PERTANYAAN
Choirun Nisa'
assalamu'alaikum,mau nanya bgaimna hkum brqurban untuk org yg sdah ninggal,,?
JAWABAN
Nunu Nurul Qomariyah
nemu nenggone simbah
Bismillah >>
Hari raya yang kita peringati/kita rayakan setiap tanggal 10 Dzul
Hijjah itu disebut Idul Adlha, Idun Nahri atau Idul Qurban. Dikatakan
demikian, karena pada hari itu kaum muslimin yang mempunyai
kemampuan/kelebihan rizki dianjurkan (disunnahkan) untuk menyembelih
ternak berupa kambing, sapi atau unta dengan niat
bertaqarrub/mendekatkan diri atau beribadah kepada Allah SWT.
Waktu penyembelihannya yaitu sejak tanggal 10 Dzul Hijjah setelah
kaum muslimin selesai melaksanakan shalat id sampai dengan akhir hari
tasyriq/tanggal 13 Dzul Hijjah, dengan ketentuan seekor ternak berupa
kambing hanya cukup untuk qurbannya seorang, sedangkan sapi atau unta
cukup untuk qurbannya tujuh orang. Dalam riwayat sahabat Jabir bin
Abdillah disebutkan :
نَحَرْنَا مَعَ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَامَ
الْحُدَيْبِيَّةِ الْبَدَنَةَ عَنْ سَبْعَةٍ وَالْبَقَرَةَ عَنْ سَبْعَةٍ.
رواه مسلم
Artinya :
“Kita para sahabat bersama Rasulullah SAW. pada tahun Hudaibiyah
menyembelih qurban berupa seekor unta untuk qurbannya tujuh orang dan
seekor sapi juga untuk qurbannya tujuh orang”. (HR. Muslim)
Ketentuan lain : menurut sunnah rasul, sebaiknya ternak qurban itu
di sembellih sendiri oleh orang yang berqurban jika ia mampu, apabila
tidak mampu maka dia boleh mewakilkan kepada orang lain. Selanjutnya
mengenai persyaratan untuk ternak yang disembelih, cara menyembelih,
aturan membagi-bagi dagingnya serta hikmah berqurban itu semua sudah
sangat jelas bagi kita.
Namun menurut pengamatan penulis, warga nahdliyin yang umumnya awam
itu masih perlu diberi penjelasan tentang hukum yang terkait dengan
masalah-masalah sampingan seputar pelaksanaan penyembelihan qurban.
Masalah-masalah itu antara lain :
- Menyembelih qurban untuk orang yang telah meninggal (jawa: ngorbani wong mati);
- Mengqadla qurban;
- Daging qurban digunakan untuk walimahan;
- Perbedaan antara qurban dan aqiqah;
- Ternak betina untuk qurban atau aqiqah.
>> 1. Qurban untuk Orang yang Sudah Meninggal.
Sebagian umat muslim, ketika menyembelih ternak qurban pada saat
Idul Adlha itu ada yang berniat qurban untuk dirinya, untuk isterinya,
atau untuk anak-anaknya yang semuanya masih hidup. Namun banyak juga
dari mereka yang berniat qurban untuk sanak keluarganya yang sudah
meninggal. Untuk masalah ini, masih dipertanyakan tentang sah atau
tidaknya.
Sehubungan dengan hal tersebut agar warga kita lebih mantap dalam
melaksanakan ibadah qurbannya, perlu diberi penjelasan bahwa memang ada
ulama yang mengesahkan berqurban untuk orang yang sudah meninggal
yaitu Imam Rofi’i. Keterangan hukum demikian ini bisa kita fahami dari
keterangan kitab Qolyubi juz IV hal. 255 :
(وَلاَ تَضْحِيَةَ عَنِ الْغَيْرِ) الْحَيِّ (بِغَيْرِ إذْنِهِ)
وَبِإِذْنِهِ تَقَدَّمَ (وَلاَ عَنْ مَيِّتٍ إنْ لَمْ يُوصِ بِهَا)
وَبِإِيصَائِهِ تَقَعُ لَهُ. (قوله وَبِإِيصَائِهِ) ... إلى أن قال:
وَقَالَ الرَّافِعِيُّ: فَيَنْبَغِي أَنْ يَقَعَ لَهُ وَإِنْ لَمْ يُوصِ
لأَنَّهَا ضَرْبٌ مِنْ الصَّدَقَةِ.
Artinya :
“Imam Nawawi berpendapat bahwa tidak sah berqurban untuk orang lain
yang masih hidup tanpa mendapat izin dari yang bersangkutan, tidak sah
juga berqurban untuk mayit, apabila tidak berwasiat untuk diqurbani.
Sementara itu Imam Rafi’i berpendapat boleh dan sah berqurban untuk
mayit walaupun dia tidak berwasiat, karena ibadah qurban adalah salah
satu jenis shadaqah”.
>> 2. Mengqadla Qurban.
Di sebagian daerah kita, sewaktu ada warga muslim yang meninggal
dunia dan ahli warisnya mampu, biasanya mereka menyembelih ternak
dengan niat shadaqah anil mayit. Ada oknum kiyai atau mbah modin
setempat yang memberi saran kepada ahli waris agar ternak yang
disembelih pada saat kematian keuarganya itu diniati untuk qurbannya si
mayit. Dengan alasan : ini sebagai qurban diqadla’ padahal hari
kematiannya bukan pada hari raya Idul Adlha/hari-hari tasyriq.
Sebagaimana disebut di awal bahwa qurban ‘anil mayit walaupun tanpa
adanya wasiat adalah sah menurut pendapat Imam Rafi’i, akan tetapi
jangan terus langsung difahami bahwa hal tersebut boleh dilakukan
setiap saat, walaupun dengan niat mengqadla, karena qurban itu salah
satu ibadah yang dikaitkan dengan waktu, yakni Idul Adlha dan hari-hari
tasyriq. Sebagaimana yang di sebut dalam kitab Mustashfa juz II hal. 9
(وَلاَ تَقِسْ عَلَيْهِ) أَيْ عَلَى الصَّوْمِ (الْجُمْعَةَ وَلاَ
اْلأُضْحِيَّةَ) فَإِنَّهُمَا لاَيُقْضَيَانِ فِيْ غَيْرِ وَقْتِهِمَا.
Artinya :
“Jangan anda mengqiyaskan/menyamakan puasa dengan shalat Jum’at dan
penyembelihan qurban, keduanya (Jum’atan dan menyembelih qurban) tidak
boleh diqadla’ pada saat-saat yang bukan waktunya”.
Dalam kitab “ats-tsimarul yani’ah” hal. 80 juga disebutkan :
(فَمَنْ ذَبَحَ ضَحِيَّتَهُ قَبْلَ دُخُوْلِ وَقْتِهَا) بِأَنْ لَمْ
يَمْضِ مِنَ الطَّلُوْعِ أَقَلُّ مَا يُجْزِئُ مِنَ الصَّلاَةِ
وَالْخُطْبَةِ (لَمْ تَقَعْ ضَحِيَّةً، وَكَذَا مَنْ ذَبَحَهَا بَعْدَ
خُرُوْجِ وَقْتِهَا إِلاَّ إِذَا نَذَرَ ضَحِيَّةً مُعَيَّنَةً)
Artinya :
“Barang siapa menyembelih ternak qurban, sebelum tiba waktunya yakni
saat matahari sudah terbit dan setelah pelaksanaan shalat id (dua
rakaat) beserta khotbahnya, maka tidak sah qurbannya. Demikian pula
tidak sah seseorang yang menyembelih qurban setelah keluar waktunya (10
Dzul Hijjah dan tiga hari tasyriq), kecuali karena nadzar qurban
mu’ayyan”.
>>3. Daging Qurban Digunakan untuk Walimahan.
Sebagaimana yang dilakukan oleh kebanyakan umat muslim, bahwa pada
hari raya Idul Adlha mereka menyembelih ternak qurban dan di antara
mereka banyak pula -pada hari-hari itu- yang mempunyai hajat (menantu,
khitan, memperingati seribu hari wafatnya mayit dll). Maka sebagian
dari mereka pada waktu menyembelih ternaknya ada yang berniat qurban,
namun dalam praktiknya daging ternak tersebut tidak dibagi-bagikan
kepada mustahiq tetapi digunakan untuk menjamu para tamu yang
mendatangi hajatan mereka pada waktu itu, atau digunakan untuk
walimahan.
Apa yang dilakukan oleh sebagian kaum muslimin di daerah kita
tersebut hukumnya boleh, namun tidak secara mutlak, artinya ada
beberapa syarat yang harus diperhatikannya, yaitu :
a. Qurbannya itu qurban sunnat. Jadi qurban wajib atau qurban nadzar tidak boleh digunakan untuk keperluan seperti itu.
b. Sebagian dagingnya harus dibagi-bagikan kepada fakir miskin dalam keadaan mentah. Jadi tidak boleh dimasak semuanya.
c. Jika si penyembelih itu sebagai wakil, dia harus meminta kerelaan
orang yang mewakilkan tentang digunakannya daging qurban untuk
keperluan tersebut.
Syarat-syarat tadi secara rinci telah diterangkan dalam beberapa kitab :
a. Kitab Bughyah hal. 258 :
يَجِبُ التَّصَدُّقُ فِي اْلأُضْحِيَةِ الْمُتَطَوَّعِ بِهَا بِمَا
يَنْطَلِقُ عَلَيْهِ اْلاِسْمُ مِنَ اللَّحْمِ، فَلاَ يُجْزِئُ نَحْوُ
شَحْمٍ وَكَبِدٍ وَكَرْشٍ وَجِلْدٍ، وَلِلْفَقِيْرِ التَّصَرُّفُ فِي
الْمَأْخُوْذِ وَلَوْ بِنَحْوِ بَيْعِ الْمُسْلَمِ لِمِلْكِهِ مَا
يُعْطَاهُ، بِخِلاَفِ الْغَنِيِّ فَلَيْسَ لَهُ نَحْوُ الْبَيْعِ بَلْ
لَهُ التَّصَرُّفُ فِي الْمَهْدَى لَهُ بِنَحْوِ أَكْلٍ وَتَصَدُّقٍ
وَضِيَافَةٍ وَلَوْ لِغَنِيٍّ، لأَنَّ غَايَتَهُ أَنَّهُ كَالْمُضَحِّي
نَفْسِهِ.
Artinya :
“Qurban sunat wajib dishadaqahkan berupa daging, tidak cukup jika
berupa lemak, hati babat atau kulit ternak. Bagi orang fakir boleh
mentasarufkan -untuk apa saja- daging yang diberikan kepadanya walaupun
untuk dijual, karena daging itu sudah menjadi miliknya. Berbeda dengan
orang kaya, dia tidak boleh menjual daging qurban akan tetapi boleh
mamakannya, menyedekahkannya dan menyuguhkannya kepada para tamu,
karena pada prinsipnya orang kaya yang menerima bagian daging qurban
itu sama dengan orang yang berqurban sendiri”.
b. Kitab Qolyubi juz IV hal. 254 :
(وَاْلأَصَحُّ وُجُوبُ تَصَدُّقٍ بِبَعْضِهَا) وَهُوَ مَا يَنْطَلِقُ
عَلَيْهِ الاِسْمُ مِنْ اللَّحْمِ وَلاَ يَكْفِي عِنْهُ الْجِلْدُ
وَيَكْفِي تَمْلِيكُهُ لِمِسْكِينٍ وَاحِدٍ، وَيَكُونُ نِيئًا لاَ
مَطْبُوخًا.
Artinya :
“Menurut pendapat yang paling shahih, qurban itu wajib disedekahkan
sebagiannya berupa daging, tidak boleh berupa kulitnya. Sudah mencukupi
walaupun diberikan kepada seorang miskin, dan yang diberikan itu harus
berupa daging mentah tidak dimasak”.
c. Kitab Bajuri juz I hal. 286
(قَوْلُهُ وَتَفْرِقَةُ الزَّكَاةِ مَثَلاً) أَيْ وَكَذَبْحِ
أُضْحِيَةٍ وَعَقِيْقَةٍ وَتَفْرِقَةِ كَفَّارَةٍ وَمَنْذُوْرٍ وَلاَ
يَجُوْزُ لَهُ أَخْذُ شَيْءٍ مِنْهَا إِلاَّ إِنْ عَيَّنَ لَهُ
الْمُوَكِّلُ قَدْرًا مِنْهَا.
Artinya :
“Kata-kata kiyai mushonnif : boleh mewakilkan kepada orang lain
dalam hal membagi-bagi zakat, demikian pula dalam hal menyembelih
qurban dan aqiqah serta membagi-bagi kaffarat dan nadzar. Dan bagi si
wakil tidak boleh mengambil bagian sedikit pun dari apa yang dibagikan
itu kecuali jika orang yang mewakilkan menyatakan boleh mengambil
bagian tertentu dari benda tersebut”.
>> 4. Perbedaan dan Persamaan Antara Qurban dan Aqiqah.
Walaupun dua hal ini sudah cukup jelas hukum dan aturannya, namun
masih saja kita melihat adanya kerancuan antara keduanya di kalangan
kaum muslimin khususnya yang ada di pedesaan. Sebagian dari mereka ada
yang punya pendirian kalau qurban untuk orang yang meninggal
diperbolehkan, begitu pula aqiqah untuk orang yang meninggal seharusnya
diperbolehkan juga.
Perlu diketahui, bahwa diantara qurban dan aqiqah in di satu sisi
ada banyak persamaan, antara lain persyaratan ternak yang disembelih
dan hukum keduanya sama-sama sunnat, namun di sisi lain antara keduanya
juga ada perbedaan-perbedaan. Antara lain : tentang waktu menyembelih
dan cara membagi-bagi dagingnya. Perbedaan lain antara keduanya yaitu
bahwa qurban untuk orang yang meninggal adalah sah seperti penjelasan
di atas, sedangkan aqiqah untuk orang yang meninggal (jawa : ngaqiqohi
wong mati) tidak sah, kecuali untuk si anak yang masih kecil yang belum
sempat diaqiqahi sudah meninggal, maka dalam hal ini walinya/ayahnya
masih disunnatkan mengaqiqahi anak tersebut.
Disebutkan dalam kitab Kifayatul Akhyar juz II hal. 243 :
وَقَال الرَّافِعِي وَغَيْرُهُ: وَلاَ تَفُوْتُ بِفَوَاتِ السَّابِعِ،
وَفِي الْعِدَّةِ وَالْحَاوِيْ لِلْمَاوَرْدِيْ، أَنَّهَا بَعْدَ
السَّابِعِ تَكُوْنُ قَضَاءً، وَالْمُخْتَارُ أَنْ لاَ يَتَجَاوَزَ بِهَا
النِّفَاسُ فَإِنْ تَجَاوَزَتْهُ فَيُخْتَارُ أَنْ لاَ يَتَجَاوَزَ بِهَا
الرَّضَاعُ، فَإِنْ تَجَاوَزَ فَيُخْتَارُ أَنْ لاَ يَتَجَاوَزَ بِهَا
سَبْعُ سِنِيْنَ فَإِنْ تَجَاوَزَهَا فَيُخْتَارُ أَنْ لاَ يَتَجَاوَزَ
بِهَا الْبُلُوْغُ، فَإِنْ تَجَاوَزَهُ سَقَطَتْ عَنْ غَيْرِهِ وَهُوَ
الْمُخَيَّرُ فِي الْعَقِّ عَنْ نَفْسِهِ فِي الْكِبَرِ، وَاحْتَجَّ لَهُ
الرَّافِعِي بِأَنَّهُ عَلَيْهِ الصَّلاَةُ وَالسَّلاَمُ عَقَّ عَنْ
نَفْسِهِ بَعْدَ النُّبُوَّةِ، وَاحْتَجَّ غَيْرُهُ بِهِ.
Artinya :
“Imam Rafi’i dan ulama lain berpendapat bahwa menyembelih aqiqah
yang dilaksanakan setelah hari ketujuh dari kelahiran bayi itu bukan
qadla’. Sementara Imam Mawardi mengatakan hal itu adalah sebagi aqiqah
yang diqadla’. Boleh juga ditunda sampai saat sebelum tuntasnya nifas
(60 hari), boleh sampai saat sebelum lewatnya waktu menyusui (2 tahun)
boleh sampai anak belum berusia 7 tahun dan boleh juga sampai saat
sebelum usia baligh. Maka kalau sudah melewati usia baligh, wali atau
orang lain sudah gugur kesunatan untuk mengaqiqahi dirinya sendiri.
Dalilnya -menurut Imam Rafi’i dan ulama lain- adalah bahwa Nabi SAW.
Mengaqiqahi pribadinya sendiri setelah beliau menjadi rasul (setelah
usia 40 tahun).
Dari keterangan tersebut, jelas bahwa tidak ada anjuran menurut
syari’at untuk mengaqiqahi orang lain yang sudah dewasa, apalagi sang
anak kok dianjurkan mengaqiqahi orang tuanya yang sudah meninggal, itu
tidak ada aturan syari’atnya.
>>5. Ternak Betina untuk Qurban dan Aqiqah.
Ada satu lagi masalah sampingan yang terkait dengan ternak untuk
qurban atau aqiqah, masalah itu sumbernya dari methos jawa tanpa adanya
alasan yang jelas baik secara syar’i (tuntunan agama) atau secara aqli
(rasio), orang-orang jawa itu sangat anti pati (jawa : sirikan)
menyembelih ternak betina untuk qurban atau aqiqah, seakan-akan hal
yang demikian itu merupakan suatu amalan yang haram.
Padahal para fuqaha’ telah memberikan fatwa, bahwa boleh dan sah
menyembelih ternak betina untk qurban atau aqiqah. Mari kita simak
keterangan yang tercantum dalam kitab Kifayatul Akhyar juz II hal. 236 :
وَاعْلَمْ أَنَّهُ لاَ فَرْقَ فِي اْلإِجْزَاءِ بَيْنَ اْلأُنْثَى
وَالذَّكَرِ إِذَا وُجِدَ السِّنُّ الْمُعْتَبَرُ، نَعَمْ الذَّكَرُ
أَفْضَلُ عَلَى الرَّاجِحِ، لأَنَّهُ أَطْيَبُ لَحْماً.
Artinya :
“Ketahuilah, bahwa dalam kebolehan dan keabsahan qurban/aqiqah tidak
ada perbedaan antara ternak betina dan ternak jantan apabila umurnya
telah mencukupi. Dalam hal ini memang ternak jantan lebih utama dari
pada ternak betina karena jantan itu lebih lezat dagingnya”.
Berdasarkan fatwa tersebut, kita mengerti bahwa ternak betina dan
ternak jantan itu sama-sama boleh dan sah digunakan untuk qurban atau
aqiqah. Hanya saja jika dipandang dari segi afdlaliyahnya ternak jantan
lebih afdlal dari pada ternak betina.
http://ahlussunah-wal-jamaah.blogspot.com/?m=1
http://www.piss-ktb.com/2012/10/menyembelih-qurban-untuk-orang-yang.html
http://www.facebook.com/groups/kasarung/doc/497058630318880/
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar