Konsep tauhid jadi tiga dapat menyebabkan mereka bersikap radikal
Salah satu contoh akibat pemaksaan penguasa kerajaan dinasti Saudi terhadap para ulama disana untuk mengikuti pemahaman Muhammad bin Abdul Wahhab adalah adanya pembagian atau konsep “tauhid jadi tiga” sehingga menimbulkan sikap ekstremisme atau radikalisme mereka terhadap kaum muslim pada umumnya
Kita bisa melihat contoh pembagian atau konsep “tauhid jadi tiga” sebagaimana yang dipahami dan disebarluaskan oleh ulama Muhammad bin Abdul Wahhab pada Qawaidul Arba’ yang disyarahkan oleh ulama Sholih Fauzan Al-Fauzan pada http://mutiarazuhud.files.wordpress.com/2012/03/pemahaman-tauhid-maw.pdf
Pembagian atau konsep “tauhid jadi tiga” menimbulkan sikap ekstremisme atau radikalisme atau prasangka buruk ulama Muhammad bin Abdul Wahhab maupun para pengikutnya bahwa kaum muslim yang tidak sepemahaman dengannya baru bertauhid Rububiyah dan tidak memenuhi tauhid Uluhiyah.
Ulama yang sholeh keturunan cucu Rasulullah shallallahu alaihi wasallam, Abuya Prof. Dr. Assayyid Muhammad Bin Assayyid Alwi Bin Assayyid Abbas Bin Assayyid Abdul Aziz Almaliki Alhasani Almakki Alasy’ari Assyadzili mengatakan
***** awal kutipan *****
“Tiga Pembagian Tauhid sebagai faktor dominan di antara faktor terpenting dan dominan yang menjadi sebab munculnya ekstremisme atau radikalisme adalah apa yang kita saksikan bersama pada metode pembelajaran tauhid dalam kurikulum sekolah. Dalam materi tersebut terdapat pembagian tauhid menjadi tiga bagian:
1) Tauhid Rububiyyah,
2) Tauhid Uluhiyyah,
3) Tauhid Asma’ was Shifaat.
(Padahal pembagian seperti ini), tidak pernah dikenal oleh generasi salaf dari masa Sahabat, Tabi’in maupun Tabi’it Taabi’in. Bahkan, pembagian dengan format seperti ini tidak terdapat dalam al Qur’an atau Sunnah Nabawiyyah.
Jadi, pembagian (taqsiim) tersebut tak lebih merupakan ijtihad yang dipaksakan dalam masalah ushuluddin serta tak ubahnya seperti tongkat yang berfungsi membuat perpecahan di antara umat Islam dengan konsekuensi hukumnya yang memunculkan sebuah konklusi bahwa kebanyakan umat Islam telah kafir, menyekutukan Allah, dan lepas dari tali tauhid.”
***** akhir kutipan *****
Ustadz Muhammad Idrus Ramli, Madzhab Al-Asy’ari, Benarkah Ahlussunnah Wal-Jama’ah? (Jawaban Terhadap Aliran Salafi), Penerbit Khalista, Surabaya hal 224 s/d 230)
***** awal kutipan *****
Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Basyar bin Utsman Al Abdi telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Ja’far telah menceritakan kepada kami Syu’bah dari Alqamah bin Martsad dari Sa’ad bin Ubaidah dari Al Bara` bin Azib dari nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: Allah meneguhkan (iman) orang-orang yang beriman dengan ucapan yang teguh itu dalam kehidupan di dunia dan di akhirat. (QS Ibrahiim: 27) beliau bersabda: (Ayat ini) turun berkenaan dengan adzab kubur, ia ditanya: ‘Siapa Rabbmu? ‘ ia menjawab: ‘Rabbku Allah, nabiku Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa Salam.’ Itulah firman Allah ‘azza wajalla: Allah meneguhkan (iman) orang-orang yang beriman dengan ucapan yang teguh itu dalam kehidupan di dunia dan di akhirat. (QS Ibrahiim: 27) (HR. Muslim 5117).
Hadits diatas memberikan pengertian, bahwa Malaikat Munkar dan Nakir, akan bertanya kepada si mayit tentang Rabb, bukan Ilah, karena kedua Malaikat tersebut tidak membedakan antara Rabb dengan Ilah atau antara Tauhid Rububiyyah dan Tauhid Uluhiyyah.
Seandainya pandangan Ibn Taimiyah dan Wahhabi yang membedakan antara Tauhid Rububiyyah dan Tauhid Uluhiyyah itu benar, tentunya kedua Malaikat itu akan bertanya kepada si mayit dengan, “Man Ilahuka (Siapa Tuhan Uluhiyyah-mu)?”, bukan “Man Rabbuka (Siapa Tuhan Rububiyyah-mu)?” atau mungkin keduanya akan menanyakan semua, “Man Rabbuka wa man Ilahuka?”
***** akhir kutipan *****
Pada hakikatnya tauhid Rububiyyah dan Tauhid Uluhiyah tidak dapat dipisahkan karena ada keterkaitan (talazum) yang sangat erat. Salah satunya tidak terpenuhi maka tidak dikatakan bertauhid atau beriman. Tidak dikatakan kaum non muslim itu bertauhid atau beriman dan tidak ada pula istilah mukmin musyrik sebagaimana yang dapat diketahui dalam tulisan pada http://mutiarazuhud.wordpress.com/2011/01/10/mukmin-musyrik/
Gus A’ab, sapaan akrab KH Abdullah Syamsul Arifin mengatakan “istilah mukmin (beriman) dan muysrik (menyekutukan Tuhan), dua term yang berbeda, sehinga tidak bisa disandingkan”.
Tujuannya sebenarnya pembagian tauhid jadi tiga adalah untuk membenarkan pendapat mereka bahwa orang-orang yang melakukan istighatsah, tawassul dan tabarruk dengan para Wali Allah dan para Nabi itu telah beribadah kepada selain Allah dan melanggar Tauhid Uluhiyyah sehingga timbullah sikap ekstrimisme atau radikalisme dalam bentuk vonis syirik.
Kami kutipkan dari tulisan pada http://allangkati.blogspot.com/2010/07/keganasan-wahabi-di-pakistan.html
***** awal kutipan ****
Para pengikut ajaran wahhabi adalah kelompok yang sangat membencikan orang-orang sufi dan mengkafirkan mereka, mereka menganggap bahwa orang -orang sufi menyembah kuburan-kubura wali sehingga halal darahnya di bunuh, pemahaman ini bersumber dari aqidah mereka yang menyatakan bahwa tauhd itu terbagi kepada tiga bahagian, tauhid Rububiyah, tauhid Uluhiyah, tauhid asma` dan sifat, orang-orang sufi hanya percaya dengan tauhid rububiyyah dan tidak menyakini tauhid uluhiyyah, sebab itulah mereka kafir dan boleh di bunuh, bahkan mereka mengatakan bahwa orang-orang kafir qurasy lebih bagus tauhidnya daripada orang-orang sufi.
*****akhir kutipan *****
Kita simak saja apa yang disampaikan oleh ulama yang sholeh dari kalangan ahlul bait, keturunan cucu Rasulullah shallallahu alaihi wasallam yang mendapatkan pengajaran agama dari orang tua-orang tua mereka terdahulu yang tersambung kepada Imam Sayyidina Ali ra yang mendapatkan pengajaran agama langsung dari lisannya Rasulullah shallallahu alaihi wasallam sehingga terjaga kemutawatiran sanad, kemurnian agama dan aqidahnya seperti Habib Munzir Al Musawa
***** awal kutipan *****
“Tak ada ulama salaf yang sholeh yang membedakan antara tawassul pada yang hidup dan mati, karena tawassul adalah berperantara pada kemuliaan seseorang, atau benda (seperti air liur yang tergolong benda) dihadapan Allah, bukanlah kemuliaan orang atau benda itu sendiri, dan tentunya kemuliaan orang dihadapan Allah tidak sirna dengan kematian.
Justru mereka yang membedakan bolehnya tawassul pada yang hidup saja dan mengharamkan pada yang mati, maka mereka itu malah dirisaukan akan terjerumus pada kemusyrikan karena menganggap makhluk hidup bisa memberi manfaat, sedangkan akidah kita adalah semua yang hidup dan yang mati tak bisa memberi manfaat apa apa kecuali karena Allah memuliakannya, bukan karena ia hidup lalu ia bisa memberi manfaat dihadapan Allah, berarti si hidup itu sebanding dengan Allah??, si hidup bisa berbuat sesuatu pada keputusan Allah??
Tidak saudaraku.. Demi Allah bukan demikian, Tak ada perbedaan dari yang hidup dan dari yang mati dalam memberi manfaat kecuali dengan izin Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Yang hidup tak akan mampu berbuat terkecuali dengan izin Allah Subhanahu wa Ta’ala dan yang mati pun bukan mustahil memberi manfaat bila memang di kehendaki oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Ketahuilah bahwa pengingkaran akan kekuasaan Allah Subhanahu wa Ta’ala atas orang yang mati adalah dirisaukan terjebak pada kekufuran yang jelas, karena hidup ataupun mati tidak membedakan kodrat Ilahi dan tidak bisa membatasi kemampuan Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Ketakwaan mereka dan kedekatan mereka kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala tetap abadi walau mereka telah wafat”
Sumber: http://majelisrasulullah.org/index.php?option=com_simpleboard&Itemid=34&func=view&id=22457&catid=7
***** akhir kutipan *****
Para Sahabat , bertawassul dan bertabarruk ke makam Rasulullah sebagaimana yang disampaikan oleh Ibnu katsir dalam kitab tarikhnya 7/105: “Berkata al hafidz Abu Bakar al Baihaqi, telah menceritakan Abu Nashar bin Qutadah dan Abu bakar al Farisi, mereka berdua berkata: telah menceritakan kepada kami Abu Umar bin Mathor, telah menceritakan kepada kami Ibrahim bin Ali Addzahli, telah menceritakan kepada kami Yahya bin Yahya, telah menceritakan kepada kami Abu Mu’awiyah dari ‘Amasy dari Abi Shalih dari Malik Ad Daar Ia berkata, “Orang-orang mengalami kemarau panjang saat pemerintahan Umar. Kemudian seorang laki-laki datang ke makam Nabi Shallallahu alaihi wasallam dan berkata “Ya Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam mintakanlah hujan untuk umatmu karena mereka telah binasa”. Kemudian orang tersebut mimpi bertemu Rasulullah shallallahu alaihi wasallam dan dikatakan kepadanya “datanglah kepada Umar dan ucapkan salam untuknya beritahukan kepadanya mereka semua akan diturunkan hujan. Katakanlah kepadanya “bersikaplah bijaksana, bersikaplah bijaksana”. Maka laki-laki tersebut menemui Umar dan menceritakan kepadanya akan hal itu. Kemudian Umar berkata “Ya Tuhanku aku tidak melalaikan urusan umat ini kecuali apa yang aku tidak mampu melakukannya” (Sanadnya shahih adalah penetapan dari Ibnu katsir. Malik adalah Malik Ad Daar dan ia seorang bendahara gudang makanan pada pemerintahan Umar,ia adalah tsiqoh)
Al hafidz Ibnu Hajar al Asqolani dalam fathul bari juz 2 pada kitab aljumah bab sualun nas al imam idza qohathu”, Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah dengan sanad yang shahih dari riwayat Abu Shalih As Saman dari Malik Ad Daar seorang bendahara Umar. Ia berkata “Orang-orang mengalami kemarau panjang saat pemerintahan Umar. Kemudian seorang laki-laki datang ke makam Nabi Shallallahu alaihi wasallam dan berkata “Ya Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam mintakanlah hujan untuk umatmu karena mereka telah binasa datanglah kepada Umar dst..dan laki2 itu adalah Bilal bin Haris al Muzani”.
Begitupula sebagaimana yang disampaikan Sahabat Nabi sebagaimana yang terlukis pada Tafsir Ibnu Katsir pada ( QS An Nisaa [4] : 64 ) Scan kitab tafsir dapat dibaca pada http://mutiarazuhud.files.wordpress.com/2011/09/ikjuz5p281_285.pdf
Berikut kutipannya
**** awal kutipan ****
Al-Atabi ra menceritakan bahwa ketika ia sedang duduk di dekat kubur Nabi Shallallahu alaihi wasallam, datanglah seorang Arab Badui, lalu ia mengucapkan, “Assalamu’alaika, ya Rasulullah (semoga kesejahteraan terlimpahkan kepadamu, wahai Rasulullah). Aku telah mendengar Allah ta’ala berfirman yang artinya, ‘Sesungguhnya jikalau mereka ketika menganiaya dirinya datang kepadamu, lalu memohon ampun kepada Allah, dan Rasul pun memohonkan ampun untuk mereka, tentulah mereka menjumpai Allah Maha Penerima Tobat lagi Maha Penyayang‘ (QS An-Nisa: 64),
Sekarang aku datang kepadamu, memohon ampun bagi dosa-dosaku (kepada Allah) dan meminta syafaat kepadamu (agar engkau memohonkan ampunan bagiku) kepada Tuhanku.”
Kemudian lelaki Badui tersebut mengucapkan syair berikut , yaitu: “Hai sebaik-baik orang yang dikebumikan di lembah ini lagi paling agung, maka menjadi harumlah dari pancaran keharumannya semua lembah dan pegunungan ini. Diriku sebagai tebusan kubur yang engkau menjadi penghuninya; di dalamnya terdapat kehormatan, kedermawanan, dan kemuliaan.“
Kemudian lelaki Badui itu pergi, dan dengan serta-merta mataku terasa mengantuk sekali hingga tertidur.
Dalam tidurku itu aku bermimpi bersua dengan Nabi shallallahu alaihi wasallam., lalu beliau shallallahu alaihi wasallam bersabda, “Hai Atabi, susullah orang Badui itu dan sampaikanlah berita gembira kepadanya bahwa Allah telah memberikan ampunan kepadanya!”
***** akhir kutipan *****
Dengan pembagian atau konsep “tauhid jadi tiga” selain membedakan atau memisahkan dengan jelas antara Tauhid Rububiyyah dengan Tauhid Uluhiyyah, sikap ekstremisme atau radikalisme mereka ditimbulkan dari Tauhid Asma’ was Shifaat yakni konsep memahami ayat-ayat mutasyabihat tentang sifat Allah dengan makna dzahir atau terjemahannya saja atau makna dari sudut arti bahasa (lughot) dan istilah (terminologi) saja.
Contoh sikap ekstremisme atau radikalisme diperlihatkan oleh seorang ustadz di kalangan mereka yang menyampaikan tulisannya pada http://moslemsunnah.wordpress.com/2010/03/29/benarkah-kedua-tangan-allah-azza-wa-jalla-adalah-kanan/
Dengan radikalnya beliau mengatakan bahwa bagi kaum muslim yang menyelisihi i’tiqod yang mereka sampaikan bahwa “kedua tangan Allah adalah kanan" adalah ahli bid’ah, orang-orang yang berjalan di dalam kegelapan bid’ah.
Bahkan dengan i’tiqod yang mereka sampaikan, mereka mengatasnamakannya sebagai i’tiqod Salaful Ummah (para Sahabat, Taabi’in dan Taab’ut Taabi’in). Tanpa disadari mereka telah memfitnah para Sahabat, Taabi’in dan Taab’ut Taabi’in.
Hadits yang mereka jadikan landasan i’tiqod bahwa “kedua tangan Allah adalah kanan" salah satunya adalah
حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ وَزُهَيْرُ بْنُ حَرْبٍ وَابْنُ نُمَيْرٍ قَالُوا حَدَّثَنَا سُفْيَانُ بْنُ عُيَيْنَةَ عَنْ عَمْرٍو يَعْنِي ابْنَ دِينَارٍ عَنْ عَمْرِو بْنِ أَوْسٍ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو قَالَ ابْنُ نُمَيْرٍ وَأَبُو بَكْرٍ يَبْلُغُ بِهِ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَفِي حَدِيثِ زُهَيْرٍ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ الْمُقْسِطِينَ عِنْدَ اللَّهِ عَلَى مَنَابِرَ مِنْ نُورٍ عَنْ يَمِينِ الرَّحْمَنِ عَزَّ وَجَلَّ وَكِلْتَا يَدَيْهِ يَمِينٌ الَّذِينَ يَعْدِلُونَ فِي حُكْمِهِمْ وَأَهْلِيهِمْ وَمَا وَلُوا
Telah menceritakan kepada kami Abu Bakar bin Abi Syaibah dan Zuhair bin Harb dan Ibnu Numair mereka berkata; telah menceritakan kepada kami Sufyan bin ‘Uyainah dari ‘Amru -yaitu Ibnu Dinar- dari ‘Amru bin Aus dari Abdullah bin ‘Amru, -dan Ibnu Numair dan Abu Bakar mengatakan sesuatu yang sampai kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, dan dalam haditsnya Zuhair- dia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Orang-orang yang berlaku adil berada di sisi Allah di atas mimbar (panggung) yang terbuat dari cahaya, di sebelah kanan Ar Rahman ‘azza wajalla -sedangkan kedua tangan Allah adalah kanan semua-, yaitu orang-orang yang berlaku adil dalam hukum, adil dalam keluarga dan adil dalam melaksanakan tugas yang di bebankan kepada mereka.” (HR Muslim 3406)
Hadits di atas sama sekali tidak terkait dengan sifat Allah ta’ala atau tidak menjelaskan bahwa Allah ta’ala mempunyai dua buah tangan dimana kedua-duanya adalah kanan.
Makna hadits tersebut “tangan kanan Allah”adalah makna majaz yang maksudnya adalah manusia yang dipercayai dan mewakilkan Allah ta’ala dalam menegakkan keadilan adalah orang-orang yang berlaku adil dalam hukum, adil dalam keluarga dan adil dalam melaksanakan tugas yang di bebankan kepada mereka.
Jika beri’tiqod dengan makna dzahir bahwa “kedua tangan Allah adalah kanan" maka akan bertentangan dengan nash-nash lainnya seperti Rasulullah bersabda “Setelah itu, Allah akan melipat bumi dengan tangan kiri-Nya” (HR Muslim 4995)
Hadits selengkapnya adalah
عَبْدُ اللَّهِ بْنُ عُمَرَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَطْوِي اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ السَّمَاوَاتِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ ثُمَّ يَأْخُذُهُنَّ بِيَدِهِ الْيُمْنَى ثُمَّ يَقُولُ أَنَا الْمَلِكُ أَيْنَ الْجَبَّارُونَ أَيْنَ الْمُتَكَبِّرُونَ ثُمَّ يَطْوِي الْأَرَضِينَ بِشِمَالِهِ ثُمَّ يَقُولُ أَنَا الْمَلِكُ أَيْنَ الْجَبَّارُونَ أَيْنَ الْمُتَكَبِّرُونَ
Abdullah bin ‘Umar dia berkata; “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah bersabda: ‘Pada hari kiamat kelak, Allah Subhanahu wa Ta’ala akan melipat langit. Setelah itu, Allah akan menggenggamnya dengan tangan kanan-Nya sambil berkata: ‘Akulah Sang Maha Raja. Di manakah sekarang orang-orang yang selalu berbuat sewenang-wenang? Dan di manakah orang-orang yang selalu sombong dan angkuh? ‘ Setelah itu, Allah akan melipat bumi dengan tangan kiri-Nya sambil berkata: ‘Akulah Sang Maha Raja. Di manakah sekarang orang-orang yang sering berbuat sewenang-wenang? Di manakah orang-orang yang sombong? “ (HR Muslim 4995).
Hadits ini pun tidak terkait dengan sifat Allah atau tidak menjelaskan bahwa Allah ta’ala mempunyai dua buah tangan , tangan kananNya yang dipergunakan melipat langit dan tangan kiriNya digunakan melipat bumi.
Makna hadits tersebut mengandung makna majaz yang maksudnya adalah tangan kanan terkait sesuatu yang baik yakni langit dan tangan kiri terkait sesuatu yang buruk yakni bumi.
Firman Allah ta’ala yang artinya
“Yang telah menciptakan tujuh langit berlapis-lapis” (QS Al Mulk [67]:3 )
“Allah-lah yang menciptakan tujuh langit dan seperti itu pula bumi.” (QS Ath Thalaq [65]: 12 )
“Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya, kemudian Kami kembalikan dia ke tempat yang serendah-rendahnya (neraka), kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh; maka bagi mereka pahala yang tiada putus-putusnya” (QS At Tin [95]: 4-6 )
“Allah (Pemberi) cahaya (kepada) langit dan bumi. Perumpamaan cahaya Allah, adalah seperti sebuah lubang yang tak tembus, yang di dalamnya ada pelita besar. Pelita itu di dalam kaca (dan) kaca itu seakan-akan bintang (yang bercahaya) seperti mutiara, yang dinyalakan dengan minyak dari pohon yang berkahnya, (yaitu) pohon zaitun yang tumbuh tidak di sebelah timur (sesuatu) dan tidak pula di sebelah barat(nya), yang minyaknya (saja) hampir-hampir menerangi, walaupun tidak disentuh api. Cahaya di atas cahaya (berlapis-lapis), Allah membimbing kepada cahaya-Nya siapa yang dia kehendaki, dan Allah memperbuat perumpamaan-perumpamaan bagi manusia, dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” ( QS An Nuur [24]:35 )
Bagian paling dasar, kehinaan, naar (Api), 7 lapis bumi terus naik 7 lapis langit, Nuur (Cahaya), kemuliaan.
Langit ,di atas, tinggi sebagai kemuliaan, kebahagian diperlambangkan dengan Nuur (cahaya),
Bumi, di bawah, rendah sebagai kehinaan, kesengsaraan diperlambangkan dengan Naar (api)
Oleh karenanya sebaiknya janganlah memahami ayat-ayat mutasyabihat dengan makna dzahir karena akan menjerumuskan kedalam kekufuran dalam i’tiqod
Imam Ahmad ar-Rifa’i (W. 578 H/1182 M) dalam kitabnya al-Burhan al-Muayyad, “Sunu ‘Aqaidakum Minat Tamassuki Bi Dzahiri Ma Tasyabaha Minal Kitabi Was Sunnati Lianna Dzalika Min Ushulil Kufri”, “Jagalah aqidahmu dari berpegang dengan dzahir ayat dan hadis mutasyabihat, karena hal itu salah satu pangkal kekufuran”.
Imam besar ahli hadis dan tafsir, Jalaluddin As-Suyuthi dalam “Tanbiat Al-Ghabiy Bi Tabriat Ibn ‘Arabi” mengatakan “Ia (ayat-ayat mutasyabihat) memiliki makna-makna khusus yang berbeda dengan makna yang dipahami oleh orang biasa. Barangsiapa memahami kata wajh Allah, yad , ain dan istiwa sebagaimana makna yang selama ini diketahui (wajah Allah, tangan, mata, bertempat), ia kafir (kufur dalam i’tiqod) secara pasti.”
Sayyidina Ali Ibn Abi Thalib ra berkata : “Sebagian golongan dari umat Islam ini ketika kiamat telah dekat akan kembali menjadi orang-orang kafir”.
Seseorang bertanya kepadanya : “Wahai Amirul Mukminin apakah sebab kekufuran mereka? Adakah karena membuat ajaran baru atau karena pengingkaran?”
Sayyidina Ali Ibn Abi Thalib ra menjawab : “Mereka menjadi kafir karena pengingkaran. Mereka mengingkari Pencipta mereka (Allah Subhanahu wa ta’ala) dan mensifati-Nya dengan sifat-sifat benda dan anggota-anggota badan.”
Dalam kitab ilmu tauhid berjudul “Hasyiyah ad-Dasuqi ‘ala Ummil Barahin” karya Syaikh Al-Akhthal dapat kita ketahui bahwa
Barangsiapa mengi’tiqadkan (meyakinkan) bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala mempunyai tangan (jisim) sebagaimana tangan makhluk (jisim-jisim lainnya), maka orang tersebut hukumnya “Kafir (orang yang kufur dalam i’tiqod)
Barangsiapa mengi’tiqadkan (meyakinkan) bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala mempunyai tangan (jisim) namun tidak serupa dengan tangan makhluk (jisim-jisim lainnya), maka orang tersebut hukumnya ‘Aashin atau orang yang telah berbuat durhaka kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala
I’tiqad yang benar adalah i’tiqad yang menyatakan bahwa sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala itu bukanlah seperti jisim (bentuk suatu makhluk) dan bukan pula berupa sifat. Tidak ada yang dapat mengetahui Dzat Allah Subhanahu wa Ta’ala kecuali Dia
Salaf yang sholeh mengatakan
قال الوليد بن مسلم : سألت الأوزاعي ومالك بن أنس وسفيان الثوري والليث بن سعد عن الأحاديث فيها الصفات ؟ فكلهم قالوا لي : أمروها كما جاءت بلا تفسير
“Dan Walid bin Muslim berkata: Aku bertanya kepada Auza’iy, Malik bin Anas, Sufyan Tsauri, Laits bin Sa’ad tentang hadits-hadits yang di dalamnya ada sifat-sifat Allah? Maka semuanya berkata kepadaku: “Biarkanlah ia sebagaimana ia datang tanpa tafsir“
Imam Sufyan bin Uyainah radhiyallahu anhu mengatakan:
كل ما وصف الله تعالى به نفسه فتفسيره تلاوته و السكوت عنه
“Setiap sesuatu yang Allah menyifati diri-Nya dengan sesuatu itu, maka tafsirannya adalah bacaannya (tilawahnya) dan diam daripada sesuatu itu”.
Sufyan bin Uyainah radhiyallahu anhu ingin memalingkan kita dari mencari makna dzahir dari ayat-ayat sifat dengan cukup melihat bacaannya saja, tafsiruhu tilawatuhu: tafsirannya adalah bacaannya. Bacaannya adalah melihat dan mengikuti huruf-perhurufnya, bukan maknanya, bukan tafsiruhu ta’rifuhu.
Terhadap lafazh-lafazh ayat sifat kita sebaiknya tidak mengi’tiqodkan berdasarkan maknanya secara dzahir karena akan terjerumus kepada jurang tasybih (penyerupaan), sebab lafazh-lafazh ayat sifat sangat beraroma tajsim dan secara badihi (otomatis) pasti akan menjurus ke sana.
Terhadap lafazh-lafazh ayat sifat , Imam Syafi’i ~rahimahullah mengatakan “Jawaban yang kita pilih tentang hal ini dan ayat-ayat yang semacam dengannya bagi orang yang tidak memiliki kompetensi di dalamnya adalah agar mengimaninya dan tidak –secara mendetail– membahasnya dan membicarakannya. Sebab bagi orang yang tidak kompeten dalam ilmu ini ia tidak akan aman untuk jatuh dalam kesesatan tasybîh”
Keterjerumusan kekufuran dalam i’tiqod adalah hal yang dialami oleh ulama Ibnu Taimiyyah yang merupakan ulama panutan Muhammad bin Abdul Wahhab dan para pengikutnya. Hal tersebut sebagaimana yang disampaikan oleh ulama-ulama terdahulu seperti dalam tulisan pada http://mutiarazuhud.wordpress.com/2011/07/28/semula-bermazhab-hambali/ atau pada http://mutiarazuhud.files.wordpress.com/2010/02/ahlussunnahbantahtaimiyah.pdf
Bahkan karena kesalahpahamannya mengakibatkan Ibnu Taimiyyah wafat di penjara sebagaimana dapat diketahui dalam tulisan pada http://mutiarazuhud.wordpress.com/2012/04/13/ke-langit-dunia atau uraian dalam tulisan pada http://ibnu-alkatibiy.blogspot.com/2011/12/kisah-taubatnya-ibnu-taimiyah-di-tangan.html
Wassalam
Zon di Jonggol, Kabupaten Bogor 16830
Salah satu contoh akibat pemaksaan penguasa kerajaan dinasti Saudi terhadap para ulama disana untuk mengikuti pemahaman Muhammad bin Abdul Wahhab adalah adanya pembagian atau konsep “tauhid jadi tiga” sehingga menimbulkan sikap ekstremisme atau radikalisme mereka terhadap kaum muslim pada umumnya
Kita bisa melihat contoh pembagian atau konsep “tauhid jadi tiga” sebagaimana yang dipahami dan disebarluaskan oleh ulama Muhammad bin Abdul Wahhab pada Qawaidul Arba’ yang disyarahkan oleh ulama Sholih Fauzan Al-Fauzan pada http://mutiarazuhud.files.wordpress.com/2012/03/pemahaman-tauhid-maw.pdf
Pembagian atau konsep “tauhid jadi tiga” menimbulkan sikap ekstremisme atau radikalisme atau prasangka buruk ulama Muhammad bin Abdul Wahhab maupun para pengikutnya bahwa kaum muslim yang tidak sepemahaman dengannya baru bertauhid Rububiyah dan tidak memenuhi tauhid Uluhiyah.
Ulama yang sholeh keturunan cucu Rasulullah shallallahu alaihi wasallam, Abuya Prof. Dr. Assayyid Muhammad Bin Assayyid Alwi Bin Assayyid Abbas Bin Assayyid Abdul Aziz Almaliki Alhasani Almakki Alasy’ari Assyadzili mengatakan
***** awal kutipan *****
“Tiga Pembagian Tauhid sebagai faktor dominan di antara faktor terpenting dan dominan yang menjadi sebab munculnya ekstremisme atau radikalisme adalah apa yang kita saksikan bersama pada metode pembelajaran tauhid dalam kurikulum sekolah. Dalam materi tersebut terdapat pembagian tauhid menjadi tiga bagian:
1) Tauhid Rububiyyah,
2) Tauhid Uluhiyyah,
3) Tauhid Asma’ was Shifaat.
(Padahal pembagian seperti ini), tidak pernah dikenal oleh generasi salaf dari masa Sahabat, Tabi’in maupun Tabi’it Taabi’in. Bahkan, pembagian dengan format seperti ini tidak terdapat dalam al Qur’an atau Sunnah Nabawiyyah.
Jadi, pembagian (taqsiim) tersebut tak lebih merupakan ijtihad yang dipaksakan dalam masalah ushuluddin serta tak ubahnya seperti tongkat yang berfungsi membuat perpecahan di antara umat Islam dengan konsekuensi hukumnya yang memunculkan sebuah konklusi bahwa kebanyakan umat Islam telah kafir, menyekutukan Allah, dan lepas dari tali tauhid.”
***** akhir kutipan *****
Ustadz Muhammad Idrus Ramli, Madzhab Al-Asy’ari, Benarkah Ahlussunnah Wal-Jama’ah? (Jawaban Terhadap Aliran Salafi), Penerbit Khalista, Surabaya hal 224 s/d 230)
***** awal kutipan *****
Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Basyar bin Utsman Al Abdi telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Ja’far telah menceritakan kepada kami Syu’bah dari Alqamah bin Martsad dari Sa’ad bin Ubaidah dari Al Bara` bin Azib dari nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: Allah meneguhkan (iman) orang-orang yang beriman dengan ucapan yang teguh itu dalam kehidupan di dunia dan di akhirat. (QS Ibrahiim: 27) beliau bersabda: (Ayat ini) turun berkenaan dengan adzab kubur, ia ditanya: ‘Siapa Rabbmu? ‘ ia menjawab: ‘Rabbku Allah, nabiku Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa Salam.’ Itulah firman Allah ‘azza wajalla: Allah meneguhkan (iman) orang-orang yang beriman dengan ucapan yang teguh itu dalam kehidupan di dunia dan di akhirat. (QS Ibrahiim: 27) (HR. Muslim 5117).
Hadits diatas memberikan pengertian, bahwa Malaikat Munkar dan Nakir, akan bertanya kepada si mayit tentang Rabb, bukan Ilah, karena kedua Malaikat tersebut tidak membedakan antara Rabb dengan Ilah atau antara Tauhid Rububiyyah dan Tauhid Uluhiyyah.
Seandainya pandangan Ibn Taimiyah dan Wahhabi yang membedakan antara Tauhid Rububiyyah dan Tauhid Uluhiyyah itu benar, tentunya kedua Malaikat itu akan bertanya kepada si mayit dengan, “Man Ilahuka (Siapa Tuhan Uluhiyyah-mu)?”, bukan “Man Rabbuka (Siapa Tuhan Rububiyyah-mu)?” atau mungkin keduanya akan menanyakan semua, “Man Rabbuka wa man Ilahuka?”
***** akhir kutipan *****
Pada hakikatnya tauhid Rububiyyah dan Tauhid Uluhiyah tidak dapat dipisahkan karena ada keterkaitan (talazum) yang sangat erat. Salah satunya tidak terpenuhi maka tidak dikatakan bertauhid atau beriman. Tidak dikatakan kaum non muslim itu bertauhid atau beriman dan tidak ada pula istilah mukmin musyrik sebagaimana yang dapat diketahui dalam tulisan pada http://mutiarazuhud.wordpress.com/2011/01/10/mukmin-musyrik/
Gus A’ab, sapaan akrab KH Abdullah Syamsul Arifin mengatakan “istilah mukmin (beriman) dan muysrik (menyekutukan Tuhan), dua term yang berbeda, sehinga tidak bisa disandingkan”.
Tujuannya sebenarnya pembagian tauhid jadi tiga adalah untuk membenarkan pendapat mereka bahwa orang-orang yang melakukan istighatsah, tawassul dan tabarruk dengan para Wali Allah dan para Nabi itu telah beribadah kepada selain Allah dan melanggar Tauhid Uluhiyyah sehingga timbullah sikap ekstrimisme atau radikalisme dalam bentuk vonis syirik.
Kami kutipkan dari tulisan pada http://allangkati.blogspot.com/2010/07/keganasan-wahabi-di-pakistan.html
***** awal kutipan ****
Para pengikut ajaran wahhabi adalah kelompok yang sangat membencikan orang-orang sufi dan mengkafirkan mereka, mereka menganggap bahwa orang -orang sufi menyembah kuburan-kubura wali sehingga halal darahnya di bunuh, pemahaman ini bersumber dari aqidah mereka yang menyatakan bahwa tauhd itu terbagi kepada tiga bahagian, tauhid Rububiyah, tauhid Uluhiyah, tauhid asma` dan sifat, orang-orang sufi hanya percaya dengan tauhid rububiyyah dan tidak menyakini tauhid uluhiyyah, sebab itulah mereka kafir dan boleh di bunuh, bahkan mereka mengatakan bahwa orang-orang kafir qurasy lebih bagus tauhidnya daripada orang-orang sufi.
*****akhir kutipan *****
Kita simak saja apa yang disampaikan oleh ulama yang sholeh dari kalangan ahlul bait, keturunan cucu Rasulullah shallallahu alaihi wasallam yang mendapatkan pengajaran agama dari orang tua-orang tua mereka terdahulu yang tersambung kepada Imam Sayyidina Ali ra yang mendapatkan pengajaran agama langsung dari lisannya Rasulullah shallallahu alaihi wasallam sehingga terjaga kemutawatiran sanad, kemurnian agama dan aqidahnya seperti Habib Munzir Al Musawa
***** awal kutipan *****
“Tak ada ulama salaf yang sholeh yang membedakan antara tawassul pada yang hidup dan mati, karena tawassul adalah berperantara pada kemuliaan seseorang, atau benda (seperti air liur yang tergolong benda) dihadapan Allah, bukanlah kemuliaan orang atau benda itu sendiri, dan tentunya kemuliaan orang dihadapan Allah tidak sirna dengan kematian.
Justru mereka yang membedakan bolehnya tawassul pada yang hidup saja dan mengharamkan pada yang mati, maka mereka itu malah dirisaukan akan terjerumus pada kemusyrikan karena menganggap makhluk hidup bisa memberi manfaat, sedangkan akidah kita adalah semua yang hidup dan yang mati tak bisa memberi manfaat apa apa kecuali karena Allah memuliakannya, bukan karena ia hidup lalu ia bisa memberi manfaat dihadapan Allah, berarti si hidup itu sebanding dengan Allah??, si hidup bisa berbuat sesuatu pada keputusan Allah??
Tidak saudaraku.. Demi Allah bukan demikian, Tak ada perbedaan dari yang hidup dan dari yang mati dalam memberi manfaat kecuali dengan izin Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Yang hidup tak akan mampu berbuat terkecuali dengan izin Allah Subhanahu wa Ta’ala dan yang mati pun bukan mustahil memberi manfaat bila memang di kehendaki oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Ketahuilah bahwa pengingkaran akan kekuasaan Allah Subhanahu wa Ta’ala atas orang yang mati adalah dirisaukan terjebak pada kekufuran yang jelas, karena hidup ataupun mati tidak membedakan kodrat Ilahi dan tidak bisa membatasi kemampuan Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Ketakwaan mereka dan kedekatan mereka kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala tetap abadi walau mereka telah wafat”
Sumber: http://majelisrasulullah.org/index.php?option=com_simpleboard&Itemid=34&func=view&id=22457&catid=7
***** akhir kutipan *****
Para Sahabat , bertawassul dan bertabarruk ke makam Rasulullah sebagaimana yang disampaikan oleh Ibnu katsir dalam kitab tarikhnya 7/105: “Berkata al hafidz Abu Bakar al Baihaqi, telah menceritakan Abu Nashar bin Qutadah dan Abu bakar al Farisi, mereka berdua berkata: telah menceritakan kepada kami Abu Umar bin Mathor, telah menceritakan kepada kami Ibrahim bin Ali Addzahli, telah menceritakan kepada kami Yahya bin Yahya, telah menceritakan kepada kami Abu Mu’awiyah dari ‘Amasy dari Abi Shalih dari Malik Ad Daar Ia berkata, “Orang-orang mengalami kemarau panjang saat pemerintahan Umar. Kemudian seorang laki-laki datang ke makam Nabi Shallallahu alaihi wasallam dan berkata “Ya Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam mintakanlah hujan untuk umatmu karena mereka telah binasa”. Kemudian orang tersebut mimpi bertemu Rasulullah shallallahu alaihi wasallam dan dikatakan kepadanya “datanglah kepada Umar dan ucapkan salam untuknya beritahukan kepadanya mereka semua akan diturunkan hujan. Katakanlah kepadanya “bersikaplah bijaksana, bersikaplah bijaksana”. Maka laki-laki tersebut menemui Umar dan menceritakan kepadanya akan hal itu. Kemudian Umar berkata “Ya Tuhanku aku tidak melalaikan urusan umat ini kecuali apa yang aku tidak mampu melakukannya” (Sanadnya shahih adalah penetapan dari Ibnu katsir. Malik adalah Malik Ad Daar dan ia seorang bendahara gudang makanan pada pemerintahan Umar,ia adalah tsiqoh)
Al hafidz Ibnu Hajar al Asqolani dalam fathul bari juz 2 pada kitab aljumah bab sualun nas al imam idza qohathu”, Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah dengan sanad yang shahih dari riwayat Abu Shalih As Saman dari Malik Ad Daar seorang bendahara Umar. Ia berkata “Orang-orang mengalami kemarau panjang saat pemerintahan Umar. Kemudian seorang laki-laki datang ke makam Nabi Shallallahu alaihi wasallam dan berkata “Ya Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam mintakanlah hujan untuk umatmu karena mereka telah binasa datanglah kepada Umar dst..dan laki2 itu adalah Bilal bin Haris al Muzani”.
Begitupula sebagaimana yang disampaikan Sahabat Nabi sebagaimana yang terlukis pada Tafsir Ibnu Katsir pada ( QS An Nisaa [4] : 64 ) Scan kitab tafsir dapat dibaca pada http://mutiarazuhud.files.wordpress.com/2011/09/ikjuz5p281_285.pdf
Berikut kutipannya
**** awal kutipan ****
Al-Atabi ra menceritakan bahwa ketika ia sedang duduk di dekat kubur Nabi Shallallahu alaihi wasallam, datanglah seorang Arab Badui, lalu ia mengucapkan, “Assalamu’alaika, ya Rasulullah (semoga kesejahteraan terlimpahkan kepadamu, wahai Rasulullah). Aku telah mendengar Allah ta’ala berfirman yang artinya, ‘Sesungguhnya jikalau mereka ketika menganiaya dirinya datang kepadamu, lalu memohon ampun kepada Allah, dan Rasul pun memohonkan ampun untuk mereka, tentulah mereka menjumpai Allah Maha Penerima Tobat lagi Maha Penyayang‘ (QS An-Nisa: 64),
Sekarang aku datang kepadamu, memohon ampun bagi dosa-dosaku (kepada Allah) dan meminta syafaat kepadamu (agar engkau memohonkan ampunan bagiku) kepada Tuhanku.”
Kemudian lelaki Badui tersebut mengucapkan syair berikut , yaitu: “Hai sebaik-baik orang yang dikebumikan di lembah ini lagi paling agung, maka menjadi harumlah dari pancaran keharumannya semua lembah dan pegunungan ini. Diriku sebagai tebusan kubur yang engkau menjadi penghuninya; di dalamnya terdapat kehormatan, kedermawanan, dan kemuliaan.“
Kemudian lelaki Badui itu pergi, dan dengan serta-merta mataku terasa mengantuk sekali hingga tertidur.
Dalam tidurku itu aku bermimpi bersua dengan Nabi shallallahu alaihi wasallam., lalu beliau shallallahu alaihi wasallam bersabda, “Hai Atabi, susullah orang Badui itu dan sampaikanlah berita gembira kepadanya bahwa Allah telah memberikan ampunan kepadanya!”
***** akhir kutipan *****
Dengan pembagian atau konsep “tauhid jadi tiga” selain membedakan atau memisahkan dengan jelas antara Tauhid Rububiyyah dengan Tauhid Uluhiyyah, sikap ekstremisme atau radikalisme mereka ditimbulkan dari Tauhid Asma’ was Shifaat yakni konsep memahami ayat-ayat mutasyabihat tentang sifat Allah dengan makna dzahir atau terjemahannya saja atau makna dari sudut arti bahasa (lughot) dan istilah (terminologi) saja.
Contoh sikap ekstremisme atau radikalisme diperlihatkan oleh seorang ustadz di kalangan mereka yang menyampaikan tulisannya pada http://moslemsunnah.wordpress.com/2010/03/29/benarkah-kedua-tangan-allah-azza-wa-jalla-adalah-kanan/
Dengan radikalnya beliau mengatakan bahwa bagi kaum muslim yang menyelisihi i’tiqod yang mereka sampaikan bahwa “kedua tangan Allah adalah kanan" adalah ahli bid’ah, orang-orang yang berjalan di dalam kegelapan bid’ah.
Bahkan dengan i’tiqod yang mereka sampaikan, mereka mengatasnamakannya sebagai i’tiqod Salaful Ummah (para Sahabat, Taabi’in dan Taab’ut Taabi’in). Tanpa disadari mereka telah memfitnah para Sahabat, Taabi’in dan Taab’ut Taabi’in.
Hadits yang mereka jadikan landasan i’tiqod bahwa “kedua tangan Allah adalah kanan" salah satunya adalah
حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ وَزُهَيْرُ بْنُ حَرْبٍ وَابْنُ نُمَيْرٍ قَالُوا حَدَّثَنَا سُفْيَانُ بْنُ عُيَيْنَةَ عَنْ عَمْرٍو يَعْنِي ابْنَ دِينَارٍ عَنْ عَمْرِو بْنِ أَوْسٍ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو قَالَ ابْنُ نُمَيْرٍ وَأَبُو بَكْرٍ يَبْلُغُ بِهِ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَفِي حَدِيثِ زُهَيْرٍ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ الْمُقْسِطِينَ عِنْدَ اللَّهِ عَلَى مَنَابِرَ مِنْ نُورٍ عَنْ يَمِينِ الرَّحْمَنِ عَزَّ وَجَلَّ وَكِلْتَا يَدَيْهِ يَمِينٌ الَّذِينَ يَعْدِلُونَ فِي حُكْمِهِمْ وَأَهْلِيهِمْ وَمَا وَلُوا
Telah menceritakan kepada kami Abu Bakar bin Abi Syaibah dan Zuhair bin Harb dan Ibnu Numair mereka berkata; telah menceritakan kepada kami Sufyan bin ‘Uyainah dari ‘Amru -yaitu Ibnu Dinar- dari ‘Amru bin Aus dari Abdullah bin ‘Amru, -dan Ibnu Numair dan Abu Bakar mengatakan sesuatu yang sampai kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, dan dalam haditsnya Zuhair- dia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Orang-orang yang berlaku adil berada di sisi Allah di atas mimbar (panggung) yang terbuat dari cahaya, di sebelah kanan Ar Rahman ‘azza wajalla -sedangkan kedua tangan Allah adalah kanan semua-, yaitu orang-orang yang berlaku adil dalam hukum, adil dalam keluarga dan adil dalam melaksanakan tugas yang di bebankan kepada mereka.” (HR Muslim 3406)
Hadits di atas sama sekali tidak terkait dengan sifat Allah ta’ala atau tidak menjelaskan bahwa Allah ta’ala mempunyai dua buah tangan dimana kedua-duanya adalah kanan.
Makna hadits tersebut “tangan kanan Allah”adalah makna majaz yang maksudnya adalah manusia yang dipercayai dan mewakilkan Allah ta’ala dalam menegakkan keadilan adalah orang-orang yang berlaku adil dalam hukum, adil dalam keluarga dan adil dalam melaksanakan tugas yang di bebankan kepada mereka.
Jika beri’tiqod dengan makna dzahir bahwa “kedua tangan Allah adalah kanan" maka akan bertentangan dengan nash-nash lainnya seperti Rasulullah bersabda “Setelah itu, Allah akan melipat bumi dengan tangan kiri-Nya” (HR Muslim 4995)
Hadits selengkapnya adalah
عَبْدُ اللَّهِ بْنُ عُمَرَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَطْوِي اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ السَّمَاوَاتِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ ثُمَّ يَأْخُذُهُنَّ بِيَدِهِ الْيُمْنَى ثُمَّ يَقُولُ أَنَا الْمَلِكُ أَيْنَ الْجَبَّارُونَ أَيْنَ الْمُتَكَبِّرُونَ ثُمَّ يَطْوِي الْأَرَضِينَ بِشِمَالِهِ ثُمَّ يَقُولُ أَنَا الْمَلِكُ أَيْنَ الْجَبَّارُونَ أَيْنَ الْمُتَكَبِّرُونَ
Abdullah bin ‘Umar dia berkata; “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah bersabda: ‘Pada hari kiamat kelak, Allah Subhanahu wa Ta’ala akan melipat langit. Setelah itu, Allah akan menggenggamnya dengan tangan kanan-Nya sambil berkata: ‘Akulah Sang Maha Raja. Di manakah sekarang orang-orang yang selalu berbuat sewenang-wenang? Dan di manakah orang-orang yang selalu sombong dan angkuh? ‘ Setelah itu, Allah akan melipat bumi dengan tangan kiri-Nya sambil berkata: ‘Akulah Sang Maha Raja. Di manakah sekarang orang-orang yang sering berbuat sewenang-wenang? Di manakah orang-orang yang sombong? “ (HR Muslim 4995).
Hadits ini pun tidak terkait dengan sifat Allah atau tidak menjelaskan bahwa Allah ta’ala mempunyai dua buah tangan , tangan kananNya yang dipergunakan melipat langit dan tangan kiriNya digunakan melipat bumi.
Makna hadits tersebut mengandung makna majaz yang maksudnya adalah tangan kanan terkait sesuatu yang baik yakni langit dan tangan kiri terkait sesuatu yang buruk yakni bumi.
Firman Allah ta’ala yang artinya
“Yang telah menciptakan tujuh langit berlapis-lapis” (QS Al Mulk [67]:3 )
“Allah-lah yang menciptakan tujuh langit dan seperti itu pula bumi.” (QS Ath Thalaq [65]: 12 )
“Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya, kemudian Kami kembalikan dia ke tempat yang serendah-rendahnya (neraka), kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh; maka bagi mereka pahala yang tiada putus-putusnya” (QS At Tin [95]: 4-6 )
“Allah (Pemberi) cahaya (kepada) langit dan bumi. Perumpamaan cahaya Allah, adalah seperti sebuah lubang yang tak tembus, yang di dalamnya ada pelita besar. Pelita itu di dalam kaca (dan) kaca itu seakan-akan bintang (yang bercahaya) seperti mutiara, yang dinyalakan dengan minyak dari pohon yang berkahnya, (yaitu) pohon zaitun yang tumbuh tidak di sebelah timur (sesuatu) dan tidak pula di sebelah barat(nya), yang minyaknya (saja) hampir-hampir menerangi, walaupun tidak disentuh api. Cahaya di atas cahaya (berlapis-lapis), Allah membimbing kepada cahaya-Nya siapa yang dia kehendaki, dan Allah memperbuat perumpamaan-perumpamaan bagi manusia, dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” ( QS An Nuur [24]:35 )
Bagian paling dasar, kehinaan, naar (Api), 7 lapis bumi terus naik 7 lapis langit, Nuur (Cahaya), kemuliaan.
Langit ,di atas, tinggi sebagai kemuliaan, kebahagian diperlambangkan dengan Nuur (cahaya),
Bumi, di bawah, rendah sebagai kehinaan, kesengsaraan diperlambangkan dengan Naar (api)
Oleh karenanya sebaiknya janganlah memahami ayat-ayat mutasyabihat dengan makna dzahir karena akan menjerumuskan kedalam kekufuran dalam i’tiqod
Imam Ahmad ar-Rifa’i (W. 578 H/1182 M) dalam kitabnya al-Burhan al-Muayyad, “Sunu ‘Aqaidakum Minat Tamassuki Bi Dzahiri Ma Tasyabaha Minal Kitabi Was Sunnati Lianna Dzalika Min Ushulil Kufri”, “Jagalah aqidahmu dari berpegang dengan dzahir ayat dan hadis mutasyabihat, karena hal itu salah satu pangkal kekufuran”.
Imam besar ahli hadis dan tafsir, Jalaluddin As-Suyuthi dalam “Tanbiat Al-Ghabiy Bi Tabriat Ibn ‘Arabi” mengatakan “Ia (ayat-ayat mutasyabihat) memiliki makna-makna khusus yang berbeda dengan makna yang dipahami oleh orang biasa. Barangsiapa memahami kata wajh Allah, yad , ain dan istiwa sebagaimana makna yang selama ini diketahui (wajah Allah, tangan, mata, bertempat), ia kafir (kufur dalam i’tiqod) secara pasti.”
Sayyidina Ali Ibn Abi Thalib ra berkata : “Sebagian golongan dari umat Islam ini ketika kiamat telah dekat akan kembali menjadi orang-orang kafir”.
Seseorang bertanya kepadanya : “Wahai Amirul Mukminin apakah sebab kekufuran mereka? Adakah karena membuat ajaran baru atau karena pengingkaran?”
Sayyidina Ali Ibn Abi Thalib ra menjawab : “Mereka menjadi kafir karena pengingkaran. Mereka mengingkari Pencipta mereka (Allah Subhanahu wa ta’ala) dan mensifati-Nya dengan sifat-sifat benda dan anggota-anggota badan.”
Dalam kitab ilmu tauhid berjudul “Hasyiyah ad-Dasuqi ‘ala Ummil Barahin” karya Syaikh Al-Akhthal dapat kita ketahui bahwa
Barangsiapa mengi’tiqadkan (meyakinkan) bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala mempunyai tangan (jisim) sebagaimana tangan makhluk (jisim-jisim lainnya), maka orang tersebut hukumnya “Kafir (orang yang kufur dalam i’tiqod)
Barangsiapa mengi’tiqadkan (meyakinkan) bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala mempunyai tangan (jisim) namun tidak serupa dengan tangan makhluk (jisim-jisim lainnya), maka orang tersebut hukumnya ‘Aashin atau orang yang telah berbuat durhaka kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala
I’tiqad yang benar adalah i’tiqad yang menyatakan bahwa sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala itu bukanlah seperti jisim (bentuk suatu makhluk) dan bukan pula berupa sifat. Tidak ada yang dapat mengetahui Dzat Allah Subhanahu wa Ta’ala kecuali Dia
Salaf yang sholeh mengatakan
قال الوليد بن مسلم : سألت الأوزاعي ومالك بن أنس وسفيان الثوري والليث بن سعد عن الأحاديث فيها الصفات ؟ فكلهم قالوا لي : أمروها كما جاءت بلا تفسير
“Dan Walid bin Muslim berkata: Aku bertanya kepada Auza’iy, Malik bin Anas, Sufyan Tsauri, Laits bin Sa’ad tentang hadits-hadits yang di dalamnya ada sifat-sifat Allah? Maka semuanya berkata kepadaku: “Biarkanlah ia sebagaimana ia datang tanpa tafsir“
Imam Sufyan bin Uyainah radhiyallahu anhu mengatakan:
كل ما وصف الله تعالى به نفسه فتفسيره تلاوته و السكوت عنه
“Setiap sesuatu yang Allah menyifati diri-Nya dengan sesuatu itu, maka tafsirannya adalah bacaannya (tilawahnya) dan diam daripada sesuatu itu”.
Sufyan bin Uyainah radhiyallahu anhu ingin memalingkan kita dari mencari makna dzahir dari ayat-ayat sifat dengan cukup melihat bacaannya saja, tafsiruhu tilawatuhu: tafsirannya adalah bacaannya. Bacaannya adalah melihat dan mengikuti huruf-perhurufnya, bukan maknanya, bukan tafsiruhu ta’rifuhu.
Terhadap lafazh-lafazh ayat sifat kita sebaiknya tidak mengi’tiqodkan berdasarkan maknanya secara dzahir karena akan terjerumus kepada jurang tasybih (penyerupaan), sebab lafazh-lafazh ayat sifat sangat beraroma tajsim dan secara badihi (otomatis) pasti akan menjurus ke sana.
Terhadap lafazh-lafazh ayat sifat , Imam Syafi’i ~rahimahullah mengatakan “Jawaban yang kita pilih tentang hal ini dan ayat-ayat yang semacam dengannya bagi orang yang tidak memiliki kompetensi di dalamnya adalah agar mengimaninya dan tidak –secara mendetail– membahasnya dan membicarakannya. Sebab bagi orang yang tidak kompeten dalam ilmu ini ia tidak akan aman untuk jatuh dalam kesesatan tasybîh”
Keterjerumusan kekufuran dalam i’tiqod adalah hal yang dialami oleh ulama Ibnu Taimiyyah yang merupakan ulama panutan Muhammad bin Abdul Wahhab dan para pengikutnya. Hal tersebut sebagaimana yang disampaikan oleh ulama-ulama terdahulu seperti dalam tulisan pada http://mutiarazuhud.wordpress.com/2011/07/28/semula-bermazhab-hambali/ atau pada http://mutiarazuhud.files.wordpress.com/2010/02/ahlussunnahbantahtaimiyah.pdf
Bahkan karena kesalahpahamannya mengakibatkan Ibnu Taimiyyah wafat di penjara sebagaimana dapat diketahui dalam tulisan pada http://mutiarazuhud.wordpress.com/2012/04/13/ke-langit-dunia atau uraian dalam tulisan pada http://ibnu-alkatibiy.blogspot.com/2011/12/kisah-taubatnya-ibnu-taimiyah-di-tangan.html
Wassalam
Zon di Jonggol, Kabupaten Bogor 16830
Tidak ada komentar:
Posting Komentar