abda “Akan terjadi perselisihan setelah wafatnya seorang pemimpin,
maka keluarlah seorang lelaki dari penduduk Madinah mencari
perlindungan ke Mekkah, lalu datanglah kepada lelaki ini beberapa orang
dari penduduk Mekkah, lalu mereka membai’at Imam Mahdi secara paksa,
maka ia dibai’at di antara Rukun dengan Maqam Ibrahim (di depan
Ka’bah). Kemudian diutuslah sepasukan manusia dari penduduk Syam, maka
mereka dibenamkan di sebuah daerah bernama Al-Baida yang berada di
antara Mekkah dan Madinah.” (HR Abu Dawud 3737)
Pesan
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam, “Ketika kalian melihatnya
(kehadiran Imam Mahdi), maka berbai’at-lah dengannya walaupun harus
merangkak-rangkak di atas salju karena sesungguhnya dia adalah
Khalifatullah Al-Mahdi.” (HR Abu Dawud 4074)
Banyak ghazawat (perang) akan dipimpin Imam Mahdi. Dan –subhaanallah- Allah akan senantiasa menjanjikan kemenangan baginya.
Rasulullah
shallallahu alaihi wasallam “Kalian perangi jazirah Arab dan Allah
beri kalian kemenangan. Kemudian Persia (Iran), dan Allah beri kalian
kemenangan. Kemudian kalian perangi Rum, dan Allah beri kalian
kemenangan. Kemudian kalian perangi Dajjal,dan Allah beri kalian
kemenangan.” (HR Muslim 5161)
Dalam hadits di atas yang
diperangi pertama kali adalah jazirah Arab karena pada akhir zaman
nanti jazirah Arab, pada masa akhir babak Mulkan Jabbriyyan
(penguasa-penguasa yang memaksakan kehendak seraya mengabaikan kehendak
Allah dan RasulNya) mereka akan kembali mengalami masa jahiliyah ,
keadaan mereka benar-benar mengabaikan kehendak Allah dan RasulNya
Kemudian terakhir memerangi Dajjal.
Rasulullah masuk ke
kamarku dalam keadaan aku sedang menangis. Beliau berkata kepadaku:
‘Apa yang membuatmu menangis?’ Aku menjawab: ‘Saya mengingat perkara
Dajjal maka aku pun menangis.’ Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
berkata: ‘Jika dia keluar sedang aku masih berada di antara kalian
niscaya aku akan mencukupi kalian. Jika dia keluar setelah aku mati maka
ketahuilah Rabb kalian tidak buta sebelah. Dajjal keluar bersama
orang-orang Yahudi Ashbahan hingga datang ke Madinah dan berhenti di
salah satu sudut Madinah. Madinah ketika itu memiliki tujuh pintu tiap
celah ada dua malaikat yang berjaga. maka keluarlah orang-orang jahat
dari Madinah mendatangi Dajjal.”
Kekhalifahan dalam arti mengikat seluruh umat Islam atau jama’atul muslimin hanya dipimpin oleh seorang khalifah.
Dari
Abu Said al Khudriy bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wasallam
bersabda,”Apabila ada baiat kepada dua orang khalifah maka bunuhlah yang
terakhir dari keduanya.” (HR. Ahmad)
Rasulullah
shallallahu alaihi wasallam bersabda “bersabda,”Hendaklah engkau
berkomitmen (iltizam) dengan jama’atul muslimin dan imam mereka.” (HR.
Bukhori)
Sedangkan khalifah pada masa sekarang hanyalah
khalifah yang mengikat jama’ah minal muslim atau mengikat sekelompok
umat Islam dalam batas negara yakni penguasa negara dan batas-batas
lainnya seperti kesamaan visi dan misi kelompok seperti organisasi
kemasyarkatan (ormas), partai politik (parpol), lembaga swadaya
masyarakat (lsm) atau bentuk-bentuk organisasi lainnya.
Sehingga
hadits-hadits yang melarang bahkan mengancam seseorang melepaskan
baiatnya terhadap imam atau khalifah dari jama’atul muslimin tidak
berlaku lagi pada jama’ah minal muslimin seperti hadits yang
diriwayatkan dari Ibnu Umar bahwasanya Rasulullah shallallahu alaihi
wasallam bersabda,”Barangsiapa yang melepaskan tangannya (baiat) dari
suatu keaatan maka ia akan bertemu Allah pada hari kiamat tanpa adanya
hujjah (alasan) baginya. Dan barangsiapa mati sementara tanpa ada
baiat di lehernya maka ia mati seperti kematian jahiliyah.” (HR.
Muslim)
Para ahli fiqih mengatakan bahwa yang dimaksud
dengan baiat didalam hadits diatas adalah baiat imam kaum muslimin
atau khalifah kaum muslimin yang dibaiat oleh ahlul halli wal ‘aqdi
dari umat Islam. Hadits ini tidak bisa diterapkan kepada para penguasa
negeri di zaman ini atau pembesar partai (jamaah) karena setiap dari
mereka bukanlah imam (pemimpin) dari seluruh kaum muslimin.
Al
Mawardi mengatakan bahwa apabila ahlul halli wal ‘aqdi di dalam
pemilihan melihat ahlul imamah memenuhi persyaratan maka hendaklah ahlul
halli wal ‘aqdi mengedepankan untuk dibaiat orang yang lebih utama
dan lebih sempurna persyaratannya diantara mereka dan hendaklah
manusia segera menaatinya dan tidak berhenti untuk membaiatnya.
Untuk
itu ahlul halli wal ‘aqdi dari kaum muslimin adalah orang-orang yang
berwenang memilih imam kaum muslimin dan khalifah mereka dan pendapat
orang-orang awam tidaklah dianggap terhadap kesahan baiat. Ar Romli
dari ulama Syafi’i mengatakan bahwa baiat yang dilakukan oleh selain
ahlul halli wal ‘aqdi dari kalangan awam tidaklah dianggap.
Imam
Nawawi meletakkan hadits Ibnu Umar diatas pada bab “Kewajiban Bersama
Jamaah Kaum Muslimin..”. Maksud dari hadits itu adalah bahwa
barangsiapa yang mati tanpa ada baiat dilehernya maka matinya seperti
kematian jahiliyah yaitu ketika terdapat imam syar’i saja. Inilah
pemahaman yang benar dari hadits itu bahwa jika terdapat imam syar’i
yang memenuhi berbagai persyaratan kelayakan untuk dibaiat dan tidak
terdapat padanya hal-hal yang menghalanginya maka wajib bagi setiap
muslim untuk bersegera memberikan baiatnya apabila ahlul halli wal
‘aqdi memintanya atau meminta darinya dan tidak boleh bagi seorang pun
yang bermalam sementara dirinya tidak memiliki imam.
Kesimpulannya
pada saat kondisi yang ada pada masa sekarang adalah jam’ah minal
muslim atau kaum muslim dalam kesatuan negara (nation state) maka
ketaatan kepada para pakar fiqih atau para ulama yang menguasai
hukum-hukum Allah lebih tinggi kedudukannya dibandingkan ketaatan kepada
para umara atau penguasa negeri
Sebagaimana yang telah disampaikan dalam tulisan pada http://mutiarazuhud.wordpress.com/2013/10/21/demi-ukhuwah-islamiyah/
bahwa sebaiknyalah seluruh ormas atau seluruh kelompok kaum muslim
atau seluruh jama’ah minal muslimin harus mengedepankan Ukhuwah
Islamiyyah dan meninggalkan “baju” ormasnya atau kebanggaan terhadap
kelompoknya ketika berselisih dan mentaati ulil amri setempat yakni
para fuqaha.
Contohnya pihak yang dapat mengeluarkan
fatwa sebuah peperangan adalah jihad atau jahat hanyalah ulil amri
setempat yakni para fuqaha setempat karena ulama di luar negara (di
luar jama’ah minal muslimin) tidak terbebas dari fitnah
Orang-orang
yang mentaati pemimpin di luar negara (di luar jama’ah minal
muslimin), hukumnya adalah seperti orang yang melanggar piagam Madinah
yang menyunjung persatuan dan kesatuan kaum muslim.
Kita
seharusnya mendahulukan ketaatan kepada ulil amri di mana kita
tinggal (dalam negara atau dalam jama’ah minal muslimin) daripada
pemimpin organisasi lintas negara (organisasi trans nasional)
sebagaimana yang tercantum dalam piagam Madinah yang memuat keharusan
mentaati Nabi Muhammad Shallallahu alaihi wasallam yang ketika itu
sebagai ulil amri dalam jama’atul muslimin
***** awal kutipan *****
Pasal 1
Sesungguhnya mereka satu bangsa negara (ummat), bebas dari (pengaruh dan kekuasaan) manusia.
Pasal 17
Perdamaian dari orang-orang beriman adalah satu
Tidak
diperkenankan segolongan orang-orang yang beriman membuat perjanjian
tanpa ikut sertanya segolongan lainnya di dalam suatu peperangan di
jalan Tuhan, kecuali atas dasar persamaan dan adil di antara mereka
Pasal 36 ayat 1
Tidak seorang pun diperbolehkan bertindak keluar, tanpa ijinnya Muhammad Shallallahu alaihi wasallam
***** akhir kutipan *****
Konflik-konflik
yang terjadi di negara kaum muslim berada seperti Somalia,
Afghanistan, Irak, Libya, Pakistan, Mesir dan lain lain, pada
kenyataanya disebabkan mereka yang memaksakan syariat Islam berdasarkan
Al Qur’an dan As Sunnah namun bersandarkan mutholaah (menelaah kitab)
secara otodidak (shahafi) dengan akal pikiran mereka sendiri
bermazhab dzahiriyyah yakni berpendapat, berfatwa, beraqidah
(beri’tiqod) selalu berpegang pada nash secara dzahir (makna dzahir)
atau memahaminya berdasarkan arti bahasa (lughot) dan istilah
(terminologi) saja. Hal ini telah disampaikan dalam tulisan pada http://mutiarazuhud.wordpress.com/2013/07/29/solusi-atasi-konflik/
Dalam
sejarah negara kita, dahulu terjadi pemberontakan yang dilakukan oleh
mereka yang menyebut dirinya Darul Islam atau Tentara Islam Indonesia
(yang biasa disingkat DI/TII) di bawah pimpinan SM. Kartosuwiryo. Dia
mempunyai latar belakang pendidikan Barat bukan seorang santri dari
sebuah pesantren. Bahkan diceritakan orang bahwa ia tidak pernah
mempunyai pengetahuan yang benar tentang bahasa Arab dan agama Islam.
Kita
dapat mengambil pelajaran dari Somalia bahwa kehancuran negara
tersebut terjadi diakibatkan orang-orang yang memaksakan syariat Islam
bersandarkan mutholaah (menelaah kitab) secara otodidak (shahafi)
dengan akal pikirannya masing masing sehingga timbul perselisihan di
antara faksi.
Sebagaimana diketahui, setelah Syarif
diangkat menjadi pemimpin Somalia pada Januari 2009 lalu, faksi pejuang
Somalia terbagi menjadi dua, antara pendukung dan penentang.
Sebagian
kelompok Mahakim Al Islami, yang dipimpin oleh Syeikh Abdul Qadir Ali
Umar, Harakah Al Ishlah (Ikhwan Al Muslimun), Harakah Tajammu’ Al
Islami dan Jama’ah Ahlu Sunnah wa al Jama’ah adalah 4 faksi menyatakan
dukungan kepada Syarif.
Sedangkan Harakah As Syabab
Al Mujahidin serta Al Mahakim Al Islami wilayah Asmarah, Al Jabhah Al
Islamiyah serta Mu’askar Anuli, yang bergabung dalam Hizb Al Islami.
Syeikh
Syarif sebagai kepala pemerintahan transisi menegaskan, “Islam adalah
dasar dalam setiap gerak pemerintah Somalia.” Akan tetapi Syeikh
Syarif menolak pemikiran Syabab Mujahidin yang menurutnya masih jauh
dari konsep Islam ideal.
Begitupula konflik di Mesir
diakibatkan sekelompok umat Islam yang tidak dapat melepaskan "baju"
ikhwanul muslimin untuk mentaati para fuqaha (mufti) di Mesir.
Saat
ini mufti agung Mesir adalah Prof. Dr. Syauqi Ibrahim Abdul Karim
‘Allam. Salah satu syarat sebagai mufti Agung Mesir adalah lulusan Ph.D.
Al-Azhar -tulen Al-Azhar dari sekolah dasar hingga strata tiga-,
berpegang teguh kepada metode Al-Azhar. Sanad talaqqi dalam aqidah dan
mazhab fikih yang sampai saat ini dilestarikan salah satunya oleh ulama
dan universitas Al-Azhar Asy-Syarif. Hal inilah yang mengapa Al-Azhar
menjadi sumber ilmu keislaman selama berabad-abad. Karena manhaj yang
di gunakan adalah manhaj shahih talaqqi (mengaji dengan ulama) yang
memiliki sanad yang jelas dan sangat sistematis. Sehingga sarjana yang
menetas dari Al-azhar adalah tidak hanya ahli akademis semata tapi
juga alim serta selalu terjaga kemutawatiran sanad, kemurnian agama
dan akidahnya. Prof. Dr. Syauqi Ibrahim bermazhab Maliki namun
beliau menguasai ke empat Mazhab terlebih sejak Januari 2012 sampai
sekarang beliau telah diberi amanah sebagai Kepala Jurusan (Kajur)
bidang Fikih di Universitas Al Azhar, Thanta.
Serupa
pula dengan konflik di Suriah walaupun mereka mendapatkan penguasa
negeri seperti Baasar Asaad namun konflik berkelanjutan karena umat
Islam tidak menaati para fuqaha (mufti) di Suriah seperti Mufti Besar
Suriah Ahmah Badr-Eddin Hassoun menegaskan bahwa “Kami tidak berpihak
pada pemerintahan otoriter, kami berpihak pada kepentingan tanah air
untuk melawan semua senjata dari dunia yang menginginkan untuk
menghancurkan negara ini.”
Begitupula dalam tulisan pada http://mutiarazuhud.wordpress.com/2013/10/20/tetaplah-sebagai-ormas/
bahwa Prof.Dr Yunahar Ilyas, Lc, MA menyampaikan slogan
"“Muhammadiyah bukan Dahlaniyah” artinya Muhammadiyah hanyalah sebuah
organisasi kemasyarakatan atau jama’ah minal muslimin bukan sebuah
sekte atau firqoh yang mengikuti pemahaman KH Ahmad Dahlan karena KH
Ahmad Dahlan sebagaimana mayoritas kaum muslim (as-sawadul a’zham )
pada masa sekarang mengikuti Rasulullah shallallahu alaihi wasallam
dengan mengikuti Imam Mazhab yang empat.
Prof.Dr
Yunahar Ilyas, Lc, MA mengatakan bahwa Kyai Haji Ahmad Dahlan pada
masa hidupnya mengikuti fiqh mahzab Syafi’i, termasuk mengamalkan
qunut dalam shalat subuh dan shalat tarawih 23 rakaat. Beliau
menambahkan bawha tradisi fiqh di Muhammadiyah sebelum 1929 memang tak
berbeda jauh dari tradisi di NU sebagaimana informasi dari http://mutiarazuhud.files.wordpress.com/2013/07/kitab-fiqh-jilid-3-muhammadiyyah.pdf
Perubahan
di Muhammadiyah itu terjadi, diantaranya, karena pengaruh Haji Rasul
(Dr Syeikh Abdul Karim bin Amrullah ayah dari Buya Hamka) yang cukup
menentukan corak pemahaman fiqh Muhammadiyah. Adagium yg cukup dikenal:
Muhammadiyah lahir di Yogya, tapi secara ideologi dibentuk di Sumatra
Barat.”
Dr Syeikh Abdul Karim bin Amrullah
dipengaruhi oleh kitab-kitab karangan Ibnu Taimiyah, Ibnu Qaiyim,
Muhammad Abdul Wahhab dan terakhir sekali ialah karangan Muhammad
Abduh dan karangan Saiyid Rasyid Ridha terutama Tafsir al-Manar.
Syeikh
Ahmad Khatib Al-Minangkabawi, guru dari Dr Syekh Abdul Karim bin
Amrullah yang merupakan ulama besar Indonesia yang pernah menjadi imam,
khatib dan guru besar di Masjidil Haram, sekaligus Mufti Mazhab
Syafi’i pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20 menjelaskan dalam
kitab-kitab beliau seperti ‘al-Khiththah al-Mardhiyah fi Raddi fi
Syubhati man qala Bid’ah at-Talaffuzh bian-Niyah’, ‘Nur al-Syam’at fi
Ahkamal-Jum’ah’ bahwa pemahaman Ibnu Taimiyyah dan Ibnu Qoyyim Al
Jauziah menyelisihi pemahaman Imam Mazhab yang empat.
Beliau
(Syaikh Ibnu Hajar Al-Haitamy) berkata ” Maka berhati-hatilahkamu,
jangan kamu dengarkan apa yang ditulis oleh Ibnu Taimiyyah dan muridnya
Ibnul Qoyyim Al-Jauziyyah dan selain keduanya dari orang-orang yang
telah menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhannya dan Allah telah
menyesatkannya dari ilmu serta menutup telinga dan hatinya dan
menjdaikan penghalang atas pandangannya. Maka siapakah yang mampu
memberi petunjuk atas orang yang telahAllah jauhkan?”. (Al-Fatawa
Al-Haditsiyyah : 203)
Para ulama ahlus sunnah
terdahulu juga telah membantah pendapat atau pemahaman Ibnu Taimiyyah
yang telah banyak menyelisihi pendapat para ulama terdahulu yang
mengikuti Imam Mazhab yang empat sebagaimana contohnya termuat pada http://mutiarazuhud.files.wordpress.com/2010/02/ahlussunnahbantahtaimiyah.pdf atau pada http://mutiarazuhud.wordpress.com/2013/01/07/kontrofersi-paham-taimiyah/
Sebagaimana tulisan pada http://mutiarazuhud.wordpress.com/2012/04/22/kabar-waktu-lampau/
bahwa di dalam kitab “Risalah Ahlussunnah wal Jama’ah” karya
Hadratusy Syeikh Hasyim Asy’ari (pendiri pondok pesantren Tebuireng
Jombang Jawa Timur dan pendiri organisasi Nahdhatul Ulama) halaman
9-10 menasehatkan untuk tidak mengikuti pemahaman Muhammad bin Abdul
Wahhab , Ibnu Taimiyah, dan kedua muridnya, Ibnul Qoyyim dan Ibnu
Abdil Hadi
Begitupula wasiat ulama dari Malaysia, Syaikh Abdullah Fahimsebagaimana contohnya yang termuat pada http://hanifsalleh.blogspot.com/2009/11/wasiat-syeikh-abdullah-fahim.html
***** awal kutipan *****
Supaya
jangan berpecah belah oleh bangsa Melayu sendiri.Sekarang sudah ada
timbul di Malaya mazhab Khawarij yakni mazhab yang keluardari mazhab 4
mazhab Ahlis Sunnah wal Jama`ah. Maksud mereka itu hendakmengelirukan
faham awam yang sebati dan hendak merobohkan pakatan bangsa Melayuyang
jati. Dan menyalahkan kebanyakan bangsa Melayu.
Hukum-hukum
mereka itu diambil daripada kitab Hadyur-Rasulyang mukhtasar daripada
kitab Hadyul-’Ibad dikarang akan dia oleh Ibnul Qayyimal-Khariji,
maka Ibnul Qayyim dan segala kitabnya ditolak oleh ulama AhlisSunnah
wal Jama`ah.
***** akhir kutipan *****
Ustadz Ahmad Sarwat,Lc,.MA dalam tulisan pada http://www.rumahfiqih.com/x.php?id=1357669611&title=adakah-mazhab-salaf.htm mengatakan
***** awal kutipan ****
Ibnu
Taimiyah, Ibnul Qayyim dan Ibnu Hazm, kalau dilihat angka tahun
lahirnya, mereka juga bukan orang salaf, karena mereka hidup jauh
ratusan tahun setelah Rasulullah shallallahu alaihi wasallam wafat.
Apalagi Syeikh Bin Baz, Utsaimin dan Al-Albani, mereka bahkan lebih
bukan salaf lagi, tetapi malahan orang-orang khalaf yang hidup sezaman
dengan kita.
Sayangnya, Ibnu Taymiyah, Ibnul Qayyim,
apalagi Bin Baz, Utsaimin termasuk Al-Albani, tak satu pun dari mereka
yang punya manhaj, kalau yang kita maksud dengan manhaj itu adalah
arti sistem dan metodologi istimbath hukum yang baku. Bahasa mudahnya,
mereka tidak pernah menciptakan ilmu ushul fiqih. Jadi mereka cuma
bikin fatwa, tetapi tidak ada kaidah, manhaj atau polanya.
Kalau
kita ibaratkan komputer, mereka memang banyak menulis file word,
tetapi mereka tidak menciptakan sistem operasi. Mereka punya banyak
fatwa, mungkin ribuan, tetapi semua itu levelnya cuma fatwa, bukan
manhaj apalagi mazhab.
Bukan Salaf Tetapi Dzahihiri
Sebenarnya
kalau kita perhatikan metodologi istimbath mereka yang mengaku-ngaku
sebagai salaf, sebenarnya metode mereka itu tidak mengacu kepada masa
salaf. Kalau dipikir-pikir, metode istimbah yang mereka pakai itu
lebih cenderung kepada mazhab Dzhahiriyah. Karena kebanyakan mereka
berfatwa hanya dengan menggunakan nash secara Dzhahirnya saja.
Mereka
tidak menggunakan metode istimbath hukum yang justru sudah baku,
seperti qiyas, mashlahah mursalah, istihsan, istishhab, mafhum dan
manthuq. Bahkan dalam banyak kasus, mereka tidak pandai tidak mengerti
adanya nash yang sudah dinasakh atau sudah dihapus dengan adanya nash
yang lebih baru turunnya.
Mereka juga kurang pandai
dalam mengambil metode penggabungan dua dalil atau lebih
(thariqatul-jam’i) bila ada dalil-dalil yang sama shahihnya, tetapi
secara dzhahir nampak agak bertentangan. Lalu mereka semata-mata cuma
pakai pertimbangan mana yang derajat keshahihannya menurut mereka lebih
tinggi. Kemudian nash yang sebenarnya shahih, tapi menurut mereka
kalah shahih pun dibuang.
Padahal setelah dipelajari
lebih dalam, klaim atas keshahihan hadits itu keliru dan kesalahannya
sangat fatal. Cuma apa boleh buat, karena fatwanya sudah terlanjur
keluar, ngotot bahwa hadits itu tidak shahih. Maka digunakanlah metode
menshahihan hadits yang aneh bin ajaib alias keluar dari pakem para
ahli hadits sendiri.
Dari metode kritik haditsnya
saja sudah bermasalah, apalagi dalam mengistimbath hukumnya. Semua
terjadi karena belum apa-apa sudah keluar dari pakem yang sudah ada.
Seharusnya, yang namanya ulama itu, belajar dulu yang banyak tentang
metode kritik hadits, setelah itu belajar ilmu ushul agar mengeti dan
tahu bagaimana cara melakukan istimbath hukum. Lah ini belum punya
ilmu yang mumpuni, lalu kok tiba-tiba bilang semua orang salah, yang
benar cuma saya seorang.
***** akhir kutipan *****
Setelah
berdiriya Majelis Tarjih pada masa kepemimpinan Kyai Haji Mas
Mansyur, terjadilah revisi –revisi setelah melakukan kajian mendalam,
termasuk keluarnya putusan tarjih yang menuntunkan tidak
dipraktikkannya do’a qunut di dalam shalat subuh dan jumlah rakaat
shalat tarawih yag sebelas rakat.
Jadi semula
“Muhammadiyah bukanlah Dahlaniyah” atau semula Muhammadiyah adalah
organisasi kemasyarakatan akan berubah menjadi sebuah sekte atau
firqoh yang mengikuti suatu pemahaman baru terhadap Al Qur’an dan As
Sunnah yakni sekte atau firqoh yang mengikuti pemahaman majelis
tarjih.
Sedangkan Rasulullah shallallahu alaihi
wasallam telah memperingatkan kita bahwa jika kita menemukan
perselisihan karena perbedaan pendapat maka ikutilah mayoritas kaum
muslim (as-sawadul a’zham) dan hindarilah semua sekte atau firqoh yang
menyempal keluar (kharaja) dari mayoritas kaum muslim
Rasulullah
shallallahu alaihi wasallam bersabda: “Sesungguhnya Allah tidak
menghimpun ummatku diatas kesesatan. Dan tangan Allah bersama jama’ah.
Barangsiapa yang menyelewengkan (menyempal), maka ia menyeleweng
(menyempal) ke neraka“. (HR. Tirmidzi: 2168).
Al-Hafidz
Ibnu Hajar rahimahullah dalam Fathul Bari XII/37 menukil perkataan
Imam Thabari rahimahullah yang menyatakan: “Berkata kaum (yakni para
ulama), bahwa jama’ah adalah as-sawadul a’zham (mayoritas kaum muslim)“
Rasulullah
shallallahu alaihi wasallam bersabda “Sesungguhnya umatku tidak akan
bersepakat pada kesesatan. Oleh karena itu, apabila kalian melihat
terjadi perselisihan maka ikutilah as-sawad al a’zham (mayoritas kaum
muslim).” (HR.Ibnu Majah, Abdullah bin Hamid, at Tabrani, al Lalika’i,
Abu Nu’aim. Menurut Al Hafidz As Suyuthi dalam Jamius Shoghir, ini
adalah hadits Shohih).
Pada masa sekarang mayoritas
kaum muslim (as-sawadul a’zham) adalah bagi siapa saja yang mengikuti
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam dengan mengikuti para ulama yang
sholeh yang mengikuti Imam Mazhab yang empat.
Sebagaimanapula yang telah disampaikan dalam tulisan pada http://mutiarazuhud.wordpress.com/2013/07/18/islam-adalah-satu/
bahwa Islam adalah satu pada masa sekarang adalah Islam sebagaimana
yang telah disampaikan dan dijelaskan oleh para penunjuk yakni para
ulama yang sholeh yang mengikuti Imam Mazhab yang empat.
Allah
Azza wa Jalla telah berfirman bahwa solusi jika kita berselisih
karena berlainan pendapat tentang sesuatu maka ikuti dan taatilah ulil
amri setempat yakni para fuqaha yang faqih dalam memahami Al Qur’an
dan As Sunnah
Firman Allah ta’ala yang artinya “Hai
orang-orang yang beriman, ta’atilah Allah dan ta’atilah Rasul (Nya),
dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat
tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al-Qur’an) dan
Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari
kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik
akibatnya” (QS An Nisaa [4]:59)
Siapakah ulil amri yang harus ditaati oleh kaum muslim ?
Rasulullah
shallallahu alaihi wasallam adalah sosok ulama dan umara sekaligus.
Begitu juga para khulafaur Rasyidin seperti Sayyidina Abu Bakar,
Sayyidina Umar, Sayyidina Ustman dan Sayyidina Ali radhiyallahuanhum,
begitu juga beberapa khalifah dari bani Umayah dan bani Abbas.
Namun
dalam perkembangan sejarah Islam selanjutnya, sangat jarang kita
dapatkan seorang pemimpin negara yang benar-benar paham terhadap Islam.
Dari sini, mulailah terpisah antara ulama dan umara.
Ibnu
Abbas ra sebagaimana yang disebutkan oleh Imam Thobari dalam
tafsirnya telah menyampaikan bahwa ulil amri yang ditaati adalah para
pakar fiqih atau para ulama yang menguasai hukum-hukum Allah.
Syarat-syarat
atau kompentensi sehingga termasuk ulama yang menguasai fiqih
(hukum-hukum dalam Islam) adalah sebagaimana yang disampaikan oleh KH.
Muhammad Nuh Addawami sebagai berikut,
*****awal kutipan *****
a.
Mengetahui dan menguasai bahasa arab sedalam-dalamnya, karena
al-quran dan as-sunnah diturunkan Allah dan disampaikan Rasulullah
Shallallahu ‘Alaihi Wasallam dalam bahasa Arab yang fushahah dan
balaghah yang bermutu tinggi, pengertiannya luas dan dalam, mengandung
hukum yang harus diterima. Yang perlu diketahui dan dikuasainya bukan
hanya arti bahasa tetapi juga ilmu-ilmu yang bersangkutan dengan
bahasa arab itu seumpama nahwu, sharaf, balaghah (ma’ani, bayan dan
badi’).
b. Mengetahui dan menguasai ilmu ushul fiqh,
sebab kalau tidak, bagaimana mungkin menggali hukum secara baik dan
benar dari al-Quran dan as-Sunnah padahal tidak menguasai sifat
lafad-lafad dalam al-Quran dan as-Sunnah itu yang beraneka ragam yang
masing-masing mempengaruhi hukum-hukum yang terkandung di dalamnya
seperti ada lafadz nash, ada lafadz dlahir, ada lafadz mijmal, ada
lafadz bayan, ada lafadz muawwal, ada yang umum, ada yang khusus, ada
yang mutlaq, ada yang muqoyyad, ada majaz, ada lafadz kinayah selain
lafadz hakikat. ada pula nasikh dan mansukh dan lain sebagainya.
c. Mengetahui dan menguasai dalil ‘aqli penyelaras dalil naqli terutama dalam masalah-masalah yaqiniyah qath’iyah.
d.
Mengetahui yang nasikh dan yang mansukh dan mengetahui asbab an-nuzul
dan asbab al-wurud, mengetahui yang mutawatir dan yang ahad, baik
dalam al-Quran maupun dalam as-Sunnah. Mengetahui yang sahih dan yang
lainnya dan mengetahui para rawi as-Sunnah.
e. Mengetahui ilmu-ilmu yang lainnya yang berhubungan dengan tata cara menggali hukum dari al-Quran dan as-Sunnah.
Bagi
yang tidak memiliki kemampuan, syarat dan sarana untuk menggali
hukum-hukum dari al-Quran dan as-Sunnah dalam masalah-masalah
ijtihadiyah padahal dia ingin menerima risalah Rasulullah Shallallahu
‘Alaihi Wasallam secara utuh dan kaffah, maka tidak ada jalan lain
kecuali taqlid kepada mujtahid yang dapat dipertanggungjawabkan
kemampuannya.
Diantara para mujtahid yang madzhabnya mudawwan adalah empat imam mujtahid, yaitu:
- Imam Abu Hanifah Nu’man bin Tsabit;
- Imam Malik bin Anas;
- Imam Muhammad bin Idris Asy-Syafi’i ; dan
- Imam Ahmad bin Hanbal.
Mengharamkan
taqlid dan mewajibkan ijtihad atau ittiba’ dalam arti mengikuti
pendapat orang disertai mengetahui dalil-dalilnya terhadap orang awam
(yang bukan ahli istidlal) adalah fatwa sesat dan menyesatkan yang akan
merusak sendi-sendi kehidupan di dunia ini.
Memajukan
dalil fatwa terhadap orang awam sama saja dengan tidak memajukannya.
(lihat Hasyiyah ad-Dimyathi ‘ala syarh al- Waraqat hal 23 pada baris
ke-12).
Apabila si awam menerima fatwa orang yang
mengemukakan dalilnya maka dia sama saja dengan si awam yang menerima
fatwa orang yang tidak disertai dalil yang dikemukakan. Dalam artian
mereka sama-sama muqallid, sama-sama taqlid dan memerima pendapat orang
tanpa mengetahui dalilnya.
Yang disebut muttabi’
“bukan muqallid” dalam istilah ushuliyyin adalah seorang ahli istidlal
(mujtahid) yang menerima pendapat orang lain karena dia selaku ahli
istidlal dengan segala kemampuannya mengetahui dalil pendapat orang itu.
Adapun
orang yang menerima pendapat orang lain tentang suatu fatwa dengan
mendengar atau membaca dalil pendapat tersebut padahal sang penerima itu
bukan atau belum termasuk ahli istidlal maka dia tidak termasuk
muttabi’ yang telah terbebas dari ikatan taqlid.
Pendek
kata arti ittiba’ yang sebenarnya dalam istilah ushuliyyin adalah
ijtihad seorang mujtahid mengikuti ijtihad mujtahid yang lain.
***** akhir kutipan *****
Oleh
karenanya setelah masa kehidupan Imam Madzhab yang empat, para mufti
yakni orang yang faqih untuk membuat fatwa selalu merujuk kepada salah
satu dari Imam Madzhab yang empat.
Allah ta’ala
berfirman yang artinya “Orang-orang yang terdahulu lagi yang
pertama-tama (masuk Islam) dari golongan Muhajirin dan Anshar dan
orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka
dan merekapun ridha kepada Allah dan Allah menyediakan bagi mereka
surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya selama-lamanya.
Mereka kekal di dalamnya. Itulah kemenangan yang besar“. (QS at Taubah
[9]:100)
Dari firmanNya tersebut dapat kita ketahui
bahwa orang-orang yang diridhoi oleh Allah Azza wa Jalla adalah
orang-orang yang mengikuti Salafush Sholeh. Sedangkan orang-orang yang
mengikuti Salafush Sholeh yang paling awal dan utama adalah Imam Mazhab
yang empat.
Memang ada mazhab yang lain selain dari
Imam Mazhab yang empat namun pada kenyataannya ulama yang memiliki
ilmu riwayah dan dirayah dari Imam Mazhab yang lain sudah sukar
ditemukan pada masa kini.
Tentulah kita mengikuti
atau taqlid kepada Imam Mazhab yang empat dengan merujuk kepada Al
Qur’an dan As Sunnah. Imam Mazhab yang empat patut untuk diikuti oleh
kaum muslim karena jumhur ulama telah sepakat dari dahulu sampai
sekarang sebagai para ulama yang berkompetensi sebagai Imam Mujtahid
Mutlak, pemimpin atau imam ijtihad dan istinbat kaum muslim.
Kelebihan lainnya, Imam Mazhab yang empat adalah masih bertemu dengan Salafush Sholeh.
Contohnya
Imam Syafi”i ~rahimahullah adalah imam mazhab yang cukup luas
wawasannya karena bertemu atau bertalaqqi (mengaji) langsung kepada
Salafush Sholeh dari berbagai tempat, mulai dari tempat tinggal awalnya
di Makkah, kemudian pindah ke Madinah, pindah ke Yaman, pindah ke
Iraq, pindah ke Persia, kembali lagi ke Makkah, dari sini pindah lagi
ke Madinah dan akhirnya ke Mesir. Perlu dimaklumi bahwa perpindahan
beliau itu bukanlah untuk berniaga, bukan untuk turis, tetapi untuk
mencari ilmu, mencari hadits-hadits, untuk pengetahuan agama. Jadi
tidak heran kalau Imam Syafi’i ~rahimahullah lebih banyak mendapatkan
hadits dari lisannya Salafush Sholeh, melebihi dari yang didapat oleh
Imam Hanafi ~rahimahullah dan Imam Maliki ~rahimahullah
Imam
Mazhab yang empat adalah para ulama yang sholeh dari kalangan
“orang-orang yang membawa hadits” yakni membawanya dari Salafush
Sholeh yang meriwayatkan dan mengikuti sunnah Rasulullah shallallahu
alaihi wasallam
Jadi kalau kita ingin ittiba li
Rasulullah (mengikuti Rasulullah) atau mengikuti Salafush Sholeh maka
kita menemui dan bertalaqqi (mengaji) dengan para ulama yang sholeh
dari kalangan “orang-orang yang membawa hadits”.
Para
ulama yang sholeh dari kalangan “orang-orang yang membawa hadits”
adalah para ulama yang sholeh yang mengikuti salah satu dari Imam
Mazhab yang empat.
Para ulama yang sholeh yang
mengikuti dari Imam Mazhab yang empat adalah para ulama yang sholeh
yang memiliki ketersambungan sanad ilmu (sanad guru) dengan Imam
Mazhab yang empat atau para ulama yang sholeh yang memiliki ilmu
riwayah dan dirayah dari Imam Mazhab yang empat.
Jadi
bermazhab dengan Imam Mazhab yang empat adalah sebuah kebutuhan bagi
kaum muslim yang tidak lagi bertemu dengan Rasulullah maupun Salafush
Sholeh.
Orang-orang yang meninggalkan Imam Mazhab yang
empat memang sering mengungkapan pendapat seperti “kita harus
mengikuti hadits shahih. Bukan mengikuti ulama. Al-Imam Al-Syafi’i
sendiri berkata, “Idza shahha al-hadits fahuwa mazhabi (apabila suatu
hadits itu shahih, maka hadits itulah mazhabku)”.
Banyak
kalangan yang tidak memahami dengan benar perkataan Beliau. Sehingga,
jika yang bersangkutan menemukan sebuah hadits shahih yang menurut
pemahaman mereka bertentangan dengan pendapat mazhab Syafi’i maka yang
bersangkutan langsung menyatakan bahwa pendapat mazhab itu tidak
benar, karena Imam Syafi’i sendiri mengatakan bahwa hadits shahih
adalah mazhab beliau. Atau ketika seseorang menemukan sebuah hadits
yang shahih, yang bersangkutan langsung mengklaim, bahwa ini adalah
mazhab Syafi’i.
Imam Al-Nawawi sepakat dengan gurunya
ini dan berkata, “(Ucapan Al-Syafi’i) ini hanya untuk orang yang
telah mencapai derajat mujtahid madzhab. Syaratnya: ia harus yakin
bahwa Al-Syafi’i belum mengetahui hadits itu atau tidak mengetahui
(status) kesahihannya. Dan hal ini hanya bisa dilakukan setelah
mengkaji semua buku Al-Syafi’i dan buku murid-muridnya. Ini syarat
yang sangat berat, dan sedikit sekali orang yang mampu memenuhinya.
Mereka mensyaratkan hal ini karena Al-Syafi’i sering kali meninggalkan
sebuah hadits yang ia jumpai akibat cacat yang ada di dalamnya, atau
mansukh, atau ditakhshish, atau ditakwil, atau sebab-sebab lainnya.”
Al-Nawawi
juga mengingatkan ucapan Ibn Khuzaimah, “Aku tidak menemukan sebuah
hadits yang sahih namun tidak disebutkan Al-Syafii dalam
kitab-kitabnya.” Ia berkata, “Kebesaran Ibn Khuzaimah dan keimamannya
dalam hadits dan fiqh, serta penguasaanya akan ucapan-ucapan Al-Syafii,
sangat terkenal.” ["Majmu' Syarh Al-Muhadzab" 1/105]
Kajian qoul Imam Syafi’i yang lebih lengkap, silahkan membaca tulisan, contohnya pada http://generasisalaf.wordpress.com/2013/06/15/memahami-qoul-imam-syafii-hadis-sahih-adalah-mazhabku-bag-2/
Perlu
kita ingat bahwa hadits yang telah terbukukan dalam kitab-kitab
hadits jumlahnya jauh di bawah jumlah hadits yang dikumpulkan dan
dihafal oleh Al-Hafidz (minimal 100.000 hadits) dan jauh lebih kecil
dari jumlah hadits yang dikumpulkan dan dihafal oleh Al-Hujjah
(minimal 300.000 hadits). Sedangkan jumlah hadits yang dikumpulkan dan
dihafal oleh Imam Mazhab yang empat, jumlahnya lebih besar dari
jumlah hadits yang dikumpulkan dan dihafal oleh Al-Hujjah
Asy-Syeikh
Abu Amru mengatakan: ”Barang siapa menemui dari Syafi’i sebuah hadits
yang bertentangan dengan mazhab beliau, jika engkau sudah mencapai
derajat mujtahid mutlak, dalam bab, atau maslah itu, maka silahkan
mengamalkan hal itu“
Penjelasan tentang derajat mujtahid mutlak dan tingkatan mufti dalam madzhab As Syafi’i, silahkan baca tulisan pada http://almanar.wordpress.com/2010/09/21/tingkatan-mufti-madzhab-as-syafi’i/
Kesimpulannya
ketaatan umat Islam kepada ulil amri setempat yakni para fuqaha
(mufti) yang dipimpin oleh mufti agung lebih didahulukan dari pada
ketaatan kepada pemimpin ormas maupun penguasa negeri dalam rangka
menyunjung persatuan dan kesatuan kaum muslim sesuai semangat piagam
Madinah.
Kita dapat mengambil pelajaran dari kerajaan
Islam Brunei Darussalam berideologi Melayu Islam Beraja (MIB) dengan
penerapan nilai-nilai ajaran Agama Islam dirujuk kepada golongan Ahlus
Sunnah wal Jamaah yang dipelopori oleh Imam Al Asyari dan mengikut
Mazhab Imam Syafei. Sultan Brunei disamping sebagai kepala negara dan
kepala pemerintahan merangkap sebagai perdana menteri dan menteri
pertahanan dengan dibantu oleh dewan penasihat kesultanan dan beberapa
menteri, juga bertindak sebagai pemimpin tertinggi Agama Islam dimana
dalam menentukan keputusan atas sesuatu masalah dibantu oleh Mufti
Kerajaan.
Negara kitapun ketika awal berdirinya
memiliki lembaga tinggi negara yang bernama “Dewan Pertimbangan Agung”
yang berunsurkan ulama yang sholeh yang dapat memberikan pertimbangan
dan usulan kepada pemerintah dalam menyelenggarakan pemerintahan agar
tidak bertentangan dengan Al Qur’an dan As Sunnah.
Lembaga
negara yang berunsurkan kata “agung” seperti Mahkamah Agung , Jaksa
Agung pada hakikatnya adalah wakil-wakil Tuhan dalam menegakkan
keadilan di muka bumi agar sesuai dengan Al Qur’an dan As Sunnah.
Salah
satu contoh ulama yang menjadi anggota “Dewan Pertimbangan Agung”
adalah Syaikh Muhammad Jamil Jambek ulama pelopor pembaruan Islam dari
Sumatera Barat awal abad ke-20 yang pernah berguru dengan Syeikh Ahmad
Khatib Al-Minangkabawi yang merupakan ulama besar Indonesia yang
pernah menjadi imam, khatib dan guru besar di Masjidil Haram,
sekaligus Mufti Mazhab Syafi’i pada akhir abad ke-19 dan awal abad
ke-20.
Namun dalam perjalanannya Dewan Pertimbangan
Agung perannya dalam roda pemerintahan di negara kita “dikecilkan”.
Bahkan pada zaman era Surharto, singkatan DPA mempunyai arti sebagai
“Dewan Pensiun Agung” karena keanggotaanya terdiri dari
pensiunan-pensiunan pejabat. Sehingga pada era Reformasi , Dewan
Pertimbangan Agung dibubarkan dengan alasan sebagai lembaga yang tidak
effisien.
Jadi cara mengawal syariat Islam dalam
sistem pemerintahan di negara kita dengan cara mengembalikan wewenang
para ahli fiqih untuk menasehati dan membimbing penguasa negeri
sehingga dalam menjalankan roda pemerintahan tidak bertentangan dengan
Al Qur’an dan As Sunnah sehingga tidak ada keraguan lagi bagi kaum
muslim untuk mentaati penguasa negari
Kesimpulannya
seperti apapun sistem pemerintahan di manapun kaum muslim tinggal namun
menjalankan syariat Islam yakni menjalankan perintahNya dan menjauhi
laranganNya tetap wajib dijalankan. Perbedaannya hanya terletak pada
tingkat kemudahan dalam menjalankan syariat Islam.
Oleh
karenanya peran mufti agung yang mengikuti Imam Mazhab yang empat
harus ditingkatkan pada negeri yang mayoritas muslim sehingga sistem
pemerintahan yang ada berubah merujuk kepada Al Qur'an dan as Sunnah
secara perlahan dan sistematik
Sehingga kelirulah
mereka yang mengatakan bahwa "jauh panggang dari api, jika ingin
melaksanakan syari'at Islam tanpa melakukan perubahan sistem
pemerintahan yang ada" atau pernyataan seperti "syariat Islam tidak
mungkin tegak tanpa adanya kepemimpinan yang satu umat Islam yakni
khalifah"
Pernyataan-pernyataan seperti itu sama saja
mengatakan bahwa "kaum muslim mustahil melaksanakan syariat Islam di
negeri kaum kafir" atau "syariat Islam tidak perlu dijalankan selama
belum tegak kekhalifahan" atau bahkan mereka yang diperbolehkan melawan
orang tua, menipu, mencuri atau merampok untuk mengumpulkan dana atau
pun meninggalkan shalat selama belum terbentuk negara Islam (darul
Islam).
Kewajiban bagi kaum muslim untuk menjalankan
syariat Islam yakni menjalankan perintahNya dan menjauhi laranganNya
tidaklah dibatasi atau tidak dianulir oleh sistem pemerintahan yang
ada.
Begitupula kelirulah mereka yang mengatakan bahwa
umat Islam khususnya di Indonesia mendapatkan bencana dan kemudharatan
lainnya karena mengabaikan syariat Islam dan menerapkan hukum selain
hukum Allah Subhanahu wa Ta'ala alias karena berhukum dengan hukum
thagut.
Umat Islam tinggal di negara manapun termasuk
yang tinggal di negara kaum kafir tidaklah termasuk orang-orang yang
mengabaikan syariat Islam atau tidak termasuk orang-orang yang berhukum
dengan hukum thagut yakni berhukum dengan hukum selain Allah selama
mereka menjalankan syariat Islam yakni menjalankan perintahNya dan
menjauhi laranganNya
Sebaiknya janganlah termasuk
orang-orang seperti Dzul Khuwaishirah dari Bani Tamim al Najdi yakni
orang-orang yang menyempal keluar (kharaja) dari mayoritas kaum muslim
(as-sawadul a’zham) sehingga disebut juga dengan khawarij. Khawarij
adalah bentuk jamak (plural) dari kharij (bentuk isim fail) artinya
yang keluar.
Orang-orang seperti Dzul Khuwaishirah
dari Bani Tamim al Najdi atau kaum khawarij menyempal keluar (kharaja)
dari mayoritas kaum muslim (as-sawadul a’zham) karena mereka salah
memahami Al Qur'an dan As Sunnah
Contohnya orang-orang
seperti Dzul Khuwaishirah dari Bani Tamim al Najdi atau kaum khawarij
pada masa khalifah sayyidina Ali karamalahu wajhu salah memahami firman
Allah seperti (QS Al Maidah [5]:44) sehingga menduduh khalifah
Sayyidina Ali karamalahu wajhu telah kafir karena berhukum dengan
thagut, berhukum dengan selain hukum Allah. Pada akhirnya mereka
menganggap halal darah Sayyidina Ali karamalahu wajhu dan berujung
eksekusi pembunuhan yang dilakukan oleh Abdurrahman ibn Muljam.
Abdurrahman
ibn Muljam adalah seorang yang sangat rajin beribadah. Shalat dan
shaum, baik yang wajib maupun sunnah, melebihi kebiasaan rata-rata orang
di zaman itu. Bacaan Al-Qurannya sangat baik. Karena bacaannya yang
baik itu, pada masa Sayyidina Umar ibn Khattab ra, ia diutus untuk
mengajar Al-Quran ke Mesir atas permintaan gubernur Mesir, Amr ibn
Al-’Ash. Namun, karena ilmunya yang dangkal, sesampai di Mesir ia malah
terpangaruh oleh hasutan (ghazwul fikri) orang-orang Khawarij yang
selalu berbicara mengatasnamakan Islam, tapi sesungguhnya hawa nafsu
yang mereka turuti. Ia pun terpengaruh. Ia tinggalkan tugasnya mengajar
dan memilih bergabung dengan orang-orang Khawarij sampai akhirnya,
dialah yang ditugasi menjadi eksekutor pembunuhan Imam Sayyidina Ali
karamallahu wajhu.
Padahal dengan memperhatikan asbabun
nuzul (riwayat turunnya ayat) dari (QS Al Maidah [5]:44) maka kita
akan mengetahui maksud atau tujuan dari ayat itu sebenarnya.
Oleh
karenanya Sayyidina Ali karamalahu wajhu berkata “kalimatu haqin urida
bihil batil” (perkataan yang benar dengan tujuan yang salah) ketika
menanggapi semboyan kaum khawarij pada waktu itu yakni “La hukma illah
lillah”, tidak ada hukum melainkan hanya dari Allah.
Al-Imam
Ahmad dan Ath-Thabrani dalam Al-Mu’jam Al-Kabir meriwayatkan dari
Abdullah bin ‘Abbas radhiallahu ‘anhuma dan beliau menyebutkan sebab
turunnya ayat ini: “Allah Ta’ala menurunkan ayat ini berkenaan tentang
dua kelompok di kalangan Yahudi di masa jahiliyyah, di mana salah satu
kelompok telah menguasai yang lainnya sehingga mereka ridha…”
Imam
Abu Abdillah Al-Qurthubi rahimahullah (wafat 671 H) berkata : “Adapun
seorang muslim dia tidak dikafirkan walaupun melakukan dosa besar. Di
sini ada yang tersembunyi, yaitu siapa yang tidak berhukum dengan apa
yang Allah subhanahu wata’ala turunkan yakni menolak Al-Quran dan
menentang ucapan Rasul shalallahu ‘alaihi wasallam maka dia kafir.
Demikian yang dikatakan oleh Ibnu Abbas dan Mujahid. Maka ayat ini umum
dalam hal ini.
Dari Anas radhiyallahuanhu, Rasulullah
shallallahu alaihi wasallam bersabda : “Tiga hal merupakan pokok iman ;
menahan diri dari orang yang menyatakan Tiada Tuhan kecuali Allah.
Tidak memvonis kafir akibat dosa dan tidak mengeluarkannya dari agama
Islam akibat perbuatan dosa ; Jihad berlangsung terus semenjak Allah
mengutusku sampai akhir ummatku memerangi Dajjal. Jihad tidak bisa
dihapus oleh kelaliman orang yang lalim dan keadilan orang yang adil ;
dan meyakini kebenaran takdir”.
Jadi yang dimaksud
tidak berhukum dengan apa yang Allah subhanahu wa ta’ala turunkan adalah
bagi orang yang menolak Al-Quran dan menentang ucapan Rasululullah
shalallahu ‘alaihi wasallam yakni kaum non muslim.
Sehingga
kaum muslim boleh berhukum dengan hukum buatan manusia seperti
perjanjian ( tahkim / arbitrase ) selama isi perjanjian tidak
bertentangan dengan Al Qur’an dan As Sunnah.Salah satu penyebab
kemudharatan bagi umat Islam adalah akibat mereka yang menjadikan
orang-orang yang dimurkai Allah ta'ala yakni kaum Yahudi atau yang kita
kenal sekarang dengan Zionis Yahudi sebagai sekutu, teman kepercayaan,
pelindung, penasehat yang diikuti segala nasehatnya padahal mereka
berkata-kata tidak berdasarkan Al Qur'an dan As Sunnah
Firman Allah Azza wa Jalla, yang artinya,
“Hai
orang-orang yang beriman, janganlah kamu ambil menjadi teman
kepercayaanmu orang-orang yang, di luar kalanganmu (karena) mereka tidak
henti-hentinya (menimbulkan) kemudharatan bagimu. Mereka menyukai apa
yang menyusahkan kamu. Telah nyata kebencian dari mulut mereka, dan
apa yang disembunyikan oleh hati mereka adalah lebih besar lagi.
Sungguh telah Kami terangkan kepadamu ayat-ayat (Kami), jika kamu
memahaminya” , (QS Ali Imran, 118)
“Beginilah kamu,
kamu menyukai mereka, padahal mereka tidak menyukai kamu, dan kamu
beriman kepada kitab-kitab semuanya. Apabila mereka menjumpai kamu,
mereka berkata “Kami beriman”, dan apabila mereka menyendiri, mereka
menggigit ujung jari antaran marah bercampur benci terhadap kamu.
Katakanlah (kepada mereka): “Matilah kamu karena kemarahanmu itu”.
Sesungguhnya Allah mengetahui segala isi hati“. (QS Ali Imran, 119)
“Tidakkah
kamu perhatikan orang-orang yang menjadikan suatu kaum yang dimurkai
Allah sebagai teman? Orang-orang itu bukan dari golongan kamu dan
bukan (pula) dari golongan mereka. Dan mereka bersumpah untuk
menguatkan kebohongan, sedang mereka mengetahui“. (QS Al Mujaadilah
[58]:14 )
Firman Allah pada (QS Al Maidah [5]:44) adalah ayat yang diturunkan bagi orang-orang kafir.
Salah
satu ciri khas dari orang-orang seperti Dzul Khuwaishirah at Tamim An
Najdi atau kaum khawarij adalah suka menggunakan ayat-ayat yang
diturunkan bagi orang-orang kafir untuk menyerang kaum muslim
Abdullah
bin Umar ra dalam mensifati kelompok khawarij mengatakan: “Mereka
menggunakan ayat-ayat yang diturunkan bagi orang-orang kafir lantas
mereka terapkan untuk menyerang orang-orang beriman”.[Lihat: kitab Sahih
Bukhari jilid:4 halaman:197]
Ciri khas lainnya dari
orang-orang seperti Dzul Khuwaishirah at Tamim An Najdi atau kaum
khawarij telah disampaikan dalam tulisan pada http://mutiarazuhud.wordpress.com/2013/06/16/ciri-khas/
Mereka
yang menyempal keluar (kharaja) dari mayoritas kaum muslim
(as-sawadul a’zham ) dikarenakan mereka salah memahami Al Qur’an dan
Hadits sebagaimana yang telah disampaikan dalam tulisan pada http://mutiarazuhud.wordpress.com/2013/09/20/pengertian-khawarij/ atau dalam tulisan pada http://mutiarazuhud.wordpress.com/2013/07/21/khawarij-salah-paham/
Fitnah
dari orang-orang seperti Dzul Khuwaishirah dari Bani Tamim An Najdi
menurut sabda Rasulullah shallallahu alaihi wasallam adalah fitnah dari
orang-orang yang membaca Al Qur’an tetapi tidak sampai melewati
kerongkongan mereka alias tidak masuk ke hati atau tidak menjadikannya
berakhlak baik.
Sebagaimana yang telah disampaikan dalam tulisan pada http://mutiarazuhud.wordpress.com/2013/10/07/masalah-karena-salahpaham/
tentang permasalahan yang dapat timbul karena salah memahami Al
Qur’an dan Hadits salah satunya adalah menuduh muslim lainnya telah
musyrik seperti menuduh menyembah kuburan atau menuduh berhukum dengan
selain hukum Allah sehingga menganggap telah halal darahnya sehingga
berujung pembunuhan.
Rasulullah shallallahu alaihi
wasallam telah memperingatkan kita bahwa akan bermunculan orang-orang
yang salah memahami Al Qur’an dan As Sunnah sehingga menuduh muslim
lainnya telah musyrik.
Dari Hudzaifah Radhiyallahu
anhu, Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda “Sesungguhnya
yang paling aku khawatirkan atas kamu adalah seseorang yang telah
membaca al-Qur’an, sehingga ketika telah tampak kebagusannya terhadap
al-Qur’an dan dia menjadi pembela Islam, dia terlepas dari al-Qur’an,
membuangnya di belakang punggungnya, dan menyerang tetangganya dengan
pedang dan menuduhnya musyrik”. Aku (Hudzaifah) bertanya, “Wahai nabi
Allah, siapakah yang lebih pantas disebut musyrik, penuduh atau yang
dituduh?”. Beliau menjawab, “Penuduhnya”.
Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam pun bersabda: Dari kelompok orang ini,
akan muncul nanti orang-orang yang pandai membaca Al Qur`an tetapi
tidak sampai melewati kerongkongan mereka, bahkan mereka membunuh
orang-orang Islam, dan membiarkan para penyembah berhala; mereka keluar
dari Islam seperti panah yang meluncur dari busurnya. Seandainya aku
masih mendapati mereka, akan kumusnahkan mereka seperti musnahnya kaum
‘Ad. (HR Muslim 1762)
Sabda Rasululullah di atas yang
artinya “mereka membunuh orang-orang Islam, dan membiarkan para
penyembah berhala” maksudnya mereka memahami Al Qur’an dan As Sunnah
dan berkesimpulan atau menuduh kaum muslim lainnya telah musyrik
(menyembah selain Allah) seperti menuduh menyembah kuburan atau menuduh
berhukum dengan selain hukum Allah, sehingga membunuhnya namun dengan
pemahaman mereka tersebut mereka membiarkan para penyembah berhala yang
sudah jelas kemusyrikannya.
Yang dimaksud dengan
“membiarkan para penyembah berhala” adalah “membiarkan” kaum Yahudi
atau yang kita kenal sekarang dengan Zionis Yahudi, sebagaimana yang
telah disampaikan dalam tulisan pada http://mutiarazuhud.wordpress.com/2013/06/24/tidak-sekedar-membiarkan/
Rasulullah
shallallahu alaihi wasallam telah bersabda bahwa orang-orang yang
membunuh orang-orang Islam karena dituduh musyrik atau dituduh berhukum
dengan selain hukum Allah ditetapkan sebagai orang yang telah murtad
atau telah keluar dari agama Islam seperti panah yang meluncur dari
busurnya sebagaimana yang telah kami sampaikan dalam tulisan pada http://mutiarazuhud.wordpress.com/2013/06/28/pembunuh-dan-murtad/
Allah
ta’ala telah berfirman bahwa jika bermunculan orang-orang yang murtad
atau keluar dari Islam seperti panah yang meluncur dari busurnya karena
membunuh umat la ilaha illallah yang dituduh musyrik atau dituduh
berhukum dengan selain hukum Allah maka Allah Azza wa Jalla akan tetap
menjaga adanya kaum yang Allah mencintai mereka dan merekapun mencintai
Allah seperti ahlul hadramaut (Yaman).
Firman Allah
ta’ala yang artinya, “Hai orang-orang yang beriman, barang siapa di
antara kamu yang murtad dari agamanya maka kelak Allah akan mendatangkan
suatu kaum yang Allah mencintai mereka dan merekapun mencintaiNya,
yang bersikap lemah lembut terhadap orang yang mu’min, yang bersikap
keras terhadap orang-orang kafir, yang berjihad dijalan Allah, dan yang
tidak takut kepada celaan orang yang suka mencela. Itulah karunia
Allah, diberikan-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya, dan Allah Maha
Luas (pemberian-Nya), lagi Maha Mengetahui.” (QS Al Ma’iadah [5]:54)
Abu
Musa al-Asy’ari meriwayatkan dari Rasulullah shallallahu alaihi
wasallam bersabda , ‘Allah akan mendatangkan suatu kaum yang
dicintai-Nya dan mereka mencintai Allah”. Bersabda Nabi shallallahu
alaihi wasallam : mereka adalah kaummu Ya Abu Musa, orang-orang Yaman’.
Dari
Jabir, Rasulullah shallallahu alaihi wasallam ditanya mengenai ayat
tersebut, maka Rasul menjawab, ‘Mereka adalah ahlu Yaman dari suku
Kindah, Sukun dan Tajib’.
Ibnu Jarir meriwayatkan,
ketika dibacakan tentang ayat tersebut di depan Rasulullah shallallahu
alaihi wasallam, beliau berkata, ‘Kaummu wahai Abu Musa, orang-orang
Yaman’.
Dalam kitab Fath al-Qadir, Ibnu Jarir meriwayat
dari Suraikh bin Ubaid, ketika turun ayat 54 surat al-Maidah, Umar
berkata, ‘Saya dan kaum saya wahai Rasulullah’. Rasul menjawab, ‘Bukan,
tetapi ini untuk dia dan kaumnya, yakni Abu Musa al-Asy’ari’.
Al-Hafidz
Ibnu Hajar al-Asqalani telah meriwayatkan suatu hadits dalam kitabnya
berjudul Fath al-Bari, dari Jabir bin Math’am dari Rasulullah
shallallahu alaihi wasallam berkata, ‘Wahai ahlu Yaman kamu mempunyai
derajat yang tinggi. Mereka seperti awan dan merekalah sebaik-baiknya
manusia di muka bumi’
Dalam Jami’ al-Kabir, Imam
al-Suyuthi meriwayatkan hadits dari Salmah bin Nufail, ‘Sesungguhnya aku
menemukan nafas al-Rahman dari sini’. Dengan isyarat yang menunjuk ke
negeri Yaman”. Masih dalam Jami’ al-Kabir, Imam al-Sayuthi meriwayatkan
hadits marfu’ dari Amru ibnu Usbah , berkata Rasulullah shallallahu
alaihi wasallam, ‘Sebaik-baiknya lelaki, lelaki ahlu Yaman‘.
Dari
Ali bin Abi Thalib, Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda,
‘Siapa yang mencintai orang-orang Yaman berarti telah mencintaiku, siapa
yang membenci mereka berarti telah membenciku”
Rasulullah
shallallahu alaihi wasallam telah bersabda bahwa jika telah
bermunculan fitnah atau perselisihan atau bahkan pembunuhan terhadap
umat la ilaha illallah karena perbedaan pendapat maka hijrahlah ke
Yaman, bumi para Wali Allah atau ikutilah atau merujuklah kepada
pendapat Ahlul Hadramaut, Yaman.
Diriwayatkan dari
Ibnu Abi al-Shoif dalam kitab Fadhoil al-Yaman, dari Abu Dzar
al-Ghifari, Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda, ‘Kalau terjadi
fitnah pergilah kamu ke negeri Yaman karena disana banyak terdapat
keberkahan’
Dalam syarah Shahih Muslim, Jilid. 17,
No.171 diriwayatkan Khalid bin Walīd ra bertanya kepada Rasulullah
shallallahu alaihi wasallam tentang orang-orang seperti Dzul
Khuwaisarah at Tamimi an Najdi yang berakhlak buruk dengan pertanyaan
“Wahai
Rasulullah, orang ini memiliki semua bekas dari ibadah-ibadah
sunnahnya: matanya merah karena banyak menangis, wajahnya memiliki dua
garis di atas pipinya bekas airmata yang selalu mengalir, kakinya
bengkak karena lama berdiri sepanjang malam (tahajjud) dan janggut
mereka pun lebat”
Rasulullah shallallahu alaihi
wasallam menjawab : camkan makna ayat ini : qul in’kuntum
tuhib’būnallāh fattabi’unī – Katakanlah: “Jika kamu mencintai Allah,
ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu.
karena Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”
Khalid bin Walid bertanya, “Bagaimana caranya ya Rasulullah ? ”
Nabi
shallallahu alaihi wasallam menjawab, “Jadilah orang yang ramah
seperti aku, bersikaplah penuh kasih, cintai orang-orang miskin dan
papa, bersikaplah lemah-lembut, penuh perhatian dan cintai
saudara-saudaramu dan jadilah pelindung bagi mereka.”
Indikator
atau ciri-ciri atau tanda-tanda orang yang mencintai Allah dan
dicintai oleh Allah sehingga menjadi wali Allah (kekasih Allah) adalah
sebagaimana yang disampaikan dalam firmanNya dalam (QS Al Maidah
[5]:44)
1. Bersikap lemah lembut terhadap sesama muslim
2. Bersikap keras (tegas / berpendirian) terhadap orang-orang kafir
3. Berjihad di jalan Allah, bergembira dalam menjalankan kewajibanNya dan menjauhi laranganNya
4. Tidak takut kepada celaan orang yang suka mencela.
Rasulullah
shallallahu alaihi wasallam telah menyampaikan bahwa ahlul Yaman
adalah orang-orang yang mudah menerima kebenaran, mudah terbuka mata
hatinya (ain bashiroh) dann banyak dikaruniakan hikmah (pemahaman yang
dalam terhadap Al Qur’an dan Hadits) sebagaimana Ulil Albab
Telah
menceritakan kepada kami Abul Yaman Telah mengabarkan kepada kami
Syu’aib Telah menceritakan kepada kami Abu Zinad dari Al A’raj dari Abu
Hurairah radliallahu ‘anhu dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam
beliau bersabda: “Telah datang penduduk Yaman, mereka adalah
orang-orang yang berperasaan dan hatinya paling lembut, kefaqihan dari
Yaman, hikmah ada pada orang Yaman.” (HR Bukhari 4039)
Dan
telah menceritakan kepada kami Amru an-Naqid dan Hasan al-Hulwani
keduanya berkata, telah menceritakan kepada kami Ya’qub -yaitu Ibnu
Ibrahim bin Sa’d- telah menceritakan kepada kami bapakku dari Shalih
dari al-A’raj dia berkata, Abu Hurairah berkata; “Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Telah datang penduduk Yaman,
mereka adalah kaum yang paling lembut hatinya. Fiqh ada pada orang
Yaman. Hikmah juga ada pada orang Yaman. (HR Muslim 74)
Kita
dapat telusuri apa yang telah disampaikan oleh ahlul Yaman melalui apa
yang disampaikan oleh Al Imam Al Haddad dan yang setingkat dengannya,
sampai ke Al Imam Umar bin Abdurrahman Al Attos dan yang setingkat
dengannya, sampai ke Asy’syeh Abubakar bin Salim, kemudian Al Imam
Syihabuddin, kemudian Al Imam Al Aidrus dan Syeh Ali bin Abibakar,
kemudian Al Imam Asseggaf dan orang orang yang setingkat mereka dan
yang diatas mereka, sampai keguru besar Al Fagih Almuqoddam Muhammad
bin Ali Ba’alawi Syaikhutthoriqoh dan orang orang yang setingkat
dengannya, sampai ke Imam Ahmad Al Muhajir bin Isa bin Muhammad bin Ali
Al Uraidhi bin Ja’far Ash Shodiq bin Muhammad Al Baqir bin Ali Zainal
Abidin bin Sayyidina Husain ra
Imam Ahmad Al Muhajir
bin Isa bin Muhammad bin Ali Al Uraidhi bin Ja’far Ash Shodiq bin
Muhammad Al Baqir bin Ali Zainal Abidin bin Sayyidina Husain ra sejak
Abad 7 H di Hadramaut Yaman beliau menganut madzhab Syafi’i dalam fiqih
, Ahlus Sunnah wal jama’ah dalam akidah (i’tiqod) mengikuti Imam
Asy’ari (bermazhab Imam Syafi’i) dan Imam Maturidi (bermazhab Imam
Hanafi) serta tentang akhlak atau tentang ihsan mengikuti ulama-ulama
tasawuf yang muktabaroh dan bermazhab dengan Imam Mazhab yang empat.
Di
Hadramaut kini, akidah dan madzhab Imam Al Muhajir yang adalah Sunni
Syafi’i, terus berkembang sampai sekarang, dan Hadramaut menjadi kiblat
kaum sunni yang “ideal” karena kemutawatiran sanad serta kemurnian
agama dan aqidahnya.
Dari Hadramaut (Yaman), anak cucu
Imam Al Muhajir menjadi pelopor dakwah Islam sampai ke “ufuk Timur”,
seperti di daratan India, kepulauan Melayu dan Indonesia. Mereka rela
berdakwah dengan memainkan wayang mengenalkan kalimat syahadah , mereka
berjuang dan berdakwah dengan kelembutan tanpa senjata , tanpa
kekerasan, tanpa pasukan , tetapi mereka datang dengan kedamaian dan
kebaikan. Juga ada yang ke daerah Afrika seperti Ethopia, sampai
kepulauan Madagaskar. Dalam berdakwah, mereka tidak pernah bergeser
dari asas keyakinannya yang berdasar Al Qur’an, As Sunnah, Ijma dan
Qiyas.
Salah satu alasan mereka menyempal keluar
(kharaja) dari mayoritas kaum muslim (as-sawadul a’zham) karena mereka
merasa sebagai yang dimaksud dengan Al Ghuroba atau orang-orang yang
asing sebagaimana hadits berikut
Telah menceritakan
kepada kami Muhammad bin Abbad dan Ibnu Abu Umar semuanya dari Marwan
al-Fazari, Ibnu Abbad berkata, telah menceritakan kepada kami Marwan
dari Yazid -yaitu Ibnu Kaisan- dari Abu Hazim dari Abu Hurairah dia
berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Islam
muncul dalam keadaan asing, dan ia akan kembali dalam keadaan asing,
maka beruntunglah orang-orang yang terasing.” (HR Muslim 208)
Ghuroba
atau “orang-orang yang terasing” dalam hadits tersebut bukanlah mereka
yang mengasingkan diri dari para ulama yang sholeh atau mereka yang
menyempal dari mayoritas kaum muslim (as-sawadul a’zham)
Hal
yang dimaksud dengan ghuroba adalah semakin sedikit kaum muslim yang
sholeh diantara mayoritas kaum muslim (as-sawad al a’zham)
Rasulullah
shallallahu alaihi wasallam besabda “Orang yang asing, orang-orang
yang berbuat kebajikan ketika manusia rusak atau orang-orang shalih di
antara banyaknya orang yang buruk, orang yang menyelisihinya lebih
banyak dari yang mentaatinya”. (HR. Ahmad)
Dari Abu
Hurairah, Rasulullah bersabda “Sesungguhnya Islam itu pada mulanya
datang dengan asing dan akan kembali dengan asing lagi seperti pada
mulanya datang. Maka berbahagialah bagi orang-orang yang asing”. Beliau
ditanya, “Ya Rasulullah, siapakah orang-orang yang asing itu ?”. Beliau
bersabda, “Mereka yang memperbaiki dikala rusaknya manusia”. [HR. Ibnu
Majah dan Thabrani]
Pada akhir zaman salah satu tandanya adalah semakin sulit ditemukan muslim yang sholeh
Dari
Ummul Mukminin Zainab binti Jahsy (isteri Rasulullah Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam), beliau berkata:” (Pada suatu hari) Rasulullah
Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam masuk ke dalam rumahnya dengan keadaan
cemas sambil bersabda, “La ilaha illallah, celaka (binasa) bangsa Arab
dari kejahatan (malapetaka) yang sudah hampir menimpa mereka. Pada hari
ini telah terbuka bagian dinding Ya’juj dan Ma’juj seperti ini”, dan
Baginda menemukan ujung ibu jari dengan ujung jari yang sebelahnya (jari
telunjuk) yang dengan itu mengisyaratkan seperti bulatan. Saya (Zainab
binti Jahsy) lalu bertanya, Ya Rasulullah! Apakah kami akan binasa,
sedangkan di kalangan kami masih ada orang-orang yang shaleh?” Lalu Nabi
Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda, Ya, jikalau kejahatan sudah
terlalu banyak.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Mereka
menyempal keluar (kharaja) dari mayoritas kaum muslim (as-sawadul
a’zham) salah satunya dikarenakan salah memahami firman Allah ta’ala
yang artinya “Dan jika kamu menuruti kebanyakan orang-orang yang di muka
bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah. Mereka
tidak lain hanyalah mengikuti persangkaan belaka, dan mereka tidak lain
hanyalah berdusta (terhadap Allah)” (QS Al An’aam [6]:116)
Yang
dimaksud “menuruti kebanyakan orang-orang yang di muka bumi” adalah
menuruti kaum musyrik. Hal ini dapat kita ketahui dengan memperhatikan
ayat-ayat sebelumnya pada surat tersebut.
Mereka
menyempal keluar (kharaja) dari mayoritas kaum muslim (as-sawadul
a’zham) karena menuhankan pendapat (kaum) mereka sendiri (istibdad bir
ro’yi) sehingga merasa (kaum) mereka pasti masuk surga
Sayyidina
Umar ra menasehatkan “Yang paling aku khawatirkan dari kalian adalah
bangga terhadap pendapatnya sendiri. Ketahuilah orang yang mengakui
sebagai orang cerdas sebenarnya adalah orang yang sangat bodoh. Orang
yang mengatakan bahwa dirinya pasti masuk surga, dia akan masuk neraka“
Salah
satu ciri khas atau alasan utama dari mereka yang menyempal keluar
(kharaja) dari mayoritas kaum muslim (as-sawadul a’zham) adalah karena
beranggapan mayoritas kaum muslim telah rusak atau mereka beranggapan
lebih suci, lebih benar daripada mayoritas kaum muslim (as-sawadul
a’zham)
Telah menceritakan kepada kami ‘Abdullah bin
Maslamah bin Qa’nab; Telah menceritakan kepada kami Hammad bin Salamah
dari Suhail bin Abu Shalih dari Bapaknya dari Abu Hurairah dia
berkata; Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: Demikian
juga diriwayatkan dari jalur lainnya, Dan telah menceritakan kepada
kami Yahya bin Yahya dia berkata; Aku membaca Hadits Malik dari Suhail
bin Abu Shalih dari Bapaknya dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: Apabila ada seseorang yang
berkata; ‘Celakalah (rusaklah) manusia’, maka sebenarnya ia sendiri
yang lebih celaka (rusak) dari mereka. (HR Muslim 4755)
Wassalam
Zon di Jonggol, Kabupaten Bogor 16830
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar