oleh : Kudung Khantil Harsandi Muhammad
ANJING DAN BABI
Dalam kajian Najasah, anjing dan babi adalah dua hewan yang termasuk
dalam kategori najis berat (mugholladzoh), hingga tak heran jika dalam
komunitas muslim jarang banget kita temukan dua jenis hewan tadi di
pilih sebagai peliharaan, hal ini tidak mengherankan karena memang dalam
beberapa text di jelaskan :
لاَ تَدْخُلُ الْمَلاَئِكَةُ بَيْتًا فِيهِ كَلْبٌ وَلاَ صُورَةٌ التَّمَاثِسيل
Artinya : "Malaikat tidak memasuki rumah yang di dalamnya terdapat anjing dan patung".
Bahkan dalam sebuah sabda lain di sebutkan :
مَنِ اقْتَنَى كَلْبًا لَيْسَ بِكَلْبِ صَيْدٍ وَلاَ مَاشِيَةٍ وَلاَ
أَرْضٍ فَإِنَّهُ يَنْقُصُ مِنْ أَجْرِهِ قِيرَاطَانِ كُلَّ يَوْمٍ
Artinya : "Barang siapa yang memelihara anjing selain anjing
pemburu, penjaga ternak, dan pejaga bumi, maka berkurang dua qiroth
pahalanya setiap hari".
Berbeda sekali dengan komunitas barat
yang justru acapkali menjadikan anjing sebagai binatang kesayangan, atau
beberapa komunitas jetset yang justru menjadikan pemeliharaan anjing
sebagai lifestyle yang prestisius.
Jika kita sorot hal ini melalui
justifikasi fiqhiyyah, ternyata mengenai status najis anjing para ulama'
memberikan banyak statemen yang beragam, dan sebagai pelengkap kajian,
akan kami jelaskan pula mengenai hukum babi yang juga merupakan kategori
najis mugholadzoh.
Syaikh Muhammad Asy-Syarbini Al-Khothib dalam
kitab Al-Iqna' menjelaskan bahwa semua hewan statusnya adalah suci
selama hewan tersebut masih hidup, kecuali anjing. Entah itu dari jenis
anjing pemburu, anjing penjaga, ataupun yang lain. Hal ini berlandaskan
sebuah hadits yang di riwayatkan oleh Imam Muslim :
طُهُورُ إِنَاءِ أَحَدِكُمْ إِذَا وَلَغَ فِيهِ الْكَلْبُ أَنْ يُغْسَلَ سَبْعَ مَرَّاتٍ أُولاَهُنَّ بِالتُّرَابِ
Artinya : "Sucinya wadah kalian tatkala terkena jilatan anjing adalah
dengan basuhan tujuh kali. Basuhan pertama (di campur) dengan
debu."(H.R. Muslim No. 677).
Dan sebuah hadits lain yang juga di riwayatkan oleh Imam Muslim :
إِذَا وَلَغَ الْكَلْبُ فِى إِنَاءِ أَحَدِكُمْ فَلْيُرِقْهُ ثُمَّ لْيَغْسِلْهُ سَبْعَ مِرَارٍ
Artinya : "Jika ada anjing yang menjilati wadah kalian maka buanglah
isinya dan kemudian basuhlah wadah tadi tujuh kali." (H.R. Muslim No.
674).
Nalar deduksi hukum dan inferensi pada text ini adalah
melihat bahwa motif praktek pensucian (thoharoh) tidak akan lepas dari
tiga hal, yakni : membersihkan hadats, mensucikan najis dan refleksi
pemulyaan terhadap sebuah ritual, dan jika kita cermati praktek
pensucian wadah yang tersurat dalam text sabda nabi di atas tidak
mungkin kita arahkan karena adanya motif menghilangkan hadats atau
pemulyaan terhadap sebuah ritual, sehingga hanya tersisa satu
kemungkinan yakni karena status najis dari mulut anjing, padahal bagian
tersebut merupakan bagian yang paling harum dari anjing, sehingga
tentunya bagian lain lebih layak untuk di statuskan sebagai hal yang
najis. Sedangkan dari hadits berikutnya justifikasi hukum najis juga
begitu jelas, karena jika anjing bukan merupakan hewan yang najis
niscaya rosululloh tidak akan memerintahkan kita untuk membuang isi
wadah yang notabenenya adalah tindakan idho'atul mal (menyia-nyiakan
harta) yang merupakan larangan rosululloh.
Jika kita klasifikasikan lebih jauh, ada tiga type anjing :
Type anjing yang suka menggigit, para pakar fiqh sepakat bahwa type
ini tidak di mulyakan sama sekali dan juga di sunnahkan untuk
membunuhnya. Dan Jika sebenarnya anjing tersebut merupakan jenis yang
bisa di manfaatkan namun suka menggigit, maka tetap di sunnahkan untuk
di bunuh karena lebih mengedepankan madhorot yang di timbulkan.
Jenis anjing yang bisa di manfaatkan untuk perburuan atau di jadikan
sebagai anjing penjaga, jenis ini di mulyakan oleh syara' dan haram
untuk di bunuh.
Kategori anjing yang tidak berbahaya namun juga
tidak bisa di manfaatkan, seperti anjing yang sering berkeliaran di
jalan-jalan atau di pasar, Imam Romli menyatakan bahwa jenis ini di
mulyakan oleh syara' dan haram untuk di bunuh, berbeda dengan Ibn Hajar
yang memperbolehkan untuk membunuh anjing dengan type seperti ini.
Dalam formulasi hukum ini sebenarnya terkandung hikmah yang luar biasa,
yang merupakan cermin kepedulian dan kearifan syariat islam sebagai
agama sang maha penyayang, karena ternyata dalam banyak study ilmiah di
jelaskan bahwa anjing terbukti sangat berpotensi menularkan banyak
penyakit yang berbahaya, karena dalam tubuh anjing terdapat kuman
penyebab penyakit menular hampir lima puluh macam jenisnya, dan lagi di
dalam ususnya, hidup dan berkembang biak banyak sekali cacing, pada saat
anjing mengeluarkan kotoran, telur dari cacing-cacing ikut terbawa
keluar bersama kotoran, kebiasaan anjing menjilati anusnya membuat
telur-telur cacing menempel di lidah dan air liurnya, kemudian berpindah
ke bejana atau tangan manusia. Setelah menetas, cacing-cacing tersebut
dapat terbawa oleh darah atau lendir ke seluruh tubuh. Yang paling
berbahaya adalah bila sampai ke jantung. Bahkan di dalam air liurnya
saja juga mengandung berbagai kuman yang mampu menyerang organ dalam
manusia melalui sistem terbuka. Belum lagi sebagaimana hasil penelitian
yang di lakukan di Universitas Munich, hoby memelihara anjing dapat
meningkatkan resiko mengidap kanker, fakta menyatakan bahwa sebanyak
79,7% penderita kanker payudara, ternyata sering bercanda dengan anjing.
Dan di Norwegia, 53,3% dari 14.401 pemilik anjing di vonis mengidap
kanker. Dan banyak lagi data-data ilmiah lain yang perlahan-lahan mulai
menyingkap misteri hikmah ilahiyah yang pasti melingkupi setiap
ketentuan hukum yang di tetapkan oleh syari'at.
Sebeagian pakar
fiqh lain seperti Imam Dawud Adz-Dzohiri, Imam Malik, dan juga Imam
Az-Zuhri menyatakan bahwa hukum anjing adalah suci, ada banyak argumen
yang mereka kemukakan di antaranya adalah firman allah :
فَكُلُوا ممّا أَمْسَكْنَ عَلَيْكُمْ
Artinya : "Dan makanlah buruan yang telah di tangkap oleh anjing pemburumu". (Al-Ma'idah : 4)
Dan juga di dukung oleh sebuah hadits Abdullah Ibn 'Umar :
كَانَتِ الْكِلابُ تَبُولُ وَتُقْبِلُ وَتُدْبِرُ فِى الْمَسْجِدِ فِى
زَمَانِ النَّبِى ، ( صلى الله عليه وسلم ) ، فَلَمْ يَكُونُوا يَرُشُّونَ
شَيْئًا مِنْ ذَلِكَ
Artinya : "Di zaman rosululloh seringkali banyak
anjing yang kencing dan lalu-lalang di dalam masjid, namun beliau
tidak memerintahkan kami untuk memerciki air pada tempat yang di lalui
anjing tadi".
Sedangkan hadits mengenai kewajiban untuk
membasuh tujuh kali pada wadah yang di jilati anjing oleh kubu ini hanya
di artikan sebagai sebuah ritual yang bersifat ta'abbudi sehingga tidak
dapat di jadikan sebagai patokan status najis pada anjing. Namun para
pakar fiqh syafi'iyyah memberikan tanggapan bahwa firman allah yang di
kutip oleh kubu ini merupakan konteks permasalahan hewan buruan yang
memang dalam kubuh syafi'iyyah pun terdapat kontrofersi dalam hal itu,
kubu yang tidak mewajibkan adanya pembasuhan menganggap bekas gigitan
itu sebagai hal yang ma'fu karena faktor masyaqot yang di rasakan dan
tuntutan adanya hajat, berbeda dengan permasalahan wadah yang di jilati
oleh anjing. Mengenai hadits Abdullah Ibn 'Umar yang di jadikan salah
satu refrensi oleh kubu ini, oleh Imam Baihaqi ketentuan di arahkan
sebelum turunnya wahyu yang menjelaskan akan kewajiban membasuh tempat
yang di jilati oleh anjing atau kebetulan air kencing anjing yang
terpotret dalam hadits ini tidak nampak sehingga memang kewajiban
pembasuhan hanya tertentu pada tempat yang di yakini terkena air
kencing. karena di kalangan para pakar fiqh telah terdapat konsensus
bahwa anjing merupakan hewan yang hukumnya adalah najis dan juga
terdapat kesepakatan akan wajibnya memerciki air pada tempat yang
terkena air kencing anak kecil, maka semestinya dalam kasus air kencing
anjing lebih layak untuk di kenai kewajiban pembasuhan.
Hewan
lain yang juga termasuk dalam kategori najis berat (mugholladzoh) adalah
babi, mengenai alasan pasti yang melatar belakangi hal ini para ulama'
masih mengalami perdebatan dan tarik ulur, berikut ini akan kami
beberkan beberapa alasan status najis hewan babi yang di kemukakan oleh
para pakar fiqh :
Para ulama' menganggap bahwa babi lebih buruk
daripada anjing, karena untuk hewan babi sama sekali tidak ada legalitas
untuk memanfaatkannya, berbeda dengan beberapa jenis anjing yang boleh
untuk di manfaatkan. Alasan ini masih di janggalkan jika kita bandingkan
dengan hewan serangga yang juga tidak dapat di manfaatkan sama sekali,
dan ternyata statusnya adalah hewan yang suci, namun kemudian di
perjelas kembali bahwa berbeda dengan serangga, babi sebenarnya masih
memiliki manfaat semisal untuk menarik atau mengangkat muatan, sehingga
hal ini dapat memperkuat status najisnya, karena teryata manfaat yang
ada pada babi tidak cukup untuk menggugurkan status najisnya.
Statement Ibn Munzdir bahwa terdapat konsensus ulama' mengenai status
najis hewan babi. Namun alasan ini juga masih di pertanyakan karena
ternyata Imam Malik yang menyatakan bahwa status babi saat masih hidup
adalah hewan suci, begitu juga sebagian riwayat yang menyatakan bahwa
imam hanafi juga berpendapat bahwa babi statusnya adalah suci.
Adanya kesunnahan untuk membunuhnya meski bukan merupakan jenis yang
berbahaya, bahkan sebagian ulama' mewajibkan untuk membasminya.
Terdapat nash shorih yang menjelaskan mengenai keharaman babi, dan hal
ini juga telah di ACC oleh para fuqoha', berbeda dengan anjing yang
masih di perdebatkan oleh para pakar (Imam Malik mengvonis anjing
sebagai hewan yang suci).
Imam Mawardi mengguanakan firman allah :
"أَوْ لَحْمَ خِنْزِيرٍ فَإِنَّهُ رِجْسٌ"
Meski secara tersurat dalam text hanya menstatuskan daging babi saja
yang di vonis najis, namun ungkapan ini hanya merupakan kiasan yang
sebenarnya juga mengikutkan semua bagian dari hewan babi, karena jika
hanya daging saja yang di statuskan najis maka hal ini sudah di cukupi
dengan keterangan mengenai najisnya bangkai. Namun penggunaan nash ini
sebagi dalil di tolak oleh Imam Zakariyah Al Anshori karena menurut
beliau secara dhohir pengembalian dhomir lebih tepat jika di kembalikan
pada mudhof yakni lafadz "lahm" sehingga maksut dari text ini adalah
vonis najis pada daging babi setelah hewan itu mati.
Karena
banyaknya kontrofersi dan tarik ulur dari para fuqoha' mengenai alasan
vonis najis yang peling tepat. Beliau Imam Nawawi menyatakan bahwa
sebenarnya tidak ada dalil yang jelas mengenai status najis babi. Karena
memang jika sebuah dalil masih memiliki multi tafsir maka tidak dapat
di jadikan sebagai sebuah tendesi hukum.
Dan mungkin ini pula yang
membuat munculnya statement dari Imam Malik yang menyatakan bahwa hukum
babi adalah suci selama hewan ini masih hidup, begitu juga salah satu
riwayat pendapat Imam Hanafi yang senada dengan hal ini.
Kontrofersi juga terjadi mengenai metode pensucian najis mugholladzoh,
kubu syafi'iyyah mewajibkan adanya pembasuhan tujuh kali pada area yang
terkena najis mugholladzoh dan metode ini juga merupakan pendapat dari
mayoritas pakar fiqh seperti Abi Huroiroh, Ibn 'Abbas, Abi Tsaur dan
banyak lagi yang lain sebagaimana keterangan yang di kutip dari Ibn
Mundzir. Namun ada juga pendapat lain seperti pendapat imam az-zuhry
yang sudah menganggap cukup dengan hanya tiga kali basuhan. Atau
pendapat imam hanafi yang tidak menentukan bilangan tertentu dalam hal
pembasuhan, beliau hanya memberi patokan hingga adanya persangkaan bahwa
area tersebut telah suci, ketentuan ini juga berlaku untuk semua najis
'ainiyyah . Imam Malik dalam sebagian riwayat mewajibkan delapan kali
basuhan yang salah satunya di campur dengan debu hal ini senada dengan
statement Dawud Adz-Dzohiri, namun dalam riwayat lain Imam Malik
menyatakan bahwa makanan atau minuman yang di jilati oleh anjing tidak
bisa di hukumi najis, sehingga boleh-boleh saja untuk di konsumsi atau
di gunakan untuk berwudhu'.
Mengenai keharusan menggunakan debu
sebagai campuran, terdapat dua versi pendapat, pendepat yang lebih
shohih menyatakan bahwa semisal sabun kayu
Unique Reference For You…
• ANJING DI HUKUMI SUCI MENURUT IMAM MALIK & DAWUD ADH-DHOHIRI.
المجموع شرح المهذب - (ج 2 / ص 567)
[ وأما الكلب فهو نجس لما روى أن النبي صلى الله عليه وسلم (دعى ألى دار
فأجاب ودعى إلى دار فلم يجب فقيل له في ذلك فقال ان في دار فلان كلبا فقيل
له وفى دار فلان هرة فقال الهرة ليست بنجسة) فدل علي أن الكلب نجس ] * [
الشرح ] مذهبنا ان الكلاب كلها نجسة المعلم وغيره الصغير والكبير وبه قال
الاوزاعي وأبو حنيفة واحمد واسحق وأبو ثور وأبو عبيد وقال الزهري ومالك
وداود هو طاهر وانما يجب غسل الاناء من ولوغه تعبدا وحكى هذا عن الحسن
البصري وعروة بن الزبير واحتج لهم بقول الله تعالى (فَكُلُوا ممّا
أَمْسَكْنَ عَلَيْكُمْ) ولم يذكر غسل موضع امساكها وبحديث ابن عمر رضي الله
عنهما قال (كانت الكلاب تقبل وتدبر في المسجد في زمن رسول الله صلى الله
عليه وسلم فلم يكونوا يرشون شيئا من ذلك) ذكره البخاري في صحيحه فقال وقال
احمد بن شبيب حدثنا أبى إلى آخر الاسناد والمتن وأحمد هذا شيخه ومثل هذه
العبارة محمول علي الاتصال وان البخاري رواه عنه كما هو معروف عند أهل هذا
الفن وذلك واضح في علوم الحديث وروى البيهقي وغيره هذا الحديث متصلا وقال
فيه (وكان الكلاب تقبل وتدبر في المسجد فلم يكونوا يرشون شيئا من ذلك)
واحتج اصحابنا بحديث أبى هريرة رضي الله عنه أن رسول الله صلى الله عليه
وسلم قال (إذا ولغ الكلب في اناء أحدكم فليرقه ثم ليغسله سبع مرات) رواه
مسلم وعن أبي هريرة أيضا قال قال رسول الله صلى الله عليه وسلم (طهور اناء
احدكم إذا ولغ فيه الكلب أن يغسله سبع مرات أو لاهن بالتراب) رواه مسلم وفى
رواية له (طهر أناء احدكم إذا ولغ الكلب فيه ان يغسل سبع مرات) والدلالة
من الحديث الاول ظاهرة لانه لو لم يكن نجسا لما أمر باراقته لانه يكون
حينئذ اتلاف مال وقد نهينا عن اضاعة المال والدلالة من الحديث الثاني ظاهرة
أيضا فان الطهارة تكون من حدث أو نجس وقد تعذر الحمل هنا علي طهارة الحدث
فتعينت طهارة النجس وأجاب اصحابنا عن احتجاجهم بالآية بان لنا خلافا معروفا
في أنه يجب غسل ما اصابه الكلب ام لا فان لم نوجبه فهو معفو للحاجة
والمشقة في غسله بخلاف الاناء واما الجواب عن حديث ابن عمر فقال البيهقى
مجيبا عنه اجمع المسلمون علي نجاسة بول الكلب ووجوب الرش علي بول الصبى
فالكلب أولي قال فكان حديث ابن عمر قبل الامر بالغسل من ولوغ الكلب أو ان
بولها خفى مكانه فمن تيقنه لزمه غسله والله أعلم
• MACAM-MACAM ANJING DAN HUKUM MEMBUNUHNYA.
كاشفة السجا ص 35
والكلب ثلاثة أقسام : عقور, وهذا لا خلاف في عدم احترامه وندب قتله, وما
فيه نفع من اصطياد او حراسة وهذا لا خلاف في احترامه وحرمة قتله, وما لا
نفع فيه ولا ضرر وهو كلب السوق المسمى بالجعاصى ومعتمد الرملى فيه انه
محترم فيحرم قتله وعند شيخ الأسلام يجوز قتله فإن كان الكلب عقورا ولكن فيه
نفع سن قتله تغليبا لجانب الضرر.
• BABI DI HUKUMI SUCI MENURUT MADZHAB IMAM MALIK DAN SEBAGIAN RIWAYAT ABI HANIFAH.
الاقناع في حل ألفاظ أبي شجاع - (ج 1 / ص 136)
والحيوان كله طاهر أي طاهر العين حال حياته إلا الكلب ولو معلما لخبر مسلم
طهور إناء أحدكم إذا ولغ فيه الكلب أن يغسله سبع مرات أولاهن بالتراب وجه
الدلالة أن الطهارة إما لحدث أو خبث أو تكرمة ولا حدث على الإناء ولا تكرمة
فتعينت طهارة الخبث فثبتت نجاسة فمه وهو أطيب أجزائه بل هو أطيب الحيوانات
نكهة لكثرة ما يلهث فبقيتها أولى والخنزير بكسر الخاء المعجمة لأنه أسوأ
حالا من الكلب لأنه لا يقتنى بحال ونقض هذا التعليل بالحشرات ونحوها ولذلك
قال النووي ليس لنا دليل واضح على نجاسته لكن ادعى ابن المنذر الإجماع على
نجاسته وعورض بمذهب مالك ورواية عن أبي حنيفة أنه طاهر ويرد النقض بأنه
مندوب إلى قتله من غير ضرر فيه ولأنه يمكن الانتفاع به بحمل شيء عليه ولا
كذلك الحشرات فيهما.
• BABI SAAT MASIH HIDUP ITU TIDAK DI HUKUMI NAJIS.
المجموع شرح المهذب - (ج 2 / ص 568)
نقل ابن المنذر في كتاب الاجماع اجماع العلماء علي نجاسة الخنزير وهو
أولي ما يحتج به لو ثبت الاجماع ولكن مذهب مالك طهارة الخنزير مادام حيا
وأما ما احتج به المصنف فكذا احتج به غيره ولا دلالة فيه وليس لنا دليل
واضح علي نجاسة الخنزير في حياته.
المجموع شرح المهذب - (ج 2 / ص 588)
ويفرق بينه وبين سائر النجاسات بل المراد هنا الزجر والتنفير من الكلاب والمبالغة في التغليظ في ذلك ولهذا غلظ بالعدد والتراب
• SUNNAH MBANTAI BABI !!
فتاوى الرملي - (ج 1 / ص 237)
( سُئِلَ ) هَلْ يُنْدَبُ قَتْلُ الْخِنْزِيرِ أَمْ لَا ؟ ( فَأَجَابَ ) بِأَنَّهُ يُنْدَبُ قَتْلُهُ.
• IJMA' 'ULAMA' MENGENAI DI HARAMAKANNYA MENGKONSUMSI BABI.
بداية المجتهد ج 1 ص 342
فاما المتفق منها عليه فاتفق المسلمون منها على اثنين لحم الخنزير والدم
فأما الخنزير فاتفقوا على تحريم شحمه ولحمه وجلده واختلفوا في الإنتفاع
بشعره وفي طهارة جلده مدبوغا وغير مدبوغ .
• KONTROFERSI MENGENAI METODE PEMBASUHAN NAJIS MUGHOLLADZOH.
المجموع شرح المهذب - (ج 2 / ص 580)
وقد اختلف العلماء في ولوغ الكلب فمذهبنا انه ينجس ما ولغ فيه ويجب غسل
انائه سبع مرات احداهن بالتراب وبهذا قال اكثر العلماء حكى ابن المنذر وجوب
الغسل سبعا عن ابى هريرة وابن عباس وعروة بن الزبير وطاووس وعمرو بن دينار
ومالك والاوزاعي واحمد واسحق وابى عبيد وابي ثور قال ابن المنذر وبه اقول
وقال الزهري يكفيه غسله ثلاث مرات وقال أبو حنيفة يجب غسله حتى يغلب على
الظن طهارته فلو حصل ذلك بمرة أجزأه وكذا عنده سائر النجاسات العينية قال
ويجب غسل النجاسة الحكمية ثلاثا وعن أحمد رواية انه يجب غسله ثمانى مرات
احداهن بالتراب وهى رواية عن داود أيضا وقال مالك والاوزاعي لا ينجس الطعام
الذى ولغ فيه بل يحل أكله وشربه والوضوء به قالا ويجب غسل الاناء تعبدا
قال مالك وان ولغ في ماء جاز أن يتوضأ به لانه طاهر وفى جواز غسل هذا
الاناء بهذا الماء روايتان عنه واحتج لابي حنيفة بحديث يرويه عبد الوهاب بن
الضحاك عن اسماعيل بن عياش عن هشام بن عروة عن أبى الزناد عن الاعرج عن
أبى هريرة عن النبي صلي الله عليه وسلم في الكلب يلغ في الاناء قال (يغسله
ثلاثا أو خمسا أو سبعا) وبالقياس علي سائر النجاسات واحتج لاحمد رحمه الله
بحديث عبد الله بن مغفل المزني رضي الله عنه قال قال رسول الله صلي الله
عليه وسلم (إذا ولغ الكلب في الاناء فاغسلوه سبع مرار وعفروه الثامنة في
التراب) رواه مسلم واحتج لمالك والاوزاعي في عدم نجاسته وجواز الانتفاع
بالطعام بأن الامر بغسل الاناء كان تعبدا ولا يلزم منه نجاسة الطعام
واتلافه واحتج اصحابنا والجمهور علي وجوب الغسل سبعا بحديث ابى هريرة ان
رسول الله صلي الله عليه وسلم قال (طهور اناء احدكم إذا ولغ فيه الكلب ان
يغسل سبعا أولاهن بالتراب) رواه مسلم وفى رواية عنه عن النبي صلي الله عليه
وسلم قال (إذا شرب الكلب في اناء احدكم فليغسله سبعا) رواه البخاري ومسلم
وروى هذا المتن في الصحيح جماعة من الصحابة رضى الله عنهم وذكر اصحابنا
اقيسة كثيرة ومناسبات لاقوة فيها ولا حاجة إليها مع ما ذكرناه من السنن
الصحيحة المتظاهرة.
المجموع شرح المهذب - (ج 2 / ص 586)
حاصل ما
ذكره أن في ولوغ الخنزير طريقين أحدهما فيه قولان وهى طريقة ابن القاص
أحدهما يكفى مرة بلا تراب كسائر النجاسات والثانى يجب سبع مع التراب
والطريق الثاني يجب سبع قطعا وبه قال الجمهور وتأولوا نصه في القديم كما
أشار إليه المصنف واعلم أن الراجح من حيث الدليل أنه يكفى غسلة واحدة بلا
تراب وبه قال أكثر العلماء الذين قالوا بنجاسة الخنزير وهذا هو المختار لان
الاصل عدم الوجوب حتى يرد الشرع لاسيما في هذه المسألة المبنية على التعبد
وممن قال يجب غسله سبعا أحمد ومالك وفى رواية عنه قال صاحب العدة ويجرى
هذا الخلاف الذى في الخنزير فيما أحد أبويه كلب أو خنزير وذكر صاحب التلخيص
في المتولد بين الكلب والخنزير قولين وهذا صحيح لان الشرع انما ورد في
الكلب وهذا المتولد لا يسمي كلبا.
• MENSUCIKAN NAJIS MUGHOLADHOH CUKUP DENGAN SABUN.
شرح التنبيه ج 1 ص 86
فإن غسل بدل التراب بالجص معا والأشنان والصابون وكذا النخالة كما في
البحر وغيره ففيه قولان : أصحهما انه يطهر لأنه قائم مقام التراب في
الإستطهار كما قام غير الشبّ والقرظ مقامهما في الدباغ مع ورود النص بهما
وصححه النووي في رؤوس المسائل والثاني : لا, ويتعين لتعبدية اوللجمع بين
نوعي الطهور وهو الأصح في كتب الرافعي واكثر كتب النووي.
• SEMUA JENIS KULIT TERMASUK KULIT ANJING DAN BABI DAPAT DI HUKUMI SUCI SETELAH PROSES PENYAMAKAN.
المجموع شرح المهذب - (ج 1 / ص 217)
(فرع في مذاهب العلماء في جلود الميتة) هي سبعة مذاهب أحدها لا يطهر
بالدباغ شئ من جلود الميتة لما روى عن عمر بن الخطاب وابنه وعائشة رضي الله
عنهم وهو أشهر الروايتين عن أحمد ورواية عن مالك والمذهب الثاني يطهر
بالدباغ جلد مأكول اللحم دون غيره وهو مذهب الاوزاعي وابن المبارك وأبي
داود واسحق ابن راهويه والثالث يطهر به كل جلود الميتة الا الكلب والخنزير
والمتولد من أحدهما وهو مذهبنا وحكوه عن على بن أبي طالب وابن مسعود رضي
الله عنهما: والرابع يطهر به الجميع الا جلد الخنزير وهو مذهب ابي حنيفة
والخامس يطهر الجميع والكلب والخنزير الا أنه يطهر ظاهره دون باطنه فيستعمل
في اليابس دون الرطب ويصلي عليه لا فيه وهو مذهب مالك فيما حكاه أصحابنا
عنه: والسادس يطهر بالدباغ جميع جلود الميتة والكلب والخنزير ظاهرا وباطنا
قاله داود وأهل الظاهر وحكاه الماوردي عن أبي يوسف: والسابع ينتفع بجلود
الميتة بلا دباغ ويجوز استعمالها في الرطب واليابس حكوه عن الزهري.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar