oleh : Aryo Mangku Langit
<=MAHAR DALAM HUKUM ISLAM =>
========================
Mahar atau maskawin yang dalam kitab-kitab fiqh klasik disebut juga
dengan shadaq, nihlah, faridlah, ‘aliqah, ‘iqar atau ajr adalah harta
yang diberikan oleh pihak mempelai laki-laki (atau keluarganya) kepada
mempelai perempuan (atau keluarganya) pada saat akad pernikahan. Syeikh
Taqiyuddin Abu Bakr Bin Muhammad al-Husaini dalam kitabnya Kifayah
al-Akhyar mendefinisikan mahar sebagai berikut:
اسم للمال الواجب للمرأة على الرجل بالنكاح أو الوطء
Artinya: sebutan untuk harta yang wajib diberikan kepada seorang
perempuan oleh seorang laki-laki karena sebab pernikahan atau wath’i.
Fuqaha berpendapat bahwa memberikan mahar hukumnya wajib. Hal ini
didasarkan pada firman Allah swt. dan sunnah Rasul-Nya. Adapun firman
Allah yang dimaksud adalah:
وَآَتُوا النِّسَاءَ صَدُقَاتِهِنَّ نِحْلَةً فَإِنْ طِبْنَ لَكُمْ عَنْ شَيْءٍ مِنْهُ نَفْسًا فَكُلُوهُ هَنِيئًا مَرِيئًا
“Berikanlah mahar (maskawin) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai
pemberian yang wajib. Kemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu
sebagian dari mahar itu dengan senang hati, Maka makanlah (ambillah)
pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap lagi baik akibatnya.” (Qs.
An-Nisa’ : 4).
Imam Ibn Jarir at-Thabary dalam kitab tafsirnya menjelaskan sabab al
nuzul ayat di atas. Bahwa sebelum ayat ini diturunkan, apabila ada
seorang bapak menikahkan anak perempuannya, atau kakak laki-laki
menikahkan adik perempuannya, maka mahar dari pernikahan tersebut
diambil dan dimiliki oleh sang ayah atau kakak laki-laki tersebut,
bukan oleh si perempuan yang dinikahi. Lalu Allah melarang hal tersebut
dan menurunkan ayat di atas.
Ibnu ‘Asyur dalam menjelaskan ayat ini mengatakan:
والمهر علامة معروفة للتفرقة بين النكاح وبين المخادنة ، لكنّهم في
الجاهلية كان الزوج يعطي مالاً لولي المرأة ويسمّونه حلواناً بضم الحاء ولا
تأخذ المرأة شيئاً ، فأبطل الله ذلك في الإسلام بأن جعل المال للمرأة
بقوله : وآتوا النساء صداقتهن نحلة
“Mahar merupakan ciri (simbol) yang dikenal untuk membedakan antara
pernikahan dengan mukhadanah. Hanya saja dalam masyarakat Jahiliyah ada
kebiasaan dimana mempelai laki-laki memberikan sejumlah harta kepada
wali dari perempuan yang ia kehendaki yang biasa mereka sebut hulwan
(dengan dlammah ha) dan si perempuan sama sekali tidak mendapatkan
apa-apa. Maka Allah membatalkan hal tersebut dalam Islam dengan
menjadikan harta (mahar) tersebut sebagai milik perempuan tersebut
(isteri) dengan firman-Nya: “Berikanlah mahar (maskawin) kepada wanita
(yang kamu nikahi) sebagai pemberian yang wajib”.
Dalam hadis disebutkan tentang wajibnya mahar dalam pernikahan diantaranya:
التمس ولو خاتما من حديد
“Carilah olehmu (mahar) meskipun hanya sebuah cincin dari besi”. (HR. Bukhari).
Dalam konsep hukum Islam, mahar bukan merupakan “harga” dari seorang
perempuan yang dinikahi, sebab pernikahan bukanlah akad jual beli. Oleh
karenanya, tidak ada ukuran dan jumlah yang pasti dalam mahar, ia
bersifat relatif disesuaikan dengan kemampuan dan kepantasan dalam suatu
masyarakat. Rasulullah Saw mengajarkan kepada umatnya agar tidak
berlebihan di dalam menentukan besarnya mahar. Hal ini dimaksudkan agar
tidak menimbulkan kesulitan bagi para pemuda yang bermaksud untuk
menikah, karena mempersulit pernikahan akan berdampak negatif bagi
mereka yang sudah memiliki keinginan untuk menjalankannya. Dalam sebuah
hadits, Rasulullah saw. bersabda,
خيرهن أيسرهن صداقا
“Sebaik-baik perempuan adalah yang paling mudah (ringan) maskawinnya.” (HR. Ibn Hibban).
Mahar merupakan hak penuh mempelai perempuan. Hak tersebut tidak boleh
diambil oleh orang tua, keluarga maupun suaminya, kecuali bila perempuan
tersebut telah merelakannya. Namun, dalam budaya patriarkhi, mahar
seringkali dijelaskan sebagai bentuk lain dari transaksi jual beli.
Adanya pemahaman seperti ini diakui atau tidak telah memposisikan isteri
dalam posisi yang lebih rendah daripada suaminya. Oleh karenanya sang
suami merasa berkuasa atas diri, jiwa dan raga sang isteri, sehingga si
isteri harus taat kepada suaminya secara mutlak dalam kondisi apapun.
Hak-hak dasar si isteri pun terkadang menjadi terabaikan bahkan menjadi
hilang, karena sang suami merasa bahwa dirinya sudah membeli isterinya
dengan mahar yang ia berikan pada saat akad nikah. Pola pikir seperti
ini merupakan pola pikir masa jahiliyah, dimana kaum perempuan tidak
diakui eksistensinya, bahkan ia dianggap sebagai properti yang bisa
diwariskan dan diperjualbelikan..
Wallohu A'lam Bisshowab
Johor Bahru'22 oktober 2012
========18;29=======
Dari berbagai Sumber,
Tidak ada komentar:
Posting Komentar