Cara menghancurkan umat Islam dari dalam
Salah
satu cara menghancurkan umat Islam dari dalam adalah ajakan kembali
kepada Al Qur'an dan As Sunnah bersandarkan mutholaah (menelaah kitab)
secara otodidak (shahafi) dengan akal pikiran sendiri sebagaimana ulama
panutan mereka, ulama Najed yakni Muhammad bin Abdul Wahhab
sebagaimana informasi dari situs resmi mereka seperti pada
http://www.saudiembassy.net/about/country-information/Islam/saudi_arabia_Islam_heartland.aspx
“In
the 18th century, a religious scholar of the central Najd, Muhammad
bin Abdul Wahhab, joined forces with Muhammad bin Saud, the ruler of
the town of Diriyah, to bring the Najd and the rest of Arabia back to
the original and undefiled form of Islam”.
Ulama Najed
mengingatkan kita kepada penduduk Najed yang mempunyai keunikan
tersendiri karena mereka disebutkan dalam beberapa hadits untuk kita
ambil hikmah atau pelajaran sebagaimana yang telah disampaikan dalam
tulisan pada
http://mutiarazuhud.wordpress.com/2013/08/29/mengenal-najed
Pada
awalnya sanad guru (sanad ilmu) Muhammad bin Abdul Wahhab terjaga
dengan bertalaqqi (mengaji) pada ulama yang mengikuti Imam Mazhab yang
empat namun pada akhirnya Muhammad bin Abdul Wahhab mengikuti pola
pemahaman Ibnu Taimiyyah yakni memahami Al Qur’an dan As Sunnah
bersandarkan mutholaah (menelaah kitab) secara otodidak (shahafi) dengan
akal pikirannya sendiri sebagaimana informasi dari kalangan mereka
sendiri yang menyebut Muhammad bin Abdul Wahhab sebagai imam seperti
pada
http://rizqicahya.wordpress.com/tag/imam-muhammad-bin-abdul-wahhab-bag-ke-1/
***** awal kutipan *****
Lengkaplah
sudah ilmu yang diperlukan oleh seorang yangpintar yang kemudian
dikembangkan sendiri melalui metode otodidak (belajar sendiri)
sebagaimana lazimnya para ulama besar Islam mengembangkan ilmu-ilmunya.
Di mana bimbingan guru hanyalah sebagai modal dasar yang selanjutnya
untuk dapat dikembangkan dan digali sendiri oleh yang bersangkutan
***** akhir kutipan *****
Begitu
pula dari biografi Ibnu Taimiyyah pun kita mengetahui bahwa beliau
termasuk orang-orang yang memahami Al Qur’an dan as Sunnah bersandarkan
mutholaah (menelaah kitab) secara otodidak (shahafi) dengan akal
pikiran sendiri seperti contoh informasi dari
http://zakiaassyifa.wordpress.com/2011/05/10/biografi-tokoh-islam/
***** awal kutipan ******
Ibn
Taimiyyah juga seorang otodidak yang serius. Bahkan keluasan wawasan
dan ketajaman analisisnya lebih terbentuk oleh berbagai literatur yang
dia baca dan dia teliti sendiri.
***** akhir kutipan ******
Sedangkan
Al Albani adalah ahli hadits dalam arti ahli membaca hadits bukan ahli
hadits dalam arti menerima hadits dari ahli hadits sebelumnya.
Al
Albani sangat terkenal sebagai ulama yang banyak menghabiskan waktunya
untuk membaca hadits di balik perpustakaan sebagaimana contoh
informasi pada
http://id.wikipedia.org/wiki/Muhammad_Nashiruddin_Al-Albani
**** awal kutipan *****
Semakin
terpikatnya Syaikh al-Albani terhadap hadits Nabi, itulah kata yang
tepat baginya. Bahkan hingga toko reparasi jamnya pun memiliki dua
fungsi, sebagai tempat mencari nafkah dan tempat belajar, dikarenakan
bagian belakang toko itu sudah diubahnya sedemikian rupa menjadi
perpustakaan pribadi. Bahkan waktunya mencari nafkah pun tak ada
apa-apanya bila dibandingkan dengan waktunya untuk belajar, yang pada
saat-saat tertentu hingga (total) 18 jam dalam sehari untuk belajar, di
luar waktu-waktu salat dan aktivitas lainnya (Asy Syariah Vol. VII/No.
77/1432/2011 hal. 12, Qomar Suaidi, Lc)
Syaikh al-Albani
pun secara rutin mengunjungi perpustakaan azh-Zhahiriyyah di Damaskus
untuk membaca buku-buku yang tak biasanya didapatinya di toko buku. Dan
perpustakaan pun menjadi laboratorium umum baginya, waktu 6-8 jam bisa
habis di perpustakaan itu, hanya keluar di waktu-waktu salat, bahkan
untuk makan pun sudah disiapkannya dari rumah berupa makanan-makanan
ringan untuk dinikmatinya selama di perpustakaan
***** akhir kutipan *****
Rasulullah
shallallahu alaihi wasallam bersabda,“Barangsiapa menguraikan Al
Qur’an dengan akal pikirannya sendiri dan merasa benar, maka
sesungguhnya dia telah berbuat kesalahan”. (HR. Ahmad)
Apakah orang yang otodidak dari kitab-kitab hadits layak disebut ahli hadits ?
Syaikh
Nashir al-Asad menjawab pertanyaan ini: “Orang yang hanya mengambil
ilmu melalui kitab saja tanpa memperlihatkannya kepada ulama dan tanpa
berjumpa dalam majlis-majlis ulama, maka ia telah mengarah pada
distorsi. Para ulama tidak menganggapnya sebagai ilmu, mereka
menyebutnya shahafi atau otodidak, bukan orang alim… Para ulama menilai
orang semacam ini sebagai orang yang dlaif (lemah). Ia disebut shahafi
yang diambil dari kalimat tashhif, yang artinya adalah seseorang
mempelajari ilmu dari kitab tetapi ia tidak mendengar langsung dari para
ulama, maka ia melenceng dari kebenaran. Dengan demikian, Sanad dalam
riwayat menurut pandangan kami adalah untuk menghindari kesalahan
semacam ini” (Mashadir asy-Syi’ri al-Jahili 10)
Orang
yang berguru tidak kepada guru tapi kepada buku saja maka ia tidak akan
menemui kesalahannya karena buku tidak bisa menegur tapi kalau guru
bisa menegur jika ia salah atau jika ia tak faham ia bisa bertanya,
tapi kalau buku jika ia tak faham ia hanya terikat dengan pemahaman
dirinya sendiri menurut akal pikirannya sendiri.
Ustadz Ahmad Sarwat,Lc,.MA dalam tulisan pada
http://www.rumahfiqih.com/x.php?id=1357669611&title=adakah-mazhab-salaf.htm mengatakan
***** awal kutipan ****
Ibnu
Taimiyah, Ibnul Qayyim dan Ibnu Hazm, kalau dilihat angka tahun
lahirnya, mereka juga bukan orang salaf, karena mereka hidup jauh
ratusan tahun setelah Rasulullah shallallahu alaihi wasallam wafat.
Apalagi Syeikh Bin Baz, Utsaimin dan Al-Albani, mereka bahkan lebih
bukan salaf lagi, tetapi malahan orang-orang khalaf yang hidup sezaman
dengan kita.
Sayangnya, Ibnu Taymiyah, Ibnul Qayyim,
apalagi Bin Baz, Utsaimin termasuk Al-Albani, tak satu pun dari mereka
yang punya manhaj, kalau yang kita maksud dengan manhaj itu adalah arti
sistem dan metodologi istimbath hukum yang baku. Bahasa mudahnya,
mereka tidak pernah menciptakan ilmu ushul fiqih. Jadi mereka cuma
bikin fatwa, tetapi tidak ada kaidah, manhaj atau polanya.
Kalau
kita ibaratkan komputer, mereka memang banyak menulis file word,
tetapi mereka tidak menciptakan sistem operasi. Mereka punya banyak
fatwa, mungkin ribuan, tetapi semua itu levelnya cuma fatwa, bukan
manhaj apalagi mazhab.
Bukan Salaf Tetapi Dzahihiri
Sebenarnya
kalau kita perhatikan metodologi istimbath mereka yang mengaku-ngaku
sebagai salaf, sebenarnya metode mereka itu tidak mengacu kepada masa
salaf. Kalau dipikir-pikir, metode istimbah yang mereka pakai itu lebih
cenderung kepada mazhab Dzhahiriyah. Karena kebanyakan mereka berfatwa
hanya dengan menggunakan nash secara Dzhahirnya saja.
Mereka
tidak menggunakan metode istimbath hukum yang justru sudah baku,
seperti qiyas, mashlahah mursalah, istihsan, istishhab, mafhum dan
manthuq. Bahkan dalam banyak kasus, mereka tidak pandai tidak mengerti
adanya nash yang sudah dinasakh atau sudah dihapus dengan adanya nash
yang lebih baru turunnya.
Mereka juga kurang pandai dalam
mengambil metode penggabungan dua dalil atau lebih (thariqatul-jam’i)
bila ada dalil-dalil yang sama shahihnya, tetapi secara dzhahir nampak
agak bertentangan. Lalu mereka semata-mata cuma pakai pertimbangan mana
yang derajat keshahihannya menurut mereka lebih tinggi. Kemudian nash
yang sebenarnya shahih, tapi menurut mereka kalah shahih pun dibuang.
Padahal
setelah dipelajari lebih dalam, klaim atas keshahihan hadits itu
keliru dan kesalahannya sangat fatal. Cuma apa boleh buat, karena
fatwanya sudah terlanjur keluar, ngotot bahwa hadits itu tidak shahih.
Maka digunakanlah metode menshahihan hadits yang aneh bin ajaib alias
keluar dari pakem para ahli hadits sendiri.
Dari metode
kritik haditsnya saja sudah bermasalah, apalagi dalam mengistimbath
hukumnya. Semua terjadi karena belum apa-apa sudah keluar dari pakem
yang sudah ada. Seharusnya, yang namanya ulama itu, belajar dulu yang
banyak tentang metode kritik hadits, setelah itu belajar ilmu ushul
agar mengeti dan tahu bagaimana cara melakukan istimbath hukum. Lah ini
belum punya ilmu yang mumpuni, lalu kok tiba-tiba bilang semua orang
salah, yang benar cuma saya seorang.
***** akhir kutipan *****
Sebagaimana
yang telah disampaikan dalam tulisan pada http://
mutiarazuhud.wordpress.com/2013/10/07/masalah-karena-salahpaham/ tentang
permasalahan yang dapat timbul karena salah dalam memahami Al Qur’an
dan As Sunnah, salah satunya adalah dapat menimbulkan perselisihan dan
bahkan kebencian sebagaimana yang telah disampaikan dalam tulisan pada
http://mutiarazuhud.wordpress.com/2013/08/19/menimbulkan-kebencian/
Contoh perselisihan dan bahkan kebencian karena masing-masing merasa pasti benar adalah apa yang mereka pertontonkan pada
http://tukpencarialhaq.com/2013/07/14/parodi-rodja-bag-10-beking-dakwah-halabiyun-firanda-adalah-pendusta-besar/
http://tukpencarialhaq.com/2013/08/06/parodi-rodja-13-menjawab-tantangan-dokter-dan-guru-besar-beladiri/
http://mutiarazuhud.wordpress.com/2013/10/08/di-antara-mereka/
http://mutiarazuhud.wordpress.com/2012/11/27/salafi-yamani-dan-haraki/
Konflik-konflik
yang terjadi di negara kaum muslim berada seperti Somalia,
Afghanistan, Irak, Libya, Pakistan, Mesir dan lain lain, pada
kenyataanya disebabkan mereka yang memaksakan syariat Islam berdasarkan
Al Qur’an dan As Sunnah namun bersandarkan mutholaah (menelaah kitab)
secara otodidak (shahafi) dengan akal pikiran mereka sendiri bermazhab
dzahiriyyah yakni berpendapat, berfatwa, beraqidah (beri’tiqod) selalu
berpegang pada nash secara dzahir (makna dzahir) atau memahaminya
berdasarkan arti bahasa (lughot) dan istilah (terminologi) saja. Hal
ini telah disampaikan dalam tulisan pada
http://mutiarazuhud.wordpress.com/2013/07/29/solusi-atasi-konflik/
Dalam
sejarah negara kita, dahulu terjadi pemberontakan yang dilakukan oleh
mereka yang menyebut dirinya Darul Islam atau Tentara Islam Indonesia
(yang biasa disingkat DI/TII) di bawah pimpinan SM. Kartosuwiryo. Dia
mempunyai latar belakang pendidikan Barat bukan seorang santri dari
sebuah pesantren. Bahkan diceritakan orang bahwa ia tidak pernah
mempunyai pengetahuan yang benar tentang bahasa Arab dan agama Islam.
Kita
dapat mengambil pelajaran dari Somalia bahwa kehancuran negara
tersebut terjadi diakibatkan orang-orang yang memaksakan syariat Islam
bersandarkan mutholaah (menelaah kitab) secara otodidak (shahafi)
dengan akal pikirannya masing masing sehingga timbul perselisihan di
antara faksi.
Sebagaimana diketahui, setelah Syarif
diangkat menjadi pemimpin Somalia pada Januari 2009 lalu, faksi pejuang
Somalia terbagi menjadi dua, antara pendukung dan penentang.
Sebagian
kelompok Mahakim Al Islami, yang dipimpin oleh Syeikh Abdul Qadir Ali
Umar, Harakah Al Ishlah (Ikhwan Al Muslimun), Harakah Tajammu’ Al
Islami dan Jama’ah Ahlu Sunnah wa al Jama’ah adalah 4 faksi menyatakan
dukungan kepada Syarif.
Sedangkan Harakah As Syabab Al
Mujahidin serta Al Mahakim Al Islami wilayah Asmarah, Al Jabhah Al
Islamiyah serta Mu’askar Anuli, yang bergabung dalam Hizb Al Islami.
Syeikh
Syarif sebagai kepala pemerintahan transisi menegaskan, “Islam adalah
dasar dalam setiap gerak pemerintah Somalia.” Akan tetapi Syeikh Syarif
menolak pemikiran Syabab Mujahidin yang menurutnya masih jauh dari
konsep Islam ideal.
Begitupula konflik di Mesir
diakibatkan sekelompok umat Islam yang tidak dapat melepaskan “baju”
ikhwanul muslimin untuk mentaati para fuqaha (mufti) di Mesir.
Saat
ini mufti agung Mesir adalah Prof. Dr. Syauqi Ibrahim Abdul Karim
‘Allam. Salah satu syarat sebagai mufti Agung Mesir adalah lulusan Ph.D.
Al-Azhar -tulen Al-Azhar dari sekolah dasar hingga strata tiga-,
berpegang teguh kepada metode Al-Azhar. Sanad talaqqi dalam aqidah dan
mazhab fikih yang sampai saat ini dilestarikan salah satunya oleh ulama
dan universitas Al-Azhar Asy-Syarif. Hal inilah yang mengapa Al-Azhar
menjadi sumber ilmu keislaman selama berabad-abad. Karena manhaj yang di
gunakan adalah manhaj shahih talaqqi (mengaji dengan ulama) yang
memiliki sanad yang jelas dan sangat sistematis. Sehingga sarjana yang
menetas dari Al-azhar adalah tidak hanya ahli akademis semata tapi juga
alim serta selalu terjaga kemutawatiran sanad, kemurnian agama dan
akidahnya. Prof. Dr. Syauqi Ibrahim bermazhab Maliki namun beliau
menguasai ke empat Mazhab terlebih sejak Januari 2012 sampai sekarang
beliau telah diberi amanah sebagai Kepala Jurusan (Kajur) bidang Fikih
di Universitas Al Azhar, Thanta.
Rasulullah shallallahu
alaihi wasallam juga telah memperingatkan kita bahwa perselisihan
timbul dari ulama bangsa Arab sendiri. Maksudnya perselisihan timbul
dari orang-orang yang berkemampuan bahasa Arab yang berupaya mengambil
hukum-hukum dari Al Qur’an dan As Sunnah dari sudut arti bahasa saja.
Saya (Khudzaifah Ibnul Yaman) bertanya ‘Ya Rasulullah, tolong beritahukanlah kami tentang ciri-ciri mereka!
Nabi menjawab; Mereka adalah seperti kulit kita ini, juga berbicara dengan bahasa kita.
Saya bertanya ‘Lantas apa yang anda perintahkan kepada kami ketika kami menemui hari-hari seperti itu?
Nabi menjawab; Hendaklah kamu selalu bersama jamaah muslimin dan imam mereka!
Aku bertanya; kalau tidak ada jamaah muslimin dan imam bagaimana?
Nabi
menjawab; hendaklah kau jauhi seluruh firqah (kelompok-kelompok/
sekte) itu, sekalipun kau gigit akar-akar pohon hingga kematian
merenggutmu kamu harus tetap seperti itu. (HR Bukhari)
Berkata
Ibnu Hajar rahimahullah dalam Fathul Bari XIII/36:“Yakni dari kaum
kita, berbahasa seperti kita dan beragama dengan agama kita. Ini
mengisyaratkan bahwa mereka adalah bangsa Arab”.
Rasulullah
shallallahu alaihi wasallam bersabda, “Akan datang pada akhir zaman,
orang-orang muda dan berpikiran sempit. Mereka senantiasa berkata baik.
Mereka keluar dari agama Islam, sebagaimana anak panah lepas dari
busurnya. Mereka mengajak manusia untuk kembali kepada Al-Quran, padahal
mereka sama sekali tidak mengamalkannya. Mereka membaca Al-Quran,
namun tidak melebihi kerongkongan mereka. Mereka berasal dari bangsa
kita (Arab). Mereka berbicara dengan bahasa kita (bahasa Arab). Kalian
akan merasa shalat kalian tidak ada apa-apanya dibandingkan shalat
mereka, dan puasa kalian tidak ada apa-apanya dibandingkan puasa
mereka.”
Perselisihan timbul pada umumnya disebabkan
karena sembarangan dalam beristinbat yakni menetapkan sesuatu boleh
atau tidak boleh dilakukan atau sesuatu jika ditinggalkan berdosa atau
sesuatu jika dikerjakan berdosa bersandarkan mutholaah (menelaah kitab)
secara otodidak (shahafi) dengan akal pikiran sendiri.
Orang-orang
yang mendalami Al Qur’an dan As Sunnah bersandarkan mutholaah
(menelaah kitab) secara otodidak (shahafi) dengan akal pikiran mereka
sendiri, pada umumnya memahaminya dari sudut arti bahasa (lughot) dan
istilah (terminologi) saja atau dikatakan mereka bermazhab dzahiriyyah
yakni mereka berpendapat, berfatwa, beraqidah (beri’tiqod) selalu
berpegang pada nash secara dzahir (makna dzahir) sebagaimana yang telah
disampaikan dalam tulisan pada
http://mutiarazuhud.wordpress.com/2013/07/24/arti-bahasa-saja
Hal
yang perlu diketahui bahwa seseorang ketika menyatakan pendapat dengan
berdalilkan Kitabullah, sabda Rasulullah atau perkataan para ulama
terdahulu maka hal itu termasuk berijtihad
Ketika
seseorang menyampaikan dan menjelaskan Kitabullah, sabda Rasulullah
maupun perkataan para ulama terdahulu maka hal itu termasuk berijtihad.
Ketika
seseorang menetapkan sesuatu boleh atau tidak boleh dilakukan atau
sesuatu jika ditinggalkan berdosa atau sesuatu jika dikerjakan berdosa
berdasarkan Kitabullah, sabda Rasulullah dan didukung dengan perkataan
para ulama terdahulu maka hal itu termasuk beristinbat atau menggali
hukum.
Fatwa adalah berijtihad dan beristinbat. Jika seseorang berfatwa tanpa ilmu maka akan sesat dan menyesatkan
Telah
menceritakan kepada kami Isma’il bin Abu Uwaisnberkata, telah
menceritakan kepadaku Malik dari Hisyam bin ‘Urwah dari bapaknya dari
Abdullah bin ‘Amru bin Al ‘Ash berkata; aku mendengar Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: Sesungguhnya Allah tidaklah
mencabut ilmu sekaligus mencabutnya dari hamba, akan tetapi Allah
mencabut ilmu dengan cara mewafatkan para ulama hingga bila sudah tidak
tersisa ulama maka manusia akan mengangkat pemimpin dari kalangan
orang-orang bodoh, ketika mereka ditanya mereka berfatwa tanpa ilmu,
mereka sesat dan menyesatkan (HR Bukhari 98).
Asy Syaikh Al Imam Abu Abdullah Muhammad Ibnu Hazm~rahimahullah mengatakan
***** awal kutipan *****
“rukun
atau pilar penyangga yang paling besar di dalam bab“ijtihad” adalah
mengetahui naql. Termasuk di antara faedah ilmu naql ini adalah
mengetahui nasikh dan mansukh. Karena untuk memahami pengertian
khitab-khitab atau perintah-perintah itu amatlah mudah, yaitu hanya
dengan melalui makna lahiriah (makna tersurat / makna dzahir) dari
berita-berita yang ada. Demikianpula untuk menanggung bebannya tidaklah
begitu sulit pelaksanananya.
Hanya saja yang menjadi
kesulitan itu adalah mengetahui bagaimana caranya mengambil kesimpulan
hukum-hukum dari makna yang tersirat dibalik nas-nas yang ada. Termasuk
di antara penyelidikan yang menyangkut nas-nas tersebut adalah
mengetahui kedua perkara tersebut, yaitu makna lahiriah (makna dzahir)
dan makna yang tersirat, serta pengertian-pengertian lain yang
terkandung didalamnya.
Sehubungan dengan hal yang telah
disebutkan di atas, ada sebuah atsar yang bersumber dari Abu Abdur
Rahman. ia telah menceritakan bahwa sahabat Ali ra, berjumpa dengan
seorang qadi atau hakim, lalu Ali ra bertanya kepadanya “Apakah kamu
mengetahui masalah nasikh dan masukh?” Si Qadi tadi menjawab: “Tidak”.
Maka Ali ra menegaskan “Kamu adalah orang yang celaka dan mencelakakan”
***** akhir kutipan *****
Contohnya
kepada orang Arab yang berprofesi sebagai pedagang yang tentunya
berbahasa Arab atau paham bahasa Arab karena mengerti bahasa Arab atau
dapat memahami berdasarkan arti bahasa, lalu kita serahkan kitab Al
Qur’an dan kitab Hadits lengkap berikut penilaian ke-shahih-annya dari
para ahli hadits.
Tentunya pedagang Arab tersebut tidak
akan berani berpendapat, berfatwa atau menyampaikan seputar aqidah
(i’tiqod) berdasarkan mutholaah (menelaah kitab) secara otodidak
(shahafi) dengan akal pikirannya sendiri dengan kemampuan memahami
berdasarkan arti bahasa saja.
Dalam memahami Al Qur’an
dan Hadits untuk keperluan beristinbat atau menggali hukum atau
menetapkan sesuatu boleh atau tidak boleh dilakukan atau sesuatu jika
ditinggalkan berdosa atau sesuatu jika dikerjakan berdosa berdasarkan Al
Qur’an dan Hadits tidak cukup bermodalkan arti bahasa (lughot) dan
istilah (terminologi) saja
Diperlukan ilmu untuk memahami
Al Qur’an dan As Sunnah seperti ilmu tata bahasa Arab atau ilmu alat
seperti nahwu, sharaf, balaghah (ma’ani, bayan dan badi’) ataupun ilmu
fiqih maupun ushul fiqih dan lain lain. Kalau tidak menguasai ilmu
untuk memahami Al Qur’an dan As Sunnah maka akan sesat dan menyesatkan.
Syeikh
Al Islam Izzuddin bin Abdissalam dalam kitab beliau Qawaid Al Ahkam
(2/337-339) sebagaimana diuraikan dalam tulisan pada
http://syeikhnawawial-bantani.blogspot.com/2011/12/pembagian-bidah-menurut-imam-izzuddin.html
menyatakan bahwa menguasai ilmu tata bahasa Arab atau ilmu alat
seperti nahwu, sharaf, balaghah (ma’ani, bayan dan badi’) adalah
termasuk bid’ah hasanah dan hukumnya wajib. Bid’ah tersebut hukumnya
wajib, karena memelihara syari’at juga hukumnya wajib. Tidak mudah
memelihara syari’at terkecuali harus mengetahui tata bahasa Arab.
Sebagaimana kaidah ushul fiqih: “Maa laa yatimmul waajibu illa bihi
fahuwa wajibun”. Artinya: “Sesuatu yang tidak sempurna kecuali
dengannya, maka hukumnya wajib”.
Sebagaimana yanng telah kami sampaikan dalam tulisan pada
http://mutiarazuhud.wordpress.com/2013/10/21/demi-ukhuwah-islamiyah/
bahwa kaum muslim dalam menjalankan kehidupan diperbolehkan
berkelompok atau mengikuti jama’ah minal muslimin seperti mengikuti
organisasi kemasyarakatan (ormas) namun ketika sebuah kelompok kaum
muslim menetapkan untuk mengikuti pemahaman seseorang atau pemahaman
sebuah majlis dari kelompok tersebut terhadap Al Qur’an dan As Sunnah
dan tidak berkompetensi sebagai Imam Mujtahid Mutlak atau ahli istidlal
maka berubahlah menjadi sebuah sekte atau firqoh.
Sedangkan
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam telah memperingatkan kita bahwa
jika kita menemukan perselisihan karena perbedaan pendapat maka
ikutilah mayoritas kaum muslim (as-sawadul a’zham) dan hindarilah semua
sekte atau firqoh yang menyempal keluar (kharaja) dari mayoritas kaum
muslim
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda:
“Sesungguhnya Allah tidak menghimpun ummatku diatas kesesatan. Dan
tangan Allah bersama jama’ah. Barangsiapa yang menyelewengkan
(menyempal), maka ia menyeleweng (menyempal) ke neraka“. (HR. Tirmidzi:
2168).
Al-Hafidz Ibnu Hajar rahimahullah dalam Fathul
Bari XII/37 menukil perkataan Imam Thabari rahimahullah yang
menyatakan: “Berkata kaum (yakni para ulama), bahwa jama’ah adalah
as-sawadul a’zham (mayoritas kaum muslim)“
Rasulullah
shallallahu alaihi wasallam bersabda “Sesungguhnya umatku tidak akan
bersepakat pada kesesatan. Oleh karena itu, apabila kalian melihat
terjadi perselisihan maka ikutilah as-sawad al a’zham (mayoritas kaum
muslim).” (HR.Ibnu Majah, Abdullah bin Hamid, at Tabrani, al Lalika’i,
Abu Nu’aim. Menurut Al Hafidz As Suyuthi dalam Jamius Shoghir, ini
adalah hadits Shohih).
Pada masa sekarang mayoritas kaum
muslim (as-sawadul a’zham) adalah bagi siapa saja yang mengikuti
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam dengan mengikuti para ulama yang
sholeh yang mengikuti Imam Mazhab yang empat.
Sebagaimanapula yang telah disampaikan dalam tulisan pada
http://mutiarazuhud.wordpress.com/2013/07/18/islam-adalah-satu/
bahwa Islam adalah satu pada masa sekarang adalah Islam sebagaimana
yang telah disampaikan dan dijelaskan oleh para penunjuk yakni para
ulama yang sholeh yang mengikuti Imam Mazhab yang empat.
Allah
Azza wa Jalla telah berfirman bahwa solusi jika kita berselisih karena
berlainan pendapat tentang sesuatu maka ikuti dan taatilah ulil amri
setempat yakni para fuqaha yang faqih dalam memahami Al Qur’an dan As
Sunnah
Firman Allah ta’ala yang artinya “Hai orang-orang
yang beriman, ta’atilah Allah dan ta’atilah Rasul (Nya), dan ulil amri
di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu,
maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al-Qur’an) dan Rasul (sunnahnya),
jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang
demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya” (QS An
Nisaa [4]:59)
Siapakah ulil amri yang harus ditaati oleh kaum muslim ?
Rasulullah
shallallahu alaihi wasallam adalah sosok ulama dan umara sekaligus.
Begitu juga para khulafaur Rasyidin seperti Sayyidina Abu Bakar,
Sayyidina Umar, Sayyidina Ustman dan Sayyidina Ali radhiyallahuanhum,
begitu juga beberapa khalifah dari bani Umayah dan bani Abbas.
Namun
dalam perkembangan sejarah Islam selanjutnya, sangat jarang kita
dapatkan seorang pemimpin negara yang benar-benar paham terhadap Islam.
Dari sini, mulailah terpisah antara ulama dan umara.
Ibnu
Abbas ra sebagaimana yang disebutkan oleh Imam Thobari dalam tafsirnya
telah menyampaikan bahwa ulil amri yang ditaati adalah para pakar
fiqih atau para ulama yang menguasai hukum-hukum Allah.
Syarat-syarat
atau kompentensi sehingga termasuk ulama yang menguasai fiqih
(hukum-hukum dalam Islam) adalah sebagaimana yang disampaikan oleh KH.
Muhammad Nuh Addawami sebagai berikut,
*****awal kutipan *****
a.
Mengetahui dan menguasai bahasa arab sedalam-dalamnya, karena al-quran
dan as-sunnah diturunkan Allah dan disampaikan Rasulullah Shallallahu
‘Alaihi Wasallam dalam bahasa Arab yang fushahah dan balaghah yang
bermutu tinggi, pengertiannya luas dan dalam, mengandung hukum yang
harus diterima. Yang perlu diketahui dan dikuasainya bukan hanya arti
bahasa tetapi juga ilmu-ilmu yang bersangkutan dengan bahasa arab itu
seumpama nahwu, sharaf, balaghah (ma’ani, bayan dan badi’).
b.
Mengetahui dan menguasai ilmu ushul fiqh, sebab kalau tidak, bagaimana
mungkin menggali hukum secara baik dan benar dari al-Quran dan
as-Sunnah padahal tidak menguasai sifat lafad-lafad dalam al-Quran dan
as-Sunnah itu yang beraneka ragam yang masing-masing mempengaruhi
hukum-hukum yang terkandung di dalamnya seperti ada lafadz nash, ada
lafadz dlahir, ada lafadz mijmal, ada lafadz bayan, ada lafadz muawwal,
ada yang umum, ada yang khusus, ada yang mutlaq, ada yang muqoyyad,
ada majaz, ada lafadz kinayah selain lafadz hakikat. ada pula nasikh
dan mansukh dan lain sebagainya.
c. Mengetahui dan menguasai dalil ‘aqli penyelaras dalil naqli terutama dalam masalah-masalah yaqiniyah qath’iyah.
d.
Mengetahui yang nasikh dan yang mansukh dan mengetahui asbab an-nuzul
dan asbab al-wurud, mengetahui yang mutawatir dan yang ahad, baik dalam
al-Quran maupun dalam as-Sunnah. Mengetahui yang sahih dan yang
lainnya dan mengetahui para rawi as-Sunnah.
e. Mengetahui ilmu-ilmu yang lainnya yang berhubungan dengan tata cara menggali hukum dari al-Quran dan as-Sunnah.
Bagi
yang tidak memiliki kemampuan, syarat dan sarana untuk menggali
hukum-hukum dari al-Quran dan as-Sunnah dalam masalah-masalah
ijtihadiyah padahal dia ingin menerima risalah Rasulullah Shallallahu
‘Alaihi Wasallam secara utuh dan kaffah, maka tidak ada jalan lain
kecuali taqlid kepada mujtahid yang dapat dipertanggungjawabkan
kemampuannya.
Diantara para mujtahid yang madzhabnya mudawwan adalah empat imam mujtahid, yaitu:
- Imam Abu Hanifah Nu’man bin Tsabit;
– Imam Malik bin Anas;
– Imam Muhammad bin Idris Asy-Syafi’i ; dan
– Imam Ahmad bin Hanbal.
Mengharamkan
taqlid dan mewajibkan ijtihad atau ittiba’ dalam arti mengikuti
pendapat orang disertai mengetahui dalil-dalilnya terhadap orang awam
(yang bukan ahli istidlal) adalah fatwa sesat dan menyesatkan yang akan
merusak sendi-sendi kehidupan di dunia ini.
Memajukan
dalil fatwa terhadap orang awam sama saja dengan tidak memajukannya.
(lihat Hasyiyah ad-Dimyathi ‘ala syarh al- Waraqat hal 23 pada baris
ke-12).
Apabila si awam menerima fatwa orang yang
mengemukakan dalilnya maka dia sama saja dengan si awam yang menerima
fatwa orang yang tidak disertai dalil yang dikemukakan. Dalam artian
mereka sama-sama muqallid, sama-sama taqlid dan memerima pendapat orang
tanpa mengetahui dalilnya.
Yang disebut muttabi’ “bukan
muqallid” dalam istilah ushuliyyin adalah seorang ahli istidlal
(mujtahid) yang menerima pendapat orang lain karena dia selaku ahli
istidlal dengan segala kemampuannya mengetahui dalil pendapat orang itu.
Adapun
orang yang menerima pendapat orang lain tentang suatu fatwa dengan
mendengar atau membaca dalil pendapat tersebut padahal sang penerima itu
bukan atau belum termasuk ahli istidlal maka dia tidak termasuk
muttabi’ yang telah terbebas dari ikatan taqlid.
Pendek
kata arti ittiba’ yang sebenarnya dalam istilah ushuliyyin adalah
ijtihad seorang mujtahid mengikuti ijtihad mujtahid yang lain.
***** akhir kutipan *****
Oleh
karenanya setelah masa kehidupan Imam Madzhab yang empat, para mufti
yakni orang yang faqih untuk membuat fatwa selalu merujuk kepada salah
satu dari Imam Madzhab yang empat.
Allah ta’ala berfirman
yang artinya “Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk
Islam) dari golongan Muhajirin dan Anshar dan orang-orang yang
mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan merekapun
ridha kepada Allah dan Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang
mengalir sungai-sungai di dalamnya selama-lamanya. Mereka kekal di
dalamnya. Itulah kemenangan yang besar“. (QS at Taubah [9]:100)
Dari
firmanNya tersebut dapat kita ketahui bahwa orang-orang yang diridhoi
oleh Allah Azza wa Jalla adalah orang-orang yang mengikuti Salafush
Sholeh. Sedangkan orang-orang yang mengikuti Salafush Sholeh yang
paling awal dan utama adalah Imam Mazhab yang empat.
Memang
ada mazhab yang lain selain dari Imam Mazhab yang empat namun pada
kenyataannya ulama yang memiliki ilmu riwayah dan dirayah dari Imam
Mazhab yang lain sudah sukar ditemukan pada masa kini.
Tentulah
kita mengikuti atau taqlid kepada Imam Mazhab yang empat dengan
merujuk kepada Al Qur’an dan As Sunnah. Imam Mazhab yang empat patut
untuk diikuti oleh kaum muslim karena jumhur ulama telah sepakat dari
dahulu sampai sekarang sebagai para ulama yang berkompetensi sebagai
Imam Mujtahid Mutlak, pemimpin atau imam ijtihad dan istinbat kaum
muslim.
Kelebihan lainnya, Imam Mazhab yang empat adalah masih bertemu dengan Salafush Sholeh.
Contohnya
Imam Syafi”i ~rahimahullah adalah imam mazhab yang cukup luas
wawasannya karena bertemu atau bertalaqqi (mengaji) langsung kepada
Salafush Sholeh dari berbagai tempat, mulai dari tempat tinggal awalnya
di Makkah, kemudian pindah ke Madinah, pindah ke Yaman, pindah ke Iraq,
pindah ke Persia, kembali lagi ke Makkah, dari sini pindah lagi ke
Madinah dan akhirnya ke Mesir. Perlu dimaklumi bahwa perpindahan beliau
itu bukanlah untuk berniaga, bukan untuk turis, tetapi untuk mencari
ilmu, mencari hadits-hadits, untuk pengetahuan agama. Jadi tidak heran
kalau Imam Syafi’i ~rahimahullah lebih banyak mendapatkan hadits dari
lisannya Salafush Sholeh, melebihi dari yang didapat oleh Imam Hanafi
~rahimahullah dan Imam Maliki ~rahimahullah
Imam Mazhab
yang empat adalah para ulama yang sholeh dari kalangan “orang-orang
yang membawa hadits” yakni membawanya dari Salafush Sholeh yang
meriwayatkan dan mengikuti sunnah Rasulullah shallallahu alaihi wasallam
Jadi
kalau kita ingin ittiba li Rasulullah (mengikuti Rasulullah) atau
mengikuti Salafush Sholeh maka kita menemui dan bertalaqqi (mengaji)
dengan para ulama yang sholeh dari kalangan “orang-orang yang membawa
hadits”.
Para ulama yang sholeh dari kalangan
“orang-orang yang membawa hadits” adalah para ulama yang sholeh yang
mengikuti salah satu dari Imam Mazhab yang empat.
Para
ulama yang sholeh yang mengikuti dari Imam Mazhab yang empat adalah para
ulama yang sholeh yang memiliki ketersambungan sanad ilmu (sanad guru)
dengan Imam Mazhab yang empat atau para ulama yang sholeh yang
memiliki ilmu riwayah dan dirayah dari Imam Mazhab yang empat.
Jadi
bermazhab dengan Imam Mazhab yang empat adalah sebuah kebutuhan bagi
kaum muslim yang tidak lagi bertemu dengan Rasulullah maupun Salafush
Sholeh.
Orang-orang yang meninggalkan Imam Mazhab yang
empat memang sering mengungkapan pendapat seperti “kita harus mengikuti
hadits shahih. Bukan mengikuti ulama. Al-Imam Al-Syafi’i sendiri
berkata, “Idza shahha al-hadits fahuwa mazhabi (apabila suatu hadits itu
shahih, maka hadits itulah mazhabku)”.
Banyak kalangan
yang tidak memahami dengan benar perkataan Beliau. Sehingga, jika yang
bersangkutan menemukan sebuah hadits shahih yang menurut pemahaman
mereka bertentangan dengan pendapat mazhab Syafi’i maka yang
bersangkutan langsung menyatakan bahwa pendapat mazhab itu tidak benar,
karena Imam Syafi’i sendiri mengatakan bahwa hadits shahih adalah
mazhab beliau. Atau ketika seseorang menemukan sebuah hadits yang
shahih, yang bersangkutan langsung mengklaim, bahwa ini adalah mazhab
Syafi’i.
Imam Al-Nawawi sepakat dengan gurunya ini dan
berkata, “(Ucapan Al-Syafi’i) ini hanya untuk orang yang telah mencapai
derajat mujtahid madzhab. Syaratnya: ia harus yakin bahwa Al-Syafi’i
belum mengetahui hadits itu atau tidak mengetahui (status)
kesahihannya. Dan hal ini hanya bisa dilakukan setelah mengkaji semua
buku Al-Syafi’i dan buku murid-muridnya. Ini syarat yang sangat berat,
dan sedikit sekali orang yang mampu memenuhinya. Mereka mensyaratkan
hal ini karena Al-Syafi’i sering kali meninggalkan sebuah hadits yang
ia jumpai akibat cacat yang ada di dalamnya, atau mansukh, atau
ditakhshish, atau ditakwil, atau sebab-sebab lainnya.”
Al-Nawawi
juga mengingatkan ucapan Ibn Khuzaimah, “Aku tidak menemukan sebuah
hadits yang sahih namun tidak disebutkan Al-Syafii dalam
kitab-kitabnya.” Ia berkata, “Kebesaran Ibn Khuzaimah dan keimamannya
dalam hadits dan fiqh, serta penguasaanya akan ucapan-ucapan Al-Syafii,
sangat terkenal.” ["Majmu' Syarh Al-Muhadzab" 1/105]
Kajian qoul Imam Syafi’i yang lebih lengkap, silahkan membaca tulisan, contohnya pada
http://generasisalaf.wordpress.com/2013/06/15/memahami-qoul-imam-syafii-hadis-sahih-adalah-mazhabku-bag-2/
Perlu
kita ingat bahwa hadits yang telah terbukukan dalam kitab-kitab
hadits jumlahnya jauh di bawah jumlah hadits yang dikumpulkan dan
dihafal oleh Al-Hafidz (minimal 100.000 hadits) dan jauh lebih kecil
dari jumlah hadits yang dikumpulkan dan dihafal oleh Al-Hujjah (minimal
300.000 hadits). Sedangkan jumlah hadits yang dikumpulkan dan dihafal
oleh Imam Mazhab yang empat, jumlahnya lebih besar dari jumlah hadits
yang dikumpulkan dan dihafal oleh Al-Hujjah
Asy-Syeikh
Abu Amru mengatakan: ”Barang siapa menemui dari Syafi’i sebuah hadits
yang bertentangan dengan mazhab beliau, jika engkau sudah mencapai
derajat mujtahid mutlak, dalam bab, atau maslah itu, maka silahkan
mengamalkan hal itu“
Penjelasan tentang derajat mujtahid mutlak dan tingkatan mufti dalam madzhab As Syafi’i, silahkan baca tulisan pada
http://almanar.wordpress.com/2010/09/21/tingkatan-mufti-madzhab-as-syafi’i/
Kesimpulannya
ketaatan umat Islam kepada ulil amri setempat yakni para fuqaha
(mufti) yang dipimpin oleh mufti agung lebih didahulukan dari pada
ketaatan kepada pemimpin ormas maupun penguasa negeri dalam rangka
menyunjung persatuan dan kesatuan kaum muslim sesuai semangat piagam
Madinah yang memuat keharusan mentaati Nabi Muhammad Shallallahu alaihi
wasallam yang ketika itu sebagai ulil amri dalam jama’atul muslimin
***** awal kutipan *****
Pasal 1
Sesungguhnya mereka satu bangsa negara (ummat), bebas dari (pengaruh dan kekuasaan) manusia.
Pasal 17
Perdamaian dari orang-orang beriman adalah satu
Tidak
diperkenankan segolongan orang-orang yang beriman membuat perjanjian
tanpa ikut sertanya segolongan lainnya di dalam suatu peperangan di
jalan Tuhan, kecuali atas dasar persamaan dan adil di antara mereka
Pasal 36 ayat 1
Tidak seorang pun diperbolehkan bertindak keluar, tanpa ijinnya Muhammad Shallallahu alaihi wasallam
***** akhir kutipan *****
Kita
dapat mengambil pelajaran dari kerajaan Islam Brunei Darussalam
berideologi Melayu Islam Beraja (MIB) dengan penerapan nilai-nilai
ajaran Agama Islam dirujuk kepada golongan Ahlus Sunnah wal Jamaah yang
dipelopori oleh Imam Al Asyari dan mengikut Mazhab Imam Syafei. Sultan
Brunei disamping sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan
merangkap sebagai perdana menteri dan menteri pertahanan dengan dibantu
oleh dewan penasihat kesultanan dan beberapa menteri, juga bertindak
sebagai pemimpin tertinggi Agama Islam dimana dalam menentukan
keputusan atas sesuatu masalah dibantu oleh Mufti Kerajaan.
Negara
kitapun ketika awal berdirinya memiliki lembaga tinggi negara yang
bernama “Dewan Pertimbangan Agung” yang berunsurkan ulama yang sholeh
yang dapat memberikan pertimbangan dan usulan kepada pemerintah dalam
menyelenggarakan pemerintahan agar tidak bertentangan dengan Al Qur’an
dan As Sunnah.
Lembaga negara yang berunsurkan kata
“agung” seperti Mahkamah Agung , Jaksa Agung pada hakikatnya adalah
wakil-wakil Tuhan dalam menegakkan keadilan di muka bumi agar sesuai
dengan Al Qur’an dan As Sunnah.
Salah satu contoh ulama
yang menjadi anggota “Dewan Pertimbangan Agung” adalah Syaikh Muhammad
Jamil Jambek ulama pelopor pembaruan Islam dari Sumatera Barat awal abad
ke-20 yang pernah berguru dengan Syeikh Ahmad Khatib Al-Minangkabawi
yang merupakan ulama besar Indonesia yang pernah menjadi imam, khatib
dan guru besar di Masjidil Haram, sekaligus Mufti Mazhab Syafi’i pada
akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20.
Namun dalam
perjalanannya Dewan Pertimbangan Agung perannya dalam roda pemerintahan
di negara kita “dikecilkan”. Bahkan pada zaman era Surharto, singkatan
DPA mempunyai arti sebagai “Dewan Pensiun Agung” karena keanggotaanya
terdiri dari pensiunan-pensiunan pejabat. Sehingga pada era Reformasi ,
Dewan Pertimbangan Agung dibubarkan dengan alasan sebagai lembaga yang
tidak effisien.
Jadi cara mengawal syariat Islam dalam
sistem pemerintahan di negara kita dengan cara mengembalikan wewenang
para ahli fiqih untuk menasehati dan membimbing penguasa negeri sehingga
dalam menjalankan roda pemerintahan tidak bertentangan dengan Al
Qur’an dan As Sunnah sehingga tidak ada keraguan lagi bagi kaum muslim
untuk mentaati penguasa negeri
Berikut adalah nasehat para ulama tentang ajaran Wahabi yang mengikuti pola pemahaman Ibnu Taimiyyah
Syeikh
Ahmad Khatib Al-Minangkabawi, ulama besar Indonesia yang pernah
menjadi imam, khatib dan guru besar di Masjidil Haram, sekaligus Mufti
Mazhab Syafi’i pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20 menjelaskan
dalam kitab-kitab beliau seperti ‘al-Khiththah al-Mardhiyah fi Raddi fi
Syubhati man qala Bid’ah at-Talaffuzh bian-Niyah’, ‘Nur al-Syam’at fi
Ahkamal-Jum’ah’ bahwa pemahaman Ibnu Taimiyyah dan Ibnu Qoyyim Al
Jauziah menyelisihi pemahaman Imam Mazhab yang empat.
Beliau
(Syaikh Ibnu Hajar Al-Haitamy) berkata ” Maka berhati-hatilahkamu,
jangan kamu dengarkan apa yang ditulis oleh Ibnu Taimiyyah dan muridnya
Ibnul Qoyyim Al-Jauziyyah dan selain keduanya dari orang-orang yang
telah menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhannya dan Allah telah
menyesatkannya dari ilmu serta menutup telinga dan hatinya dan
menjdaikan penghalang atas pandangannya. Maka siapakah yang mampu
memberi petunjuk atas orang yang telahAllah jauhkan?”. (Al-Fatawa
Al-Haditsiyyah : 203)
Para ulama ahlus sunnah terdahulu
juga telah membantah pendapat atau pemahaman Ibnu Taimiyyah yang telah
banyak menyelisihi pendapat para ulama terdahulu yang mengikuti Imam
Mazhab yang empat sebagaimana contohnya termuat pada
http://mutiarazuhud.files.wordpress.com/2010/02/ahlussunnahbantahtaimiyah.pdf atau pada
http://mutiarazuhud.wordpress.com/2013/01/07/kontrofersi-paham-taimiyah/
Sebagaimana tulisan pada
http://mutiarazuhud.wordpress.com/2012/04/22/kabar-waktu-lampau/
bahwa di dalam kitab “Risalah Ahlussunnah wal Jama’ah” karya
Hadratusy Syeikh Hasyim Asy’ari (pendiri pondok pesantren Tebuireng
Jombang Jawa Timur dan pendiri organisasi Nahdhatul Ulama) halaman
9-10 menasehatkan untuk tidak mengikuti pemahaman Muhammad bin Abdul
Wahhab , Ibnu Taimiyah, dan kedua muridnya, Ibnul Qoyyim dan Ibnu
Abdil Hadi
Begitupula wasiat ulama dari Malaysia, Syaikh Abdullah Fahimsebagaimana contohnya yang termuat pada
http://hanifsalleh.blogspot.com/2009/11/wasiat-syeikh-abdullah-fahim.html
***** awal kutipan *****
Supaya
jangan berpecah belah oleh bangsa Melayu sendiri.Sekarang sudah ada
timbul di Malaya mazhab Khawarij yakni mazhab yang keluardari mazhab 4
mazhab Ahlis Sunnah wal Jama`ah. Maksud mereka itu hendakmengelirukan
faham awam yang sebati dan hendak merobohkan pakatan bangsa Melayuyang
jati. Dan menyalahkan kebanyakan bangsa Melayu.
Hukum-hukum
mereka itu diambil daripada kitab Hadyur-Rasulyang mukhtasar daripada
kitab Hadyul-’Ibad dikarang akan dia oleh Ibnul Qayyimal-Khariji,
maka Ibnul Qayyim dan segala kitabnya ditolak oleh ulama AhlisSunnah
wal Jama`ah.
***** akhir kutipan *****
Kabar yang lain dari Malaysia tentang pemahaman Wahhabi
Taklimat tentang Fahaman Wahhabiy anjuran Jabatan Mufti Negeri Sembilan disampaikan oleh Ustaz Abdullah Jalil dari USIM
http://www.youtube.com/watch?v=d3ep3LODV5E
http://www.youtube.com/watch?v=zkA1gxH87_k
http://www.youtube.com/watch?v=JKJ24FDd3B8
Taklimat
Khas Fahaman Wahhabiy Dan Ancamannya Terhadap Aqidah Umat Islam
anjuran Jabatan Mufti Negeri Sembilan disampaikan oleh Ustaz Zamihan
al-Ghari
http://www.youtube.com/watch?v=lolOeJ8CXSc
http://www.youtube.com/watch?v=lP7dqXHT01g
http://www.youtube.com/watch?v=Zep7-4-asVo
http://www.youtube.com/watch?v=IltK_VKhwtY
http://www.youtube.com/watch?v=elalhSVpY3o
Ucapan pengangguhan oleh SS Dato’ Haji Mohd Yusof Bin Hj Ahmad, Mufti Negeri Sembilan dalam Taklimat Khas Fahaman Wahhabiy
http://www.youtube.com/watch?v=ZCh2nVfgRt4
http://www.youtube.com/watch?v=2JT28bp_Ep4
Bedah
buku terbaru tulisan Ustaz Zamihan al-Ghari bertajuk “Penyelewengan
Fahaman Tajsim Wahhabiy” membongkar segala permasalahan Aqidah Tajsim
Wahhabiy.
http://www.youtube.com/watch?v=XpGuEfRQSv4
http://www.youtube.com/watch?v=ACGtp3Ze7eA
Wassalam
Zon di Jonggol, Kabupaten Bogor 16830
link dokumen :
https://www.facebook.com/notes/huda-sarungan-humor-dan-dawah-sarana-untuk-ngaji/1139-cara-menghancurkan-umat-islam-dari-dalam/669513736406701