akan saya kembalikan dengan tanpa
dikembalikan uang bayarannya.
Ibnu Qudamah menyatakan, “Inilah qiyas (analogi).”
Pendapat
ini dirojihkan Al Syaukani dalam pernyataan beliau, “Yang rojih (kuat)
adalah pendapat mayoritas ulama, karena hadits ‘Amru bin Syu’aib telah
ada dari beberapa jalan periwayatan yang saling menguatkan. Juga karena
hal ini mengandung larangan dan hadits yang terkandung larangan lebih
rojih dari yang menunjukkan kebolehan sebagaimana telah jelas dalam
ushul Fiqih…”‘Illat (sebab hukum) dari larangan ini adalah jual beli ini
mengandung dua syarat yang fasid; salah satunya adalah syarat
menyerahkan kepada penjual harta (uang muka) secara gratis apabila
pembeli gagal membelinya. Yang kedua adalah syarat mengembalikan barang
kepada penjual apabila tidak terjadi keridhoan untuk membelinya.
2. Jual beli ini diperbolehkan.
Inilah
pendapat madzhab Hambaliyyah dan diriwayatkan kebolehan jual beli ini
dari Umar, Ibnu Umar,Sa’id bin Al Musayyib dan Muhammad bin Sirin.
Al
Khothobi menyatakan, “Telah diriwayatkan dari IbnuUmar bahwa beliau
memperbolehkan jual beli ini dan juga diriwayatkan dari Umar. Ahmad
cenderung mengambil pendapat yang membolehkannya dan menyatakan, ‘Aku
tidak akan mampu menyatakan sesuatu sedangkan ini adalah pendapat Umar,
yaitu tentang kebolehannya.’ Ahmad pun melemahkan (mendhoifkan) hadits
larangan jual beli ini, Karena terputus.
Al-Mausuu’ah al-Fiqhiyyah IX/93-94
Wallaahu A'lamu Bis Showab
www.piss-ktb.com/2012/02/802-muamalah-jual-beli-dengan-sistem.html?m=1
link dokumen :
http://www.facebook.com/groups/kasarung/doc/599922876699121/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar