^SEJARAH AL_BARZANZI^
Al-Barzanji atau Berzanji adalah suatu do’a-do’a, puji-pujian dan
penceritaan riwayat Nabi Muhammad saw yang biasa dilantunkan dengan
irama atau nada. Isi Berzanji bertutur tentang kehidupan Nabi Muhammad
saw yakni silsilah keturunannya, masa kanak-kanak, remaja, dewasa,
hingga diangkat menjadi rasul. Didalamnya juga mengisahkan sifat-sifat
mulia yang dimiliki Nabi Muhammad serta berbagai peristiwa untuk
dijadikan teladan umat manusia.
Nama Barzanji diambil dari nama pengarangnya, seorang sufi bernama
Syaikh Ja’far bin Husin bin Abdul Karim bin Muhammad Al – Barzanji.
Beliau adalah pengarang kitab Maulid yang termasyur dan terkenal dengan
nama Mawlid Al-Barzanji. Karya tulis tersebut sebenarnya berjudul ‘Iqd
Al-Jawahir (kalung permata) atau ‘Iqd Al-Jawhar fi Mawlid An-Nabiyyil
Azhar. Barzanji sebenarnya adalah nama sebuah tempat di Kurdistan,
Barzanj. Nama Al-Barzanji menjadi populer tahun 1920-an ketika Syaikh
Mahmud Al-Barzanji memimpin pemberontakan nasional Kurdi terhadap
Inggris yang pada waktu itu menguasai Irak.
Kitab Maulid Al-Barzanji karangan beliau ini termasuk salah satu
kitab maulid yang paling populer dan paling luas tersebar ke pelosok
negeri Arab dan Islam, baik Timur maupun Barat. Bahkan banyak kalangan
Arab dan non-Arab yang menghafalnya dan mereka membacanya dalam
acara-acara keagamaan yang sesuai. Kandungannya merupakan Khulasah
(ringkasan) Sirah Nabawiyah yang meliputi kisah kelahiran beliau,
pengutusannya sebagai rasul, hijrah, akhlaq, peperangan hingga wafatnya.
Syaikh Ja’far Al-Barzanji dilahirkan pada hari Kamis awal bulan
Zulhijjah tahun 1126 di Madinah Al-Munawwaroh dan wafat pada hari
Selasa, selepas Asar, 4 Sya’ban tahun 1177 H di Kota Madinah dan
dimakamkan di Jannatul Baqi`, sebelah bawah maqam beliau dari kalangan
anak-anak perempuan Junjungan Nabi saw.
Sayyid Ja’far Al-Barzanji adalah seorang ulama’ besar keturunan Nabi
Muhammad saw dari keluarga Sa’adah Al Barzanji yang termasyur, berasal
dari Barzanj di Irak. Datuk-datuk Sayyid Ja’far semuanya ulama terkemuka
yang terkenal dengan ilmu dan amalnya, keutamaan dan keshalihannya.
Beliau mempunyai sifat dan akhlak yang terpuji, jiwa yang bersih, sangat
pemaaf dan pengampun, zuhud, amat berpegang dengan Al-Quran dan Sunnah,
wara’, banyak berzikir, sentiasa bertafakkur, mendahului dalam membuat
kebajikan bersedekah,dan pemurah.
Nama nasabnya adalah Sayid Ja’far ibn Hasan ibn Abdul Karim ibn
Muhammad ibn Sayid Rasul ibn Abdul Sayid ibn Abdul Rasul ibn Qalandar
ibn Abdul Sayid ibn Isa ibn Husain ibn Bayazid ibn Abdul Karim ibn Isa
ibn Ali ibn Yusuf ibn Mansur ibn Abdul Aziz ibn Abdullah ibn Ismail ibn
Al-Imam Musa Al-Kazim ibn Al-Imam Ja’far As-Sodiq ibn Al-Imam Muhammad
Al-Baqir ibn Al-Imam Zainal Abidin ibn Al-Imam Husain ibn Sayidina Ali
r.a.
Semasa kecilnya beliau telah belajar Al-Quran dari Syaikh Ismail
Al-Yamani, dan belajar tajwid serta membaiki bacaan dengan Syaikh Yusuf
As-So’idi dan Syaikh Syamsuddin Al-Misri.Antara guru-guru beliau dalam
ilmu agama dan syariat adalah : Sayid Abdul Karim Haidar Al-Barzanji,
Syeikh Yusuf Al-Kurdi, Sayid Athiyatullah Al-Hindi. Sayid Ja’far
Al-Barzanji telah menguasai banyak cabang ilmu, antaranya: Shoraf,
Nahwu, Manthiq, Ma’ani, Bayan, Adab, Fiqh, Usulul Fiqh, Faraidh, Hisab,
Usuluddin, Hadits, Usul Hadits, Tafsir, Hikmah, Handasah, A’rudh, Kalam,
Lughah, Sirah, Qiraat, Suluk, Tasawuf, Kutub Ahkam, Rijal, Mustholah.
Syaikh Ja’far Al-Barzanji juga seorang Qodhi (hakim) dari madzhab
Maliki yang bermukim di Madinah, merupakan salah seorang keturunan
(buyut) dari cendekiawan besar Muhammad bin Abdul Rasul bin Abdul Sayyid
Al-Alwi Al-Husain Al-Musawi Al-Saharzuri Al-Barzanji (1040-1103 H /
1630-1691 M), Mufti Agung dari madzhab Syafi’i di Madinah. Sang mufti
(pemberi fatwa) berasal dari Shaharzur, kota kaum Kurdi di Irak, lalu
mengembara ke berbagai negeri sebelum bermukim di Kota Sang Nabi. Di
sana beliau telah belajar dari ulama’-ulama’ terkenal, diantaranya
Syaikh Athaallah ibn Ahmad Al-Azhari, Syaikh Abdul Wahab At-Thanthowi
Al-Ahmadi, Syaikh Ahmad Al-Asybuli. Beliau juga telah diijazahkan oleh
sebahagian ulama’, antaranya : Syaikh Muhammad At-Thoyib Al-Fasi, Sayid
Muhammad At-Thobari, Syaikh Muhammad ibn Hasan Al A’jimi, Sayid Musthofa
Al-Bakri, Syaikh Abdullah As-Syubrawi Al-Misri.
Syaikh Ja’far Al-Barzanji, selain dipandang sebagai mufti, beliau
juga menjadi khatib di Masjid Nabawi dan mengajar di dalam masjid yang
mulia tersebut. Beliau terkenal bukan saja karena ilmu, akhlak dan
taqwanya, tapi juga dengan kekeramatan dan kemakbulan doanya. Penduduk
Madinah sering meminta beliau berdo’a untuk hujan pada musim-musim
kemarau.
Historisitas Al-Barzanji tidak dapat dipisahkan dengan momentum besar
perihal peringatan maulid Nabi Muhammad saw untuk yang pertama kali.
Maulid Nabi atau hari kelahiran Nabi Muhammad saw pada mulanya
diperingati untuk membangkitkan semangat umat Islam. Sebab waktu itu
umat Islam sedang berjuang keras mempertahankan diri dari serangan
tentara salib Eropa, yakni dari Prancis, Jerman, dan Inggris.
Kita mengenal itu sebagai Perang Salib atau The Crusade. Pada tahun
1099 M tentara salib telah berhasil merebut Yerusalem dan menyulap
Masjidil Aqsa menjadi gereja. Umat Islam saat itu kehilangan semangat
perjuangan dan persaudaraan ukhuwah. Secara politis memang umat Islam
terpecah-belah dalam banyak kerajaan dan kesultanan. Meskipun ada satu
khalifah tetap satu dari Dinasti Bani Abbas di kota Baghdad sana, namun
hanya sebagai lambang persatuan spiritual.
Adalah Sultan Salahuddin Yusuf Al-Ayyubi -dalam literatur sejarah
Eropa dikenal dengan nama Saladin, seorang pemimpin yang pandai mengena
hati rakyat jelata. Salahuddin memerintah para tahun 1174-1193 M atau
570-590 H pada Dinasti Bani Ayyub- katakanlah dia setingkat Gubernur.
Meskipun Salahuddin bukan orang Arab melainkan berasal dari suku Kurdi,
pusat kesultanannya berada di kota Qahirah (Kairo), Mesir, dan daerah
kekuasaannya membentang dari Mesir sampai Suriah dan Semenanjung Arabia.
Menurut Salahuddin, semangat juang umat Islam harus dihidupkan kembali
dengan cara mempertebal kecintaan umat kepada Nabi mereka. Salahuddin
mengimbau umat Islam di seluruh dunia agar hari lahir Nabi Muhammad SAW,
yang setiap tahun berlalu begitu saja tanpa diperingati, kini harus
dirayakan secara massal.
Sebenarnya hal itu bukan gagasan murni Salahuddin, melainkan usul
dari iparnya, Muzaffaruddin Gekburi yang menjadi Atabeg (setingkat
Bupati) di Irbil, Suriah Utara. Untuk mengimbangi maraknya peringatan
Natal oleh umat Nasrani, Muzaffaruddin di istananya sering
menyelenggarakan peringatan maulid nabi, cuma perayaannya bersifat lokal
dan tidak setiap tahun. Adapun Salahuddin ingin agar perayaan maulid
nabi menjadi tradisi bagi umat Islam di seluruh dunia dengan tujuan
meningkatkan semangat juang, bukan sekadar perayaan ulang tahun biasa.
Ketika Salahuddin meminta persetujuan dari Khalifah di Baghdad yakni
An-Nashir, ternyata Khalifah setuju. Maka pada musim ibadah haji bulan
Dzulhijjah 579 H / 1183 M, Salahuddin sebagai penguasa Haramain (dua
tanah suci, Mekah dan Madinah) mengeluarkan instruksi kepada seluruh
jemaah haji, agar jika kembali ke kampung halaman masing-masing segera
menyosialkan kepada masyarakat Islam di mana saja berada, bahwa mulai
tahun 580 / 1184 M tanggal 12 Rabiul Awal dirayakan sebagai hari Maulid
Nabi dengan berbagai kegiatan yang membangkitkan semangat umat Islam.
Pada mulanya gagasan Salahuddin ditentang oleh para ulama. Sebab
sejak zaman Nabi peringatan seperti itu tidak pernah ada. Lagi pula hari
raya resmi menurut ajaran agama cuma ada dua, yaitu Idul Fitri dan Idul
Adha. Akan tetapi Salahuddin kemudian menegaskan bahwa perayaan Maulid
Nabi hanyalah kegiatan yang menyemarakkan syiar agama, bukan perayaan
yang bersifat ritual, sehingga tidak dapat dikategorikan bid`ah yang
terlarang.
Salah satu kegiatan yang di prakarsai oleh Sultan Salahuddin pada
peringatan Maulid Nabi yang pertama kali tahun 1184 (580 H) adalah
menyelenggarakan sayembara penulisan riwayat Nabi beserta puji-pujian
bagi Nabi dengan bahasa yang seindah mungkin. Seluruh ulama dan
sastrawan diundang untuk mengikuti kompetisi tersebut. Pemenang yang
menjadi juara pertama adalah Syaikh Ja`far Al-Barzanji.
Ternyata peringatan Maulid Nabi yang diselenggarakan Sultan
Salahuddin itu membuahkan hasil yang positif. Semangat umat Islam
menghadapi Perang Salib bergelora kembali. Salahuddin berhasil
menghimpun kekuatan, sehingga pada tahun 1187 (583 H) Yerusalem direbut
oleh Salahuddin dari tangan bangsa Eropa, dan Masjidil Aqsa menjadi
masjid kembali, sampai hari ini.
Kitab Al-Barzanji ditulis dengan tujuan untuk meningkatkan kecintaan
kepada Rasulullah SAW dan meningkatkan gairah umat. Dalam kitab itu
riwayat Nabi saw dilukiskan dengan bahasa yang indah dalam bentuk puisi
dan prosa (nasr) dan kasidah yang sangat menarik. Secara garis besar,
paparan Al-Barzanji dapat diringkas sebagai berikut: (1) Sislilah Nabi
adalah: Muhammad bin Abdullah bin Abdul Muttalib bin Hasyim bin Abdul
Manaf bin Qusay bin Kitab bin Murrah bin Fihr bin Malik bin Nadar bin
Nizar bin Maiad bin Adnan. (2) Pada masa kecil banyak kelihatan luar
biasa pada dirinya. (3) Berniaga ke Syam (Suraih) ikut pamannya ketika
masih berusia 12 tahun. (4) Menikah dengan Khadijah pada usia 25 tahun.
(5) Diangkat menjadi Rasul pada usia 40 tahun, dan mulai menyiarkan
agama sejak saat itu hingga umur 62 tahun. Rasulullah meninggal di
Madinah setelah dakwahnya dianggap telah sempurna oleh Allah SWT.
Dalam Barzanji diceritakan bahwa kelahiran kekasih Allah ini ditandai
dengan banyak peristiwa ajaib yang terjadi saat itu, sebagai genderang
tentang kenabiannya dan pemberitahuan bahwa Nabi Muhammad adalah pilihan
Allah. Saat Nabi Muhammad dilahirkan tangannya menyentuh lantai dan
kepalanya mendongak ke arah langit, dalam riwayat yang lain dikisahkan
Muhammad dilahirkan langsung bersujud, pada saat yang bersamaan itu pula
istana Raja Kisrawiyah retak terguncang hingga empat belas berandanya
terjatuh. Maka, Kerajaan Kisra pun porak poranda. Bahkan, dengan
lahirnya Nabi Muhammad ke muka bumi mampu memadamkan api sesembahan
Kerajaan Persi yang diyakini tak bisa dipadamkan oleh siapapun selama
ribuan tahun.
Keagungan akhlaknya tergambarkan dalam setiap prilaku beliau
sehari-hari. Sekitar umur tiga puluh lima tahun, beliau mampu
mendamaikan beberapa kabilah dalam hal peletakan batu Hajar Aswad di
Ka’bah. Di tengah masing-masing kabilah yang bersitegang mengaku dirinya
yang berhak meletakkan Hajar Aswad, Rasulullah tampil justru tidak
mengutamakan dirinya sendiri, melainkan bersikap akomodatif dengan
meminta kepada setiap kabilah untuk memegang setiap ujung sorban yang ia
letakan di atasnya Hajar Aswad. Keempat perwakilan kabilah itu pun lalu
mengangkat sorban berisi Hajar Aswad, dan Rasulullah kemudian
mengambilnya lalu meletakkannya di Ka’bah.
Kisah lain yang juga bisa dijadikan teladan adalah pada suatu
pengajian seorang sahabat datang terlambat, lalu ia tidak mendapati
ruang kosong untuk duduk. Bahkan, ia minta kepada sahabat yang lain
untuk menggeser tempat duduknya, namun tak ada satu pun yang mau. Di
tengah kebingungannya, Rasulullah saw memanggil sahabat tersebut dan
memintanya duduk di sampingnya.. Tidak hanya itu, Rasul kemudian melipat
sorbannya lalu memberikannya pada sahabat tersebut untuk dijadikan alas
tempat duduk. Melihat keagungan akhlak Nabi Muhammad, sahabat tersebut
dengan berlinangan air mata lalu menerima sorban tersebut namun tidak
menjadikannya alas duduk, tetapi justru mencium sorban Nabi Muhammad saw
tersebut.
Bacaan shalawat dan pujian kepada Rasulullah bergema saat kita
membacakan Barzanji di acara peringatan maulid Nabi Mauhammad saw, Ya
Nabi salâm ‘alaika, Ya Rasûl salâm ‘alaika, Ya Habîb salâm ‘alaika,
ShalawatulLâh ‘alaika… (Wahai Nabi salam untukmu, Wahai Rasul salam
untukmu, Wahai Kekasih salam untukmu, Shalawat Allah kepadamu…)
Kemudian, apa tujuan dari peringatan maulid Nabi dan bacaan shalawat
serta pujian kepada Rasulullah? Dr. Sa’id Ramadlan Al-Bûthi menulis
dalam Kitab Fiqh Al-Sîrah Al-Nabawiyyah: “Tujuannya tidak hanya untuk
sekedar mengetahui perjalanan Nabi dari sisi sejarah saja. Tapi, agar
kita mau melakukan tindakan aplikatif yang menggambarkan hakikat Islam
yang paripurna dengan mencontoh Nabi Muhammad saw.”
Sarjana Jerman peneliti Islam, Annemarie Schimmel dalam bukunya, Dan
Muhammad adalah Utusan Allah: Penghormatan terhadap Nabi saw dalam Islam
(1991), , menerangkan bahwa teks asli karangan Ja’far Al-Barzanji,
dalam bahasa Arab, sebetulnya berbentuk prosa. Namun, para penyair
kemudian mengolah kembali teks itu menjadi untaian syair, sebentuk
eulogy bagi Sang Nabi. Pancaran kharisma Nabi Muhammad saw terpantul
pula dalam sejumlah puisi, yang termasyhur: Seuntai gita untuk pribadi
utama, yang didendangkan dari masa ke masa.
Untaian syair itulah yang tersebar ke berbagai negeri di Asia dan
Afrika, tak terkecuali Indonesia. Tidak tertinggal oleh umat Islam
penutur bahasa Swahili di Afrika atau penutur bahasa Urdu di India, kita
pun dapat membaca versi bahasa Indonesia dari syair itu, meski kekuatan
puitis yang terkandung dalam bahasa Arab kiranya belum sepenuhnya
terwadahi dalam bahasa kita sejauh ini.
Secara sederhana kita dapat mengatakan bahwa karya Ja’far Al-Barzanji
merupakan biografi puitis Nabi Muhammad saw. Dalam garis besarnya,
karya ini terbagi dua: ‘Natsar’ dan ‘Nadhom’. Bagian Natsar terdiri atas
19 sub bagian yang memuat 355 untaian syair, dengan mengolah bunyi “ah”
pada tiap-tiap rima akhir. Seluruhnya menurutkan riwayat Nabi Muhammad
saw, mulai dari saat-saat menjelang beliau dilahirkan hingga masa-masa
tatkala paduka mendapat tugas kenabian. Sementara, bagian Nadhom terdiri
atas 16 sub bagian yang memuat 205 untaian syair, dengan mengolah rima
akhir “nun”.
Dalam untaian prosa lirik atau sajak prosaik itu, terasa betul adanya
keterpukauan sang penyair oleh sosok dan akhlak Sang Nabi. Dalam bagian
Nadhom misalnya, antara lain diungkapkan sapaan kepada Nabi pujaan”
Engkau mentari, Engkau rebulan dan Engkau cahaya di atas cahaya“.
Di antara idiom-idiom yang terdapat dalam karya ini, banyak yang
dipungut dari alam raya seperti matahari, bulan, purnama, cahaya, satwa,
batu, dan lain-lain. Idiom-idiom seperti itu diolah sedemikian rupa,
bahkan disenyawakan dengan shalawat dan doa, sehingga melahirkan
sejumlah besar metafor yang gemilang. Silsilah Sang Nabi sendiri,
misalnya, dilukiskan sebagai “Untaian Mutiara”.
Betapapun, kita dapat melihat teks seperti ini sebagai tutur kata
yang lahir dari perspektif penyair. Pokok-pokok tuturannya sendiri,
terutama menyangkut riwayat Sang Nabi, terasa berpegang erat pada
Alquran, hadist, dan sirah nabawiyyah. Sang penyair kemudian mencurahkan
kembali rincian kejadian dalam sejarah ke dalam wadah puisi, diperkaya
dengan imajinasi puitis, sehingga pembaca dapat merasakan madah yang
indah.
Salah satu hal yang mengagumkan sehubungan dengan karya Ja’far
Al-Barzanji adalah kenyataan bahwa karya tulis ini tidak berhenti pada
fungsinya sebagai bahan bacaan. Dengan segala potensinya, karya ini
kiranya telah ikut membentuk tradisi dan mengembangkan kebudayaan
sehubungan dengan cara umat Islam diberbagai negeri menghormati sosok
dan perjuangan Nabi Muhammad saw.
Kitab Maulid Al-Barzanji ini telah disyarahkan oleh Al-’Allaamah
Al-Faqih Asy-Syaikh Abu ‘Abdullah Muhammad bin Ahmad yang terkenal
dengan panggilan Ba`ilisy yang wafat tahun 1299 H dengan satu syarah
yang memadai, cukup elok dan bermanfaat yang dinamakan ‘Al-Qawl Al-Munji
‘ala Mawlid Al-Barzanji’ yang telah banyak kali diulang cetaknya di
Mesir.
Di samping itu, telah disyarahkan pula oleh para ulama kenamaan umat
ini. Antara yang masyhur mensyarahkannya ialah Syaikh Muhammad bin Ahmad
‘Ilyisy Al-Maaliki Al-’Asy’ari Asy-Syadzili Al-Azhari dengan kitab
’Al-Qawl Al-Munji ‘ala Maulid Al-Barzanji’. Beliau ini adalah seorang
ulama besar keluaran Al-Azhar Asy-Syarif, bermazhab Maliki lagi Asy`ari
dan menjalankan Thoriqah Asy-Syadziliyyah. Beliau lahir pada tahun 1217 H
/ 1802M dan wafat pada tahun 1299 H / 1882M.
Ulama kita kelahiran Banten, Pulau Jawa, yang terkenal sebagai ulama
dan penulis yang produktif dengan banyak karangannya, yaitu Sayyidul
Ulamail Hijaz, An-Nawawi Ats-Tsani, Syaikh Muhammad Nawawi Al-Bantani
Al-Jawi turut menulis syarah yang lathifah bagi Maulid al-Barzanji dan
karangannya itu dinamakannya ‘Madaarijush Shu`uud ila Iktisaail Buruud’.
Kemudian, Sayyid Ja’far bin Sayyid Isma`il bin Sayyid Zainal ‘Abidin
bin Sayyid Muhammad Al-Hadi bin Sayyid Zain yang merupakan suami kepada
satu-satunya anak Sayyid Ja’far al-Barzanji, juga telah menulis syarah
bagi Maulid Al-Barzanj tersebut yang dinamakannya ‘Al-Kawkabul Anwar
‘ala ‘Iqdil Jawhar fi Maulidin Nabiyil Azhar’. Sayyid Ja’far ini juga
adalah seorang ulama besar keluaran Al-Azhar Asy-Syarif. Beliau juga
merupakan seorang Mufti Syafi`iyyah. Karangan-karangan beliau banyak,
antaranya: “Syawaahidul Ghufraan ‘ala Jaliyal Ahzan fi Fadhaail
Ramadhan”, “Mashaabiihul Ghurar ‘ala Jaliyal Kadar” dan “Taajul Ibtihaaj
‘ala Dhauil Wahhaaj fi Israa` wal Mi’raaj”. Beliau juga telah menulis
sebuah manaqib yang menceritakan perjalanan hidup dan ketinggian
nendanya Sayyid Ja’far Al-Barzanji dalam kitabnya “Ar-Raudhul A’thar fi
Manaqib As-Sayyid Ja’far”.
Kitab Al-Barzanji dalam bahasa aslinya (Arab) dibacakan dalam
berbagai macam lagu; rekby (dibaca perlahan), hejas (dibaca lebih keras
dari rekby ), ras (lebih tinggi dari nadanya dengan irama yang beraneka
ragam), husein (memebacanya dengan tekanan suara yang tenang), nakwan
membaca dengan suara tinggi tapi nadanya sama dengan nada ras, dan
masyry, yaitu dilagukan dengan suara yang lembut serta dibarengi dengan
perasaan yang dalam
Di berbagai belahan Dunia Islam, syair Barzanji lazimnya dibacakan
dalam kesempatan memeringati hari kelahiran Sang Nabi. Dengan
mengingat-ingat riwayat Sang Nabi, seraya memanjatkan shalawat serta
salam untuknya, orang berharap mendapat berkah keselamatan,
kesejahteraan, dan ketenteraman. Sudah lazim pula, tak terkecuali di
negeri kita, syair Barzanji didendangkan – biasanya, dalam bentuk
standing ovation – dikala menyambut bayi yang baru lahir dan mencukur
rambutnya.
Pada perkembangan berikutnya, pembacaan Barzanji dilakukan di
berbagai kesempatan sebagai sebuah pengharapan untuk pencapaian sesuatu
yang lebih baik. Misalnya pada saat kelahiran bayi, upacara pemberian
nama, mencukur rambut bayi, aqiqah, khitanan, pernikahan, syukuran,
kematian (haul), serta seseorang yang berangkat haji dan selama berada
disana. Ada juga yang hanya membaca Barzanji dengan berbagai kegiatan
keagamaan, seperti penampilan kesenian hadhrah, pengumuman hasil
berbagai lomba, dan lain-lain, dan puncaknya ialah mau’idhah hasanah
dari para muballigh atau da’i.
Kini peringatan Maulid Nabi sangat lekat dengan kehidupan warga
Nahdlatul Ulama (NU). Hari Senin tanggal 12 Rabi’ul Awal kalender
hijriyah (Maulud). Acara yang disuguhkan dalam peringatan hari kelahiran
Nabi ini amat variatif, dan kadang diselenggarakan sampai hari-hari
bulan berikutnya, bulan Rabius Tsany (Bakda Mulud). Ada yang hanya
mengirimkan masakan-masakan spesial untuk dikirimkan ke beberapa
tetangga kanan dan kiri, ada yang menyelenggarakan upacara sederhana di
rumah masing-masing, ada yang agak besar seperti yang diselenggarakan di
mushala dan masjid-masjid, bahkan ada juga yang menyelenggarakan secara
besar-besaran, dihadiri puluhan ribu umat Islam.
Para ulama NU memandang peringatan Maulid Nabi ini sebagai bid’ah
atau perbuatan yang di zaman Nabi tidak ada, namun termasuk bid’ah
hasanah (bid’ah yang baik) yang diperbolehkan dalam Islam. Banyak memang
amalan seorang muslim yang pada zaman Nabi tidak ada namun sekarang
dilakukan umat Islam, antara lain: berzanjen, diba’an, yasinan, tahlilan
(bacaan Tahlilnya, misalnya, tidak bid’ah sebab Rasulullah sendiri
sering membacanya), mau’idhah hasanah pada acara temanten dan mauludan.
Dalam ‘Madarirushu’ud Syarhul’ Barzanji dikisahkan, Rasulullah SAW
bersabda: “Siapa menghormati hari lahirku, tentu aku berikan syafa’at
kepadanya di hari kiamat.” Sahabat Umar bin Khattab secara bersemangat
mengatakan: “Siapa yang menghormati hari lahir Rasulullah sama artinya
dengan menghidupkan Islam!”
(Santun Berdakwah, Sejuk Beribadah)