Fitnah yang tanpa disadari
Dalam tulisan pada
http://mutiarazuhud.wordpress.com/2013/09/19/waspada-manhaj-shahafi/
telah disampaikan bahwa pengakuan yang sering mereka lontarkan yang
dapat membuat orang awam terperosok mengikuti mereka adalah bahwa
mereka beragama mengikuti pemahaman para Sahabat, jalannya para Sahabat
atau manhaj Sahabat (manhaj Salaf)
Permasalahannya
adalah bagaimana mereka mengetahui pemahaman para Sahabat, jalannya
para Sahabat atau manhaj Sahabat (manhaj Salaf) sedangkan mereka tentu
tidak lagi bertemu dengan para Sahabat.
Apakah ketika
mereka membaca hadits maka dapat dikatakan mereka telah mengetahui
pemahaman para Sahabat, jalannya para Sahabat atau manhaj Sahabat
(manhaj Salaf) ?
Mereka berijtihad dan beristinbat
dengan pendapat mereka terhadap hadits tersebut. Apa yang mereka
katakan tentang hadits tersebut, pada hakikatnya adalah hasil ijtihad
dan ra’yu mereka sendiri. Sumbernya memang hadits tersebut tapi apa
yang mereka sampaikan semata lahir dari kepala mereka sendiri.
Sayangnya
mereka mengatakan kepada orang banyak bahwa apa yang mereka sampaikan
adalah pemahaman para Sahabat, jalannya para Sahabat atau manhaj
Sahabat (manhaj Salaf). Tidak ada yang dapat menjamin hasil upaya
ijtihad dan istinbat mereka pasti benar dan terlebih lagi mereka tidak
dikenal berkompetensi sebagai Imam Mujtahid Mutlak.
Apapun
hasil ijtihad dan istinbat mereka, benar atau salah, mereka atas
namakan kepada para Sahabat. Jika ijtihad mereka salah, inilah yang
namanya fitnah terhadap para Sahabat. Jika telah memfitnah para
Sahabat maka bersiap-siaplah akan menempati tempat duduknya di neraka
Jadi
pada kenyataannya “ajakan” untuk mengikuti pemahaman para Sahabat,
jalannya para Sahabat atau manhaj Sahabat (manhaj Salaf) adalah ajakan
untuk “kembali kepada pada Al Qur’an dan As Sunnah” bersandarkan
mutholaah (menelaah kitab) secara otodidak (shahafi) dengan akal
pikiran sendiri.
Sebagaimana yang telah disampaikan dalam tulisan pada
http://mutiarazuhud.wordpress.com/2013/09/18/dari-lisan-ke-lisan/
bahwa belajar dari buku dengan bahasa tulisan mempunyai keterbatasan
dibandingkan dengan bertalaqqi , bertemu atau mengaji dengan guru.
Pada
hakikatnya ruh ilmuNya mengalir diantara lisan ke lisan para ulama
yang sholeh secara turun temurun tersambung kepada lisannya Rasulullah
shallallahu alaihi wasallam. Oleh karenanya dikatakan sami’na wa
ato’na (kami dengar dan kami taat) bukan kami baca dan kami taat.
Begitu
juga mendengarkan kaset atau melihat dan mendengarkan siaran
televisi atau rekaman video juga tidak termasuk bertalaqqi karena
tidak terjadi interaksi sehingga sama dengan berguru dengan buku
Orang
yang berguru tidak kepada guru tapi kepada buku saja maka ia tidak
akan menemui kesalahannya karena buku tidak bisa menegur tapi kalau
guru bisa menegur jika ia salah atau jika ia tak faham ia bisa
bertanya, tapi kalau buku jika ia tak faham ia hanya terikat dengan
pemahaman dirinya sendiri menurut akal pikirannya sendiri
Rasulullah
shallallahu alaihi wasallam bersabda,“Barangsiapa menguraikan Al
Qur’an dengan akal pikirannya sendiri dan merasa benar, maka
sesungguhnya dia telah berbuat kesalahan”. (HR. Ahmad)
Apakah orang yang otodidak dari kitab-kitab hadits layak disebut ahli hadits ?
Syaikh
Nashir al-Asad menjawab pertanyaan ini: “Orang yang hanya mengambil
ilmu melalui kitab saja tanpa memperlihatkannya kepada ulama dan tanpa
berjumpa dalam majlis-majlis ulama, maka ia telah mengarah pada
distorsi. Para ulama tidak menganggapnya sebagai ilmu, mereka
menyebutnya shahafi atau otodidak, bukan orang alim… Para ulama menilai
orang semacam ini sebagai orang yang dlaif (lemah). Ia disebut shahafi
yang diambil dari kalimat tashhif, yang artinya adalah seseorang
mempelajari ilmu dari kitab tetapi ia tidak mendengar langsung dari para
ulama, maka ia melenceng dari kebenaran. Dengan demikian, Sanad dalam
riwayat menurut pandangan kami adalah untuk menghindari kesalahan
semacam ini” (Mashadir asy-Syi’ri al-Jahili 10)
Salah
satu ulama yang memelopori mendalami ilmu agama bersandarkan mutholaah
(menelaah kitab) secara otodidak (shahafi) dengan akal pikiran sendiri
adalah Ibnu Taimiyyah sebagaimana yang dapat kita ketahui dari
biografinya seperti contoh informasi dari
http://zakiaassyifa.wordpress.com/2011/05/10/biografi-tokoh-islam/
***** awal kutipan ******
Ibn
Taimiyyah juga seorang otodidak yang serius. Bahkan keluasan wawasan
dan ketajaman analisisnya lebih terbentuk oleh berbagai literatur yang
dia baca dan dia teliti sendiri.
***** akhir kutipan ******
Hal
serupa diikuti pula oleh Muhammad bin Abdul Wahhab yang menjadikan
Ibnu Taimiyyah sebagai ulama panutannya sebagaimana informasi dari
kalangan mereka sendiri yang menyebut Muhammad bin Abdul Wahhab
sebagai imam seperti pada
http://rizqicahya.wordpress.com/tag/imam-muhammad-bin-abdul-wahhab-bag-ke-1/
***** awal kutipan *****
Lengkaplah
sudah ilmu yang diperlukan oleh seorang yangpintar yang kemudian
dikembangkan sendiri melalui metode otodidak (belajar sendiri)
sebagaimana lazimnya para ulama besar Islam mengembangkan ilmu-ilmunya.
Di mana bimbingan guru hanyalah sebagai modal dasar yang selanjutnya
untuk dapat dikembangkan dan digali sendiri oleh yang bersangkutan
***** akhir kutipan *****
Pada
kenyataannya pula Muhammad bin Abdul Wahhab mengikuti pola pemahaman
Ibnu Taimiyyah bersandarkan mutholaah (menelaah kitab) secara otodidak
(shahafi) dengan akal pikirannya sendiri karena masa kehidupannya
terpaut 350 tahun lebih, sebagaimana informasi dari
http://rizqicahya.wordpress.com/tag/imam-muhammad-bin-abdul-wahhab-bag-ke-1/
****** awal kutipan ******
Di
antara karya-karya ulama terdahulu yang paling terkesan dalam jiwanya
adalah karya-karya Syeikh al-Islam Ibnu Taimiyah. Beliau adalah
mujaddid besar abad ke 7 Hijriyah yang sangat terkenal.
Demikianlah
meresapnya pengaruh dan gaya Ibnu Taimiyah dalam jiwanya, sehingga
Syeikh Muhammad bin `Abdul Wahab bagaikan duplikat(salinan)Ibnu
Taimiyah. Khususnya dalam aspek ketauhidan, seakan-akan semua yang
diidam-idamkan oleh Ibnu Taimiyah semasa hidupnya yang penuh ranjau dan
tekanan dari pihak berkuasa, semuanya telah ditebus dengan kejayaan
Ibnu `Abdul Wahab yang hidup pada abad ke 12 Hijriyah itu.
****** akhir kutipan ******
Orang awam yang terperosok mengikuti mereka dikarenakan terhipnotis pada perkataan-perkataan seperti
“Ibnu Taimiyyah menyusun kitab-kitabnya berdasar merujuk Salafus sholeh”
Sehingga
orang awan yang mengikuti mereka beranggapan apapun yang disampaikan
oleh Ibnu Taimiyyah adalah pasti benar karena merujuk kepada Salafush
Sholeh.
Apalagi ditambah kalimat hipnotis lainnya seperti yang dapat kita ketahui dari situs mereka pada
http://almanhaj.or.id/content/1474/slash/0/antara-ahlus-sunnah-dan-salafiyah/
di mana mereka mengutip perkataan atau fatwa dari ulama panutan
mereka yakni Ibnu Taimiyyah, “Barangsiapa mengingkari penisbatan
kepada salaf dan mencelanya, maka perkataannya terbantah dan tertolak
‘karena tidak ada aib untuk orang-orang yang menampakkan mazhab salaf
dan bernisbat kepadanya bahkan hal itu wajib diterima menurut
kesepakatan ulama, karena mazhab salaf itu pasti benar” [Majmu Fatawa
4/149]
Padahal Ibnu Taimiyyah menyusun kitab-kitabnya
bukan merujuk atau mengikuti Salafush Sholeh karena beliau tentunya
tidak lagi bertemu dengan Salafush Sholeh
Ibnu
Taimiyyah menyusun kitab-kitabnya merujuk kepada Al Qur’an dan Hadits
namun permasalahannya apakah hasil ijtihad dan istinbat Ibnu Taimiyyah
pasti benar?
Apakah dengan pengakuan atau penisbatan
kepada Salafush Sholeh dapat menjamin hasil ijtihad dan istinbat Ibnu
Taimiyyah pasti benar?
Oleh karena orang awam yang
terperosok mengikuti pola pemahaman IbnuTaimiyyah merasa pasti benar
dan selain mereka pasti salah sehingga timbullah perselisihan dan
kebencian terhadap muslim lainnya.
Bahkan adz-Dzahabi
salah seorang murid Ibnu Taimiyyah memberikan nasehat kepada beliau
atas sikap atau akhlaknya yang timbul karena merasa pasti benar
sebagaimana yang telah disampaikan dalam tulisan pada
http://mutiarazuhud.wordpress.com/2013/08/25/nasehat-seorang-murid/
Memang
kesalahpahaman dalam memahami Al Qur’an dan As Sunnah dapat
menimbulkan perselisihan dan bahkan kebencian sebagaimana yang telah
disampaikan dalam tulisan pada
http://mutiarazuhud.wordpress.com/2013/08/19/menimbulkan-kebencian/
Contoh perselisihan dan bahkan kebencian karena masing-masing merasa pasti benar adalah apa yang mereka pertontonkan pada
http://tukpencarialhaq.com/2013/07/14/parodi-rodja-bag-10-beking-dakwah-halabiyun-firanda-adalah-pendusta-besar/atau pada
http://tukpencarialhaq.com/2013/08/06/parodi-rodja-13-menjawab-tantangan-dokter-dan-guru-besar-beladiri/
Rasulullah
shallallahu alaihi wasallam juga telah memperingatkan kita bahwa
perselisihan timbul dari ulama bangsa Arab sendiri. Maksudnya
perselisihan timbul dari orang-orang yang berkemampuan bahasa Arab yang
berupaya mengambil hukum-hukum dari Al Qur’an dan As Sunnah dari sudut
arti bahasa saja.
Saya (Khudzaifah Ibnul Yaman) bertanya ‘Ya Rasulullah, tolong beritahukanlah kami tentang ciri-ciri mereka!
Nabi menjawab; Mereka adalah seperti kulit kita ini, juga berbicara dengan bahasa kita.
Saya bertanya ‘Lantas apa yang anda perintahkan kepada kami ketika kami menemui hari-hari seperti itu?
Nabi menjawab; Hendaklah kamu selalu bersama jamaah muslimin dan imam mereka!
Aku bertanya; kalau tidak ada jamaah muslimin dan imam bagaimana?
Nabi
menjawab; hendaklah kau jauhi seluruh firqah (kelompok-kelompok/
sekte) itu, sekalipun kau gigit akar-akar pohon hingga kematian
merenggutmu kamu harus tetap seperti itu. (HR Bukhari)
Berkata
Ibnu Hajar rahimahullah dalam Fathul Bari XIII/36:“Yakni dari kaum
kita, berbahasa seperti kita dan beragama dengan agama kita. Ini
mengisyaratkan bahwa mereka adalah bangsa Arab”.
Rasulullah
shallallahu alaihi wasallam bersabda, “Akan datang pada akhir zaman,
orang-orang muda dan berpikiran sempit. Mereka senantiasa berkata
baik. Mereka keluar dari agama Islam, sebagaimana anak panah lepas
dari busurnya. Mereka mengajak manusia untuk kembali kepada Al-Quran,
padahal mereka sama sekali tidak mengamalkannya. Mereka membaca
Al-Quran, namun tidak melebihi kerongkongan mereka. Mereka berasal
dari bangsa kita (Arab). Mereka berbicara dengan bahasa kita (bahasa
Arab). Kalian akan merasa shalat kalian tidak ada apa-apanya
dibandingkan shalat mereka, dan puasa kalian tidak ada apa-apanya
dibandingkan puasa mereka.”
Pada umumnya orang-orang
yang mendalami Al Qur’an dan As Sunnah bersandarkan mutholaah
(menelaah kitab) secara otodidak, memahaminya dari sudut arti bahasa
dan istilah saja atau dikatakan mereka bermazhab dzahiriyyah yakni
berpendapat, berfatwa, beraqidah (beri’tiqod) selalu berpegang pada
nash secara dzahir atau makna dzahir sebagaimana yang telah
disampaikan dalam tulisan pada
http://mutiarazuhud.wordpress.com/2013/07/24/arti-bahasa-saja
Contohnya
kepada orang Arab yang berprofesi sebagai pedagang yang tentunya
paham bahasa Arab karena mengerti bahasa Arab atau dapat memahami
berdasarkan arti bahasa, lalu kita serahkan kitab Al Qur’an dan kitab
Hadits lengkap berikut penilaian ke-shahih-annya dari para ahli hadits.
Tentunya
pedagang Arab tersebut tidak akan berani berpendapat, berfatwa atau
menyampaikan seputar aqidah (i’tiqod) berdasarkan mutholaah (menelaah
kitab) secara otodidak (shahafi) dengan akal pikirannya sendiri dengan
kemampuan memahami berdasarkan arti bahasa saja.
Diperlukan
ilmu untuk memahami Al Qur’an dan As Sunnah seperti ilmu tata bahasa
Arab atau ilmu alat seperti nahwu, sharaf, balaghah (ma’ani, bayan dan
badi’) ataupun ilmu fiqih maupun ushul fiqih dan lain lain. Kalau
tidak menguasai ilmu untuk memahami Al Qur’an dan As Sunnah maka akan
sesat dan menyesatkan.
Ada di antara mereka
menyanggah apa yang telah disampaikan di atas bahwa mereka tidak
melakukan ijtihad maupun istinbat. Mereka mengaku sekedar menyampaikan
perkataan dari kitabullah dan petunjuk dari Rasulullah maupun pendapat
Salafush Sholeh.
Hal yang perlu diketahui bahwa
seseorang ketika menyatakan pendapat dengan berdalilkan Kitabullah,
sabda Rasulullah atau perkataan para ulama terdahulu maka hal itu
termasuk berijtihad
Ketika seseorang menyampaikan dan
menjelaskan Kitabullah, sabda Rasulullah maupun perkataan para ulama
terdahulu maka hal itu termasuk berijtihad.
Ketika
seseorang menetapkan sesuatu boleh atau tidak boleh dilakukan atau
sesuatu jika ditinggalkan berdosa atau sesuatu jika dikerjakan berdosa
berdasarkan Kitabullah, sabda Rasulullah dan didukung dengan perkataan
para ulama terdahulu maka hal itu termasuk beristinbat atau menggali
hukum.
Fatwa adalah berijtihad dan beristinbat. Jika seseorang berfatwa tanpa ilmu maka akan sesat dan menyesatkan
Telah
menceritakan kepada kami Isma’il bin Abu Uwaisnberkata, telah
menceritakan kepadaku Malik dari Hisyam bin ‘Urwah dari bapaknya dari
Abdullah bin ‘Amru bin Al ‘Ash berkata; aku mendengar Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: Sesungguhnya Allah tidaklah
mencabut ilmu sekaligus mencabutnya dari hamba, akan tetapi Allah
mencabut ilmu dengan cara mewafatkan para ulama hingga bila sudah tidak
tersisa ulama maka manusia akan mengangkat pemimpin dari kalangan
orang-orang bodoh, ketika mereka ditanya mereka berfatwa tanpa ilmu,
mereka sesat dan menyesatkan (HR Bukhari 98).
Asy Syaikh Al Imam Abu Abdullah Muhammad Ibnu Hazm~rahimahullah mengatakan
***** awal kutipan *****
“rukun
atau pilar penyangga yang paling besar di dalam bab“ijtihad” adalah
mengetahui naql. Termasuk di antara faedah ilmu naql ini adalah
mengetahui nasikh dan mansukh. Karena untuk memahami pengertian
khitab-khitab atau perintah-perintah itu amatlah mudah, yaitu hanya
dengan melalui makna lahiriah (makna tersurat / makna dzahir) dari
berita-berita yang ada. Demikianpula untuk menanggung bebannya tidaklah
begitu sulit pelaksanananya.
Hanya saja yang menjadi
kesulitan itu adalah mengetahui bagaimana caranya mengambil kesimpulan
hukum-hukum dari makna yang tersirat dibalik nas-nas yang ada. Termasuk
di antara penyelidikan yang menyangkut nas-nas tersebut adalah
mengetahui kedua perkara tersebut, yaitu makna lahiriah (makna dzahir)
dan makna yang tersirat, serta pengertian-pengertian lain yang
terkandung didalamnya.
Sehubungan dengan hal yang telah
disebutkan di atas, ada sebuah atsar yang bersumber dari Abu Abdur
Rahman. ia telah menceritakan bahwa sahabat Ali ra, berjumpa dengan
seorang qadi atau hakim, lalu Ali ra bertanya kepadanya “Apakah kamu
mengetahui masalah nasikh dan masukh?” Si Qadi tadi menjawab: “Tidak”.
Maka Ali ra menegaskan “Kamu adalah orang yang celaka dan mencelakakan”
***** akhir kutipan *****
Contohnya
seseorang berkata bahwa "semua bid'ah adalah sesat" berdasarkan hadits
"kullu bid'ah dholalah" maka orang tersebut telah berijtihad terhadap
hadits tersebut.
Jika dia salah dalam berijtihad
terhadap hadits maka dia termasuk telah memfitnah Rasulullah shallahu
alaihi wasallam dan sama hukumnya dengan orang yang berdusta atas nama
Rasulullah sehingga bersiaplah menempati tempat duduknya di neraka.
Para
ahli tata bahasa Arab atau para ahli nahwu dan sharaf mengatakan
bahwa “kullu” dalam bahasa Indonesia artinya “setiap” sedangkan kata
setiap tidak selalu berarti semua. Kullu dapat sebagai kullu ba’din
maksudnya ”setiap dari sebagian” dan dapat pula sebagai kullu jam’in
maksudnya “setiap dari semua”
Imam An Nawawi
~rahimahullah mengatakan, “Sabda Nabi Shallallahu alaihi wasallam,
“Kullu Bid’ah dlalalah” ini adalah ‘Amm Makhshush, kata-kata umum yang
dibatasi jangkauannya. Jadi yang dimaksud adalah sebagian besar
bid’ah itu sesat, bukan seluruhnya.” (Syarh Shahih Muslim, 6/154).
Begitupula
ketika seseorang mengatakan bahwa "Tuhan bertempat di atas ‘Arsy”
berdasarkan(QS Thaahaa [20]:5) maka dia telah berijtihad terhadap
firmanNya.
Jika dia salah dalam berijtihad terhadap
firmanNya maka dia termasuk telah memfitnah Allah Azza wa Jalla dan sama
hukumnya dengan orang yang " menyesatkan (manusia) dari jalan Allah
tanpa pengetahuan dan menjadikan jalan Allah itu olok-olokan. Mereka itu
akan memperoleh azab yang menghinakan." (QS Luqman [31]:6)
Imam
Asy Syafi’i ~rahimahullah ketika ditanya terkait firman Allah QS.
Thaha: 5 (ar-Rahman ‘Ala al-‘Arsy Istawa), Beliau berkata “Dia tidak
diliputi oleh tempat (ruang), tidak berlaku bagi-Nya waktu, Dia Maha
Suci dari batasan-batasan (bentuk) dan segala penghabisan, dan Dia tidak
membutuhkan kepada segala tempat dan arah, Dia Maha suci dari
kepunahan dan segala keserupaan”
Tentang istawa Imam
Abu Hanifah mengatakan “Dan kita mengimani adanya ayat “ar-Rahman ‘Ala
al-‘Arsy Istawa” -sebagaimana disebutkan dalam al-Qur’an- dengan
menyakini bahwa Allah tidak membutuhkan kepada ‘‘arsy tersebut dan
tidak bertempat atau bersemayam di atasnya. Dia Allah yang memelihara
‘‘arsy dan lainnya tanpa membutuhkan kepada itu semua. Karena jika
Allah membutuhkan kepada sesuatu maka Allah tidak akan kuasa untuk
menciptakan dan mengatur alam ini, dan berarti Dia seperti seluruh
makhluk-Nya sendiri. Jika membutuhkan kepada duduk dan bertempat, lantas
sebelum menciptakan makhluk-Nya -termasuk ‘arsy- di manakah Dia?
Allah maha suci dari itu semua dengan kesucian yang agung” (Lihat
al-Washiyyah dalam kumpulan risalah-risalah Imam Abu Hanifah tahqiq
Muhammad Zahid al-Kautsari, h. 2. juga dikutip oleh asy-Syekh Mullah
‘Ali al-Qari dalam Syarh al-Fiqhul Akbar, h. 70.).
Imam ath Thahawi dalam kitabnya Aqiidah ath Thaahawiyah berkata
“Barangsiapa
yang enggan (tidak mau) menafikan sifat makhluk kepada Allah atau
menyamakan-Nya dengan sifat makhluk, maka ia telah sesat dan tidak
melakukan tanzih (mensucikan Allah dari sifat-sifat makhluk). Karena
sesungguhnya Tuhan kami yang Maha Agung dan Maha Mulia itu disifati
dengan sifat-sifat wahdaniyyah (tunggal) dan fardaniyyah (kesendirian).
Hal ini artinya, tidak ada satupun makhluk yang menyamaiNya. Maha
Suci Allah dari segala macam batasan, tujuan, pilar, anggota dan aneka
benda. Allah ta’ala tidak butuh enam arah (atas, bawah, kiri, kanan,
depan, belakang) seperti halnya makhluk ( Abu Ja’far Ahmad bin Salamah
Ath Thahawi , Aqidah Ath Thahaawiyyah halaman 26)
Begitupula
ketika seseorang berpendapat dengan mengutip perkataan ulama terdahulu
maka dia telah berijtihad terhadap perkataan ulama tersebut. Jika dia
salah dalam berijtihad maka dia telah memfitnah ulama tersebut dan
pendapatnya tertolak karena dia termasuk orang yang merubah perkataan
ulama terdahulu
Imam Malik ~rahimahullah menasehatkan
bahwa sebaiknya janganlah mengambil ilmu agama dari dari orang-orang
yang tidak jelas sanad ilmu (sanad guru) dan orang-orang yang
mendustakan perkataan ulama meskipun dia tidak mendustakan perkataan
(hadits) Rasulullah shallallahu alaihi wasallam
Contoh
fitnah terhadap Imam Syafi'i dan Imam Baihaqi adalah orang-orang yang
tidak mengerti tentang tasawuf sering sekali mengutip perkataan Imam
Syafi'i yang dikutip dari Manaqib Al Imam As Syafi’i yang ditulis oleh
Imam Al Baihaqi yakni ungkapan “Jika seorang belajar tasawuf di pagi
hari, sebelum datang waktu dhuhur engkau akan dapati dia menjadi orang
dungu.”
Imam Al Baihaqi ketika menjelaskan perkataan
Imam Syafi’i , “Kalau seandainya seorang laki-laki mengamalkan tashawuf
di awal siang, maka tidak tidak sampai kepadanya dhuhur kecuali ia
menjadi kekurangan akal (dungu).” mengatakan bahwa “sesungguhnya yang
dituju dengan perkataan itu adalah siapa yang masuk kepada ajaran sufi
namun mencukupkan diri dengan sebutan daripada kandungannya, dan tulisan
daripada hakikatnya, dan ia meninggalkan usaha dan membebankan
kesusahannya kepada kaum Muslim, ia tidak perduli terhadap mereka serta
tidak mengindahkan hak-hak mereka, dan tidak menyibukkan diri dengan
ilmu dan ibadah, sebagaimana beliau sifatkan di kesempatan lain.” (Al
Manaqib Al Imam As Syafi’i li Al Imam Al Baihaqi, 2/208)
Imam
Al Baihaqi juga menjelaskan maksud perkataan Imam Syafi’ , ”Seorang
sufi tidak menjadi sufi hingga ada pada dirinya 4 perkara, malas, suka
makan, suka tidur dan berlebih-lebihan.” mengatakan bahwa ”Sesungguhnya
yang beliau ingin cela adalah siapa dari mereka yang memiliki sifat
ini. Adapun siapa yang bersih kesufiannya dengan benar-benar tawakkal
kepada Allah Azza wa Jalla, dan menggunakan adab syari’ah dalam
muamalahnya kepada Allah Azza wa Jalla dalam beribadah serta mummalah
mereka dengan manusia dalam pergaulan, maka telah dikisahkan dari
beliau (Imam As Syafi’i) bahwa beliau bergaul dengan mereka dan
mengambil (ilmu) dari mereka.” (Al Manaqib Al Imam As Syafi’i li Al
Imam Al Baihaqi, 2/207)
Kemudian Imam Al Baihaqi
menyebutkan satu riwayat, bahwa Imam As Syafi’i pernah mengatakan,”Aku
telah bersahabat dengan para sufi selama sepuluh tahun, aku tidak
memperoleh dari mereka kecuali dua huruf ini,”Waktu adalah pedang” dan
“Termasuk kemaksuman, engkau tidak mampu” (maknanya, sesungguhnya
manusia lebih cenderung berbuat dosa, namun Allah menghalangi, maka
manusia tidak mampu melakukannya, hingga terhindar dari maksiat).
Jelas,
bahwa Imam Al Baihaqi memahami bahwa Imam As Syafi’i mengambil manfaat
dari para sufi tersebut. Dan beliau menilai bahwa Imam As Syafi’i
mengeluarkan pernyataan di atas karena perilaku mereka yang mengatas
namakan sufi namun Imam As Syafi’i menyaksikan dari mereka hal yang
membuat beliau tidak suka. (lihat, Al Manaqib Al Imam As Syafi’i li Al
Imam Al Baihaqi, 2/207)
Bahkan di satu kesempatan,
Imam As Syafi’I memuji salah satu ulama ahli qira’ah dari kalangan
sufi. Ismail bin At Thayyan Ar Razi pernah menyatakan,”Aku tiba di
Makkah dan bertemu dengan As Syafi’i. Ia mengatakan,’Apakah engkau tahu
Musa Ar Razi? Tidak datang kepada kami dari arah timur yang lebih
pandai tentang Al Qur`an darinya.’Maka aku berkata,’Wahai Abu Abdillah
sebutkan ciri-cirinya’. Ia berkata,’Berumur 30 hingga 50 tahun datang
dari Ar Ray’. Lalu ia menyebut cirri-cirinya, dan saya tahu bahwa yang
dimaksud adalah Abu Imran As Shufi. Maka saya mengatakan,’Aku
mengetahunya, ia adalah Abu Imran As Shufi. As Syafi’i mengatakan,’Dia
adalah dia.’” (Adab As Syafi’i wa Manaqibuhu, hal. 164)
Walhasil,
Imam As Syafi’I disamping mencela sebagian penganut sufi beliau juga
memberikan pujian kepada sufi lainnya. Dan Imam Al Baihaqi menilai bahwa
celaan itu ditujukan kepada mereka yang menjadi sufi hanya dengan
sebutan tidak mengamalkan ajaran sufi yang sesungguhnya dan Imam As
Syafi’i juga berinteraksi dan mengambil manfaat dari kelompok ini.
Begitupula adanya upaya pemalsuan kitab diwan al-Imam asy-Syafi’i sebagaimana yang telah dijelaskan contohnya pada
http://www.sarkub.com/2011/pemalsuan-kitab-diwan-imam-asy-syafii/
Mereka menghilangkan beberapa bait syair Imam Syafi’I yang sangat vital terkait tasawuf yakni
Jadilah
ahli fikih dan sufi sekaligus, jangan hanya salah satunya. Sungguh
demi Allah, saya benar-benar ingin memberikan nasehat padamu. Orang
yang ini (yang hanya mempelajari ilmu fikih tapi tidak mau menjalani
tasawuf), maka hatinya keras dan tidak dapat merasakan lezatnya taqwa.
Sebaliknya, orang yang itu (yang hanya menjalani tasawuf tapi tidak mau
mempelajari fikih), maka ia akan bodoh, sehingga bagaimana bisa dia
menjadi baik (muslim yang ihsan)
Begitupula Imam Malik
~rahimahullah menasehatkan agar kita menjalankan perkara syariat
sekaligus menjalankan tasawuf agar tidak menjadi manusia yang rusak
(berakhlak tidak baik).
Imam Malik ~rahimahullah
menyampaikan nasehat (yang artinya) “Dia yang sedang tasawuf tanpa
mempelajari fiqih (menjalankan syariat) rusak keimanannya , sementara
dia yang belajar fiqih (menjalankan syariat) tanpa mengamalkan Tasawuf
rusaklah dia, hanya dia siapa memadukan keduanya terjamin benar“
Sebelum
belajar Tasawuf, Imam Ahmad bin Hambal menegaskan kepada putranya,
Abdullah ra. “Hai anakku, hendaknya engkau berpijak pada hadits. Anda
harus hati-hati bersama orang-orang yang menamakan dirinya kaum Sufi.
Karena kadang diantara mereka sangat bodoh dengan agama.” Namun ketika
beliau berguru kepada Abu Hamzah al-Baghdady as-Shufy, dan mengenal
perilaku kaum Sufi, tiba-tiba dia berkata pada putranya “Hai anakku
hendaknya engkau bermajlis dengan para Sufi, karena mereka bisa
memberikan tambahan bekal pada kita, melalui ilmu yang banyak,
muroqobah, rasa takut kepada Allah, zuhud dan himmah yang luhur (Allah)”
Beliau mengatakan, “Aku tidak pernah melihat suatu kaum yang lebih
utama ketimbang kaum Sufi.” Lalu Imam Ahmad ditanya, “Bukanlah mereka
sering menikmati sama’ dan ekstase ?” Imam Ahmad menjawab, “Dakwah
mereka adalah bergembira bersama Allah dalam setiap saat…”
Imam
Nawawi ~rahimahullah berkata : “Pokok-pokok metode ajaran tasawuf ada
lima : Taqwa kepada Allah di dalam sepi maupun ramai, mengikuti sunnah
di dalam ucapan dan perbuatan, berpaling dari makhluk di dalam
penghadapan maupun saat mundur, ridha kepada Allah dari pemberian-Nya
baik sedikit ataupun banyak dan selalu kembali pada Allah saat suka
maupun duka “. (Risalah Al-Maqoshid fit Tauhid wal Ibadah wa Ushulut
Tasawuf halaman : 20, Imam Nawawi)
Kembali kepada
perihal ijtihad dan istinbat, para Imam Mujtahid dalam beristinbat
menghindari metodologi istinbat (menetapkan hukum perkara) seperti
al-Maslahah al-Mursalah atau Al-Istislah atau istihsan yakni
“Menetapkan hukum suatu masalah yang tak ada nash-nya atau tidak ada
ijma’ terhadapnya, dengan berdasarkan pada kemaslahatan semata yang
oleh syara’ (dalam Al Qur’an dan As Sunnah) tidak dijelaskan ataupun
dilarang”
Metode istinbat, al maslahah-mursalah atau
istislah atau istihsan pertama kali diperkenalkan oleh Imam Malik ra
(W. 97 H.), pendiri mazhab Malik namun pada akhirnya beliau
meninggalkannya. Sejak setelah abad ketiga hijriyah tidak ada lagi
ahli usul fiqih yang menisbatkan maslahahmursalah kepada Imam Malik
ra.
Menurut Imam Syafi’i, al-Istihsan itu sekali-kali
bukan dalil syar’i. Beliau menganggap orang yang menggunakan
al-Istihsan sama dengan menetapkan syari’at berdasarkan hawa nafsu
atau berdasarkan pendapat sendiri yang mungkin benar dan mungkin pula
salah.
Ibnu Hazm termasuk salah seorang uluma yang
menolak al-Istihsan. Beliau menganggap bahwa al-Istihsan itu
menganggap baik terhadap sesuatu menurut hawa nafsunya, dan itu bisa
benar dan bisa pula salah, misalnya mengharamkan sesuatu tanpa dalil.
Firman
Allah Azza wa Jalla yang artinya, “Katakanlah! Tuhanku hanya
mengharamkan hal-hal yang tidak baik yang timbul daripadanya dan apa
yang tersembunyi dan dosa dan durhaka yang tidak benar dan kamu
menyekutukan Allah dengan sesuatu yang Allah tidak turunkan keterangan
padanya dan kamu mengatakan atas (nama) Allah dengan sesuatu yang
kamu tidak mengetahui.” (QS al-A’raf [7]: 33)
Rasulullah
shallallahu alaihi wasallam bersabda, “Sesungguhnya Rabbku
memerintahkanku untuk mengajarkan yang tidak kalian ketahui yang Ia
ajarkanpadaku pada hari ini: ‘Semua yang telah Aku berikan pada hamba
itu halal, Aku ciptakan hamba-hambaKu ini dengan sikap yang lurus,
tetapi kemudian datanglah syaitan kepada mereka. Syaitan ini kemudian
membelokkan mereka dari agamanya,dan mengharamkan atas mereka
sesuatu yang Aku halalkan kepada mereka, serta mempengaruhi supaya
mereka mau menyekutukan Aku dengan sesuatu yang Aku tidak turunkan
keterangan padanya”. (HR Muslim 5109)
Pada hakikatnya segala sesuatu pada dasarnya mubah (boleh).
Maksud dari prinsip ini adalah bahwa hukum asal dari segala sesuatu yang diciptakan Allah adalah halal dan mubah.
Tidak
ada yang haram kecuali apa-apa yang disebutkan secara tegas oleh
nash yang shahih sebagai sesuatu yang haram. Dengan kata lain jika
tidak terdapat nash yang shahih atau tidak tegas penunjukan
keharamannya, maka sesuatu itu tetaplah pada hukum asalnya yaitu
mubah (boleh)
Kaidah ini disandarkan pada firman Allah subhanahu wa ta’la
“Dia-lah Allah, yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu….” (QS. Al-Baqarah [2]:29)
“Dan
dia Telah menundukkan untukmu apa yang di langit dan apa yang di
bumi semuanya, (sebagai rahmat) daripada-Nya…” (QS. Al-Jatsiyah
[45]:13)
“Tidakkah kamu perhatikan Sesungguhnya
Allah Telah menundukkan untuk (kepentingan)mu apa yang di langit dan
apa yang di bumi dan menyempurnakan untukmu nikmat-Nya lahir dan
batin…” (QS. Luqman [31]:20)
Ayat-ayat di atas
menegaskan bahwa segala apa yang ada di muka bumi seluruhnya adalah
nikmat dari Allah yang diberikan kepada manusia sebagai bukti kasih
sayang-Nya.
Dia hanya mengharamkan beberapa bagian
saja, itu pun karena hikmah tertentu untuk kebaikan manusia itu
sendiri. Dengan demikian wilayah haram dalam syariat Islam itu
sangatlah sempit, sedangkan wilayah halal sangatlah luas.
Begitupula
kita tidak dapat melarang suatu perbuatan dengan perkataan manusia
seperti “Lau Kaana Khairan Lasabaquunaa ilaihi” (kalau sekiranya
perbuatan itu baik, tentulah para Sahabat telah mendahului kita
mengamalkannya) karena perkataan tersebut bukan firman Allah
Subhanahu wa Ta’ala dan bukan pula sabda Rasulullah shallallahu
alaihi wasallam
Perkara yang ditinggalkan bagi kaum
muslim adalah perkara haram , perkara makruh dan perkara syubhat
(perkara yang meragukan). Sedangkan perkara yang dikerjakan adalah
perkara wajib, sunnah (mandub) dan boleh (mubah)
Semua
kewajiban dan larangan bersumber dari Allah Azza wa Jalla dan
disampaikan oleh Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bukan hasil akal
pikiran manusia.
Dari Ibnu ‘Abbas r.a. berkata
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda,“di dalam agama itu
tidak ada pemahaman berdasarkan akal pikiran, sesungguhnya agama itu
dari Tuhan, perintah-Nya dan larangan-Nya.” (Hadits riwayat
Ath-Thabarani).
Jadi inti dari agama adalah perintahNya dan laranganNya
Apa
pun yang diperintahkan oleh Rasulullah shallallahu alaihi wasallam
pada hakikatnya adalah perintahNya dan begitupula apa pun yang dilarang
oleh Rasulullah shallallahu alaihi wasallam pada hakikatnya adalah
laranganNya
Rasulullah mengatakan, “Apa yang aku
perintahkan maka kerjakanlah semampumu dan apa yang aku larang maka
jauhilah“. (HR Bukhari).
Dari Miqdam bin Ma’dikariba
Ra. ia berkata: Bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam
bersabda; “Hampir tiba suatu zaman di mana seorang lelaki yang sedang
duduk bersandar di atas kursi kemegahannya, lalu disampaikan orang
kepadanya sebuah hadits dari haditsku maka ia berkata: “Pegangan kami
dan kamu hanyalah kitabullah (Al-Qur’an) saja. Apa yang dihalalkan oleh
Al-Qur’an kami halalkan. Dan apa yang ia haramkan kami haramkan”.
(Kemudian Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam melanjutkan sabdanya):
“Padahal apa yang diharamkan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam
samalah hukumnya dengan apa yang diharamkan Allah Subhanhu wa Ta’ala”.
(HR. Abu Daud dan Ibnu Majah)
Sunnah Rasulullah
shallallahu alaihi wasallam ada beberapa perkara yakni PerintahNya dan
LaranganNya serta selebihnya adalah perkara mubah (boleh).
Segala
perkara terkait dengan dosa adalah merupakan hak Allah Azza wa Jalla
untuk menetapkannya atau mensyariatkannya bagi manusia agar terhindar
dari dosa atau terhindar dari siksaan api neraka.
Perkara yang terkait dengan dosa adalah
1. Segala perkara yang jika ditinggalkan berdosa (kewajiban)
2.
Segala perkara yang jika dilanggar atau dikerjakan berdosa (larangan
dan segala apa yang telah diharamkan oleh Allah Azza wa Jalla)
PerintahNya
meliputi perkara wajib yakni perkara yang jika ditinggalkan berdosa
dan perkara sunnah (mandub) yakni perkara yang jika dikerjakan
berpahala dan jika dtinggalkan tidak berdosa atau tidak apa apa
LaranganNya
meliputi perkara haram yakni perkara yang jika dikerjakan atau
dilanggar berdosa dan perkara makruh yakni perkara yang jika dikerjakan
atau dilanggar tidak berdosa atau dibenciNya dan jika ditinggalkan
berpahala.
Selebihnya adalah perkara mubah (boleh) yakni perkara yang tidak diperintahkanNya maupun tidak dilarangNya.
Rasulullah
shallallahu alaihi wasallam diutus oleh Allah Azza wa Jalla membawa
risalah atau agama atau perkara yang disyariatkanNya yakni apa yang
telah diwajibkanNya (jika ditinggalkan berdosa), apa yang telah
dilarangNya dan apa yang telah diharamkanNya (jika dilanggar berdosa)
dan selebihnya adalah apa yang telah dibolehkanNya. Allah ta’ala tidak
lupa.
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda,
“Sesungguhnya Allah telah mewajibkan beberapa kewajiban (ditinggalkan
berdosa), maka jangan kamu sia-siakan dia; dan Allah telah memberikan
beberapa larangan (dikerjakan berdosa), maka jangan kamu langgar dia;
dan Allah telah mengharamkan sesuatu(dikerjakan berdosa), maka jangan
kamu pertengkarkan dia; dan Allah telah mendiamkan beberapa hal
sebagai tanda kasihnya kepada kamu, Dia tidak lupa, maka jangan kamu
perbincangkan dia.” (Riwayat Daraquthni, dihasankan olehan-Nawawi)
Firman
Allah ta’ala yang artinya, “Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk
kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu ni’mat-Ku, dan telah
Ku-ridhai Islamitu jadi agama bagimu” (QS Al-Maaidah: [5] : 3)
Ibnu
Katsir ketika mentafsirkan (QS. al-Maidah [5]:3) berkata, “Tidak ada
sesuatu yang halal melainkan yang Allah halalkan, tidak ada sesuatu
yang haram melainkan yang Allah haramkan dan tidak ada agama kecuali
perkara yang disyariatkan-Nya.”
Imam Jalaluddin As
Suyuti dalam kitab tafsir Jalalain ketika mentafsirkan “Pada hari ini
telah Kusempurnakan untukmu agamamu” yakni hukum-hukum halal maupun
haram yang tidak diturunkan lagi setelahnya hukum-hukum dan
kewajiban-kewajibannya.
Rasulullah Shallallau ‘Alaihi
wa Sallam bersabda: “Apa-apa yang Allah halalkan dalam kitabNya adalah
halal, dan apa-apa yang diharamkan dalam kitabNya adalah aram, dan
apa-apa yang didiamkanNya adalah dibolehkan. Maka, terimalah kebolehan
dari Allah, karena sesungguhnya Allah tidak lupa terhadap segala
sesuatu.” Kemudian beliau membaca (Maryam: 64): “Dan tidak sekali-kali
Rabbmuitu lupa.” (HR. Al Hakim dari Abu Darda’, beliau menshahihkannya.
Juga diriwayatkan oleh Al Bazzar)
Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda “Orang muslim yang paling besar
dosanya (kejahatannya) terhadap kaum muslimin lainnya adalah orang yang
bertanya tentang sesuatu yang sebelumnya tidak diharamkan (dilarang)
bagi kaum muslimin, tetapi akhirnya sesuatu tersebut diharamkan
(dilarang) bagi mereka karena pertanyaannya.” (HR Bukhari 6745, HR
Muslim 4349, 4350)
Kesimpulannya, yang dimaksud dengan
“telah sempurna agama Islam” adalah telah sempurna atau telah tuntas
segala laranganNya, apa yang telah diharamkanNya dan apa yang telah
diwajibkanNya, selebihnya adalah perkara yang dibolehkanNya atau
selebihnya hukum asalnya adalah mubah (boleh)
Firman Allah ta’ala yang artinya “dan tidaklah Tuhanmu lupa” (QS Maryam[19]:64)
Jelaslah
kewajiban dan larangan adalah perkara syariat atau urusan agama
sehingga orang yang menyatakan kewajiban atau larangan tanpa dasar dari
Al Qur’an dan As Sunnah maka termasuk orang yang membuat perkara baru
(bid’ah) dalam perkara syariat atau perkara baru (bid’ah) dalam urusan
agama yakni mewajibkan yang sebenarnya tidak diwajibkanNya, melarang
yang sebenarnya tidak dilarangNya atau mengharamkan yang sebenarnya
tidak diharamkanNya.
Rasulullah shallallahu alaihi
wasallam telah bersabda bahwa perkara baru (bid’ah) dalam perkara
syariat atau perkara baru (bid’ah) dalam urusan agama yakni mewajibkan
yang sebenarnya tidak diwajibkanNya, melarang yang sebenarnya tidak
dilarang Nya atau mengharamkan yang sebenarnya tidak diharamkanNya
adalah tertolak atau terlarang
Rasulullah shallallahu
alaihi wasallam bersabda “Barang siapa yang membuat perkara baru dalam
urusan agama yang tidak ada sumbernya (tidak diturunkan keterangan
padanya) maka tertolak.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Telah
menceritakan kepada kami Ya’qub telah menceritakan kepada kami
Ibrahimbin Sa’ad dari bapaknya dari Al Qasim bin Muhammad dari ‘Aisyah
radliallahu‘anha berkata; Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam
bersabda: Siapa yang membuat perkara baru dalam urusan kami ini yang
tidak ada perintahnya (tidak diturunkan keterangan padanya) maka perkara
itu tertolak.” (HR Bukhari 2499)
Imam Malik berkata:
“Barangsiapa yang membuat bid’ah dalam Islam yang ia memandangnya
baik, maka sungguh ia telah menuduh Muhammad shallallaahu ’alaihi
wasallam mengkhianati risalah. Hal itu dikarenakan Allah telah
berfirman : ”Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu”.
Maka apa saja yang pada hari itu bukan merupakan bagian dari agama,
maka begitu pula pada hari ini bukan menjadi bagian dari agama”
Berikut contoh riwayat yang menjelaskan perkataan Imam Malik di atas
Ada
seorang laki-laki yang datang kepada Imam Malik bin Anas
Rahimahullah, dia bertanya : “Dari mana saya akan memulai berihram?”
Imam Malik menjawab : “Dari Miqat yang ditentukan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang beliau berihram dari sana”.
Dia bertanya lagi : “Bagaimana jika aku berihram dari tempat yang lebih jauh dari itu?”
Dijawab : “Aku tidak setuju itu”.
Tanyanya lagi : “Apa yang tidak suka dari itu ?”
Imam Malik berkata. “Aku takut terjatuh pada sebuah fitnah!”.
Dia berkata lagi : “Fitnah apa yang terjadi dalam menambah kebaikan?”
Imam
Malik berkata : “Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman artinya : “maka
hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah-Nya takut akan ditimpa
cobaan atau ditimpa azab yang pedih.” (QS An-Nur : 63] Dan fitnah
apakah yang lebih besar daripada engkau dikhususkan dengan sebuah
karunia yang tidak diberikan kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam ?”
Begitupula kita tidak boleh sholat subuh
tiga rakaat walaupun menganggapnya baik karena Rasulullah shallallahu
alaihi wasallam bersabda “sholatlah sebagaimana kalian melihat aku
sholat” (HR Bukhari 595, 6705).
Sedangkan Azan dalam sholat ied tidak boleh walaupun menganggapnya baik berdasarkan kaidah ushul fiqih
اَلسُّكُوْتُ فِي مَقَامِ الْبَيَانِ يُفِيْدُ الْحَصْرَ
“Diam dalam perkara yang telah ada keterangannya menunjukkan pembatasan.”
Artinya
bahwa diamnya Nabi atas suatu perkara yang telah ada penjelasannya
menunjukkan hukum itu terbatas pada apa yang telah dijelaskan, sedang
apa yang didiamkan berbeda hukumnya.
Maksud dari
berbeda hukumnya adalah: bila nash yang ada menerangkan pembolehan
maka yang didiamkan menunjukkan pelarangan, begitupun sebaliknya bila
nash yang ada menerangkan larangan maka yang didiamkan menunjukkan
pembolehan.
Jadi terlarang mengangap baik sesuatu
menurut akal pikiran sendiri sehingga mewajibkan yang sebenarnya
tidak diwajibkanNya sebaliknya terlarang menganggap buruk sesuatu
menurut akal pikiran sendiri sehingga melarang yang sebenarnya tidak
dilarangNya atau mengharamkan yang sebenarnya tidak diharamkanNya.
Kaum
Nasrani melampaui batas (ghuluw) dalam beragama tidak hanya dalam
menuhankan al Masih dan ibundanya namun mereka melampaui batas
(ghuluw) dalam beragama karena mereka melarang yang sebenarnya tidak
dilarangNya, mengharamkan yang sebenarnya tidak diharamkanNya atau
mewajibkan yang sebenarnya tidak diwajibkanNya
Firman
Allah ta’ala yang artinya , “Kemudian Kami iringi di belakang mereka
dengan rasul-rasul Kami dan Kami iringi (pula) dengan Isa putra Maryam;
dan Kami berikan kepadanya Injil dan Kami jadikan dalam hati
orang-orang yang mengikutinya rasa santun dan kasih sayang. Dan mereka
mengada-adakan rahbaniyyah padahal kami tidak mewajibkannya kepada
mereka tetapi (mereka sendirilah yang mengada-adakannya) untuk mencari
keridhaan Allah, lalu mereka tidak memeliharanya dengan pemeliharaan
yang semestinya. Maka Kami berikan kepada orang-orang yang beriman di
antara mereka pahalanya dan banyak di antara mereka orang-orang fasik.
(QS. al Hadid [57]: 27)
Hal yang dimaksud dengan
Rahbaaniyyah ialah tidak beristeri atau tidak bersuami dan mengurung
diri dalam biara. Kaum Nasrani melakukan tindakan ghuluw (melampaui
batas) dalam beragama yakni melarang yang tidak dilarangNya,
mengharamkan yang tidak diharamkanNya atau mewajibkan yang tidak
diwajibkanNya
Para Sahabat juga hampir melakukan tindakan ghuluw (melampaui batas) dalam beragama seperti
1. Mewajibkan dirinya untuk terus berpuasa dan melarang dirinya untuk berbuka puasa
2. Mewajibkan dirinya untuk sholat (malam) dan melarang dirinya untuk tidur
3. Melarang dirinya untuk menikah
Namun
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam menegur dan mengkoreksi mereka
dengan sabdanya yang artinya, “Kalian yang berkata begini begitu?
Ingat, demi Allah, aku orang yang paling takut dan paling bertakwa di
antara kalian, tetapi aku berpuasa juga berbuka, sholat (malam) juga
tidur, dan aku (juga) menikah dengan para wanita. (Karena itu), barang
siapa yang menjauh dari sunnahku berarti ia bukan golonganku.”
Allah
Azza wa Jalla berfirman, “Mereka menjadikan para rahib dan pendeta
mereka sebagai tuhan-tuhan selain Allah“. (QS at-Taubah [9]:31 )
Ketika
Nabi ditanya terkait dengan ayat ini, “apakah mereka menyembah para
rahib dan pendeta sehingga dikatakan menjadikan mereka sebagai
tuhan-tuhan selain Allah?” Nabi menjawab, “tidak”, “Mereka tidak
menyembah para rahib dan pendeta itu, tetapi jika para rahib dan pendeta
itu menghalalkan sesuatu bagi mereka, mereka menganggapnya halal, dan
jika para rahib dan pendeta itu mengharamkan bagi mereka sesuatu,
mereka mengharamkannya“
Pada riwayat yang lain
disebutkan, Rasulullah bersabda ”mereka (para rahib dan pendeta) itu
telah menetapkan haram terhadap sesuatu yang halal, dan menghalalkan
sesuatu yang haram, kemudian mereka mengikutinya. Yang demikian itulah
penyembahannya kepada mereka.” (Riwayat Tarmizi)
Jadi
jelaslah pelaku bid’ah dalam urusan agama adalah orang-orang yang
melampaui batas (ghuluw) dalam beragama yakni orang-orang yang melarang
yang tidak dilarangNya, mengharamkan yang tidak diharamkanNya atau
mewajibkan yang tidak diwajibkanNya akan masuk neraka karena mereka
menjadikan ulama-ulama mereka sebagai tuhan-tuhan selain Allah.
Sedangkan
perkara baru (bid'ah) atau segala sesuatu yang tidak pernah dilakukan
oleh Rasulullah dalam perkara ibadah ghairu mahdhah yang meliputi
muamalah, kebiasaan atau adat yang tidak menyalahi satupun laranganNya
maka hukum asalnya adalah mubah (boleh)
Para ulama
yang sholeh terdahulu mengklasifikasikan ibadah ke dalam dua jenis
yakni ibadah mahdhah dan ibadah ghairu mahdhah sebagaimana contoh
pembahasan pada
http://umayonline.wordpress.com/2008/09/15/ibadah-mahdhah-ghairu-mhadhah/
Landasan klasifikasi adalah
Ibadah mahdhah = KA + SS , Karena Allah + Sesuai Syariat
Ibadah ghairu mahdhah = BB + KA , Berbuat Baik + Karena Allah
Prinsip-prinsip ibadah mahdhah
1.
Keberadaannya harus berdasarkan adanya dalil perintah, baik dari
al-Quran maupun al- Sunnah, jadi merupakan otoritas wahyu, tidak boleh
ditetapkan oleh akal atau logika keberadaannya
2.
Tatacaranya harus berpola kepada apa yang dicontohkan oleh Rasulullah
shallallahu alaihi wasallam sehingga perkara baru (bid’ah) dalam ibadah
mahdhah adalah terlarang. Dalam Ibadah Mahdah berlaku kaidah ushul
fiqih Al aslu fil ibaadari at tahrim ( hukum asal ibadah adalah haram )
atau Al aslu fil ibaadaati al khatri illa binassin (hukum asal dalam
ibadah adalah haram kecuali ada nash yang mensyariatkannya)
3.
Bersifat supra rasional (di atas jangkauan akal) artinya ibadah
bentuk ini bukan ukuran logika, karena bukan wilayah akal, melainkan
wilayah wahyu, akal hanya berfungsi memahami rahasia di baliknya yang
disebut hikmah tasyri’. Keabsahannnya bukan ditentukan oleh mengerti
atau tidak, melainkan ditentukan apakah sesuai dengan ketentuan
syari’at, atau tidak. Atas dasar ini, maka ditetapkan oleh syarat dan
rukun yang ketat.
4. Azasnya “taat”, yang dituntut
dari hamba dalam melaksanakan ibadah ini adalah kepatuhan atau
ketaatan. Hamba wajib meyakini bahwa apa yang diperintahkan Allah Azza
wa Jalla kepadanya, semata-mata untuk kepentingan dan kebahagiaan
hamba, bukan untuk Allah, dan salah satu misi utama diutus
Rasululullah shallallahu alaihi wasallam adalah untuk dipatuhi.
Prinsip-prinsip ibadah ghairu mahdhah
1.
Keberadaannya didasarkan atas tidak adanya dalil yang melarang.
Selama Allah dan Rasul-Nya tidak melarang maka ibadah bentuk ini boleh
dilakukan.
2. Tatalaksananya tidak perlu berpola
kepada contoh Rasulullah sehingga perkara baru (bid’ah) dalam ibadah
ghairu mahdhah diperbolehkan. Dalam ibadah ghairu mahdhah berlaku
kaidah usul fiqih “wal ashlu fi ‘aadaatinal ibaahati hatta yajii u
sooriful ibahah” yang artinya “dan hukum asal dalam kebiasaan atau
adat adalah boleh saja sampai ada dalil yang memalingkan dari hukum
asal atau sampai ada dalil yang melarang atau mengharamkannya“.
3.
Bersifat rasional, ibadah bentuk ini baik-buruknya, atau
untung-ruginya, manfaat atau madharatnya, dapat ditentukan oleh akal
atau logika. Sehingga jika menurut logika sehat, buruk, merugikan, dan
madharat, maka tidak boleh dilaksanakan.
4. Azasnya “Manfaat”, selama itu bermanfaat, maka selama itu boleh dilakukan.
Ibadah ghairu mahdhah meliputi perkara muamalah, kebiasaan atau adat.
Ada sebuah kaidah yang berbunyi,
Laa tusyro’u ‘ibadatun illaa bi syar’illah, wa laa tuharramu ‘adatun illaa bitahriimillah…
“Tidak
boleh dilakukan suatu ibadah (mahdhah) kecuali yang disyariatkan oleh
Allah; dan tidak dilarang suatu muamalah atau kebiasaan atau adat
(ibadah ghairu mahdah) kecuali yang diharamkan oleh Allah.”
Jadi
sesuatu perkara yang tidak dilakukan, dicontohkan atau disampaikan
oleh Rasulullah shallallahu alaihi wasallam belum tentu bid’ah dholalah
selama perkara tersebut termasuk ibadah ghairu mahdhah yang meliputi
muamalah, kebiasaan atau adat dan tidak menyalahi laranganNya atau
tidak bertentangan dengan Al Qur’an dan As Sunnah.
Dalam
riwayat Ibnu Hibban, disebutkan: “Senyummu dihadapan saudaramu
adalah shadaqah. Menyingkirkan batu, duri, dan tulang dari jalan
manusia adalah shadaqah. Petunjukmu kepada seseorang yang tersesat di
jalan juga shadaqah.”. Ibnu Hibban dalam Shahih-nya (al-Ihsan:474,
529)
Abu Hurairah r.a. berkata bahwa Rasulullah
shallallahu alaihi wasallamm bersabda, “Setiap ruas tulang manusia
harus disedekahi setiap hari selama matahari masih terbit. Engkau
mendamaikan dua orang (yang berselisih) adalah sedekah,menolong
seseorang dengan membantunya menaiki kendaraan atau mengangkatkan
barangnya ke atas kendaraan adalah sedekah,kata-kata yang baik adalah
sedekah,setiap langkah kaki yang kau ayunkan untuk shalat adalah
sedekah,dan engkau menyingkirkan aral dari jalan adalah juga sedekah.
“(Diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim)
Abi
Dzar r.a. berkata: Sekelompok sahabat berkata kepada Rasulullah
shallallahu alaihi wasallam, “Wahai Rasulullah, orang-orang kaya pergi
membawa banyak pahala. Mereka shalat sebagaimana kami shalat, mereka
berpuasa sebagaimana kami berpuasa, namun mereka dapat bersedekah
dengan kelebihan hartanya.”Nabi shallallahu alaihi wasallam
bersabda,”Bukankah Allah telah menjadikan untukmu sesuatu yang dapat
disedekahkan? (Yakni) bahwa setiap kali tasbih (bacaan subhnallah)
adalah sedekah, setiap kali tahmid (bacaan alhamdulillah) adalah
sedekah,setiap kali tahlil (bacaan la ilaha ilallah) adalah sedekah,
menyuruh kepada kebaikan adalah sedekah, melarang kemungkaran adalah
sedekah, dan jimaknya salah seorang diantara kalian juga adalah
sedekah.”Mereka bertanya,”Wahai Rasulullah,apakah jika salah seorang
dari kami memenuhi hajat syahwatnya berpahala? “Rasulullah shallallahu
alaihi wasallam menjawab, “Menurutmu ,bukanlah jika ia menyalurkan
syahwatnya pada yang haram berdosa? Maka demikian pula apabila ia
menyalurkannya pada yang halal, ia mendapatkan pahala.” (Diriwayatkan
pada yang halal,ia mendapatkan pahala.” (Diriwayatkan oleh Imam
Muslim)
Kebiasaan adalah suatu sikap atau perbuatan yang sering dilakukan
Muamalah
adalah secara bahasa sama dengan kata (mufa'alatan) yang artinya
saling bertindak atau saling mengamalkan. Jadi muamalah pada hakikatnya
adalah kebiasaan yang saling berinteraksi sehingga melahirkan hukum
atau urusan kemasyarakatan (pergaulan, perdata dsb)
Sedangkan adat adalah suatu kebiasaan yang sering dilakukan dalam suatu masyarakat.
Dalam ushul fiqih landasan semua itu dikenal dengan Urf
Firman Allah ta'ala yang artinya
Jadilah
engakau pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan yang ma’ruf (al-‘urfi),
serta berpalinglah dari orang-orang yang bodoh. (QS. Al-A’raf
[7]:199)
Kata al-‘Urf dalam ayat tersebut, dimana
umat manusia disuruh mengerjakannya, oleh Ulama Ushul fiqih dipahami
sebagai sesuatu yang baik dan telah menjadi kebiasaan masyarakat.
Berdasarkan itu maka ayat tersebut dipahami sebagai perintah untuk
mengerjakan sesuatu yang telah dianggap baik sehingga telah menjadi
tradisi dalam suatu masyarakat.
Dari segi objeknya
‘Urf dibagi kepada : al-‘urf al-lafzhi (kebiasaan yang menyangkut
ungkapan) dan al-‘urf al-amali ( kebiasaan yang berbentuk perbuatan).
Dari
segi cakupannya, ‘urf terbagi dua yaitu al-‘urf al-‘am (kebiasaan
yang bersifat umum) dan al-‘urf al-khash (kebiasaan yang bersifat
khusus).
Dari segi keabsahannya dari pandangan
syara’, ‘urf terbagi dua; yaitu al’urf al-shahih ( kebiasaan yang
dianggap sah) dan al-‘urf al-fasid ( kebiasaan yang dianggap rusak).
Para
ulama ushul fiqh sepakat bahwa ‘urf al-shahih, yaitu ‘urf yang tidak
bertentangan dengan syara’ atau kebiasaan yang tidak menyalahi satupun
laranganNya atau kebiasaan yang tidak bertentangan dengan Al Qur'an
dan As Sunnah.
Perkara baru (bid’ah) dalam perkara
ibadah ghairu mahdhah yang meliputi perkara muamalah, kebiasaan atau
adat pun, jika menyalahi laranganNya atau jika bertentangan dengan Al
Qur’an dan As Sunnah maka termasuk bid’ah yang sayyiah alias bid’ah
dholalah.
Berikut pendapat Imam Syafi’i ra
قاَلَ
الشّاَفِعِي رَضِيَ اللهُ عَنْهُ -ماَ أَحْدَثَ وَخاَلَفَ كِتاَباً أَوْ
سُنَّةً أَوْ إِجْمَاعاً أَوْ أَثَرًا فَهُوَ البِدْعَةُ الضاَلَةُ ،
وَماَ أَحْدَثَ مِنَ الخَيْرِ وَلَمْ يُخاَلِفُ شَيْئاً مِنْ ذَلِكَ
فَهُوَ البِدْعَةُ المَحْمُوْدَةُ -(حاشية إعانة 313 ص 1الطالبين -ج )
Artinya
; Imam Syafi’i ra berkata –Segala hal (kebiasaan) yang baru (tidak
terdapat di masa Rasulullah) dan menyalahi (bertentangan) dengan pedoman
Al-Qur’an, Al-Hadits, Ijma’ (sepakat Ulama) dan Atsar (Pernyataan
sahabat) adalah bid’ah yang sesat (bid’ah dholalah). Dan segala
kebiasaan yang baik (kebaikan) yang baru (tidak terdapat di masa
Rasulullah) dan tidak menyalahi (bertentangan) dengan pedoman tersebut
maka ia adalah bid’ah yang terpuji (bid’ah mahmudah atau bid’ah
hasanah), bernilai pahala. (Hasyiah Ianathuth-Thalibin –Juz 1 hal. 313)
Ibn Hajar al-’Asqalani dalam kitab Fath al-Bari menuliskan sebagai berikut:
وَالتَّحْقِيْقُ
أَنَّهَا إِنْ كَانَتْ مِمَّا تَنْدَرِجُ تَحْتَ مُسْتَحْسَنٍ فِيْ
الشَّرْعِ فَهِيَ حَسَنَةٌ، وَإِنْ كَانَتْ مِمَّا تَنْدَرِجُ تَحْتَ
مُسْتَقْبَحٍ فِيْ الشَّرْعِ فَهِيَ مُسْتَقْبَحَةٌ .
“Cara
mengetahui bid’ah yang hasanah dan sayyi’ah menurut tahqiq para ulama
adalah bahwa jika perkara baru tersebut masuk dan tergolong kepada
hal yang baik dalam syara’ berarti termasuk bid’ah hasanah, dan jika
tergolong hal yang buruk dalam syara’ berarti termasuk bid’ah yang
buruk” (Fath al-Bari, j. 4, hlm. 253).
Contoh perkara baru (bid’ah) dalam ibadah ghairu mahdhah yang meliputi muamalah, kebiasaan atau adat adalah
1.
Kebiasaan memberikan sedakah kepada anak yatim setiap hari Jum’at
sebelum sholat Jum’at bukanlah perkara terlarang karena tidak
menyalahi satupun laranganNya
2. Kebiasaan membaca surah al Ikhlas setiap rakaat kedua
Telah
menceritakan kepada kami Ahmad bin Shalih telah menceritakan kepada
kami Ibn Wahb telah menceritakan kepada kami Amru dari Ibnu Abu
Hilal bahwa Abu Rijal Muhammad bin Abdurrahman menceritakan
kepadanya dari Ibunya Amrah binti Abdurrahman yang dahulu dalam
asuhan Aisyah isteri Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, dari
‘Aisyah, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pernah mengutus
seorang laki-laki dalam sebuah eskpedisi militer, lantas laki-laki
tersebut membaca untuk sahabatnya dalam shalatnya dengan
QULHUWALLAHU AHAD (Surat al Ikhlash) dan menutupnya juga dengan
surat itu. Dikala mereka pulang, mereka menceritakan hal ini kepada
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, lantas Nabi shallallahu ‘alaihi
wasallam bersabda: ‘Tolong tanyailah dia, mengapa dia berbuat
sedemikian? ‘ Mereka pun menanyainya, dan sahabat tadi menjawab,
‘Sebab surat itu adalah menggambarkan sifat Arrahman, dan aku
sedemikian menyukai membacanya.’ Spontan Nabi shallallahu ‘alaihi
wasallam bersabda: ‘Beritahukanlah kepadanya bahwa Allah menyukainya.
(HR Bukhari 6827)
Diriwayatkan ketika Imam Masjid
Quba setiap kali sholat ia selalu membaca surat Al Ikhlas, setiap
sholat ia selalu membaca surat Al Fatihah, Al Ikhlas, baru surat
lainnya. Ada orang yang mengadukannya pada Rasulullah shallallahu
alaihi wasallam kemudian ia ditanya oleh Rasulullah shallallahu
alaihi wasallam : Mengapa kau melakukan hal itu? Maka ia menjawab :
“inniy uhibbuhaa” , Aku mencintai surat Al Ikhlas. Maka Rasulullah
shallallahu alaihi wasallam bersabda: “hubbuka iyyahaa adkhalakal
jannah”, Cintanya pada surat Al ikhlas akan membuatnya masuk surga”
3. Kebiasaan menjaga wudhu
Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam pernah bertanya kepada Bilal ketika
shalat Shubuh: “Hai Bilal, katakanlah Kepadaku apakah amalanmu yang
paling besar pahalanya yang pernah kamu kerjakan dalam Islam, karena
tadi malam aku mendengar derap sandalmu di dalam surga? ‘ Bilal
menjawab; ‘Ya Rasulullah, sungguh saya tidak mengerjakan amal perbuatan
yang paling besar pahalanya dalam Islam selain saya bersuci dengan
sempurna, baik itu pada waktu malam ataupun siang hari. lalu
dengannya saya mengerjakan shalat selain shalat yang telah
diwajibkan Allah kepada saya.” (HR Muslim 4497)
4. Kebiasaan Imam Syafi’i bersholawat dengan sholawat yang tidak dicontohkan oleh Rasulullah shallallahu alaihi wasallam.
Al-
Mazani bertutur sebagai berikut: Saya bermimpi melihat Imam
Al-Syafi’i. Lalu saya bertanya pada beliau, “Apa yang telah diperbuat
Allah terhadap diri Anda?”
Beliau menjawab, Allah
telah mengampuni diriku berkat shalawat yang aku cantumkan di dalam
kitab Al-Risalah, yaitu: Allahumma shalli ‘ala Muhammadin kullama
dzakaraka al-Dzakiruna wa Shalli ‘ala Muhammadin kullama ghafala ‘an
dzikrik al-Ghafiluna.”
Jadi boleh kita membuat
sholawat sebagaimana kita ingin mengungkapkan kecintaan kepada
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam selama matan atau redaksi
sholawat tidak bertentangan dengan Al Qur’an dan As Sunnah
5. Kebiasaan memperingati Maulid Nabi adalah kebiasaan yang tidak menyalahi satupun laranganNya
Peringatan
Maulid Nabi dapat kita pergunakan untuk intropeksi diri sejauh mana
kita telah meneladani Rasulullah shallallahu alaihi wasallam, bagi
kehidupan kita hari ini maupun esok.
Begitupula
memperingati hari kelahiran diri sendiri dapat kita pergunakan untuk
intropeksi diri sejauh mana kita mempersiapkan diri bagi kehidupan di
akhirat kelak adalah bukan perkara dosa atau terlarang.
Allah
Azza wa Jalla berfirman, “Wal tandhur nafsun ma qaddamat li ghad “,
“Perhatikan masa lampaumu untuk hari esokmu” (QS al Hasyr [59] :
18)
Kemungkinan terjadi kesalahan adalah cara kita
mengisi peringatan Maulid Nabi atau cara kita mengisi peringatan
hari kelahiran itu sendiri seperti janganlah berlebih-lebihan atau
bermewah-mewahan.
Sedangkan peringatan Maulid Nabi
yang umumnya dilakukan mayoritas kaum muslim (as-sawad al a’zham)
dan khususnya kaum muslim di negara kita sebagaimana pula yang
diselenggarakan oleh umaro (pemerintah) mengisi acara peringatan
Maulid Nabi dengan urutan pembacaan Al Qur’an, pembacaan Sholawat
dan pengajian atau ta’lim seputar kehidupan Rasulullah shallallahu
alaihi wasallam dan kaitannya dengan kehidupan masa kini.
Berikut penjelasan para ulama yang sholeh yang mengikuti Imam Mazhab yang empat tentang Maulid Nabi
Imam
Al hafidh Abu Syaamah rahimahullah (Guru imam Nawawi): “merupakan
Bid’ah hasanah yang mulia dizaman kita ini adalah perbuatan yang
diperbuat setiap tahunnya di hari kelahiran Rasul shallallahu alaihi
wasallam dengan banyak bersedekah, dan kegembiraan, menjamu para
fuqara, seraya menjadikan hal itu memuliakan Rasul shallallahu
alaihi wasallam dan membangkitkan rasa cinta pada beliau shallallahu
alaihi wasallam, dan bersyukur kepada Allah ta’ala dengan kelahiran
Nabi shallallahu alaihi wasallam“.
Imam Al hafidh
Ibn Abidin rahimahullah, dalam syarahnya maulid ibn hajar berkata :
“ketahuilah salah satu bid’ah hasanah adalah pelaksanaan maulid di
bulan kelahiran nabi shallallahu alaihi wasallam”
Imam
Al Hafidh Ibnul Jauzi rahimahullah, dengan karangan maulidnya yang
terkenal “al aruus” juga beliau berkata tentang pembacaan maulid,
“Sesungguhnya membawa keselamatan tahun itu, dan berita gembira dengan
tercapai semua maksud dan keinginan bagi siapa yang membacanya
serta merayakannya”.
Imam Al Hafidh Al Qasthalaniy
rahimahullah dalam kitabnya Al Mawahibulladunniyyah juz 1 hal 148
cetakan al maktab al islami berkata: “Maka Allah akan menurukan rahmat
Nya kepada orang yang menjadikan hari kelahiran Nabi shallallahu
alaihi wasallam sebagai hari besar”.
6. Kebiasaan membaca surat Yasin setiap malam Jum’at.
Bagi
mereka yang berpegang hanya pada hadits yang telah terbukukan saja,
menganggap kebiasaan ini tidak dilakukan oleh Rasulullah
shallallahu alaihi wasallam karena kebiasaan Rasulullah yang
terbukukan adalah membaca surat Al Kahfi setiap malam Jum’at.
Sedangkan
perlu kita ingat bahwa jumlah hadits yang telah terbukukan dalam
kitab-kitab hadits jumlahnya jauh di bawah jumlah hadits yang
dikumpulkan dan dihafal oleh Al-Hafidz (minimal 100.000 hadits) dan jauh
lebih kecil dari jumlah hadits yang dikumpulkan dan dihafal oleh
Al-Hujjah (minimal 300.000 hadits)
Oleh karenanya
kita dapat menanyakan kebiasaan-kebiasaan yang dilakukan oleh
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam kepada para ulama yang sholeh
dari kalangan ahlul bait, keturunan cucu Rasulullah shallallahu
alaihi wasallam karena mereka mendapatkan pengajaran agama dalam
bentuk lisan maupun praktek yang didapatkan dari orang tua mereka
secara turun temurun tersambung kepada apa yang disampaikan dan
dipraktekan oleh Rasulullah shallallahu alaihi wasallam
Wasallam
Zon di Jonggol, Kabupaten Bogor 16830
link dokumen :\
https://www.facebook.com/groups/kasarung/doc/647982788559796/