Jumat, 30 Agustus 2013

1106 : Pada kenyataannya mereka bermazhab shahafi

Pada kenyataannya mereka bermazhab shahafi


Pada kenyataannya orang-orang yang mengaku-ngaku Salafi atau mengaku-ngaku bermanhaj salaf adalah mereka yang 'kembali kepada Al Qur'an dan As Sunnah" mengikuti orang-orang yang mengikuti pola pemahaman Ibnu Taimiyyah seperti Ibnu Qoyyim Al Jauziah, Jamaluddin Al-Afghani, Muhammad Abduh ataupun Muhammad bin Abdul Wahhab yakni orang-orang yang memahami Al Qur’an dan As Sunnah bersandarkan mutholaah (menelaah kitab) secara otodidak (shahafi) dengan akal pikiran sendiri sebagaimana informasi dari mereka sendiri yang menyebut beliau sebagai imam seperti pada http://rizqicahya.wordpress.com/tag/imam-muhammad-bin-abdul-wahhab-bag-ke-1/

***** awal kutipan *****
Lengkaplah sudah ilmu yang diperlukan oleh seorang yang pintar yang kemudian dikembangkan sendiri melalui metode otodidak (belajar sendiri) sebagaimana lazimnya para ulama besar Islam mengembangkan ilmu-ilmunya. Di mana bimbingan guru hanyalah sebagai modal dasar yang selanjutnya untuk dapat dikembangkan dan digali sendiri oleh yang bersangkutan
***** akhir kutipan *****

Jadi pada kenyataannya mereka bermazhab shahafi yakni orang-orang yang "kembali kepada Al Qur'an dan As Sunnah" dengan cara mengikuti orang-orang yang memahami Al Qur'an dan As Sunnah bersandarkan mutholaah (menelaah kitab) secara otodidak (shahafi) dengan akal pikiran mereka sendiri.

Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda, “Barangsiapa menguraikan Al Qur’an dengan akal pikirannya sendiri dan merasa benar, maka sesungguhnya dia telah berbuat kesalahan”. (HR. Ahmad)

Apakah orang yang otodidak dari kitab-kitab hadits layak disebut ahli hadits

Syaikh Nashir al-Asad menjawab pertanyaan ini: “Orang yang hanya mengambil ilmu melalui kitab saja tanpa memperlihatkannya kepada ulama dan tanpa berjumpa dalam majlis-majlis ulama, maka ia telah mengarah pada distorsi. Para ulama tidak menganggapnya sebagai ilmu, mereka menyebutnya shahafi atau otodidak, bukan orang alim… Para ulama menilai orang semacam ini sebagai orang yang dlaif (lemah). Ia disebut shahafi yang diambil dari kalimat tashhif, yang artinya adalah seseorang mempelajari ilmu dari kitab tetapi ia tidak mendengar langsung dari para ulama, maka ia melenceng dari kebenaran. Dengan demikian, Sanad dalam riwayat menurut pandangan kami adalah untuk menghindari kesalahan semacam ini” (Mashadir asy-Syi’ri al-Jahili 10) 

Apa sebenarnya yang dimaksud dengan "manhaj salaf" ?

Ustadz Ahmad Sarwat,Lc,.MA dalam tulisan pada http://www.rumahfiqih.com/x.php?id=1357669611&title=adakah-mazhab-salaf.htm menuliskan

***** awal kutipan *****
Kerancuan Istilah Salaf

Istilah ‘salaf’ artinya adalah sesuatu yang lampau atau terdahulu. Terjemahan salaf dalam bahasa Indonesia bisa bermacam-macam, seperti lampau, kuno,konservatif, konvensional, ortodhox, klasik, antik, dan seterusnya.

Kalau kita lihat dari sisi ilmu hukum dan syariah, istilah salaf sebenarnya bukan nama yang baku untuk menamakan sebuah medote istimbath hukum. Istilah salaf hanya menunjukkan keterangan tentang sebuah kurun waktu di zaman yang sudah lampau.

Kira-kira perbandingannya begini, kalau kita ingin menyebut skala panjang suatu benda dalam ilmu ukur, maka kita setidaknya mengenal ada dua metode ataubesaran, yaitu centimeter dan inchi. Di Indonesia biasanya kita menggunakan besaran centimeter, sedangkan di Amerika sana biasa orang-orang menggunakan ukuran inchi. Nah, tiba-tiba ada orang menyebutkan bahwa panjangnya meja adalah20 ‘masa lalu’.

Lho? Apa maksudnya ’20 masa lalu’ ?

Apakah istilah ‘masa lalu’ itu adalah sebuah besaran atau ukuran dalam mengukur panjang suatu benda? Jawabannya pasti tidak. Yang kita tahu hanya besaran 20 centimeter atau 20 inchi, tapi kalau ’20 masa lalu’, tidak ada seorang pun yang mengenal istilah itu.

Ya bisa saja sih segelintir orang menggunakan istilah besaran ‘masa lalu’sebagai besaran untuk mengukur panjang suatu benda, tetapi yang pasti besaran itu bukan besaran standar yang diakui dalam dunia ilmu ukur. Jadi kalau kita ketoko material bangunan, lalu kita bilang mau beli kayu triplek ukuran 20 ‘masalalu’, pasti penjaga tokonya bingung dan dahinya berkerut 10 lipatan.

Mazhab Fiqih Yang Empat Adalah Salaf

Sementara kita memperbincangkan bahwa salaf itu bukan nama sebuah sistem, sebenarnya justru keempat mazhab yang kita kenal itu hidupnya malah di masasalaf, alias di masa lalu.

Al-Imam Abu Hanifah (80-150 H) lahir hanya terpaut 70 tahun setelah RasulullahSAW wafat. Apalah seorang Abu Hanifah bukan orang salaf? Al-Imam Malik lahirtahun 93 hijriyah, Al-Imam Asy-Syafi’i lahir tahun 150 hijriyah dan Al-ImamAhmad bin Hanbal lahir tahun 164 hijriyah. Apakah mereka bukan orang salaf?

Maka kalau ada yang bilang bahwa mazhab fiqih itu bukan salaf, barangkali dia perlu belajar sejarah Islam terlebih dahulu. Sebab mazhab yang dibuangnya itu ternyata lahirnya di masa salaf. Justru keempat mazhab fiqih itulah the real salaf.

Sedangkan Ibnu Taimiyah, Ibnul Qayyim dan Ibnu Hazm, kalau dilihat angka tahun lahirnya, mereka juga bukan orang salaf, karena mereka hidup jauh ratusan tahun setelah Rasulullah SAW wafat. Apalagi Syeikh Bin Baz, Utsaimin dan Al-Albani, mereka bahkan lebih bukan salaf lagi, tetapi malahan orang-orang khalaf yang hidup sezaman dengan kita.

Sayangnya, Ibnu Taymiyah, Ibnul Qayyim, apalagi Bin Baz, Utsaimin termasuk Al-Albani, tak satu pun dari mereka yang punya manhaj, kalau yang kita maksud dengan manhaj itu adalah arti sistem dan metodologi istimbath hukum yang baku. Bahasa mudahnya, mereka tidak pernah menciptakan ilmu ushul fiqih. Jadi mereka cuma bikin fatwa, tetapi tidak ada kaidah, manhaj atau polanya.

Kalau kita ibaratkan komputer, mereka memang banyak menulis file word, tetapi mereka tidak menciptakan sistem operasi. Mereka punya banyak fatwa, mungkin ribuan, tetapi semua itu levelnya cuma fatwa, bukan manhaj apalagi mazhab.

Bukan Salaf Tetapi Dzahihiri

Sebenarnya kalau kita perhatikan metodologi istimbath mereka yang mengaku-ngaku sebagai salaf, sebenarnya metode mereka itu tidak mengacu kepada masa salaf. Kalau dipikir-pikir, metode istimbah yang mereka pakai itu lebih cenderung kepada mazhab Dzhahiriyah. Karena kebanyakan mereka berfatwa hanya dengan menggunakan nash secara Dzhahirnya saja.

Mereka tidak menggunakan metode istimbath hukum yang justru sudah baku, seperti qiyas, mashlahah mursalah, istihsan, istishhab, mafhum dan manthuq. Bahkan dalam banyak kasus, mereka tidak pandai tidak mengerti adanya nash yang sudah dinasakh atau sudah dihapus dengan adanya nash yang lebih baru turunnya.

Mereka juga kurang pandai dalam mengambil metode penggabungan dua dalil atau lebih (thariqatul-jam’i) bila ada dalil-dalil yang sama shahihnya, tetapi secara dzhahir nampak agak bertentangan. Lalu mereka semata-mata cuma pakai pertimbangan mana yang derajat keshahihannya menurut mereka lebih tinggi. Kemudian nash yang sebenarnya shahih, tapi menurut mereka kalah shahih pun dibuang.

Padahal setelah dipelajari lebih dalam, klaim atas keshahihan hadits itu keliru dan kesalahannya sangat fatal. Cuma apa boleh buat, karena fatwanya sudah terlanjur keluar, ngotot bahwa hadits itu tidak shahih. Maka digunakanlah metode menshahihan hadits yang aneh bin ajaib alias keluar dari pakem para ahli hadits sendiri.

Dari metode kritik haditsnya saja sudah bermasalah, apalagi dalam mengistimbath hukumnya. Semua terjadi karena belum apa-apa sudah keluar dari pakem yang sudah ada. Seharusnya, yang namanya ulama itu, belajar dulu yang banyak tentang metode kritik hadits, setelah itu belajar ilmu ushul agar mengeti dan tahu bagaimana cara melakukan istimbath hukum. Lah ini belum punya ilmu yang mumpuni, lalu kok tiba-tiba bilang semua orang salah, yang benar cuma saya seorang.
***** akhir kutipan *****

Prof. Dr. Muhammad Sa’id Ramadhan Al-Buthi dalam As-Salafiyyah: Marhalah Zamaniyyah Mubarakah, La Mazhab Islami yang sudah diterbitkan dalam bahasa Indonesia oleh penerbit Gema Insani Press menjelaskan bahawasanya, “istilah salaf itu bukanlah suatu mazhab dalam Islam, sebagaimana yang dianggap oleh sebagian mereka yang mengaku sebagai salafi, tetapi istilah salaf itu sendiri merujuk kepada suatu zaman awal umat Islam“.

Zaid bin Tsabit RA berkata, “Aku pernah mendengar Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda: Semoga Allah mengelokkan rupa orang yang mendengar Hadits dariku, lalu dia menghafalnya-dalam lafadz riwayat lain: lalu dia memahami dan menghafalnya- kemudian dia menyampaikannya kepada orang lain. Terkadang orang yang membawa ilmu agama menyampaikannya kepada orang yang lebih paham darinya,dan terkadang orang yang membawa ilmu agama tidak memahaminya” (Hadits ShahihRiwayat Abu Dawud, at-Tirmidzi, Ibnu Majah, ad-Darimi, Ahmad, Ibnu Hibban,at-Thabrani dalam al-Mu’jamul Kabir, dan imam-imam lainnya).

Dari hadits tersebut kita paham memang ada perawi yang sekedar menghafal saja tanpa memahami hadits yang dihafalnya. Pada hakikatnya, sebagian besar yang disampaikan oleh para perawi hadits adalah perkataan Rasulullah bukan hasil pemahaman atau ijtihad dan istinbat dari para perawi hadits.

Imam Nawawi dalam Majmu’ Syarah al-Muhadzdzab berkata “dan tidak boleh bagi orang awam bermazhab dengan mazhab salah seorang dari pada imam-imam di kalangan para Sahabat radhiallahu ‘anhum dan selain mereka daripada generasi awal,walaupun mereka lebih alim dan lebih tinggi darajatnya dibandingkan dengan (ulama’) selepas mereka; hal ini karena mereka tidak meluangkan masa sepenuhnya untuk mengarang (menyusun) ilmu dan meletakkan prinsip-prinsip asas/dasar dan furu’/cabangnya. Tidak ada salah seorang daripada mereka (para sahabat) sebuah mazhab yang dianalisa dan diakui. Sedangkan para ulama yang datang setelah mereka (para sahabat) merupakan pendukung mazhab para Sahabat dan Tabien dan kemudian melakukan usaha meletakkan hukum-hukum sebelum berlakunya perkara tersebut; dan bangkit menerangkan prinsip-prinsip asas/dasar dan furu’/cabang ilmu seperti (Imam) Malik dan (Imam) Abu Hanifah dan selain dari mereka berdua.”

Orang-orang yang mengikuti pola pemahaman Ibnu Taimiyyah menisbatkan diri  mereka kepada Salafush Sholeh dan mengistilahkannya sebagai manhaj salaf atau mazhab salaf maka akibatnya mereka merasa pasti benar

Contohya sebagaimana yang dapat kita ketahui dari situs mereka pada http://almanhaj.or.id/content/1474/slash/0/antara-ahlus-sunnah-dan-salafiyah/  di mana mereka mengutip perkataan atau fatwa dari ulama panutan mereka yakni Ibnu Taimiyyah, “Barangsiapa mengingkari penisbatan kepada salaf dan mencelanya, maka perkataannya terbantah dan tertolak ‘karena tidak ada aib untuk orang-orang yang menampakkan mazhab salaf dan bernisbat kepadanya bahkan hal itu wajib diterima menurut kesepakatan ulama, karena mazhab salaf itu pasti benar” [Majmu Fatawa 4/149]

Oleh karena orang-orang yang mengikuti pola pemahaman Ibnu Taimiyyah merasa pasti benar dan selain mereka pasti salah sehingga timbullah perselisihan dan kebencian terhadap muslim lainnya.

Bahkan adz-Dzahabi salah seorang murid Ibnu Taimiyyah memberikan nasehat kepada beliau atas sikap atau akhlaknya yang timbul karena merasa pasti benar sebagaimana yang telah disampaikan dalam tulisan pada http://mutiarazuhud.wordpress.com/2013/08/25/nasehat-seorang-murid/

Memang kesalahpahaman dalam memahami Al Qur'an dan As Sunnah dapat menimbulkan perselisihan dan bahkan kebencian sebagaimana yang telah disampaikan dalam tulisan pada http://mutiarazuhud.wordpress.com/2013/08/19/menimbulkan-kebencian/

Contoh perselisihan dan bahkan kebencian karena masing-masing merasa pasti benar adalah apa yang mereka pertontonkan pada http://tukpencarialhaq.com/2013/07/14/parodi-rodja-bag-10-beking-dakwah-halabiyun-firanda-adalah-pendusta-besar/ atau pada http://tukpencarialhaq.com/2013/08/06/parodi-rodja-13-menjawab-tantangan-dokter-dan-guru-besar-beladiri/

Rasulullah shallallahu alaihi wasallam juga telah memperingatkan kita bahwa perselisihan timbul dari ulama bangsa Arab sendiri. Maksudnya perselisihan timbul dari orang-orang yang berkemampuan bahasa Arab yang berupaya mengambil hukum-hukum dari Al Qur’an dan As Sunnah dari sudut arti bahasa saja.

Saya (Khudzaifah Ibnul Yaman) bertanya ‘Ya Rasulullah, tolong beritahukanlah kami tentang ciri-ciri mereka!
Nabi menjawab; Mereka adalah seperti kulit kita ini, juga berbicara dengan bahasa kita.
Saya bertanya ‘Lantas apa yang anda perintahkan kepada kami ketika kami menemui hari-hari seperti itu?
Nabi menjawab; Hendaklah kamu selalu bersama jamaah muslimin dan imam mereka!
Aku bertanya; kalau tidak ada jamaah muslimin dan imam bagaimana?
Nabi menjawab; hendaklah kau jauhi seluruh firqah (kelompok-kelompok / sekte) itu, sekalipun kau gigit akar-akar pohon hingga kematian merenggutmu kamu harus tetap seperti itu. (HR Bukhari)

Berkata Ibnu Hajar rahimahullah dalam Fathul Bari XIII/36: “Yakni dari kaum kita, berbahasa seperti kita dan beragama dengan agama kita. Ini mengisyaratkan bahwa mereka adalah bangsa Arab”.

Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda, “Akan datang pada akhir zaman, orang-orang muda dan berpikiran sempit. Mereka senantiasa berkata baik. Mereka keluar dari agama Islam, sebagaimana anak panah lepas dari busurnya. Mereka mengajak manusia untuk kembali kepada Al-Quran, padahal mereka sama sekali tidak mengamalkannya. Mereka membaca Al-Quran, namun tidak melebihi kerongkongan mereka. Mereka berasal dari bangsa kita (Arab). Mereka berbicara dengan bahasa kita (bahasa Arab). Kalian akan merasa shalat kalian tidak ada apa-apanya dibandingkan shalat mereka, dan puasa kalian tidak ada apa-apanya dibandingkan puasa mereka.”

Pada umumnya orang-orang yang mendalami Al Qur’an dan As Sunnah bersandarkan mutholaah (menelaah kitab) secara otodidak, memahaminya dari sudut arti bahasa dan istilah saja atau dikatakan mereka bermazhab dzahiriyyah yakni berpendapat, berfatwa, beraqidah (beri’tiqod) selalu berpegang pada nash secara dzahir atau makna dzahir sebagaimana yang telah disampaikan dalam tulisan pada http://mutiarazuhud.wordpress.com/2013/07/24/arti-bahasa-saja

Contohnya kepada orang Arab yang berprofesi sebagai pedagang yang tentunya paham bahasa Arab karena mengerti bahasa Arab atau dapat memahami berdasarkan arti bahasa, lalu kita serahkan kitab Al Qur’an dan kitab Hadits lengkap berikut penilaian ke-shahih-annya dari para ahli hadits.

Tentunya pedagang Arab tersebut tidak akan berani berpendapat, berfatwa atau menyampaikan seputar aqidah (i’tiqod) berdasarkan mutholaah (menelaah kitab) secara otodidak (shahafi) dengan akal pikirannya sendiri dengan kemampuan memahami berdasarkan arti bahasa saja.

Diperlukan ilmu untuk memahami Al Qur’an dan As Sunnah seperti ilmu tata bahasa Arab atau ilmu alat seperti nahwu, sharaf, balaghah (ma’ani, bayan dan badi’) ataupun ilmu fiqih maupun ushul fiqih dan lain lain. Kalau tidak menguasai ilmu untuk memahami Al Qur’an dan As Sunnah maka akan sesat dan menyesatkan.

Asy Syaikh Al Imam Abu Abdullah Muhammad Ibnu Hazm ~rahimahullah mengatakan

***** awal kutipan *****
“rukun atau pilar penyangga yang paling besar di dalam bab “ijtihad” adalah mengetahui naql. Termasuk di antara faedah ilmu naql ini adalah mengetahui nasikh dan mansukh. Karena untuk memahami pengertian khitab-khitab atau perintah-perintah itu amatlah mudah, yaitu hanya dengan melalui makna lahiriah (makna tersurat) dari berita-berita yang ada. Demikian pula untuk menanggung bebannya tidaklah begitu sulit pelaksanananya.

Hanya saja yang menjadi kesulitan itu adalah mengetahui bagaimana caranya mengambil kesimpulan hukum-hukum dari makna yang tersirat di balik nas-nas yang ada. Termasuk di antara penyelidikan yang menyangkut nas-nas tersebut adalah mengetahui kedua perkara tersebut, yaitu makna lahiriah dan makna yang tersirat, serta pengertian-pengertian lain yang terkandung di dalamnya.

Sehubungan dengan hal yang telah disebutkan di atas, ada sebuah atsar yang bersumber dari Abu Abdur Rahman. ia telah menceritakan bahwa sahabat Ali ra, berjumpa dengan seorang qadi atau hakim, lalu Ali ra bertanya kepadanya “Apakah kamu mengetahui masalah nasikh dan masukh?” Si Qadi tadi menjaab: “Tidak”. Maka Ali ra menegaskan “Kamu adalah orang yang celaka dan mencelakakan”
***** akhir kutipan *****

Telah menceritakan kepada kami Isma’il bin Abu Uwais berkata, telah menceritakan kepadaku Malik dari Hisyam bin ‘Urwah dari bapaknya dari Abdullah bin ‘Amru bin Al ‘Ash berkata; aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: Sesungguhnya Allah tidaklah mencabut ilmu sekaligus mencabutnya dari hamba, akan tetapi Allah mencabut ilmu dengan cara mewafatkan para ulama hingga bila sudah tidak tersisa ulama maka manusia akan mengangkat pemimpin dari kalangan orang-orang bodoh, ketika mereka ditanya mereka berfatwa tanpa ilmu, mereka sesat dan menyesatkan (HR Bukhari 98).

Jumhur ulama telah menyampaikan bahwa jika memahami Al Qur’an dan As Sunnah bersandarkan mutholaah (menelaah kitab) secara otodidak (shahafi) dan pada umumnya memahaminya dari sudut arti bahasa saja atau memahaminya selalu berpegang pada nash secara dzahir (makna dzahir) kemungkinan besar akan berakibat negative seperti,

1. Ibadah fasidah (ibadah yang rusak) , ibadah yang tidak sesuai dengan apa yang disampaikan oleh lisannya Rasulullah shallallahu alaihiwasallam dan ibadah yang kehilangan ruhnya atau aspek bathin, sebagaimana yang telah disampaikan dalam tulisan pada http://mutiarazuhud.wordpress.com/2013/07/06/shalat-yang-fasidah/

2. Tasybihillah Bikholqihi , penyerupaan Allah dengan makhluqNya sebagaimana yang telah disampaikan dalam tulisan pada http://mutiarazuhud.wordpress.com/2013/06/24/mengaku-hanabila/

Imam Ibn Hajar Al-Haitami dalam kitab Al-Fatawa Al-Hadithiyyah menisbahkan kepada Imam Ibn ‘Uyainah, beliau berkata: “Hadits itu menyesatkan kecuali bagi para fuqaha (ahli fiqih)”

Imam Ibn Hajar Al-Haitami dalam kitab tersebut lalu mensyarahkan perkataan itu:

“Sesungguhnya hadits-hadits Rasulullah shallallahu alaihi wasallam sama seperti Al-Qur’an dari sudut bahwa keduanya mengandung lafaz umum yang maknanya khusus begitu juga sebaliknya, bahkan ada juga yang mengandung nasikh mansukh yang tidak layak lagi beramal dengannya. Bahkan dalam hadits juga mengandung lafaz-lafaz yang dzahirnya membawa kepada tasybih seperti hadits yanzilu Rabbuna… yang mana tidak diketahui maknanya melainkan golongan fuqaha’ (ahli fiqh). Berbeda dengan mereka yang sekedar mengetahui apa yang dzahir daripada hadits-hadits (khususnya mutasyabihat) sehingga akhirnya dia (yang hanya faham hadits-hadits mutasyabihat dengan makna dzahir) pun sesat seperti yang berlaku pada sebahagian ahli hadits terdahulu dan masa kini seperti Ibnu Taimiyyah dan para pengikutnya.” (Al-Fatawa Al-Hadithiyyah halaman 202)

Imam Ibn Hajar Al-Haitami dalam kitab yang sama pada halaman 116, berkata dengan menukil permasalahan-permasalahan Ibnu Taimiyyah yang menyalahi kesepakatan umat Islam, yaitu : (Ibnu Taimiyyah telah berpendapat) bahwa alam itu bersifat dahulu dengan satu macam, dan selalu makhluk bersama Allah. Ia telah menyandarkan alam dengan Dzat Allah Subhanahu wa Ta’ala bukan dengan perbuatan Allah secara ikhtiar, sungguh Maha Luhur Allah dari penyifatan yang demikian itu. Ibnu Taimiyyah juga berkeyakinan adanya jisim pada Allah Subhanahu wa Ta’ala arah dan perpindahan. Ia juga berkeyakinan bahwa Allah tidak lebih kecil dan tidak lebih besar dari Arsy. Sungguh Allah maha Suci atas kedustaan keji dan buruk ini serta kekufuran yang nyata

Ibnu Taimiyyah terjerumus kekufuran dalam i’tiqod yang mengakibatkan beliau diadili oleh para qodhi dan para ulama ahli fiqih dari empat mazhab dan diputuskan hukuman penjara agar ulama Ibnu Taimiyyah tidak menyebarluaskan kesalahapahamannya sehingga beliau wafat di penjara sebagaimana yang dapat diketahui dalam tulisan pada  http://mutiarazuhud.wordpress.com/2012/04/13/ke-langit-dunia atau pada http://mutiarazuhud.wordpress.com/2013/01/07/arsy-tidak-kosong/

Syeikh Ahmad Khatib Al-Minangkabawi, ulama besar Indonesia yang pernah menjadi imam, khatib dan guru besar di Masjidil Haram, sekaligus Mufti Mazhab Syafi’i pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20 menjelaskan dalam kitab-kitab beliau seperti ‘al-Khiththah al-Mardhiyah fi Raddi fi Syubhati man qala Bid’ah at-Talaffuzh bian-Niyah’, ‘Nur al-Syam’at fi Ahkam al-Jum’ah’ bahwa pemahaman Ibnu Taimiyyah dan Ibnu Qoyyim Al Jauziah menyelisihi pemahaman Imam Mazhab yang empat.

Beliau (Syaikh Ibnu Hajar Al-Haitamy) berkata ” Maka berhati-hatilah kamu, jangan kamu dengarkan apa yang ditulis oleh Ibnu Taimiyyah dan muridnya Ibnul Qoyyim Al-Jauziyyah dan selain keduanya dari orang-orang yang telah menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhannya dan Allah telah menyesatkannya dari ilmu serta menutup telinga dan hatinya dan menjdaikan penghalang atas pandangannya. Maka siapakah yang mampu memberi petunjuk atas orang yang telah Allah jauhkan?”. (Al-Fatawa Al-Haditsiyyah : 203)

Para ulama ahlus sunnah terdahulu juga telah membantah pendapat atau pemahaman Ibnu Taimiyyah yang telah banyak menyelisihi pendapat para ulama terdahulu yang mengikuti Imam Mazhab yang empat sebagaimana contohnya termuat pada http://mutiarazuhud.files.wordpress.com/2010/02/ahlussunnahbantahtaimiyah.pdf

Begitupula sebagaimana yang telah disampaikan dalam tulisan pada http://mutiarazuhud.wordpress.com/2012/04/22/kabar-waktu-lampau/ bahwa dalam kitab “Risalah Ahlussunnah wal Jama’ah” karya Hadratusy Syeikh Hasyim Asy’ari (pendiri pondok pesantren Tebuireng Jombang Jawa Timur dan pendiri organisasi Nahdhatul Ulama) menasehatkan untuk meninggalkan pola pemahaman Ibnu Taimiiyah dan muridnya, Ibnul Qoyyim Al Jauziah dan Ibnu Abdil Hadi serta orang-orang yang mengikuti mereka seperti Muhammad Abduh maupun Muhammad bin Abdul Wahhab

Begitupula wasiat ulama dari Malaysia, Syaikh Abdullah Fahim sebagaimana contohnya yang termuat pada http://hanifsalleh.blogspot.com/2009/11/wasiat-syeikh-abdullah-fahim.html

***** awal kutipan *****
Supaya jangan berpecah belah oleh bangsa Melayu sendiri. Sekarang sudah ada timbul di Malaya mazhab Khawarij yakni mazhab yang keluar dari mazhab 4 mazhab Ahlis Sunnah wal Jama`ah. Maksud mereka itu hendak mengelirukan faham awam yang sebati dan hendak merobohkan pakatan bangsa Melayu yang jati. Dan menyalahkan kebanyakan bangsa Melayu.

Hukum-hukum mereka itu diambil daripada kitab Hadyur-Rasul yang mukhtasar daripada kitab Hadyul-’Ibad dikarang akan dia oleh Ibnul Qayyim al-Khariji, maka Ibnul Qayyim dan segala kitabnya ditolak oleh ulama Ahlis Sunnah wal Jama`ah.
***** akhir kutipan *****

Orang-orang yang meninggalkan Imam Mazhab yang empat salah satunya disebabkan salah memahami perkataan Imam Mazhab yang empat seperti

Imam Abu Hanifah ~rahimahullah, “Tidak halal bagi seseorang mengikuti perkataan kami bila ia tidak tahu dari mana kami mengambil sumbernya” (Ibnu ‘Abdul Barr dalam kitab Al-Intiqa fi Fadhail Ats-Tsalasah Al-Aimmah)

Imam Malik bin Anas ~rahimahullah, “Saya hanyalah seorang manusia, terkadang salah, terkadang benar. Oleh kerana itu, telitilah pendapatku. Bila sesuai dengan Al-Qur’an dan Sunnah, ambillah; dan bila tidak sesuai dengan Al-Qur’an dan Sunnah, tinggalkanlah” (Ibnu ‘Abdul Barr dan dari dia juga Ibnu Hazm dalam kitabnya Ushul Al- Ahkam (VI/149)

Imam Asy Syafi’i ~rahimahullah, “Setiap orang harus bermazhab kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan mengikutinya. Apa pun pendapat yang aku katakan atau sesuatu yang aku katakan itu berasal dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tetapi ternyata berlawanan dengan pendapatku, apa yang disabdakan oleh Rasulullah itulah yang menjadi pendapatku“ (Hadits Riwayat Hakim dengan sanad bersambung kepada Imam Syafi’i seperti tersebut dalam kitab Tarikh Damsyiq, karya Ibnu ‘Asakir XV/1/3)

Imam Ahmab bin Hanbal ~rahimahullah, “Janganlah engkau taqlid kepadaku atau kepada Malik, Sayfi’i, Auza’i dan Tsauri, tetapi ambillah dari sumber mereka mengambil.” (Ibnu Jauzi dalam Al-Manaqib hal. 192)

Perkataan para Imam Mazhab yang empat tersebut adalah sebagai bentuk sikap tawadhu (rendah hati) mereka.

Mereka mengingatkan kita untuk meninggalkan pendapat / pemahaman mereka khusus yang menyelisihi sunnah Rasulullah. Itupun kalau memang ada.

Perkataan para Imam Mazhab yang empat tersebut bukanlah perintah untuk meninggalkan keseluruhan pendapat/pemahaman mereka.

Berdasarkan perkaatan para Imam Mazhab yang empat tersebut maka kita mengikuti pendapat/pemahaman para Imam Mazhab sambil merujuk darimana mereka mengambil yaitu Al Quran dan as Sunnah.

Logikanya untuk apa Imam Mazhab yang empat bersusah payah melakukan ijtihad dan istinbat kalau bukan untuk kita ikuti ?

Jumhur ulama sejak dahulu kala sampai sekarang telah sepakat bahwa Imam Mazhab yang empat berkompetensi sebagai Imam Mujtahid Mutlak sehingga layak menjadi pemimpin atau imam ijtihad dan istinbat bagi kaum muslim sampai akhir zaman.

Oleh karenanya setelah masa kehidupan Imam Madzhab yang empat, para mufti yakni orang yang faqih untuk membuat fatwa selalu merujuk kepada salah satu dari Imam Madzhab yang empat.

Perkataan-perkataan ulama lainnya yang disalahgunakan sebagai ajakan untuk meninggalkan Imam Mazhab yang empat telah disampaikan dalam tulisan pada http://mutiarazuhud.wordpress.com/2013/06/12/ungkapan-menyesatkan/

Dalam dialog antara Syaikh al Buthi bersama Al Albani sebagaimana yang telah disampaikan dalam tulisan pada http://mutiarazuhud.wordpress.com/2013/07/06/bidah-yang-gawat/ Al Albani menyampaikan bahwa,

“Sebenarnya manusia itu terbagi menjadi tiga, yaitu muqallid (orang yang taqlid), muttabi’ (orang yang mengikuti) dan mujtahid. Orang yang mampu membandingkan madzhab-madzhab yang ada dan memilih yang lebih dekat pada al-Qur’an adalah muttabi’. Jadi muttabi’ itu derajat tengah, antara taqlid dan ijtihad.”

Berikut kutipan dialognya

****** awal kutipan ******
Ulama Al-Albani menjawab: “Sebenarnya yang diharamkan bagi muqallid itu menetapi satu madzhab dengan keyakinan bahwa Allah memerintahkan demikian.”

Syaikh al-Buthi berkata: “Jawaban Anda ini persoalan lain. Dan memang benar demikian. Akan tetapi, pertanyaan  saya, apakah seorang muqallid itu berdosa jika menetapi satu mujtahid saja, padahal ia tahu bahwa Allah tidak mewajibkan demikian?”

Al-Albani menjawab: “Tidak berdosa.”

Syaikh al-Buthi berkata: “Tetapi isi buku yang Anda ajarkan, berbeda dengan yang Anda katakan. Dalam buku tersebut disebutkan, menetapi satu madzhab saja itu hukumnya haram. Bahkan dalam bagian lain buku tersebut, orang yang menetapi satu madzhab saja itu dihukumi kafir.”

Menghadapi pertanyaan tersebut, ulama al-Albani terdiam.
***** akhir kutipan *****

Jadi bagi Al Albani , kaum muslim dilarang menjadi muqallid (orang yang taqlid) dan bagi yang tidak berkompetensi sebagai mujtahid seharusnyalah menjadi muttabi’ (orang yang mengikuti) yakni membandingkan madzhab-madzhab yang ada dan memilih yang lebih dekat pada al-Qur’an dan As Sunnah.

Kalau begitu bagaimana nasib kaum muslim yang tidak mempunyai kemampuan untuk membeli kitab-kitab hadits ataupun tidak mempunyai waktu dan kompetensi untuk membandingkan madzhab-madzhab yang ada dan memilih yang lebih dekat pada al-Qur’an dan As Sunnah ? Apakah mereka akan masuk neraka karena mengerjakan perkara terlarang yakni menjadi muqallid (orang yang taqlid) ?

KH. Muhammad Nuh Addawami menyampaikan,

***** awal kutipan *****
Mengharamkan taqlid dan mewajibkan ijtihad atau ittiba’ dalam arti mengikuti pendapat orang disertai mengetahui dalil-dalilnya terhadap orang awam (yang bukan ahli istidlal) adalah fatwa sesat dan menyesatkan yang akan merusak sendi-sendi kehidupan di dunia ini.

Memajukan dalil fatwa terhadap orang awam sama saja dengan tidak memajukannya. (lihat Hasyiyah ad-Dimyathi ‘ala syarh al- Waraqat hal 23 pada baris ke-12).

Apabila si awam menerima fatwa orang yang mengemukakan dalilnya maka dia sama saja dengan si awam yang menerima fatwa orang yang tidak disertai dalil yang dikemukakan. Dalam artian mereka sama-sama muqallid, sama-sama taqlid dan memerima pendapat orang tanpa mengetahui dalilnya.

Yang disebut muttabi’ “bukan muqallid” dalam istilah ushuliyyin adalah seorang ahli istidlal (mujtahid) yang menerima pendapat orang lain karena dia selaku ahli istidlal dengan segala kemampuannya mengetahui dalil pendapat orang itu.

Adapun orang yang menerima pendapat orang lain tentang suatu fatwa dengan mendengar atau membaca dalil pendapat tersebut padahal sang penerima itu bukan atau belum termasuk ahli istidlal maka dia tidak termasuk muttabi’ yang telah terbebas dari ikatan taqlid.

Pendek kata arti ittiba’ yang sebenarnya dalam istilah ushuliyyin adalah ijtihad seorang mujtahid mengikuti ijtihad mujtahid yang lain.
***** akhir kutipan *****

Jadi muttabi bukanlah sebagaimana yang dikatakan oleh Al Albani sebagai “derajat tengah, antara taqlid dan ijtihad” namun muttabi adalah orang yang mengikuti pendapat orang lain karena dia ahli istidlal.

Sedangkan orang yang menerima atau mengikuti pendapat orang lain walaupun mengetahui dalilnya namun bukan ahli istidal adalah sama-sama muqallid, sama-sama taqlid dan menerima  atau mengikuti pendapat orang tanpa mengetahui dalilnya.

Kompetensi sebagai ahli istidlal adalah sebagaimana yang disampaikan KH. Muhammad Nuh Addawami yakni

*****awal kutipan *****
a. Mengetahui dan menguasai bahasa arab sedalam-dalamnya, karena al-quran dan as-sunnah diturunkan Allah dan disampaikan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam dalam bahasa Arab yang fushahah dan balaghah yang bermutu tinggi, pengertiannya luas dan dalam, mengandung hukum yang harus diterima. Yang perlu diketahui dan dikuasainya bukan hanya arti bahasa tetapi juga ilmu-ilmu yang bersangkutan dengan bahasa arab itu seumpama nahwu, sharaf, balaghah (ma’ani, bayan dan badi’).

b. Mengetahui dan menguasai ilmu ushul fiqh, sebab kalau tidak, bagaimana mungkin menggali hukum secara baik dan benar dari al-Quran dan as-Sunnah padahal tidak menguasai sifat lafad-lafad dalam al-Quran dan as-Sunnah itu yang beraneka ragam yang masing-masing mempengaruhi hukum-hukum yang terkandung di dalamnya seperti ada lafadz nash, ada lafadz dlahir, ada lafadz mijmal, ada lafadz bayan, ada lafadz muawwal, ada yang umum, ada yang khusus, ada yang mutlaq, ada yang muqoyyad, ada majaz, ada lafadz kinayah selain lafadz hakikat. ada pula nasikh dan mansukh dan lain sebagainya.

c. Mengetahui dan menguasai dalil ‘aqli penyelaras dalil naqli terutama dalam masalah-masalah yaqiniyah qath’iyah.

d. Mengetahui yang nasikh dan yang mansukh dan mengetahui asbab an-nuzul dan asbab al-wurud, mengetahui yang mutawatir dan yang ahad, baik dalam al-Quran maupun dalam as-Sunnah. Mengetahui yang sahih dan yang   lainnya dan mengetahui para rawi as-Sunnah.

e. Mengetahui ilmu-ilmu yang lainnya yang berhubungan dengan tata cara menggali hukum dari al-Quran dan as-Sunnah.

Bagi yang tidak memiliki kemampuan, syarat dan sarana untuk menggali hukum-hukum dari al-Quran dan as-Sunnah dalam masalah-masalah ijtihadiyah padahal dia ingin menerima risalah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam secara utuh dan kaffah, maka tidak ada jalan lain kecuali taqlid kepada mujtahid yang dapat dipertanggungjawabkan kemampuannya.

Diantara para mujtahid yang madzhabnya mudawwan adalah empat imam mujtahid, yaitu:

- Imam Abu Hanifah Nu’man bin Tsabit;
- Imam Malik bin Anas;
- Imam Muhammad bin Idris Asy-Syafi’i ; dan
- Imam Ahmad bin Hanbal.
***** akhir kutipan *****

Perkataan Al Albani yang terkenal adalah “Aku membandingkan antara pendapat semua imam mujtahid serta dalil-dalil mereka lalu aku ambil yang paling dekat terhadap al-Qur’an dan Sunnah.”

Secara logika, seseorang yang mampu menghakimi pendapat-pendapat Imam Mazhab yang empat dengan barometer al-Qur’an dan As Sunnah, jelas ia lebih berkompetensi atau lebih pandai dari Imam Mazhab yang empat.

Imam Ahmad bin Hanbal yang memiliki kompetensi dalam berijtihad dan beristinbat atau berkompetensi sebagai Imam Mujtahid Mutlak, tentu beliau lebih berhak “menghakimi” Imam Mazhab sebelum beliau. Namun kenyataannya beliau tetap secara independen berijtihad dan beristinbat atas sumber atau bahan yang dimilikinya dengan ilmu yang dikuasainya.

Begitupula sumber untuk melakukan ijtihad dan istinbat sebagaimana yang telah dimiliki oleh Imam Mazhab yang empat telah sangat jauh berkurang.

Contohnya jumlah hadits yang telah terbukukan dalam kitab-kitab hadits jumlahnya jauh di bawah jumlah hadits yang dikumpulkan dan dihafal oleh Al-Hafidz (minimal 100.000 hadits) dan jauh lebih kecil dari jumlah hadits yang  dikumpulkan dan dihafal oleh Al-Hujjah (minimal 300.000 hadits). Sedangkan jumlah hadits yang dikumpulkan dan dihafal oleh Imam Mazhab yang empat, jumlahnya lebih besar dari jumlah hadits yang dikumpulkan dan dihafal oleh Al-Hujjah.

Perbedaan di antara Imam Mazhab yang empat semata-mata dikarenakan terbentuk setelah adanya furu’ (cabang), sementara furu’ tersebut ada disebabkan adanya sifat zanni dalam nash. Oleh sebab itu, pada sisi zanni inilah kebenaran bisa menjadi banyak (relatif), mutaghayirat disebabkan pengaruh bias dalil yang ada. Boleh jadi nash yang digunakan sama, namun cara pengambilan kesimpulannya berbeda.

Jadi perbedaan pendapat di antara Imam Mazhab yang empat tidak dapat dikatakan pendapat yang satu lebih kuat (arjah atau tarjih) dari pendapat yang lainnya atau bahkan yang lebih ekstrim mereka yang mengatakan pendapat yang satu yang benar dan yang lain salah.

Perbedaan pendapat di antara Imam Mazhab yang empat yang dimaksud dengan “perbedaan adalah rahmat”. Sedangkan perbedaan pendapat di antara bukan ahli istidlal adalah kesalahpahaman semata yang dapat menyesatkan orang banyak.

Sementara ada segelintir umat Islam menggabungkan pendapat Imam Mazhab yang empat atau talfiq.

Dalam bahasa Arab, kata talfiq (التَّلْفِيقُ        ) berasal dari kata (لَفَّقَ – يُلَفِّقُ – تَلْفِيقاً        ) yang berarti menggabungkan sesuatu dengan yang lain artinya mereka mengikuti seluruh pendapat Imam Mazhab yang empat.

Kita tidak dapat talfiq dalam arti menghakimi pendapat Imam Mazhab yang empat karena selain kita tidak berkompetensi sebagai  Imam Mujtahid Mutlak  dan kita pun tidak memiliki sumber-sumber untuk melakukan ijtihad dan istinbat sebagaimana yang dimiliki oleh Imam Mazhab yang empat.

Talfiq dalam arti digunakan dikarenakan situasi dan kondisi tidaklah mengapa. Seperti ikutilah apapun mazhab imam sholat karena diriwayatkan oleh Umamah al Bahiliy dari Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda,”Ikatan-ikatan Islam akan lepas satu demi satu. Apabila lepas satu ikatan, akan diikuti oleh lepasnya ikatan berikutnya. Ikatan islam yang pertama kali lepas adalah pemerintahan (kekhalifahan) dan yang terakhir adalah shalat.” (HR. Ahmad)

Tidak terlarang kita mendalami ilmu agama dengan mutholaah, menelaah kitab baik yang berbahasa Arab, terjemahan atau melalui media internet.

Namun sebaiknya kita mempunyai seorang guru yang sanad ilmu (sanad guru) tersambung kepada Rasulullah shallallahu alaihi wasallam tempat kita bertalaqqi (mengaji) dan tempat kita bertanya terhadap apa yang kita baca.

Cara menelusuri kebenaran adalah melalui para ulama yang sholeh yang memiliki sanad ilmu (sanad guru) tersambung kepada lisannya Rasulullah shallallahu alaihi wasallam karena kebenaran dari Allah ta’ala dan disampaikan oleh RasulNya

Pada asalnya, istilah sanad atau isnad hanya digunakan dalam bidang ilmu hadits (Mustolah Hadits) yang merujuk kepada hubungan antara perawi dengan perawi sebelumnya pada setiap tingkatan yang berakhir kepada Rasulullah -Shollallahu ‘alaihi wasallam- pada matan haditsnya.

Namun, jika kita merujuk kepada lafadz Sanad itu sendiri dari segi bahasa, maka penggunaannya sangat luas. Dalam Lisan Al-Arab misalnya disebutkan: “Isnad dari sudut bahasa terambil dari fi’il “asnada” (yaitu menyandarkan) seperti dalam perkataan mereka: Saya sandarkan perkataan ini kepada si fulan. Artinya, menyandarkan sandaran, yang mana ia diangkatkan kepada yang berkata. Maka menyandarkan perkataan berarti mengangkatkan perkataan (mengembalikan perkataan kepada orang yang berkata dengan perkataan tersebut)“.

Sehinggga jika ada orang menyampaikan sesuatu berdasarkan Al Qur'an dan As Sunnah namun menyelisihi atau tidak pernah disampaikan oleh para ulama terdahulu yang memiliki sanad ilmu (sanad guru) tersambung kepada Rasulullah shallallahu alaihi wasallam maka sanad ilmu (sanad guru) orang tersebut terputus pada akal pikirannya sendiri sehingga apa yang disampaikannya adalah paham baru atau ajaran baru, bukan ajaran yang disampaikan oleh lisannya Nabi Muhammad Rasulullah shallallahu alaihi wasallam.

Ibnul Mubarak berkata :”Sanad merupakan bagian dari agama, kalaulah bukan karena sanad, maka pasti akan bisa berkata siapa saja yang mau dengan apa saja yang diinginkannya (dengan akal pikirannya sendiri).” (Diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam Muqoddimah kitab Shahihnya 1/47 no:32 )

Tanda atau ciri seorang ulama tidak terputus sanad ilmu atau sanad gurunya adalah pemahaman atau pendapat ulama tersebut tidak menyelisihi pendapat gurunya dan guru dari gurunya terdahulu serta berakhlak baik

Asy-Syeikh as-Sayyid Yusuf Bakhour al-Hasani menyampaikan bahwa “maksud dari pengijazahan sanad itu adalah agar kamu menghafazh bukan sekadar untuk meriwayatkan tetapi juga untuk meneladani orang yang kamu mengambil sanad daripadanya, dan orang yang kamu ambil sanadnya itu juga meneladani orang yang di atas di mana dia mengambil sanad daripadanya dan begitulah seterusnya hingga berujung kepada kamu meneladani Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Dengan demikian, keterjagaan al-Qur’an itu benar-benar sempurna baik secara lafazh, makna dan pengamalan“

Imam Malik ~rahimahullah menasehatkan bahwa sebaiknya janganlah mengambil ilmu agama dari dari orang-orang yang tidak jelas sanad ilmu (sanad guru) dan orang-orang yang mendustakan perkataan ulama meskipun dia tidak mendustakan perkataan (hadits) Rasulullah shallallahu alaihi wasallam

Imam Malik ~rahimahullah berkata: “Janganlah engkau membawa ilmu (yang kau pelajari) dari orang yang tidak engkau ketahui catatan (riwayat) pendidikannya (sanad ilmu) dan dari orang yang mendustakan perkataan manusia (ulama) meskipun dia tidak mendustakan perkataan (hadits) Rasulullah shallallahu alaihi wasallam”

Orang-orang yang mendustakan perkataan ulama adalah

1. Orang-orang yang merusak peninggalan para ulama seperti mengutip atau mencetaknya dengan ada yang dihilangkan atau dengan ditambah, yang merusak isi dan menghilangkan tujuannya.

2. Orang-orang yang tidak memiliki hak untuk menyampaikan atau menjelaskan perkataan ulama karena tidak memiliki ilmu riwayah dan dirayah dari ulama bersangkutan.

Imam Syafi’i ~rahimahullah mengatakan “tiada ilmu tanpa sanad”.

Al-Hafidh Imam Attsauri ~rahimullah mengatakan “Penuntut ilmu tanpa sanad adalah bagaikan orang yang ingin naik ke atap rumah tanpa tangga”

Bahkan Al-Imam Abu Yazid Al-Bustamiy , quddisa sirruh (Makna tafsir QS.Al-Kahfi 60) ; “Barangsiapa tidak memiliki susunan guru dalam bimbingan agamanya, tidak ragu lagi niscaya gurunya syetan” Tafsir Ruhul-Bayan Juz 5 hal. 203

Ilmu agama adalah ilmu yang diwariskan dari ulama-ulama terdahulu yang tersambung kepada lisannya Rasulullah shallallahu alaihi wasallam

Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda yang artinya “Sampaikan dariku sekalipun satu ayat dan ceritakanlah (apa yang kalian dengar) dari Bani Isra’il dan itu tidak apa (dosa). Dan siapa yang berdusta atasku dengan sengaja maka bersiap-siaplah menempati tempat duduknya di neraka” (HR Bukhari)

Hadits tersebut bukanlah menyuruh kita menyampaikan apa yang kita baca dan pahami sendiri dari kitab atau buku

Hakikat makna hadits tersebut adalah kita hanya boleh menyampaikan satu ayat yang diperoleh dan didengar dari para ulama yang sholeh dan disampaikan secara turun temurun yang bersumber dari lisannya Sayyidina Muhammad Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.

Oleh karenanya ulama dikatakan sebagai pewaris Nabi.

Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda, “Ulama adalah pewaris para nabi” (HR At-Tirmidzi).

Ulama pewaris Nabi artinya menerima dari ulama-ulama yang sholeh sebelumnya yang tersambung kepada Rasulullah shallallahu alaihi wasallam.

Pada hakikatnya Al Qur’an dan Hadits disampaikan tidak dalam bentuk tulisan namun disampaikan melalui lisan ke lisan para ulama yang sholeh dengan imla atau secara hafalan.

Dalam khazanah Islam, metode hafalan merupakan bagian integral dalam proses menuntut ilmu. Ia sudah dikenal dan dipraktekkan sejak zaman baginda Rasulullah shallallahu alaihi wasallam. Setiap menerima wahyu, beliau langsung menyampaikan dan memerintahkan para sahabat untuk menghafalkannya. Sebelum memerintahkan untuk dihafal, terlebih dahulu beliau menafsirkan dan menjelaskan kandungan dari setiap ayat yang baru diwahyukan.

Jika kita telusuri lebih jauh, perintah baginda Rasulullah shallallahu alaihi wasallam untuk menghafalkan Al-Qur’an bukan hanya karena kemuliaan, keagungan dan kedalaman kandungannya, tapi juga untuk menjaga otentisitas Al-Qur’an itu sendiri. Makanya hingga kini, walaupun sudah berusia sekitar 1400 tahun lebih, Al-Qur’an tetap terjaga orisinalitasnya. Kaitan antara hafalan dan otentisitas Al-Qur’an ini tampak dari kenyataan bahwa pada prinsipnya, Al-Qur’an bukanlah “tulisan” (rasm), tetapi “bacaan” (qira’ah). Artinya, ia adalah ucapan dan sebutan. Proses turun-(pewahyuan)-nya maupun penyampaian, pengajaran dan periwayatan-(transmisi)-nya, semuanya dilakukan secara lisan dan hafalan, bukan tulisan. Karena itu, dari dahulu yang dimaksud dengan “membaca” Al-Qur’an adalah membaca dari ingatan (qara’a ‘an zhahri qalbin).

Dengan demikian, sumber semua tulisan itu sendiri adalah hafalan, atau apa yang sebelumnya telah tertera dalam ingatan sang qari’. Sedangkan fungsi tulisan atau bentuk kitab sebagai penunjang semata.

Memang Al Qur’an adalah kitab dalam “bahasa arab yang jelas” (QS Asy Syu’ara’ [26]: 195). namun pemahaman yang dalam haruslah dilakukan oleh orang-orang yang berkompeten (ahlinya).

Allah ta’ala berfirman yang artinya

“Kitab yang dijelaskan ayat-ayatnya, yakni bacaan dalam bahasa Arab, untuk kaum yang mengetahui” (QS Fush shilat [41]:3)

“Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui.” [QS. an-Nahl : 43]

Al Qur’an adalah kitab petunjuk namun kaum muslim membutuhkan seorang penunjuk.

Al Qur’an tidak akan dipahami dengan benar tanpa Rasulullah shallallahu alaihi wasallam sebagai seorang penunjuk

Firman Allah ta’ala yang artinya “Dan kami sekali-kali tidak akan mendapat petunjuk kalau Allah tidak memberi kami petunjuk. Sesungguhnya telah datang rasul-rasul Tuhan kami, membawa kebenaran“. (QS Al A’raf [7]:43)

Secara berjenjang, penunjuk para Sahabat adalah Rasulullah shallallahu alaihi wasallam. Penunjuk para Tabi’in adalah para Sahabat. penunjuk para Tabi’ut Tabi’in adalah para Tabi’in dan penunjuk kaum muslim sampai akhir zaman adalah Imam Mazhab yang empat

Suatu ketika Rasulullah shallallahu alaihi wasallam mengadu kepada Tuhan: “Aku akan meninggalkan dunia ini, Aku akan meninggalkan umatku. Siapakah yang akan menuntun mereka setelahku? Bagaimana nasib mereka sesudahku?”

Allah ta’ala lalu menurunkan firman-Nya :

walaqad atainaaka sab’an mina almatsaanii wal qur’aana al’azhiima

“Kami telah mengaruniakanmu Assab’ul-matsani dan al-Qur’an yang agung.” (QS Al Hijr [15]:87)

Assab’ul-matsani dan al-Qur’an, dua pegangan yang menyelamatkan kita dari kesesatan, dua perkara yang telah membuat Rasulullah shallallahu alaihi wasallam tenang meninggalkan umat.

Al Qur’an kita telah mengetahuinya lalu apakah yang dimaksud dengan Assab’ul-matsani ?

“Sab’an minal-matsani” terdiri dari tiga kata; Sab’an, Min dan al-Matsani. Sab’an berarti tujuh. Min berarti dari. Sementara al-Matsani adalah bentuk jama’ dari Matsna yang artinya dua-dua. Dengan demikian maka Matsani berarti empat-empat (berkelompok-kelompok, setiap kelompok terdiri dari empat).

Dalam sebuah hadits Rasul menyebutkan bahwa Assab’ul-matsani itu adalah surat Fatihah. Itu benar, namun yang dimaksud oleh hadits tersebut adalah bahwasanya Assab’ul-matsani (tujuh kelompok) itu telah diisyaratkan oleh salah satu ayat dalam surat Fatihah, tepatnya pada firman-Nya yang artinya “Ya Allah, tunjukilah kami jalan yang lurus, yaitu jalan orang-orang yang Engkau karuniai nikmat“. (QS Al Fatihah [1]:6-7)

Mereka itulah Assba’ul-matsani, sebagaimana firman Allah yang artinya, “Orang-orang yang dikaruniai nikmat oleh Allah adalah: Para nabi, para shiddiqin, para syuhada’ dan orang-orang shalih, mereka itulah sebaik-baik teman“. (QS An Nisaa [4]: 69)

Mereka itulah Assab’ul-matsani yakni orang-orang yang telah dikaruniai nikmat oleh Allah ta’ala sehingga berada pada jalan yang lurus dan menjadi seorang penunjuk yang patut untuk diikuti dalam memahami kitab petunjuk (Al Qur’an) sehingga menyelamatkan kita dari kesesatan serta menghantarkan kita mencapai kebahagian dunia dan akhirat

Imam Mazhab yang empat adalah termasuk Assab’ul-matsani yang menghantarkan kepada kebahagiaan dunia dan akhirat.

Allah ta’ala berfirman yang artinya “Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) dari golongan Muhajirin dan Anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan merekapun ridha kepada Allah dan Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya selama-lamanya. Mereka kekal di dalamnya. Itulah kemenangan yang besar“. (QS at Taubah [9]:100)

Dari firmanNya tersebut dapat kita ketahui bahwa orang-orang yang diridhoi oleh Allah Azza wa Jalla adalah orang-orang yang mengikuti Salafush Sholeh. Sedangkan orang-orang yang mengikuti Salafush Sholeh yang paling awal dan utama adalah Imam Mazhab yang empat.

Tentulah kita mengikuti atau taqlid kepada Imam Mazhab yang empat dengan merujuk kepada Al Qur’an dan As Sunnah. Imam Mazhab yang empat patut untuk diikuti oleh kaum muslim karena jumhur ulama telah sepakat dari dahulu sampai sekarang sebagai para ulama yang berkompetensi sebagai Imam Mujtahid Mutlak, pemimpin atau imam ijtihad dan istinbat kaum muslim.

Kelebihan lainnya, Imam Mazhab yang empat adalah masih bertemu dengan Salafush Sholeh. Imam Mazhab yang empat adalah para ulama yang sholeh dari kalangan “orang-orang yang membawa hadits” yakni membawanya dari Salafush Sholeh yang meriwayatkan dan mengikuti sunnah Rasulullah shallallahu alaihi wasallam

Jadi kalau kita ingin ittiba li Rasulullah (mengikuti Rasulullah) atau mengikuti Salafush Sholeh maka kita menemui dan bertalaqqi (mengaji) dengan para ulama yang sholeh dari kalangan “orang-orang yang membawa hadits”.

Para ulama yang sholeh dari kalangan “orang-orang yang membawa hadits” adalah para ulama yang sholeh yang mengikuti salah satu dari Imam Mazhab yang empat.

Para ulama yang sholeh yang mengikuti dari Imam Mazhab yang empat adalah para ulama yang sholeh yang memiliki ketersambungan sanad ilmu (sanad guru) dengan Imam Mazhab yang empat atau para ulama yang sholeh yang memiliki ilmu riwayah dan dirayah dari Imam Mazhab yang empat.

Jadi bermazhab dengan Imam Mazhab yang empat adalah sebuah kebutuhan bagi kaum muslim yang tidak lagi bertemu dengan Rasulullah maupun Salafush Sholeh. 

Sebagaimana yang telah disampaikan dalam tulisan pada http://mutiarazuhud.wordpress.com/2013/07/16/perdamaian-islam/ bahwa mewujudkan perdamaian dunia Islam atau mewujudkan Ukhuwah Islamiyah dengan mentaati perintah Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bahwa solusi jika kita berlainan pendapat tentang sesuatu maka kita sebaiknya mengikuti mayoritas kaum muslim (as-sawadul a’zham) dan menghindari semua sekte atau firqoh yang menyempal keluar (kharaja) dari mayoritas kaum muslim

Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda: “Sesungguhnya Allah tidak menghimpun ummatku diatas kesesatan. Dan tangan Allah bersama jama’ah. Barangsiapa yang menyelewengkan (menyempal), maka ia menyeleweng (menyempal) ke neraka“. (HR. Tirmidzi: 2168).

Al-Hafidz Ibnu Hajar rahimahullah dalam Fathul Bari XII/37 menukil perkataan Imam Thabari rahimahullah yang menyatakan: “Berkata kaum (yakni para ulama), bahwa jama’ah adalah as-sawadul a’zham (mayoritas kaum muslim)“

Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda “Sesungguhnya umatku tidak akan bersepakat pada kesesatan. Oleh karena itu, apabila kalian melihat terjadi perselisihan maka ikutilah as-sawad al a’zham (mayoritas kaum muslim).” (HR.Ibnu Majah, Abdullah bin Hamid, at Tabrani, al Lalika’i, Abu Nu’aim. Menurut Al Hafidz As Suyuthi dalam Jamius Shoghir, ini adalah hadits Shohih).

Pada masa sekarang mayoritas kaum muslim (as-sawadul a’zham) adalah bagi siapa saja yang mengikuti Rasulullah shallallahu alaihi wasallam dengan mengikuti para ulama yang sholeh yang mengikuti Imam Mazhab yang empat.

Sebagaimanapula yang telah disampaikan dalam tulisan pada http://mutiarazuhud.wordpress.com/2013/07/18/islam-adalah-satu/ bahwa Islam adalah satu pada masa sekarang adalah Islam sebagaimana yang telah disampaikan dan dijelaskan oleh para penunjuk yakni para ulama yang sholeh yang mengikuti Imam Mazhab yang empat.

Salah satu solusi  lainnya jika kita berlainan pendapat tentang ilmu agama maka kita dapat bertanya kepada para ulama yang sholeh yang memiliki sanad ilmu (sanad guru) tersambung kepada lisannya Rasulullah shallallahu alaihi wasallam.

Contohnya kita dapat bertanya kepada para ulama yang sholeh dari kalangan ahlul bait, keturunan cucu Rasulullah shallallahu alaihi wasallam karena mereka pada umumnya memiliki ketersambungan dengan lisannya Rasulullah shallallahu alaihi wasallam melalui dua jalur yakni

1. Melalui nasab (silsilah / keturunan). Pengajaran agama baik disampaikan melalui lisan maupun praktek yang diterima dari orang tua, orang tua dari orang tua mereka secara turun temurun tersambung kepada Rasulullah shallallahu alaihi wasallam

2. Melalui sanad ilmu atau sanad guru. Pengajaran agama dengan bertalaqqi (mengaji) dengan para ulama yang sholeh yang mengikuti Imam Mazhab yang empat yakni para ulama yang sholeh memiliki ilmu riwayah dan dirayah dari Imam Mazhab yang empat atau para ulama yang sholeh yang memiliki ketersambungan sanad ilmu atau sanad guru dengan Imam Mazhab yang empat

Sehingga para ulama yang sholeh dari kalangan ahlul bait, keturunan cucu Rasulullah shallallahu alaihi wasallam lebih terjaga kemutawatiran sanad, kemurnian agama dan akidahnya.

Contohnya mereka dalam perkara sholat ada yang mengikuti Al Albani yang menetapkan cara sholat berdasarkan upaya pemahamannya sendiri secara otodidak (shahafi) terhadap Al Qur’an dan As Sunnah. Kemungkinan kesalahpahaman Al Albani dalam menetapkan cara sholat akan semakin lebih besar karena beliau tidak dikenal  sebagai ahli istidlal atau tidak dikenal berkompetensi sebagai Imam Mujtahid Mutlak dan tidak ada satupun nama mazhab yang dinisbatkan dengan namanya.

Namun amat disayangkan beliau menamakan atau tepatnya memastikan hasil ijtihadnya sebagai sifat sholat Nabi sehingga dapat menyesatkan orang banyak karena terkecoh dengan judulnya. Seharusnya diberi judul “cara sholat berdasarkan upaya pemahaman Al Albani” atau cara sholat ala Al Albani.

Imam Bukhari, Imam Muslim ~semoga Allah meridhai mereka, mengkaji, memilah dari banyak hadits-hadits dan menyusun, mengumpulkan dalam kitab, khusus untuk hadits-hadits shohih namun mereka tidak terdengar menyampaikan kitab sholat berdasarkan hadits-hadits shohih yang mereka kumpulkan.

Rasulullah shallallahu alaihi wasallam telah bersabda “sholatlah sebagaimana kalian melihat aku sholat” (HR Bukhari 595, 6705).

Sedangkan mayoritas kaum muslim (as-sawadul a’zham) dalam perkara cara  sholat mengikuti hasil ijtihad dan istinbat (menetapkan hukum perkara) yang dilakukan oleh Imam Mazhab yang empat karena jumhur ulama dari dahulu sampai sekarang mengakui kompetensi mereka sebagai Imam Mujtahid Mutlak, pemimpin atau imam ijtihad dan istinbat kaum muslim.

Apa yang tersirat dibalik sabda Rasulullah “sebagaimana kalian melihat aku sholat” ?

Ibarat belajar berenang,  mana yang lebih baik belajar dari memahami lafaz atau tulisan atau buku cara berenang atau langsung melihat contoh nyata ?

Jadi cara yang paling mudah megetahui cara sholat Nabi adalah bertanya kepada para ulama yang sholeh dari kalangan ahlul bait, keturunan cucu Rasulullah shallallahu alaihi wasallam karena mereka mendapatkan pengajaran sholat bukan berdasarkan upaya pemahaman namun berdasarkan praktek yang diajarkan oleh orang tua, orang tua dari orang tua mereka secara turun-temurun tersambung sampai kepada apa yang diajarkan oleh Rasulullah shallallahu alaihi wasallam dalam bentuk praktek pula.

Jabir ibnu Abdillah berkisah: “Aku melihat Rasulullah  dalam haji Wada` pada hari Arafah. Beliau menyampaikan khutbah dalam keadaan menunggangi untanya yang bernama Al-Qashwa. Aku mendengar beliau bersabda: “Wahai sekalian manusia! Sungguh aku telah meninggalkan pada kalian dua perkara yang bila kalian mengambilnya, maka kalian tidak akan sesat yaitu kitabullah dan ‘itrati ahlul baitku.” (Hadits diriwayatkan Al-Imam At-Tirmidzi dalam Sunan-nya no. 3786, kitab Al-Manaqib ‘an Rasulillah , bab Manaqib Ahli Baitin Nabi shallallahu alaihi wa sallam)

Abu Said Al-Khudri dan Zaid bin Arqam meriwayatkan, “Sungguh aku meninggalkan pada kalian perkara  yang bila kalian berpegang teguh dengannya niscaya kalian tidak akan sesat sepeninggalku. Salah satu dari perkara itu lebih besar daripada perkara yang lainnya, yaitu kitabullah tali Allah yang terbentang dari langit ke bumi. Dan (perkara lainnya adalah) ‘itrati, yaitu ahlul baitku. Keduanya tidak akan berpisah hingga keduanya mendatangiku di haudl. Maka lihatlah dan perhatikanlah bagaimana kalian menjaga dan memperhatikan keduanya sepeninggalku.” (HR. Ahmad dalam Musnad-nya  3/14,17 dan At-Tirmidzi dalam Sunan-nya no. 3788)

Kemungkinan mereka tidak mau bertanya kepada para ulama yang sholeh dari kalangan ahlul bait, keturunan cucu Rasulullah shallallahu alaihi wasallam adalah karena mereka pada umumnya mengaitkan para ulama yang sholeh dari kalangan ahlul bait, keturunan cucu Rasulullah shallallahu alaihi wasallam dengan kaum syiah sehingga ada orang alergi atau bahkan membenci para ulama yang sholeh dari kalangan ahlul bait, keturunan cucu Rasulullah shallallahu alaihi wasallam. Mereka adalah An-Nawaashib mufradnya naashib atau biasa disebut dengan nashibi adalah orang-orang yang membenci ahlul bait , keturunan cucu Rasulullah shallallahu alaihi wasallam.

Imam at Tirmidzi dan Imam ath Thabrani meriwayatkan sebuah hadits dari Ibnu Abbas ra., ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda, “Cintailah Allah agar kalian memperoleh sebagian nikmat-Nya, cintailah aku agar kalian memperoleh cinta Allah, dan cintailah keluargaku (ahlul baitku) agar kalian memperoleh cintaku.”

Mereka yang membenci para ulama yang sholeh dari kalangan ahlul bait, keturunan cucu Rasulullah shallallahu alaihi wasallam maka dengan sendirinya mereka berdusta ketika bersholawat mengatakan “wa ala ali Muhammad”

Imam Syafi’i ~rahimahullah bersyair, “Wahai Ahlul-Bait Rasulallah, mencintai kalian adalah kewajiban dari Allah diturunkan dalam al-Quran cukuplah bukti betapa tinggi martabat kalian tiada sholat tanpa shalawat bagi kalian.”

Syair Beliau yang lain “Jika sekiranya disebabkan kecintaan kepada keluarga Rasulallah shallallahu alaihi wasallam maka aku dituduh Rafidhi (Syi’ah). Maka saksikanlah jin dan manusia, bahwa sesungguhnya aku adalah Rafidhi.”

Maksud perkataan Imam Syafi’i ~rahimahullah , jika mencintai keturunan cucu Rasulullah disebut Rafidhi maka beliau rela disebut Rafidhi walaupun kita paham bahwa pemahaman syiah rafidhi telah menyelisihi pemahaman Ahlus Sunnah wal Jama’ah.

Syiah Rafidhah pada kenyatannya adalah kaum yang mengikuti pasukan atau tentara yang semula mendukung dan mengikuti Imam Zaid bin Ali bin al-Husain bin Ali bin Abi Thalib namun mereka meninggalkan Imam Zaid setelah mendapatkan jawaban atas pertanyaan mereka “Kami akan menyokong perjuangamu, namun sebelumnya kami ingin tahu terlebih dahulu sikapmu terhadap Abu Bakar Siddiq dan Umar bin Khattab di mana kedua-duanya telah menzalimi kakekmu Imam Ali bin Abi Thalib”.

Imam Zaid menjawab: “bagi saya mereka berdua adalah orang yang baik, dan saya tak pernah mendengar ucapan dari ayahku Imam Zainal Abidin tentang perihal keduanya kecuali kebaikan. Dan kalaulah saat ini saya berani melawan dan menantang perang Bani Umayyah, itu disebabkan karena mereka telah membunuh kakek saya (imam Husain bin Ali). Di samping itu, mereka telah memberanguskan kota Madinah di tengah teriknya matahari pada siang hari. Ketika itu terjadilah peperangan sengit di pintu Tiba kota Madinah. Dan tentara Yazid bin Mu’awiyah (w 63H) ketika itu telah menginjak-injak kehormatan kami, dan membunuh beberapa orang sahabat. Dan mereka menghujani mesjid dengan lemparan batu dan api”.

Setelah mendengar sikap dan jawaban Imam Zaid, para tentara Kufah meninggalkan Imam Zaid. Dan Imam Zaid berkata kepada mereka: “kalian telah menolak saya, kalian telah menolak saya”. Semenjak hari itu tentara tersebut dikenal dengan nama Rafidhah.

Salah satu ulama Zaidiyyah, Imam Ahmad as-Syarafiy (w. 1055 H) menegaskan bahwa: “Syi’ah Zaidiyah terpecah kepada tiga golongan, yaitu: Batriyah, Jaririyah, dan Garudiyah. Dan konon ada yang membagi sekte Zaidiyah kepada: Shalihiyah, Sulaimaniyah dan Jarudiyah. Dan pandangan Shalihiyah pada dasarnya sama dengan pandangan Batriyyah. Dan sekte Sulaymaniyah sebenarnya adalah Jarririyah. Jadi ketiga sekte tersebut merupakan golongan-golongan Syi’ah Zaidiyyah pada era awal. Ketiga sekte inipun tidak berafiliasi kepada keturunan Ahlu Bait sama sekali. Mereka hanyalah sekedar penyokong berat (bekas tentara atau pasukan) imam Zaid ketika terjadi revolusi melawan Bani Umayah, dan mereka ikut berperang bersama imam Zaid”.

Begitupula menurut pendapat Dr. Samira Mukhtar al-Laitsi dalam bukunya (Jihad as-Syi’ah), ketiga sekte tersebut merupakan golongan Syi’ah Zaidiyyah di masa pemerintahan Abbasiah. Dan mayoritas dari mereka ikut serta dalam revolusi imam Zaid. Dan ketiga sekte tersebut dianggap paling progresif dan popular serta berkembang pesat pada masa itu. Dan setelah abad kedua, gerakan Syi’ah Zaidiyah yang nampak di permukaan hanyalah sekte Garudiyah. Hal ini disebabkan karena tidak ditemukannya pandangan-pandangan yang dinisbahkan kepada sekte Syi’ah Zaidiyah lainnya.

Jadi pada kenyataannya mereka tidak lagi mengikuti pendiri mazhab Zaidiyyah yakni Imam Zaid bin Ali bin Husein bin Ali bin Abi Thalib namun mereka mengikuti pasukan atau tentara yang semula mendukung dan mengikuti Imam Zaid.

Jika kaum syiah benar mengikuti ahlul bait maka mereka akan mengikuti apa yang disampaikan oleh Al Imam Al Haddad dan yang setingkat dengannya, sampai ke Al Imam Umar bin Abdurrahman Al Attos dan yang setingkat dengannya, sampai ke Asy’syeh Abubakar bin Salim, kemudian Al Imam Syihabuddin, kemudian Al Imam Al Aidrus dan Syeh Ali bin Abibakar, kemudian Al Imam Asseggaf dan orang orang yang setingkat mereka dan yang diatas mereka, sampai keguru besar Al Fagih Almuqoddam Muhammad bin Ali Ba’alawi Syaikhutthoriqoh dan orang orang yang setingkat dengannya, sampai ke Imam Ahmad Al Muhajir bin Isa bin Muhammad bin Ali Al Uraidhi bin Ja’far Ash Shodiq bin Muhammad Al Baqir bin Ali Zainal Abidin bin Sayyidina Husain ra

Imam Ahmad Al Muhajir bin Isa bin Muhammad bin Ali Al Uraidhi bin Ja’far Ash Shodiq bin Muhammad Al Baqir bin Ali Zainal Abidin bin Sayyidina Husain ra sejak Abad 7 H di Hadramaut Yaman beliau menganut madzhab Syafi’i dalam fiqih , Ahlus Sunnah wal jama’ah dalam akidah (i’tiqod) mengikuti Imam Asy’ari (bermazhab Imam Syafi’i) dan Imam Maturidi (bermazhab Imam Hanafi) serta tentang akhlak atau tentang ihsan mengikuti ulama-ulama tasawuf yang muktabaroh dan bermazhab dengan Imam Mazhab yang empat.

Wassalam


Zon di Jonggol, Kabupaten Bogor 16830

link dokumen :

https://www.facebook.com/groups/kasarung/#!/groups/kasarung/doc/636972346327507/

Selasa, 20 Agustus 2013

1105 : ANTARA AHLI ILMU DAN AHLI IBADAH

PERTANYAAN

Assalamu'alaikum

Sedulur huda...
Orang yg banyak ibadahnya(ahli ibadah) ,dengan orang yg banyak ilmunya itu AFDHAL mana ?


JAWABAN

Mukhammad Yusuf Ismawan

wa'laikum salam

 قال صلى الله عليه وسلم في تفضيل العلم على العبادة والشّهادة " فضل العلم على العابد كفضلى على أدنى رجل من أصحابى"
Rosulullah Saw bersabda tentang keutamaan ahli ilmu atas ahli ibadah dan syuhada’ :” Keutamaan ahli ilmu atas ahli ibadah adalah seperti keutamaanku atas orang yang paling rendah di antara umatku.وقال صلّى الله عليه وسلّم " فضل العالم على العابد كفضل القمر ليلة البدر على ساءر الكواكب" referensi kitab "Adabul 'Alim wal muta'alim-Minhajul Abidin-ihya' ulumuddin"


Cikong Mesigit

 ikut nimbrung>> رقم الحديث: 8 (حديث مرفوع) أَخْبَرَنَا أَبُو الْعَبَّاسِ أَحْمَدُ بْنُ مُوسَى بْنِ زَنْجَوَيْهِ الْقَطَّانُ ، أَخْبَرَنَا هِشَامُ بْنُ عَمَّارٍ الدِّمَشْقِيُّ ، أَخْبَرَنَا حَفْصُ بْنُ عَمْرٍو ، عَنْ عُثْمَانَ بْنِ عَطَاءٍ ، عَنْ أَبِيهِ ، عَنْ أَبِي الدَّرْدَاءِ ، رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ ، قَالَ : سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ، يَقُولُ : " فَضْلُ الْعَالِمِ عَلَى الْعَابِدِ كَفَضْلِ الْقَمَرِ لَيْلَةَ الْبَدْرِ عَلَى سَائِرِ الْكَوَاكِبِ ، وَإِنَّ الْعُلَمَاءَ هُمْ وَرَثَةُ الأَنْبِيَاءِ ، إِنَّ الأَنْبِيَاءَ لَمْ يُوَرِّثُوا دِينَارًا وَلا دِرْهَمًا وَلَكِنَّهُمْ وَرَّثُوا الْعِلْمَ ، فَمَنْ أَخَذَهُ فَقَدْ أَخَذَ بِحَظٍّ وَافِرٍ " .


Ibnu Hasyim Alwi

 Antara orang ALIM dan orang yang AHLI IBADAH :
lebih mulia orang alim sekalipun ia fasiq di bandingkan dengan orang yang ahli ibadah namun ia jahil (bodoh)
(وحكي) أن بعض الناس اختلف في شرف العالم الفاسق وشرف الجاهل العابد، فخرج أحدمنهم، وذهب إلى صومعة
العابد الجاهل فقال: يا عبدي قبلت دعوتك، وغفرت لك ذنبك، فاترك العبادة واسترح. فقال العابد: إلهي إني أرجو منك هذا، وإني أحمدك وأشكرك وأعبدك من زمان كذا، فصار مخطئاً وكافراً بجهلهه، ثم ذهب أحد منهمإلى العالم الفاسق، فإذا هو يشرب الخمر فقال: يا عبدي اتق مني وأنا ربك أستر ذنبك وأنت لا تستحي مني، فإني أريد أهلكك، فسل العالم الفاسق سيفه، وخرج من مكانهفقال: يا ملعون أنت لا تعلم ربك، فإني أعلمك ربك الآن ففر ذلك القائل، فعلم بذلك شرف العلم وأهله.
)راقى العبودية شرح محمدنووى الجاوى على متن بداية الهداية
Dikisahkan, bahwasannya sebagian orang berselisih pendapat didalam masalah kemulian orang alim yang fasiq dan kemulian orang bodoh yang ahli ibadah.
maka salah seorang dari yang berselisih itu pergi ketempat ibadahnya seorang ahli ibadah yang jahil dan berkata:'' Wahai Hambaku, Aku telah mengabulkan do'amu, dan Aku telah mengampuni dosamu, maka tinggalkanlah ibadah dan beristirahatlah.
ahli ibadah yang jahil tadi menjawab :''Wahai Tuhanku sesungguhnya aku mengharapkan darimu hal ini(pembebasan dari ibadah) dan aku telah memujimu dan menyembahmu dan bersyukur kepadamu dari zaman dulu.
maka jadilah ahli ibadah itu jatuh dalam kesalahan dan kekafiran karna kebodohannya.
kemudian, seorang yang lain dari mereka ke orang alim yang fasiq, ternyata orang alim tadi sedang meminum, minuman keras.
lalu orang tadi berkata :''wahai hambaku takutlah kamu dariku, dan aku adalah tuhanmu, aku tutupi dosa-dosamu dan kamu tidak merasa malu kepadaku. sesungguhnya Aku akan memusnahkanmu,
maka orang alim fasiq tadi menghunuskan pedangnya dan keluar dari tempatnya dan berkata kepada orang yang mengaku sebagai tuhan :''Wahai orang yang dilaknat, apakah engkau tidak mengenal tuhanmu ?sesungguhnya aku akan mengenalkanmu kepada tuhanmu sekarang. maka orang yang pura2 menjadi tuhan tadi lari terbirit2 (karna mau di bacok), maka dari sini diketahui kemulian ilmu dan ahli ilmu.
 
link dokumen :  https://www.facebook.com/groups/kasarung/doc/633169883374420/

1104 : PENGGUNAAN LAFADZ KUTIBA DALAM AL QOR'AN

PERTANYAAN

Assalamu'alaikum wrwb.

YA AYYUHALLADZIINA AMANU KUTIBA 'ALAIKUMUSSHIYAAMU......TATTAQUUN.

ayat diatas yg artinya 'diwajibkan' kalimat yg mana?

JAWABAN

Brojol Gemblung

Wa'alaikumussalam

Penggunaan lafazd " ﺍﻟﻜﺘﺎﺑﺔ " (al-Kitaabah) dalam al-Qur`an hanya dalam sesuatu yg wajib dikerjakan secara syari'at seperti shalat, perintah perang, dan puasa. Atau di dalam hal yg mesti terjadi secara garis takdir, seperti firman Allah : "Mereka adalah di mana di hatinya ditetapkan iman". Lantas dg demikian lafazd " ﺍﻟﻜﺘﺎﺏ " (al-Kitaab) ini sama posisinya dg lafazd " ﺍﻟﻔﺮﺽ " (al-Fardhu), maka sangat logic bila kata itu diartikan " Diwajibkan / Difardhukan " dalam firman Allah : " ﻛﺘﺐ ﻋﻠﻴﻜﻢ ﺍﻟﺼﻴﺎﻡ " (Difardhukan atas kalian semua yaitu berpuasa). Wallahu A'lam

ﻟﺴﺎﻥ ﺍﻟﻌﺮﺏ - ﺍﺑﻦ ﻣﻨﻈﻮﺭ - ﺝ - ١ ﺍﻟﺼﻔﺤﺔ ٦٩٩ - ٧٠٠:

ﻭﺍﻟﻜﺘﺎﺏ ﻳﻮﺿﻊ ﻣﻮﺿﻊ ﺍﻟﻔﺮﺽ. ﻗﺎﻝ ﺍﻟﻠﻪ ﺗﻌﺎﻟﻰ: ﻛﺘﺐ ﻋﻠﻴﻜﻢ ﺍﻟﻘﺼﺎﺹ ﻓﻲ ﺍﻟﻘﺘﻠﻰ . ﻭﻗﺎﻝ ﻋﺰ ﻭﺟﻞ: ﻛﺘﺐ ﻋﻠﻴﻜﻢ ﺍﻟﺼﻴﺎﻡ، ﻣﻌﻨﺎﻩ: ﻓﺮﺽ. ﻭﻗﺎﻝ: ﻭﻛﺘﺒﻨﺎ ﻋﻠﻴﻬﻢ ﻓﻴﻬﺎ ﺃﻱ ﻓﺮﺿﻨﺎ.

ﺟﺎﻣﻊ ﺍﻟﻌﻠﻮﻡ ﻭﺍﻟﺤﻜﻢ :

ﺍﻟﺤﺪﻳﺚ ﺍﻟﺴﺎﺑﻊ ﻋﺸﺮ: ﺇﻥ ﺍﻟﻠﻪ ﻛﺘﺐ ﺍﻹﺣﺴﺎﻥ ﻋﻠﻰ ﻛﻞ ﺷﻲﺀ

ﻭﻟﻔﻆ " ﺍﻟﻜﺘﺎﺑﺔ " ﻳﻘﺘﻀﻲ ﺍﻟﻮﺟﻮﺏ ﻋﻨﺪ ﺃﻛﺜﺮ ﺍﻟﻔﻘﻬﺎﺀ ﻭﺍﻝﺃﺻﻮﻟﻴﻴﻦ ﺧﻼﻓﺎ ﻟﺒﻌﻀﻬﻢ ، ﻭﺇﻧﻤﺎ ﺍﺳﺘﻌﻤﺎﻝ ﻟﻔﻈﺔ ﺍﻟﻜﺘﺎﺑﺔ ﻓﻲ ﺍﻟﻘﺮﺁﻥ ﻓﻴﻤﺎ ﻫﻮ ﻭﺍﺟﺐ ﺣﺘﻢ ﺇﻣﺎ ﺷﺮﻋﺎ ، ﻛﻘﻮﻟﻪ ﺗﻊﺍﻟﻰ : ﺇﻥ ﺍﻟﺼﻼﺓ ﻛﺎﻧﺖ ﻋﻠﻰ ﺍﻟﻤﺆﻣﻨﻴﻦ ﻛﺘﺎﺑﺎ ﻣﻮﻗﻮﺗﺎ. ﺍﻟﻨﺴﺎﺀ : ،103 ﻭﻗﻮﻟﻪ : ﻛﺘﺐ ﻋﻠﻴﻜﻢ ﺍﻟﺼﻴﺎﻡ. ﺍﻟﺒﻘﺮﺓ : ،182 ﻛﺘﺐ ﻋﻠﻴﻜﻢ ﺍﻟﻘﺘﺎﻝ. ﺍﻟﺒﻘﺮﺓ ،216 : ﺃﻭ ﻓﻴﻤﺎ ﻫﻮ ﻭﺍﻗﻊ ﻗﺪﺭﺍ ﻻ ﻣﺤﺎﻟﺔ ، ﻛﻘﻮﻟﻪ : ﻛﺘﺐ ﺍﻟﻠﻪ ﻷﻏﻠﺒﻦ ﺃﻧﺎ ﻭﺭﺳﻠﻲ. ﺍﻟﻤﺠﺎﺩﻟﺔ : ،21 ﻭﻗﻮﻟﻪ : ﻭﻟﻘﺪ ﻛﺘﺒﻨﺎ ﻓﻲ ﺍﻟﺰﺑﻮﺭ ﻣﻦ ﺑﻌﺪ ﺍﻟﺬﻛﺮ ﺃﻥ ﺍﻷﺭﺽ ﻳﺮﺛﻬﺎ ﻋﺒﺎﺩﻱ ﺍﻟﺼﺎﻟﺤﻮﻥ. ﺍﻷﻧﺒﻴﺎﺀ : ،105 ﻭﻗﻮﻟﻪ : ﺃﻭﻟﺌﻚ ﻛﺘﺐ ﻓﻲ ﻗﻠﻮﺑﻬﻢ ﺍﻹﻳﻤﺎﻥ. ﺍﻟﻤﺠﺎﺩﻟﺔ 22 : .

Link Kitab : http://library.islamweb.net/newlibrary/display_book.php?flag=1&bk_no=81&ID=85


link dokumen :

 https://www.facebook.com/groups/kasarung/doc/633166516708090/

1103:KEUTAMAAN MENIKAHI PERAWAN DARIPADA JANDA

PERTANYAAN:

السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ
Perlu info sejelas"nya mengenai hadist nabi mengenai keperawanan:
"Alaikum bil abkaari fa
Innahunna 'adzabu afwaha
Wa antaqu arhaaman, wa
Askhonu aqbaalan wardloobil
Yasiri minal 'amali"
Kapankah hadist ini d turunkan? Mengapa?
Dan apakah hanya ini aja isi hadistnya? Krena kalau spenggal ini aja
ada konotasi yg ƍαќ baik.. Dan kesannya memojokkan para janda..


JAWABAN


Brojol Gemblung

Wa'alaikumussalam...

ﺍﻟﺠﺎﻣﻊ ﺍﻟﺼﻐﻴﺮ - ﺟﻼﻝ ﺍﻟﺪﻳﻦ ﺍﻟﺴﻴﻮﻃﻲ - ﺝ ٢ - ﺍﻟﺼﻔﺤﺔ :١٦٦ - ١٦٥

- (4) 5507 ﻋﻠﻴﻜﻢ ﺑﺎﻷﺑﻜﺎﺭ، ﻓﺈﻧﻬﻦ ﺃﻋﺬﺏ ﺃﻓﻮﺍﻫﺎ، ﻭﺃﻧﺘﻖ ﺃﺭﺣﺎﻣﺎ، ﻭﺃﺭﺿﻰ ﺑﺎﻟﻴﺴﻴﺮ

Hendaklah

kalian menikahi wanita gadis/perawan, karena mereka lebih segar (manis)

mulutnya [lembut dalam berbicara-pen.], lebih luas rahimnya [banyak

anaknya-pen.], dan lebih rela dg (pemberian) yg sedikit

(5) 5508 - ﻋﻠﻴﻜﻢ ﺑﺎﻷﺑﻜﺎﺭ، ﻓﺈﻧﻬﻦ ﺃﻧﺘﻖ ﺃﺭﺣﺎﻣﺎ، ﻭﺃﻋﺬﺏ ﺃﻓﻮﺍﻫﺎ، ﻭﺃﻗﻞ ﺧﺒﺎ، ﻭﺃﺭﺿﻰ ﺑﺎﻟﻴﺴﻴﺮ

Hendaklah

kalian menikahi wanita gadis/perawan, karena mereka lebih luas rahimnya

[banyak anaknya-pen.], lebih segar (manis) mulutnya [lembut dalam

berbicara-pen.], lebih sedikit tipu dayanya, dan lebih rela dg

(pemberian) yg sedikit

(6) 5509 - ﻋﻠﻴﻜﻢ ﺑﺎﻷﺑﻜﺎﺭ، ﻓﺈﻧﻬﻦ ﺃﻋﺬﺏ ﺃﻓﻮﺍﻫﺎ، ﻭﺃﻧﺘﻖ ﺃﺭﺣﺎﻣﺎ، ﻭﺃﺳﺨﻦ ﺃﻗﺒﺎﻻ، ﻭﺃﺭﺿﻰ ﺑﺎﻟﻴﺴﻴﺮ ﻣﻦ ﺍﻟﻌﻤﻞ

Hendaklah

kalian menikahi wanita gadis/perawan, karena mereka lebih segar (manis)

mulutnya [lembut dalam berbicara-pen.], lebih luas rahimnya [banyak

anaknya-pen.], lebih hangat kedatangannya / sambutannya [dalam meminta

maaf-pen.], dan lebih rela dg (pemberian) yg sedikit

ﺷﺮﺡ ﻣﺴﻨﺪ ﺃﺑﻲ ﺣﻨﻴﻔﺔ - ﻣﻼ ﻋﻠﻲ ﺍﻟﻘﺎﺭﻱ - ﺍﻟﺼﻔﺤﺔ ٢٣١ :

ﻭﺑﻪ

ﻋﻦ ﻋﺒﺪ ﺍﻟﻠﻪ ﺑﻦ ﺩﻳﻨﺎﺭ، ﻋﻦ ﺍﺑﻦ ﻋﻤﺮ ﻗﺎﻝ: ﻗﺎﻝ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﻟﻠﻪ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ:

"ﺍﻧﻜﺤﻮﺍ" ﺑﻬﻤﺰﺓ ﺍﻟﻮﺻﻞ ﻭﻛﺴﺮ ﺍﻟﻜﺎﻑ ﺃﻱ ﺗﺰﻭﺟﻮﺍ "ﺍﻟﺠﻮﺍﺭﻱ" ﺃﻱ ﺍﻟﺒﻨﺎﺕ ﺍﻟﺸﺎﺑﺎﺕ

ﺃﻱ ﺍﻷﺑﻜﺎﺭ ﻭﺍﻟﺼﻐﺎﺭ "ﻓﺈﻧﻬﻦ ﺃﻧﺘﺞ ﺃﺭﺣﺎﻣﺎ" ﺃﻱ ﺃﺳﺮﻉ ﻭﻻﺩﺓ، "ﻭﺃﻃﻴﺐ ﺃﻓﻮﺍﻫﺎ" ﺃﻱ

ﺃﺣﺴﻦ ﻣﻜﺎﻟﻤﺔ ﺃﻭ ﺃﻋﺬﺏ ﻣﻼﻳﻤﺔ ،"ﻭﺃﻋﺰ ﺃﺧﻼﻗﺎ" ﺃﻱ ﻓﻲ ﺑﺎﺏ ﺍﻟﻤﻌﺎﺷﺮﺓ ﻭﺍﻟﻤﺒﺎﺷﺮﺓ.

Dari

'Abdillah bin Dinar dari Ibni 'Umar berkata : Rasulullah saw. bersabda :

Menikahlah kalian semua dg wanita perawan dan wanita yg masih muda

karena mereka lebih berisi rahimnya, lebih wangi mulutnya, dan lebih

mulia kepribadiannya

ﻗﺪ

ﺭﻭﻯ ﺍﺑﻦ ﻣﺎﺟﺔ ﻭﺍﻟﺒﻴﻬﻘﻲ، ﻋﻦ ﻋﻮﻳﻢ ﺑﻦ ﺳﺎﻋﺪﺓ ﻣﺮﻓﻮﻋﺎ: " ﻋﻠﻴﻜﻢ ﺑﺎﻷﺑﻜﺎﺭ ﻓﺈﻧﻬﻦ

ﺃﻋﺬﺏ ﺃﻓﻮﺍﻫﺎ ﻭﺃﻧﺘﻖ ﺃﺭﺣﺎﻣﺎ ﻭﺃﺭﺿﻰ ﺑﺎﻟﻴﺴﻴﺮ ،" ﺃﻱ ﻣﻦ ﺍﻟﻌﻤﻞ ﻛﻤﺎ ﻓﻲ ﺭﻭﺍﻳﺔ. ﻭﺯﻳﺪ

ﻓﻲ ﺭﻭﺍﻳﺔ" : ﻭﺃﻗﻞ ﺧﺒﺎ " ﺃﻱ ﺧﺪﺍﻋﺎ! ﻭﻓﻲ ﺃﺧﺮﻯ: " ﻭﺃﺳﺨﻦ ﺃﻗﺒﺎﻻ " ﻃﻠﺐ ﺍﻟﻌﺎﻓﻴﺔ .

أسنى المطالب الجزء الثالث ص 108 :

ﻓﺼﻞ:

ﺍﻟﺒﻜﺮ ﺃﻱ ﻧﻜﺎﺣﻬﺎ ﺃﻭﻟﻰ ﻣﻦ ﻧﻜﺎﺡ ﺍﻟﺜﻴﺐ ﻟﺨﺒﺮ ﺍﻟﺼﺤﻴﺤﻴﻦ ﻋﻦ ﺟﺎﺑﺮ: ﻫﻼ ﺑﻜﺮﺍ

ﺗﻼﻋﺒﻬﺎ ﻭﺗﻼﻋﺒﻚ. ﻭﺭﻭﻯ ﺍﺑﻦ ﻣﺎﺟﻪ ﺧﺒﺮ: ﻋﻠﻴﻜﻢ ﺑﺎﻷﺑﻜﺎﺭ ﻓﺈﻧﻬﻦ ﺃﻋﺬﺏ ﺃﻓﻮﺍﻫﺎ ﺃﻱ

ﺃﻟﻴﻦ ﻛﻼﻣﺎ ﻭﺃﻧﺘﻖ ﺃﺭﺣﺎﻣﺎ ﺃﻱ ﺃﻛﺜﺮ ﺃﻭﻻﺩﺍ ﻭﺃﺭﺿﻰ ﺑﺎﻟﻴﺴﻴﺮ .



Ken Arieadie

maaF

sebagai tambahan aja...adaa sebuah riwayat dikatakan, ketika seorang

sahabat yang masih bujangan itu ingin menikah apa yang ditanya

Rasulullah padanya? Apakah ia perawan atau janda? jawab sahabat tersebut

"sudah janda", apa jawab Rasulullah ketika itu? kenapa tidak kamu

nikahi yang masih perawan agar bisa kamu mainkan.Hadist Nabi Muhammad

saw yang menegaskan pentingnya makna keperawanan bagi seorang gadis

hingga Nabi Muhammad mewanti-wanti kaum pria untuk lebih condong memilih

perawan.Anjuran Nabi Muhammad untuk lebih memprioritaskan menikahi

gadis perawan meski tidak melarang untuk menikahi janda, diartikan

sebagai upaya dalam ajaran islam untuk lebih melindungi kaum wanita dari

perbuatan zina "selain itu, dengan menikahi gadis yang masih perawan

juga timbul gairah bagi pasangannya sekaligus menghilangkan prasangka

negatif terhadap perempuan yang menjadi jodohnya"

LINK DOKUMEN :

https://www.facebook.com/groups/kasarung/doc/629433473748061/

1102: "UCAPAN SELAMAT YANG DI ANJURKAN DALAM ISLAM"

"UCAPAN SELAMAT YANG DI ANJURKAN DALAM ISLAM"


MENGUCAPKAN SELAMAT DALAM PANDANGAN AHLUS SUNNAH WAL JAMA’AH
الحاوي للفتاوي للسيوطي -(ج 1 / ص 112)
وصول الأماني بأصول التهاني
[مقدمة]
بسم الله الرحمن الرحيم
الحمد لله وسلام على عباده الذين اصطفى وبعد فقد طال السؤال عن ما اعتاده
الناس منالتهنئة بالعيد والعام والشهر والولايات ونحو ذلك هل له أصل في
السنة فجمعتهذا الجزء في ذلك وسميته وصول الأماني بأصول التهاني.
Al-Imam As-Syuthy dalam kitabnya “Al-Hawi lilfatawa liAs-Suyuthy” berkata:
Bismillahirrahmanirr­ahim, segala puji bagi Allah Swt dan semoga salam
selalu tercurahkan kepada hamba2nya yang telah dipilih,, waba’du, benar2
panjang/banyak sekali pertanyaan dari pada apa yang telah menjadi
kebiasaan manusia dalam mengucapkan selamat ‘id/hari raya, tahun-an,
bulan-an, kekuasaan, dan semacam itu, apakah ada dasarnya dari sunnah
Nabi Muhammad Saw,,??, maka kemudian aku kumpulkan dalil2 dari sunnah
dalam permasalahan ini, dan aku memberi nama terhadap pembahasan ini
dengan “wushulu al-amani bi ushuli at-tahani (Tergapainya cita-cita dan
harapan oleh aneka doa dan ucapan selamat)”
berikut kurang lebihnya paparan beliau :

UCAPAN SELAMAT SEBAB KENAIKAN PANGKAT/KEUTAMAAN YANG AGUNG
التهنئة بالفضائل العلية والمناقب الدينية
أخرج الشيخان عن أنس قال : ( أنزلت على النبي صلى الله عليه وسلّم ) ليغفر
لكالله ما تقدم من ذنبك وما تأخر( مرجعه من الحديبية ، فقال النبي صلى
الله عليه وسلّم:لقد نزلت على آية أحب إلي مما على وجه الأرض ثم قرأها
عليهم فقالوا : هنيئاً لك يا رسول الله ) الحديث ، وأخرج الحاكم في
المستدرك عن أسامة قال : ( تبعت رسول الله صلى الله عليه وسلّم إلى بيت
حمزة فلم نجده فقالت له امرأته : جئت يا رسول الله وأنا أريد أن آتيكوأهنئك
أخبرني أبو عمارةيعني حمزة أنك أعطيت نهراً فيالجنة يدعى الكوثر )....
Sahabat Anas ra. meriwayatkan sebuah hadits saat diturunkan pada
baginda Nabi Muhammad SAW sepulang dari Perang Hudaibiyyah sebuah ayat
Nabi Muhammad SAW bersabda : “Sungguh telah diturunkan padaku sebuah
ayat yang lebih aku sukai ketimbang apapun diatas bumi”, kemudian Nabi
SAW membaca ayat tersebut : “supaya Allah memberi ampunan kepadamu
terhadap dosamu yang telah lalu dan yang akan datang serta
menyempurnakan nikmat-Nya atasmu dan memimpin kamu kepada jalan yang
lurus,”(QS. 48:2)
Kemudian para Sahabat berkata “ Selamat Wahai Rasulullah....!!!” (HR. Bukhori-Muslim)
al-Hakim dalam Kitab al-Mustadaaroknya meriwayatkan sebuah haditsdari
Sahabat Usaamah ra, ia berkata “Aku mengikuti Rasulullah SAW menuju
rumah Hamzah namun kami tidak menjumpainya, kemudian Istri Hamzah
berkata pada Rasulullah“Engkau telah datang Wahai Rasulullah sedang aku
berkeinginan mendatangimu dan memberi ucapan selamat kepadamu, Abu
‘Umarah (Hamzah)memberitahuku bahwa engkau telah diberi sebuah telaga
dalam surga yang diberi nama Telaga Kautsar”.(HR. Al-Hakim)

UCAPAN SELAMAT SETELAH TAUBAT
التهنئة بالتوبة
أخرج الشيخان عن كعب بن مالك في قصة توبته قال : ( وانطلقت أتأمم رسول
الله صلى الله عليه وسلّم يتلقاني الناس فوجاً فوجاً يهنئوني بتوبتي
ويقولون:ليهنك توبة الله عليك حتى دخلت المسجد فإذا رسول اللهصلى الله عليه
وسلّم حوله الناس فقام طلحة بن عبيد الله يهرول حتى صافحني وهنأني فكان
كعب لاينساها لطلحة ، قال كعب : فلما سلمت على رسول الله صلى الله عليه
وسلّم قال وهو يبرق وجهه من السرور : ( أبشر بخير يوم مر عليك منذ ولدتك
أمك ) .
Diceritakan dari Sahabat Ka’b Bin Malik ra, ia berkata “Aku
berangkat hendak menemui Rasulullah SAW namun orang-orang menemuiku
berbondong-bondong memberi ucapan selamat atas pertaubatanku seraya
berkata “Sungguh selamat atas diterimanya taubatmu oleh Allah hingga
engkau memasuki masjid”, sementara orang-orang berada disekeliling
Rasulullah SAW, kemudian Sahabat Tholhah Bin Abdullah berdiri dengan
tergesa-gesa hingga menjabat tanganku dan memberi ucapan selamat
kepadaku (karenanya Ka’b tidak dapat melupakan kejadian ini dengan
Thalhah).Sahabat Ka’b meneruskan kisahnya “Setelah aku mengucapkan salam
pada Rasulullah SAW, beliau berkata dengan berkilauan raut wajahnya
akibat suka citanya : Semoga kebaikan dihari-harimu semenjak engkau
dilahirkan ibumu bersamamu wahai Ka’b.. !!” (HR. Bukhori-Muslim)

UCAPAN SELAMAT SETELAH SEHAT
التهنئة بالعافية من المرض
أخرج الحاكم عن خوات بن جبير قال : ( مرضت فعادني النبي صلى الله عليه
وسلّم فلما برأت قال : ( صح جسمك يا خوات ) . وأخرج عبد الله بن أحمد في
زوائد الزهد عن مسلم بن يسار قال : كانوا يقولون للرجل إذا برأ من مرضه :
ليهنك الطهر .
Dari Khowwat Bin Jubair ra, ia berkata “Aku mengalami
sakit dan Rasulullah SAW menjengukku, saat aku sembuh beliau berkata
:Semoga sehat badanmu Wahai Khowwat..!!” (HR. Al-Hakim)
Abdullah Bin
Ahmad dalam kitab Zawaaid az-Zuhdi meriwayatkan sebuah hadits dari
Muslim Bin Yassaar ra, ia berkata “Para sahabat berkata saat melihat
seseorang sembuh dari sakitnya : Sungguh selamat atas kesucianmu..!!”

UCAPAN SELAMAT SELEPAS MERAMPUNGKAN HAJI

    التهنئة بتمام الحج
    أخرج

    البزار عن عدوة بن مضرس قال : أتيت النبي صلى الله عليه وسلّم بمنى فقال :

    ( أفرخ روعك يا عروة ) قال في الصحاح : أفرخ الروع أي ذهب الفزع ، يقال

    ليفرخ روعك أي ليخرج عنك فزعك كمايخرج الفرخ عن
    البيضة

    . وأفرخ روعك يا فلان أي سكن جأشك ، قال الميداني : وهو فيهذا متعد وفي

    الأول لازم ، وأخرج الشافعي في الأم عن محمد بن كعب القرظي قال : ( حج آدم

    عليه السلام فتلقته الملائكة ) فقالوا : برنسْككيا آدم ) .
    ‘Urwah

    Bin Mudhorris meriwayatkan sebuah hadits“Aku mendatangi Rasulullah ­SAW

    ditanah Mina, beliau bersabda : Selamat, keluarlah engkau dari

    ketakutanmu Wahai ‘Urwah..!!”
    Imam

    Syafi’i meriwayatkan dari Muhammad Bin Ka’b al-Qardhi dalam kitab

    al-Umm “Nabi Adam As, menjalani haji dan para Malaikat menemuinya seraya

    berk­ata : Semoga hajimu diterima wahai Adam.”

    UCAPAN SELAMAT SEPULANG HAJI
    التهنئة بالقدوم من الحج
    أخرج

    ابن السني ، والطبراني عن ابن عمر قال : ( جاء غلام إلىالنبي صلى الله

    عليه وسلّمفقال : إني أحج فمشى معه النبي صلى الله عليه وسلّمفقال : يا

    غلام زودك الله التقوى ووجهك الخير وكفاك الهم ) فلما رجع الغلام سلم على

    النبي صلى الله عليه وسلّم فقال : ( يا غلام قبل الله حجك وغفر ذنبك وأخلف

    نفقتك ) وأخرج سعيد بن منصور في سننه عن ابن عمر أنه كان يقول للحاج إذا

    قدم : تقبل الله نسكك وأعظم أجركوأخلف نفقتك .
    Dari

    Ibn Umar ra, ia berkata “Seorang pemuda datang menemui Rasulullah SAW,

    ia berkata : Aku akan menunaikan haji” Rasulullah SAW berkata “Wahai

    anak muda, semoga Allah membekalimu ketakwaan,menjumpaka­nmu kebaikan

    dan mencukupimu dari kesusahan”Saat pemuda tersebut kembali dari haji,

    ia memberi salam pada Rasulullah SAW, beliaupun menjawab salam seraya

    berkata “Wahai anak muda, semoga Allah menerima hajimu, mengampuni

    dosamu dan memperbaiki nafkahmu” (HR. Ibn Sinni danat-Thobrooni)
    Dan

    Said Bin Mansur meriwayatkan dari Ibn Umar ra, sesungguhnya beliau

    berkata saat orang haji pulang “Semoga Allah menerima ibadahmu,

    membesarkan pahalamu dan memperbaiki nafkahmu”.

    UCAPAN SELAMAT DALAM PERNIKAHAN
    التهنئة بالنكاح
    أخرج

    أبو داود ، والترمذي ، وابنماجه عن أبي هريرة : ( أن النبي صلى الله عليه

    وسلّمكان إذا رفأ الإنسان إذا تزوج قال : ( بارك الله لك وبارك عليك وجمع

    بينكما في خير ) وأخرج ابن ماجه ، وأبو يعلى عن عقيل بن أبي طالب

    أنه تزوج فقيل له بالرفاء والبنين فقال : لا تقولوا هكذا ولكن قولوا كما

    قال رسول الله صلى الله عليه وسلّم : ( على الخير والبركة بارك الله لك

    وبارك عليك ) وأخرج الطبراني عن هبار ( أن النبي صلى الله عليه وسلّمشهد

    نكاح رجل فقال : ( على الخير والبركة والألفة والطائر الميمون والسعة في

    الرزق بارك الله لكم ) .
    Diriwayatkan

    oleh Abu Hurairah ra, ia berkata “Sesungguhnya Nabi SAW saat mendoakan

    seseorang yang menjalani pernikahan berkata : Semoga keberkahan Allah

    untukmu, semoga keberkahan Allah atasmu dan semoga kalian dikumpulkan

    dalam kebaikan” (HR. Abu Daud, at-Turmudzi dan Ibn Maajah)
    Diriwayatkan

    oleh A’Uqail Bin Abu Tholib ra, ia berkata “Sesungguhnya ia menjalani

    pernikahan, maka ia diberi ucapan doa dan keturunan,ia berkata : Jangan

    kalian beri ucapan demikian tetapi ucapkan sebagaimana sabda Rasulullah

    SAW: Semoga dalam kebaikan dan keberkahan, semoga keberkahan Allah

    untukmu dan semoga keberkahan Allah atasmu”.(HR. Ibn Maajah dan Abu

    Ya’la)
    Diriwayatkan

    oleh sahabat Habbaar ra, ia berkata “Sesungguhnya Nabi Saw menyaksikan

    pernikahan seorang lelaki kemudian beliau berdoa “Semoga senantiasa

    dalam kebaikan, keberkahan, cinta kasih, bagian keberuntungan dan

    kelapangan rizki, semoga Allah memberi keberkahan pada kalian” (HR.

    At-Thobrooni).

    UCAPAN SELAMAT ATAS KARUNIA ANAK
    التهنئة بالمولود
    أخرج

    ابن عساكر عن كلثوم بنجوشن قال : جاء رجل عند الحسن وقد ولد له مولود فقيل

    له يهنيك الفارس فقالالحسن : وما يدريك أفارس هو ؟قالوا : كيف نقوليا أبا

    سعيد؟ قال : تقول بورك لك في الموهوب وشكرتالواهب ورزقت
    بره

    وبلغ أشده. وأخرج الطبراني في الدعاء من طريق السري بن يحيى قال: ولد لرجل

    ولد فهنأه رجل فقال : ليهنك الفارس فقال الحسن البصري : وما يدريك ؟قل

    جعلهالله مباركاً عليك وعلى أمة محمد ، ومن طريق حمادبن زيد قال : كان أيوب

    إذا هنأ رجلاً بمولود قال : جعله الله مباركاًعليك وعلى أمة محمد .
    Ibn

    ‘Asyaakir meriwayatkan dari Kultsum Bin Jausyan, ia berkata “Seorang

    lelaki mendatangi Hasan (al-Bashri) yang tengah dikaruniai seorang anak,

    ia memberi ucapan : “Sungguh selamat untukmu atas seorang

    pahlawan”,Al-Hasan berkata“Apa yang engkau ketahui tentang pahlawan ?”

    Lelaki tersebut berkata “Apa yang (mestinya)aku ucapkan wahai Abu Sa’id

    ?” “Katakanlah... !!, Semoga engkau diberi keberkahan dalam anak yang

    diberikan padamu, mampu bersyukur pada pemberinya, dianugerahi akan

    berbaktinya dan ia tumbuh menjadi dewasa”.
    Dalam

    jalur lain dari riwayat as-Sirri bin Yahya, at-Thobroni meriwayatkan

    “Seorang lelaki dikaruniai anak, kemudian seseorang memberi ucapan :

    Sungguh selamat untukmu atas seorang pahlawan”,
    Al-Hasan

    berkata “Apa yang engkau ketahui tentang pahlawan ?” Katakanlah,..!!

    Semoga Allah menjadikannya keberka­han untukmu dan menjadi umat

    Muhammad”.
    Sedang

    dari jalur Hammad Bin Zaid disebutkan“Sesungguh­nya Ayyub saat memberi

    ucapan selamat pada seseorang yang diberikan anak berkata : Semoga Allah

    menjadikannya keberka­han untukmu dan menjadi umat Muhammad”.

    UCAPAN SELAMAT SAAT MEMASUKI BULAN RAMADHAN
    التهنئة بشهر رمضان
    أخرج

    الأصبهاني في الترغيب عن سلمان الفارسي قال : ( خطب رسول الله صلى الله

    عليه وسلّم في آخر يوم من شعبان فقال : ( أيها الناس أنه قد أظلكم شهر عظيم

    شهرمبارك شهر فيه ليلة خيرمن ألف شهر ) الحديث ، قال ابن رجب : هذا الحديث

    أصل في التهنئة بشهر رمضان .
    Dari

    Salman al-Farisy ra, ia berkata “Rasulullah SAW berkhutbah diakhir

    bulan Sya’ban,beliau bersanda dalam khutbahnya: Wahai manusia, sungguh

    aku telah menaungi kalian dengan bulan yang agung, bulan yang

    diberkahi,bulan yang didalamnya terdapat malam yang lebih utama

    ketimbang seribu bulan... dan seterusnya” (HR. Al-Ashbahani)
    Ibn Rajab berkata “Hadits inilah yang dijadikan dasar atas ucapan selamat saat memasuki bulan Ramadhan”.

    UCAPAN SELAMAT DIHARI RAYA
    التهنئة بالعيد
    أخرج

    الطبراني في الكبير ، وزاهر بن طاهر في تحفة عيد الأضحى عن حبيب بن عمر

    الأنصاري قال : حدثني أبي قال: لقيت وائلة رضي الله عنه يوم عيد فقلت :

    تقبل الله منا ومنك ، فقال : تقبل الله منا ومنك . وأخرج الأصبهاني في

    الترغيب عن صفوان بن عمرو السكسكي قال : سمعت عبد الله بن بشر، وعبد الرحمن

    بن عائذ ، وجبيربن نفير ، وخالد بن معدان يقال لهم في أيام الأعياد : تقبل

    الله منا ومنكم ويقولون ذلك لغيرهم . وأخرج الطبراني في الدعاء ، والبيهقي

    عن راشد بنسعد أن أبا أمامة ، وواثلة لقياه فييوم عيد فقالا : تقبل الله

    منا ومنك .
    Imam

    at-Thobroni meriwayatkan hadits dalam kitab al-Kabirnya, Zahir Bin

    Thohir meriwayatkan dalam kitab Tuhfah ‘Iid al-Adhaa dari Habib Bin Umar

    al-Anshaari ra, ia berkata “Ayahku berkata padaku, aku bertemu Wa’ilah

    ra dihari raya kemudian aku berucap: TAQABBALALLAAHU MINNAA WA MINKA,

    semoga Allah menerima dari kami dan darimu, ia pun berucap

    :TAQABBALALLAAHU MINNAA WAMINKA, semoga Allah menerima dari kami dan

    darimu”.
    Al-Ashbahany

    dalam kitab at-Targhib meriwayatk­an dari Shofwan Bin Amr as-Saksaky,

    ia berkata “Aku mendengar Abdullah Bin Basyr, Abdurrohman Bin

    ‘Aid,Jubair Bin nafiir, Kholid Bin Mi’daan ucapan : TAQABBALALLAAHU

    MINNAA WA MINKUM, semoga Allah menerima dari kami dan dari kalian,

    merekapun pun berucap : TAQABBALALLAAHU MINNAA WAMINKA, semoga Allah

    menerima dari kami dan dari kalian” pada lainnya.”
    Imam

    at-Thobroni dalam kitab ad-Du’a, al-Baehaqi dari Rasyid BinSa’d

    meriwayatkan “sesungguhnya Abu Umamah dan Wailah menemuinya dihari raya

    dengan memberi ucapan : TAQABBALALLAAHU MINNAA WAMINKA, semoga Allah

    menerima dari kami dan darimu”.

    - KESIMPULAN
    Dengan

    demikian pemberian ucapan selamat diberbagai moment seperti saat

    lebaran, ulang tahun, kenaikan pangkat, pernikahan dan sebagainya yang

    terjadi disekeliling kita ini bukanlah hal yang baru karena praktek

    demikian telah berlangsung semenjak Nabi Muhammad Saw sendiri dan para

    sahabat-sahabat beliau, bahkan Ibn Hajar al-Haitamy dalam kitab

    al-Fataawaal-Fiqhiyy­ah al-Kubranya berdasarkan dasar-dasar hadits

    diatas menegaskan tentang hukum SUNNAHNYA.
    lihat al-Fataawaal-Kubra 4/243
    نعم التهنئة بالعيد والشهورسنة
    Wallaahu A’lamu Bis Showaab...

link dokumen : https://www.facebook.com/groups/kasarung/doc/627620713929337/