Kamis, 24 Oktober 2013

1137 : PARA SAHABAT TABARUK ( NGALAP BERKAH ) DENGAN AIR BEKAS WUDLU NABI

Para Sahabat Tabaruk (Ngalap berkah) dengan air bekas wudlu Nabi

عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللهِ، قَالَ: مَرِضْتُ فَأَتَانِي رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، وَأَبُو بَكْرٍ يَعُودَانِي مَاشِيَيْنِ، فَأُغْمِيَ عَلَيَّ، فَتَوَضَّأَ، ثُمَّ صَبَّ عَلَيَّ مِنْ وَضُوئِهِ، فَأَفَقْتُ، قُلْتُ: " يَا رَسُولَ اللهِ، كَيْفَ أَقْضِي فِي مَالِي؟ فَلَمْ يَرُدَّ عَلَيَّ شَيْئًا، حَتَّى نَزَلَتْ آيَةُ الْمِيرَاثِ: {يَسْتَفْتُونَكَ قُلِ اللهُ يُفْتِيكُمْ فِي الْكَلَالَةِ}"

“Dari Jabir bin Abdullah, ia berkata, "Saat aku sakit Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam dan Abu Bakar menjengukku dengan berjalan kaki, dan saat itu aku sedang pingsan. Lalu beliau berwudlu dan memercikkan air wudlunya kepadaku sehingga aku pun sadar. Kemudian aku berkata, "Wahai Rasulullah, bagaimana seharusnya aku mengatur hartaku?" Sedikitpun beliau tidak menjawabnya, hingga turunlah ayat tentang waris: '(Mereka meminta fatwa kepadamu (wahai Muhammad) tentang kalalah (yaitu seseorang yang meninggal dunia tanpa meninggalkan ayah dan anak), katakanlah, Allah lah yang memberi fatwa kepadamu tentang kalalah…) '. (Shahih Bukhari, no.6723 dan Shahih Muslim, no.1616. Redaksi hadits dari Imam Muslim).

عَنْ أَبِي جُحَيْفَةَ، قَالَ: «رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي قُبَّةٍ حَمْرَاءَ مِنْ أَدَمٍ، وَرَأَيْتُ بِلاَلًا أَخَذَ وَضُوءَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، وَرَأَيْتُ النَّاسَ يَبْتَدِرُونَ ذَاكَ الوَضُوءَ، فَمَنْ أَصَابَ مِنْهُ شَيْئًا تَمَسَّحَ بِهِ، وَمَنْ لَمْ يُصِبْ مِنْهُ شَيْئًا أَخَذَ مِنْ بَلَلِ يَدِ صَاحِبِهِ، ثُمَّ رَأَيْتُ بِلاَلًا أَخَذَ عَنَزَةً، فَرَكَزَهَا وَخَرَجَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي حُلَّةٍ حَمْرَاءَ، مُشَمِّرًا صَلَّى إِلَى العَنَزَةِ بِالنَّاسِ رَكْعَتَيْنِ، وَرَأَيْتُ النَّاسَ وَالدَّوَابَّ يَمُرُّونَ مِنْ بَيْنِ يَدَيِ العَنَزَةِ» (رواه البخاري ومسلم، واللفظ للبخاري)

“Dari Abi Juhaimah, ia berkata, "Aku melihat Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam berada dalam kemah merah yang terbuat dari kulit yang disamak. Dan aku lihat Bilal mengambilkan air wudlu untuk Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam, dan aku lihat orang-orang saling berebut air wudlu tersebut. Orang yang mendapatkanya maka ia langsung mengusapkannya, dan bagi yang tidak maka ia mengambilnya dari dari tangan temannya yang basah. Kemudian aku lihat Bilal mengambil tombak kecil dan menancapkannya di tanah, lalu Nabi shallallahu 'alaihi wasallam keluar dengan mengenakan pakaian merah menghadap ke arah tombak kecil dan memimpin orang-orang shalat sebanyak dua raka'at. Dan aku lihat orang-orang dan hewan berlalu melewati depan tombak tersebut." (Shahih Bukhari, no.376 dan Shahih Muslim, no.503. Redaksi hadits dari Imam Bukhari).

عَنِ السَّائِبِ بْنِ يَزِيدَ، قَالَ: ذَهَبَتْ بِي خَالَتِي إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَتْ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، إِنَّ ابْنَ أُخْتِي وَجِعٌ «فَمَسَحَ رَأْسِي وَدَعَا لِي بِالْبَرَكَةِ، ثُمَّ تَوَضَّأَ، فَشَرِبْتُ مِنْ وَضُوئِهِ، ثُمَّ قُمْتُ خَلْفَ ظَهْرِهِ، فَنَظَرْتُ إِلَى خَاتَمِ النُّبُوَّةِ بَيْنَ كَتِفَيْهِ، مِثْلَ زِرِّ الحَجَلَةِ»

“Dari As Sa'ib bin Yazid, ia berkata, "Bibiku pergi bersamaku menemui Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, lalu ia berkata, "Wahai Rasulullah, sesungguhnya putra saudara perempuanku ini sedang sakit." Maka Nabi shallallahu 'alaihi wasallam mengusap kepalaku dan memohonkan keberkahan untukku. Kemudian beliau berwudlu, maka aku pun minum dari sisa air wudlunya, kemudian aku berdiri di belakangnya hingga aku melihat ada tanda kenabian sebesar telur burung di pundaknya." (Shahih Bukhari, no.190 dan Shahih Muslim, no.2345. Redaksi hadits dari Imam Bukhari).

عَنِ ابْنِ شِهَابٍ، قَالَ: أَخْبَرَنِي مَحْمُودُ بْنُ الرَّبِيعِ، قَالَ «وَهُوَ الَّذِي مَجَّ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي وَجْهِهِ وَهُوَ غُلاَمٌ مِنْ بِئْرِهِمْ» وَقَالَ عُرْوَةُ، عَنِ المِسْوَرِ، وَغَيْرِهِ يُصَدِّقُ كُلُّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا صَاحِبَهُ «وَإِذَا تَوَضَّأَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَادُوا يَقْتَتِلُونَ عَلَى وَضُوئِهِ»

“Dari Ibnu Syihab berkata, Mahmud bin Ar Rabi' mengabarkan kepadaku, ia berkata, "Dialah orang yang diberkahi oleh Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam di wajahnya saat dia masih kecil dari sumur mereka." Dan 'Urwah menyebutkan dari Al Miswar, dan Selainnya -setiap dari keduanya saling membenarkan satu sama lain-, bahwa ketika Nabi shallallahu 'alaihi wasallam berwudlu, hampir saja mereka berkelahi memperebutkan bekas air wudlu beliau." (Shahih Bukhari, no.189)


link dokumen : 

 https://www.facebook.com/notes/huda-sarungan-humor-dan-dawah-sarana-untuk-ngaji/1137-para-sahabat-tabaruk-ngalap-berkah-dengan-air-bekas-wudlu-nabi/665914976766577
Baca Selengkapnya >>

1136 : Kekhalifahan belum akan terwujud selama umat Islam terpisah oleh batas negara

abda “Akan terjadi perselisihan setelah wafatnya seorang pemimpin, maka keluarlah seorang lelaki dari penduduk Madinah mencari perlindungan ke Mekkah, lalu datanglah kepada lelaki ini beberapa orang dari penduduk Mekkah, lalu mereka membai’at Imam Mahdi secara paksa, maka ia dibai’at di antara Rukun dengan Maqam Ibrahim (di depan Ka’bah). Kemudian diutuslah sepasukan manusia dari penduduk Syam, maka mereka dibenamkan di sebuah daerah bernama Al-Baida yang berada di antara Mekkah dan Madinah.” (HR Abu Dawud 3737)

Pesan Rasulullah shallallahu alaihi wasallam, “Ketika kalian melihatnya (kehadiran Imam Mahdi), maka berbai’at-lah dengannya walaupun harus merangkak-rangkak di atas salju karena sesungguhnya dia adalah Khalifatullah Al-Mahdi.” (HR Abu Dawud 4074)

Banyak ghazawat (perang) akan dipimpin Imam Mahdi. Dan –subhaanallah- Allah akan senantiasa menjanjikan kemenangan baginya.

Rasulullah shallallahu alaihi wasallam “Kalian perangi jazirah Arab dan Allah beri kalian kemenangan. Kemudian Persia (Iran), dan Allah beri kalian kemenangan. Kemudian kalian perangi Rum, dan Allah beri kalian kemenangan. Kemudian kalian perangi Dajjal,dan Allah beri kalian kemenangan.” (HR Muslim 5161)

Dalam hadits di atas yang diperangi pertama kali adalah jazirah Arab karena pada akhir zaman nanti jazirah Arab, pada masa akhir babak Mulkan Jabbriyyan (penguasa-penguasa yang memaksakan kehendak seraya mengabaikan kehendak Allah dan RasulNya) mereka akan kembali mengalami masa jahiliyah , keadaan mereka benar-benar mengabaikan kehendak Allah dan RasulNya Kemudian terakhir memerangi Dajjal.

Rasulullah masuk ke kamarku dalam keadaan aku sedang menangis. Beliau berkata kepadaku: ‘Apa yang membuatmu menangis?’ Aku menjawab: ‘Saya mengingat perkara Dajjal maka aku pun menangis.’ Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata: ‘Jika dia keluar sedang aku masih berada di antara kalian niscaya aku akan mencukupi kalian. Jika dia keluar setelah aku mati maka ketahuilah Rabb kalian tidak buta sebelah. Dajjal keluar bersama orang-orang Yahudi Ashbahan hingga datang ke Madinah dan berhenti di salah satu sudut Madinah. Madinah ketika itu memiliki tujuh pintu tiap celah ada dua malaikat yang berjaga. maka keluarlah orang-orang jahat dari Madinah mendatangi Dajjal.”

Kekhalifahan dalam arti mengikat seluruh umat Islam atau jama’atul muslimin hanya dipimpin oleh seorang khalifah.

Dari Abu Said al Khudriy bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda,”Apabila ada baiat kepada dua orang khalifah maka bunuhlah yang terakhir dari keduanya.” (HR. Ahmad)

Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda “bersabda,”Hendaklah engkau berkomitmen (iltizam) dengan jama’atul muslimin dan imam mereka.” (HR. Bukhori)

Sedangkan khalifah pada masa sekarang hanyalah khalifah yang mengikat jama’ah minal muslim atau mengikat sekelompok umat Islam dalam batas negara yakni penguasa negara dan batas-batas lainnya seperti kesamaan visi dan misi kelompok seperti organisasi kemasyarkatan (ormas), partai politik (parpol), lembaga swadaya masyarakat (lsm) atau bentuk-bentuk organisasi lainnya.

Sehingga hadits-hadits yang melarang bahkan mengancam seseorang melepaskan baiatnya terhadap imam atau khalifah dari jama’atul muslimin tidak berlaku lagi pada jama’ah minal muslimin seperti  hadits yang diriwayatkan dari Ibnu Umar bahwasanya Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda,”Barangsiapa yang melepaskan tangannya (baiat) dari suatu keaatan maka ia akan bertemu Allah pada hari kiamat tanpa adanya hujjah (alasan) baginya. Dan barangsiapa mati sementara tanpa ada baiat di lehernya maka ia mati seperti kematian jahiliyah.” (HR. Muslim)

Para ahli fiqih mengatakan bahwa yang dimaksud dengan baiat didalam hadits diatas adalah baiat imam kaum muslimin atau khalifah kaum muslimin yang dibaiat oleh ahlul halli wal ‘aqdi dari umat Islam. Hadits ini tidak bisa diterapkan kepada para penguasa negeri di zaman ini atau pembesar partai (jamaah) karena setiap dari mereka bukanlah imam (pemimpin) dari seluruh kaum muslimin.

Al Mawardi mengatakan bahwa apabila ahlul halli wal ‘aqdi di dalam pemilihan melihat ahlul imamah memenuhi persyaratan maka hendaklah ahlul halli wal ‘aqdi mengedepankan untuk dibaiat orang yang lebih utama dan lebih sempurna persyaratannya diantara mereka dan hendaklah manusia segera menaatinya dan tidak berhenti untuk membaiatnya.

Untuk itu ahlul halli wal ‘aqdi dari kaum muslimin adalah orang-orang yang berwenang memilih imam kaum muslimin dan khalifah mereka dan pendapat orang-orang awam tidaklah dianggap terhadap kesahan baiat. Ar Romli dari ulama Syafi’i mengatakan bahwa baiat yang dilakukan oleh selain ahlul halli wal ‘aqdi dari kalangan awam tidaklah dianggap.

Imam Nawawi meletakkan hadits Ibnu Umar diatas pada bab “Kewajiban Bersama Jamaah Kaum Muslimin..”. Maksud dari hadits itu adalah bahwa barangsiapa yang mati tanpa ada baiat dilehernya maka matinya seperti kematian jahiliyah yaitu ketika terdapat imam syar’i saja. Inilah pemahaman yang benar dari hadits itu bahwa jika terdapat imam syar’i yang memenuhi berbagai persyaratan kelayakan untuk dibaiat dan tidak terdapat padanya hal-hal yang menghalanginya maka wajib bagi setiap muslim untuk bersegera memberikan baiatnya apabila ahlul halli wal ‘aqdi memintanya atau meminta darinya dan tidak boleh bagi seorang pun yang bermalam sementara dirinya tidak memiliki imam.

Kesimpulannya pada saat kondisi yang ada pada masa sekarang adalah jam’ah minal muslim atau kaum muslim dalam kesatuan negara (nation state)  maka ketaatan kepada para pakar fiqih atau para ulama yang menguasai hukum-hukum Allah lebih tinggi kedudukannya dibandingkan ketaatan kepada para umara atau penguasa negeri

Sebagaimana yang telah disampaikan dalam tulisan pada http://mutiarazuhud.wordpress.com/2013/10/21/demi-ukhuwah-islamiyah/  bahwa sebaiknyalah seluruh ormas atau seluruh kelompok kaum muslim atau seluruh jama’ah minal muslimin harus mengedepankan Ukhuwah Islamiyyah dan meninggalkan “baju” ormasnya atau kebanggaan terhadap kelompoknya ketika berselisih dan mentaati ulil amri setempat yakni para fuqaha.

Contohnya pihak yang dapat mengeluarkan fatwa sebuah peperangan adalah jihad atau jahat hanyalah ulil amri setempat yakni para fuqaha setempat karena ulama di luar negara (di luar jama’ah minal muslimin) tidak terbebas dari fitnah

Orang-orang yang mentaati pemimpin di luar negara (di luar jama’ah minal muslimin), hukumnya adalah seperti orang yang melanggar piagam Madinah yang menyunjung persatuan dan kesatuan kaum muslim.

Kita seharusnya mendahulukan ketaatan kepada ulil amri di mana kita tinggal (dalam negara atau dalam jama’ah minal muslimin) daripada pemimpin organisasi lintas negara (organisasi trans nasional) sebagaimana yang tercantum dalam piagam Madinah yang memuat keharusan mentaati Nabi Muhammad Shallallahu alaihi wasallam yang ketika itu sebagai ulil amri dalam jama’atul muslimin

***** awal kutipan *****
Pasal 1

Sesungguhnya mereka satu bangsa negara (ummat), bebas dari (pengaruh dan kekuasaan) manusia.

Pasal 17

Perdamaian dari orang-orang beriman adalah satu

Tidak diperkenankan segolongan orang-orang yang beriman membuat perjanjian tanpa ikut sertanya segolongan lainnya di dalam suatu peperangan di jalan Tuhan, kecuali atas dasar persamaan dan adil di antara mereka

Pasal 36 ayat 1

Tidak seorang pun diperbolehkan bertindak keluar, tanpa ijinnya Muhammad Shallallahu alaihi wasallam
***** akhir kutipan *****

Konflik-konflik yang terjadi di negara kaum muslim berada seperti Somalia, Afghanistan, Irak, Libya, Pakistan, Mesir dan lain lain, pada kenyataanya disebabkan mereka yang memaksakan syariat Islam berdasarkan Al Qur’an dan As Sunnah namun bersandarkan mutholaah (menelaah kitab) secara otodidak (shahafi) dengan akal pikiran mereka sendiri bermazhab dzahiriyyah yakni berpendapat, berfatwa, beraqidah (beri’tiqod) selalu berpegang pada nash secara dzahir (makna dzahir) atau memahaminya berdasarkan arti bahasa (lughot) dan istilah (terminologi) saja. Hal ini telah disampaikan dalam tulisan pada http://mutiarazuhud.wordpress.com/2013/07/29/solusi-atasi-konflik/

Dalam sejarah negara kita, dahulu terjadi pemberontakan yang dilakukan oleh mereka yang menyebut dirinya Darul Islam atau Tentara Islam Indonesia (yang biasa disingkat DI/TII) di bawah pimpinan SM. Kartosuwiryo. Dia mempunyai latar belakang pendidikan Barat bukan seorang santri dari sebuah pesantren. Bahkan diceritakan orang bahwa ia tidak pernah mempunyai pengetahuan yang benar tentang bahasa Arab dan agama Islam.

Kita dapat mengambil pelajaran dari Somalia bahwa kehancuran negara tersebut terjadi diakibatkan orang-orang yang memaksakan syariat Islam bersandarkan mutholaah (menelaah kitab) secara otodidak (shahafi) dengan akal pikirannya masing masing sehingga timbul perselisihan di antara faksi.

Sebagaimana diketahui, setelah Syarif diangkat menjadi pemimpin Somalia pada Januari 2009 lalu, faksi pejuang Somalia terbagi menjadi dua, antara pendukung dan penentang.

Sebagian kelompok Mahakim Al Islami, yang dipimpin oleh Syeikh Abdul Qadir Ali Umar, Harakah Al Ishlah (Ikhwan Al Muslimun), Harakah Tajammu’ Al Islami dan Jama’ah Ahlu Sunnah wa al Jama’ah adalah 4 faksi menyatakan dukungan kepada Syarif.

Sedangkan Harakah As Syabab Al Mujahidin serta Al Mahakim Al Islami wilayah Asmarah, Al Jabhah Al Islamiyah serta Mu’askar Anuli, yang bergabung dalam Hizb Al Islami.

Syeikh Syarif sebagai kepala pemerintahan transisi menegaskan, “Islam adalah dasar dalam setiap gerak pemerintah Somalia.” Akan tetapi Syeikh Syarif menolak pemikiran Syabab Mujahidin yang menurutnya masih jauh dari konsep Islam ideal.

Begitupula konflik di Mesir diakibatkan sekelompok umat Islam yang tidak dapat melepaskan "baju" ikhwanul muslimin untuk mentaati para fuqaha (mufti) di Mesir.

Saat ini mufti agung Mesir adalah Prof. Dr. Syauqi Ibrahim Abdul Karim ‘Allam. Salah satu syarat sebagai mufti Agung Mesir adalah lulusan Ph.D. Al-Azhar -tulen Al-Azhar dari sekolah dasar hingga strata tiga-, berpegang teguh kepada metode Al-Azhar. Sanad talaqqi dalam aqidah dan mazhab fikih yang sampai saat ini dilestarikan salah satunya oleh ulama dan universitas Al-Azhar Asy-Syarif. Hal inilah yang mengapa Al-Azhar menjadi sumber ilmu keislaman selama berabad-abad. Karena manhaj yang di gunakan adalah manhaj shahih talaqqi (mengaji dengan ulama) yang memiliki sanad yang jelas dan sangat sistematis. Sehingga sarjana yang menetas dari Al-azhar adalah tidak hanya ahli akademis semata tapi juga alim serta selalu terjaga kemutawatiran sanad, kemurnian agama dan akidahnya. Prof. Dr. Syauqi Ibrahim bermazhab Maliki  namun beliau menguasai ke empat Mazhab terlebih sejak Januari 2012 sampai sekarang beliau telah diberi amanah sebagai Kepala Jurusan (Kajur) bidang Fikih di Universitas Al Azhar, Thanta.

Serupa pula dengan konflik di Suriah walaupun mereka mendapatkan penguasa negeri seperti Baasar Asaad namun konflik berkelanjutan karena umat Islam tidak menaati para fuqaha (mufti) di Suriah seperti Mufti Besar Suriah Ahmah Badr-Eddin Hassoun menegaskan bahwa “Kami tidak berpihak pada pemerintahan otoriter, kami berpihak pada kepentingan tanah air untuk melawan semua senjata dari dunia yang menginginkan untuk menghancurkan negara ini.”

Begitupula dalam tulisan pada http://mutiarazuhud.wordpress.com/2013/10/20/tetaplah-sebagai-ormas/ bahwa Prof.Dr Yunahar Ilyas, Lc, MA menyampaikan slogan "“Muhammadiyah bukan Dahlaniyah” artinya Muhammadiyah hanyalah sebuah organisasi kemasyarakatan atau jama’ah minal muslimin bukan sebuah sekte atau firqoh yang mengikuti pemahaman KH Ahmad Dahlan karena KH Ahmad Dahlan sebagaimana mayoritas kaum muslim (as-sawadul a’zham ) pada masa sekarang mengikuti Rasulullah shallallahu alaihi wasallam dengan mengikuti Imam Mazhab yang empat.

Prof.Dr Yunahar Ilyas, Lc, MA mengatakan bahwa Kyai Haji Ahmad Dahlan pada masa hidupnya mengikuti fiqh mahzab Syafi’i, termasuk mengamalkan qunut dalam shalat subuh dan shalat tarawih 23 rakaat. Beliau menambahkan bawha tradisi fiqh di Muhammadiyah sebelum 1929 memang tak berbeda jauh dari tradisi di NU sebagaimana informasi dari http://mutiarazuhud.files.wordpress.com/2013/07/kitab-fiqh-jilid-3-muhammadiyyah.pdf

Perubahan di Muhammadiyah itu terjadi, diantaranya, karena pengaruh Haji Rasul (Dr Syeikh Abdul Karim bin Amrullah ayah dari Buya Hamka) yang cukup menentukan corak pemahaman fiqh Muhammadiyah. Adagium yg cukup dikenal: Muhammadiyah lahir di Yogya, tapi secara ideologi dibentuk di Sumatra Barat.”

Dr Syeikh Abdul Karim bin Amrullah dipengaruhi oleh kitab-kitab karangan Ibnu Taimiyah, Ibnu Qaiyim, Muhammad Abdul Wahhab dan terakhir sekali ialah karangan Muhammad Abduh dan karangan Saiyid Rasyid Ridha terutama Tafsir al-Manar.

Syeikh Ahmad Khatib Al-Minangkabawi, guru dari Dr Syekh Abdul Karim bin Amrullah yang merupakan ulama besar Indonesia yang pernah menjadi imam, khatib dan guru besar di Masjidil Haram, sekaligus Mufti Mazhab Syafi’i pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20 menjelaskan dalam kitab-kitab beliau seperti ‘al-Khiththah al-Mardhiyah fi Raddi fi Syubhati man qala Bid’ah at-Talaffuzh bian-Niyah’, ‘Nur al-Syam’at fi Ahkamal-Jum’ah’ bahwa pemahaman Ibnu Taimiyyah dan Ibnu Qoyyim Al Jauziah menyelisihi pemahaman Imam Mazhab yang empat.

Beliau (Syaikh Ibnu Hajar Al-Haitamy) berkata ” Maka berhati-hatilahkamu, jangan kamu dengarkan apa yang ditulis oleh Ibnu Taimiyyah dan muridnya Ibnul Qoyyim Al-Jauziyyah dan selain keduanya dari orang-orang yang telah menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhannya dan Allah telah menyesatkannya dari ilmu serta menutup telinga dan hatinya dan menjdaikan penghalang atas pandangannya. Maka siapakah yang mampu memberi petunjuk atas orang yang telahAllah jauhkan?”. (Al-Fatawa Al-Haditsiyyah : 203)

Para ulama ahlus sunnah terdahulu juga telah membantah pendapat atau pemahaman Ibnu Taimiyyah yang telah banyak menyelisihi pendapat para ulama terdahulu yang mengikuti Imam Mazhab yang empat sebagaimana contohnya termuat pada http://mutiarazuhud.files.wordpress.com/2010/02/ahlussunnahbantahtaimiyah.pdf atau pada http://mutiarazuhud.wordpress.com/2013/01/07/kontrofersi-paham-taimiyah/

Sebagaimana tulisan pada http://mutiarazuhud.wordpress.com/2012/04/22/kabar-waktu-lampau/ bahwa di dalam kitab “Risalah Ahlussunnah wal Jama’ah” karya Hadratusy Syeikh Hasyim Asy’ari (pendiri pondok pesantren Tebuireng Jombang Jawa Timur dan pendiri organisasi Nahdhatul Ulama) halaman 9-10 menasehatkan untuk tidak mengikuti pemahaman Muhammad bin Abdul Wahhab , Ibnu Taimiyah, dan kedua muridnya, Ibnul Qoyyim dan Ibnu Abdil Hadi

Begitupula wasiat ulama dari Malaysia, Syaikh Abdullah Fahimsebagaimana contohnya yang termuat pada http://hanifsalleh.blogspot.com/2009/11/wasiat-syeikh-abdullah-fahim.html

***** awal kutipan *****
Supaya jangan berpecah belah oleh bangsa Melayu sendiri.Sekarang sudah ada timbul di Malaya mazhab Khawarij yakni mazhab yang keluardari mazhab 4 mazhab Ahlis Sunnah wal Jama`ah. Maksud mereka itu hendakmengelirukan faham awam yang sebati dan hendak merobohkan pakatan bangsa Melayuyang jati. Dan menyalahkan kebanyakan bangsa Melayu.

Hukum-hukum mereka itu diambil daripada kitab Hadyur-Rasulyang mukhtasar daripada kitab Hadyul-’Ibad dikarang akan dia oleh Ibnul Qayyimal-Khariji, maka Ibnul Qayyim dan segala kitabnya ditolak oleh ulama AhlisSunnah wal Jama`ah.
***** akhir kutipan *****

Ustadz Ahmad Sarwat,Lc,.MA dalam tulisan pada http://www.rumahfiqih.com/x.php?id=1357669611&title=adakah-mazhab-salaf.htm mengatakan

***** awal kutipan ****
Ibnu Taimiyah, Ibnul Qayyim dan Ibnu Hazm, kalau dilihat angka tahun lahirnya, mereka juga bukan orang salaf, karena mereka hidup jauh ratusan tahun setelah Rasulullah shallallahu alaihi wasallam wafat. Apalagi Syeikh Bin Baz, Utsaimin dan Al-Albani, mereka bahkan lebih bukan salaf lagi, tetapi malahan orang-orang khalaf yang hidup sezaman dengan kita.

Sayangnya, Ibnu Taymiyah, Ibnul Qayyim, apalagi Bin Baz, Utsaimin termasuk Al-Albani, tak satu pun dari mereka yang punya manhaj, kalau yang kita maksud dengan manhaj itu adalah arti sistem dan metodologi istimbath hukum yang baku. Bahasa mudahnya, mereka tidak pernah menciptakan ilmu ushul fiqih. Jadi mereka cuma bikin fatwa, tetapi tidak ada kaidah, manhaj atau polanya.

Kalau kita ibaratkan komputer, mereka memang banyak menulis file word, tetapi mereka tidak menciptakan sistem operasi. Mereka punya banyak fatwa, mungkin ribuan, tetapi semua itu levelnya cuma fatwa, bukan manhaj apalagi mazhab.

Bukan Salaf Tetapi Dzahihiri

Sebenarnya kalau kita perhatikan metodologi istimbath mereka yang mengaku-ngaku sebagai salaf, sebenarnya metode mereka itu tidak mengacu kepada masa salaf. Kalau dipikir-pikir, metode istimbah yang mereka pakai itu lebih cenderung kepada mazhab Dzhahiriyah. Karena kebanyakan mereka berfatwa hanya dengan menggunakan nash secara Dzhahirnya saja.

Mereka tidak menggunakan metode istimbath hukum yang justru sudah baku, seperti qiyas, mashlahah mursalah, istihsan, istishhab, mafhum dan manthuq. Bahkan dalam banyak kasus, mereka tidak pandai tidak mengerti adanya nash yang sudah dinasakh atau sudah dihapus dengan adanya nash yang lebih baru turunnya.

Mereka juga kurang pandai dalam mengambil metode penggabungan dua dalil atau lebih (thariqatul-jam’i) bila ada dalil-dalil yang sama shahihnya, tetapi secara dzhahir nampak agak bertentangan. Lalu mereka semata-mata cuma pakai pertimbangan mana yang derajat keshahihannya menurut mereka lebih tinggi. Kemudian nash yang sebenarnya shahih, tapi menurut mereka kalah shahih pun dibuang.

Padahal setelah dipelajari lebih dalam, klaim atas keshahihan hadits itu keliru dan kesalahannya sangat fatal. Cuma apa boleh buat, karena fatwanya sudah terlanjur keluar, ngotot bahwa hadits itu tidak shahih. Maka digunakanlah metode menshahihan hadits yang aneh bin ajaib alias keluar dari pakem para ahli hadits sendiri.

Dari metode kritik haditsnya saja sudah bermasalah, apalagi dalam mengistimbath hukumnya. Semua terjadi karena belum apa-apa sudah keluar dari pakem yang sudah ada. Seharusnya, yang namanya ulama itu, belajar dulu yang banyak tentang metode kritik hadits, setelah itu belajar ilmu ushul agar mengeti dan tahu bagaimana cara melakukan istimbath hukum. Lah ini belum punya ilmu yang mumpuni, lalu kok tiba-tiba bilang semua orang salah, yang benar cuma saya seorang.
***** akhir kutipan *****

Setelah berdiriya Majelis Tarjih pada masa kepemimpinan Kyai Haji Mas Mansyur, terjadilah revisi –revisi setelah melakukan kajian mendalam, termasuk keluarnya putusan tarjih yang menuntunkan tidak dipraktikkannya do’a qunut di dalam shalat subuh dan jumlah rakaat shalat tarawih yag sebelas rakat.

Jadi semula “Muhammadiyah bukanlah Dahlaniyah” atau semula Muhammadiyah adalah organisasi kemasyarakatan akan berubah menjadi sebuah sekte atau firqoh yang mengikuti suatu pemahaman baru terhadap Al Qur’an dan As Sunnah yakni sekte atau firqoh yang mengikuti pemahaman majelis tarjih.

Sedangkan Rasulullah shallallahu alaihi wasallam telah memperingatkan kita bahwa jika kita menemukan perselisihan karena perbedaan pendapat maka ikutilah mayoritas kaum muslim (as-sawadul a’zham) dan hindarilah semua sekte atau firqoh yang menyempal keluar (kharaja) dari mayoritas kaum muslim

Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda: “Sesungguhnya Allah tidak menghimpun ummatku diatas kesesatan. Dan tangan Allah bersama jama’ah. Barangsiapa yang menyelewengkan (menyempal), maka ia menyeleweng (menyempal) ke neraka“. (HR. Tirmidzi: 2168).

Al-Hafidz Ibnu Hajar rahimahullah dalam Fathul Bari XII/37 menukil perkataan Imam Thabari rahimahullah yang menyatakan: “Berkata kaum (yakni para ulama), bahwa jama’ah adalah as-sawadul a’zham (mayoritas kaum muslim)“

Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda “Sesungguhnya umatku tidak akan bersepakat pada kesesatan. Oleh karena itu, apabila kalian melihat terjadi perselisihan maka ikutilah as-sawad al a’zham (mayoritas kaum muslim).” (HR.Ibnu Majah, Abdullah bin Hamid, at Tabrani, al Lalika’i, Abu Nu’aim. Menurut Al Hafidz As Suyuthi dalam Jamius Shoghir, ini adalah hadits Shohih).

Pada masa sekarang mayoritas kaum muslim (as-sawadul a’zham) adalah bagi siapa saja yang mengikuti Rasulullah shallallahu alaihi wasallam dengan mengikuti para ulama yang sholeh yang mengikuti Imam Mazhab yang empat.

Sebagaimanapula yang telah disampaikan dalam tulisan pada http://mutiarazuhud.wordpress.com/2013/07/18/islam-adalah-satu/ bahwa Islam adalah satu pada masa sekarang adalah Islam sebagaimana yang telah disampaikan dan dijelaskan oleh para penunjuk yakni para ulama yang sholeh yang mengikuti Imam Mazhab yang empat.

Allah Azza wa Jalla telah berfirman bahwa solusi jika kita berselisih karena berlainan pendapat tentang sesuatu maka ikuti dan taatilah ulil amri setempat yakni para fuqaha yang faqih dalam memahami Al Qur’an dan As Sunnah

Firman Allah ta’ala yang artinya “Hai orang-orang yang beriman, ta’atilah Allah dan ta’atilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al-Qur’an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya” (QS An Nisaa [4]:59)

Siapakah ulil amri yang harus ditaati oleh kaum muslim ?

Rasulullah shallallahu alaihi wasallam adalah sosok ulama dan umara sekaligus. Begitu juga para khulafaur Rasyidin seperti Sayyidina Abu Bakar, Sayyidina Umar, Sayyidina Ustman dan Sayyidina Ali radhiyallahuanhum, begitu juga beberapa khalifah dari bani Umayah dan bani Abbas.

Namun dalam perkembangan sejarah Islam selanjutnya, sangat jarang kita dapatkan seorang pemimpin negara yang benar-benar paham terhadap Islam. Dari sini, mulailah terpisah antara ulama dan umara.

Ibnu Abbas ra sebagaimana yang disebutkan oleh Imam Thobari dalam tafsirnya telah menyampaikan bahwa ulil amri yang ditaati adalah para pakar fiqih atau para ulama yang menguasai hukum-hukum Allah.

Syarat-syarat atau kompentensi sehingga termasuk ulama yang menguasai fiqih (hukum-hukum dalam Islam) adalah sebagaimana yang disampaikan oleh KH. Muhammad Nuh Addawami sebagai berikut,

*****awal kutipan *****
a. Mengetahui dan menguasai bahasa arab sedalam-dalamnya, karena al-quran dan as-sunnah diturunkan Allah dan disampaikan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam dalam bahasa Arab yang fushahah dan balaghah yang bermutu tinggi, pengertiannya luas dan dalam, mengandung hukum yang harus diterima. Yang perlu diketahui dan dikuasainya bukan hanya arti bahasa tetapi juga ilmu-ilmu yang bersangkutan dengan bahasa arab itu seumpama nahwu, sharaf, balaghah (ma’ani, bayan dan badi’).

b. Mengetahui dan menguasai ilmu ushul fiqh, sebab kalau tidak, bagaimana mungkin menggali hukum secara baik dan benar dari al-Quran dan as-Sunnah padahal tidak menguasai sifat lafad-lafad dalam al-Quran dan as-Sunnah itu yang beraneka ragam yang masing-masing mempengaruhi hukum-hukum yang terkandung di dalamnya seperti ada lafadz nash, ada lafadz dlahir, ada lafadz mijmal, ada lafadz bayan, ada lafadz muawwal, ada yang umum, ada yang khusus, ada yang mutlaq, ada yang muqoyyad, ada majaz, ada lafadz kinayah selain lafadz hakikat. ada pula nasikh dan mansukh dan lain sebagainya.

c. Mengetahui dan menguasai dalil ‘aqli penyelaras dalil naqli terutama dalam masalah-masalah yaqiniyah qath’iyah.

d. Mengetahui yang nasikh dan yang mansukh dan mengetahui asbab an-nuzul dan asbab al-wurud, mengetahui yang mutawatir dan yang ahad, baik dalam al-Quran maupun dalam as-Sunnah. Mengetahui yang sahih dan yang lainnya dan mengetahui para rawi as-Sunnah.

e. Mengetahui ilmu-ilmu yang lainnya yang berhubungan dengan tata cara menggali hukum dari al-Quran dan as-Sunnah.

Bagi yang tidak memiliki kemampuan, syarat dan sarana untuk menggali hukum-hukum dari al-Quran dan as-Sunnah dalam masalah-masalah ijtihadiyah padahal dia ingin menerima risalah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam secara utuh dan kaffah, maka tidak ada jalan lain kecuali taqlid kepada mujtahid yang dapat dipertanggungjawabkan kemampuannya.

Diantara para mujtahid yang madzhabnya mudawwan adalah empat imam mujtahid, yaitu:

- Imam Abu Hanifah Nu’man bin Tsabit;
- Imam Malik bin Anas;
- Imam Muhammad bin Idris Asy-Syafi’i ; dan
- Imam Ahmad bin Hanbal.

Mengharamkan taqlid dan mewajibkan ijtihad atau ittiba’ dalam arti mengikuti pendapat orang disertai mengetahui dalil-dalilnya terhadap orang awam (yang bukan ahli istidlal) adalah fatwa sesat dan menyesatkan yang akan merusak sendi-sendi kehidupan di dunia ini.

Memajukan dalil fatwa terhadap orang awam sama saja dengan tidak memajukannya. (lihat Hasyiyah ad-Dimyathi ‘ala syarh al- Waraqat hal 23 pada baris ke-12).

Apabila si awam menerima fatwa orang yang mengemukakan dalilnya maka dia sama saja dengan si awam yang menerima fatwa orang yang tidak disertai dalil yang dikemukakan. Dalam artian mereka sama-sama muqallid, sama-sama taqlid dan memerima pendapat orang tanpa mengetahui dalilnya.

Yang disebut muttabi’ “bukan muqallid” dalam istilah ushuliyyin adalah seorang ahli istidlal (mujtahid) yang menerima pendapat orang lain karena dia selaku ahli istidlal dengan segala kemampuannya mengetahui dalil pendapat orang itu.

Adapun orang yang menerima pendapat orang lain tentang suatu fatwa dengan mendengar atau membaca dalil pendapat tersebut padahal sang penerima itu bukan atau belum termasuk ahli istidlal maka dia tidak termasuk muttabi’ yang telah terbebas dari ikatan taqlid.

Pendek kata arti ittiba’ yang sebenarnya dalam istilah ushuliyyin adalah ijtihad seorang mujtahid mengikuti ijtihad mujtahid yang lain.
***** akhir kutipan *****

Oleh karenanya setelah masa kehidupan Imam Madzhab yang empat, para mufti yakni orang yang faqih untuk membuat fatwa selalu merujuk kepada salah satu dari Imam Madzhab yang empat.

Allah ta’ala berfirman yang artinya “Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) dari golongan Muhajirin dan Anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan merekapun ridha kepada Allah dan Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya selama-lamanya. Mereka kekal di dalamnya. Itulah kemenangan yang besar“. (QS at Taubah [9]:100)

Dari firmanNya tersebut dapat kita ketahui bahwa orang-orang yang diridhoi oleh Allah Azza wa Jalla adalah orang-orang yang mengikuti Salafush Sholeh. Sedangkan orang-orang yang mengikuti Salafush Sholeh yang paling awal dan utama adalah Imam Mazhab yang empat.

Memang ada mazhab yang lain selain dari Imam Mazhab yang empat namun pada kenyataannya ulama yang memiliki ilmu riwayah dan dirayah dari Imam Mazhab yang lain sudah sukar ditemukan pada masa kini.

Tentulah kita mengikuti atau taqlid kepada Imam Mazhab yang empat dengan merujuk kepada Al Qur’an dan As Sunnah. Imam Mazhab yang empat patut untuk diikuti oleh kaum muslim karena jumhur ulama telah sepakat dari dahulu sampai sekarang sebagai para ulama yang berkompetensi sebagai Imam Mujtahid Mutlak, pemimpin atau imam ijtihad dan istinbat kaum muslim.

Kelebihan lainnya, Imam Mazhab yang empat adalah masih bertemu dengan Salafush Sholeh.

Contohnya Imam Syafi”i ~rahimahullah adalah imam mazhab yang cukup luas wawasannya karena bertemu atau bertalaqqi (mengaji) langsung kepada Salafush Sholeh dari berbagai tempat, mulai dari tempat tinggal awalnya di Makkah, kemudian pindah ke Madinah, pindah ke Yaman, pindah ke Iraq, pindah ke Persia, kembali lagi ke Makkah, dari sini pindah lagi ke Madinah dan akhirnya ke Mesir. Perlu dimaklumi bahwa perpindahan beliau itu bukanlah untuk berniaga, bukan untuk turis, tetapi untuk mencari ilmu, mencari hadits-hadits, untuk pengetahuan agama. Jadi tidak heran kalau Imam Syafi’i ~rahimahullah lebih banyak mendapatkan hadits dari lisannya Salafush Sholeh, melebihi dari yang didapat oleh Imam Hanafi ~rahimahullah dan Imam Maliki ~rahimahullah

Imam Mazhab yang empat adalah para ulama yang sholeh dari kalangan “orang-orang yang membawa hadits” yakni membawanya dari Salafush Sholeh yang meriwayatkan dan mengikuti sunnah Rasulullah shallallahu alaihi wasallam

Jadi kalau kita ingin ittiba li Rasulullah (mengikuti Rasulullah) atau mengikuti Salafush Sholeh maka kita menemui dan bertalaqqi (mengaji) dengan para ulama yang sholeh dari kalangan “orang-orang yang membawa hadits”.

Para ulama yang sholeh dari kalangan “orang-orang yang membawa hadits” adalah para ulama yang sholeh yang mengikuti salah satu dari Imam Mazhab yang empat.

Para ulama yang sholeh yang mengikuti dari Imam Mazhab yang empat adalah para ulama yang sholeh yang memiliki ketersambungan sanad ilmu (sanad guru) dengan Imam Mazhab yang empat atau para ulama yang sholeh yang memiliki ilmu riwayah dan dirayah dari Imam Mazhab yang empat.

Jadi bermazhab dengan Imam Mazhab yang empat adalah sebuah kebutuhan bagi kaum muslim yang tidak lagi bertemu dengan Rasulullah maupun Salafush Sholeh.

Orang-orang yang meninggalkan Imam Mazhab yang empat memang sering mengungkapan pendapat seperti “kita harus mengikuti hadits shahih. Bukan mengikuti ulama. Al-Imam Al-Syafi’i sendiri berkata, “Idza shahha al-hadits fahuwa mazhabi (apabila suatu hadits itu shahih, maka hadits itulah mazhabku)”.

Banyak kalangan yang tidak memahami dengan benar perkataan Beliau. Sehingga, jika yang bersangkutan menemukan sebuah hadits shahih yang menurut pemahaman mereka bertentangan dengan pendapat mazhab Syafi’i maka yang bersangkutan langsung menyatakan bahwa pendapat mazhab itu tidak benar, karena Imam Syafi’i sendiri mengatakan bahwa hadits shahih adalah mazhab beliau. Atau ketika seseorang menemukan sebuah hadits yang shahih, yang bersangkutan langsung mengklaim, bahwa ini adalah mazhab Syafi’i.

Imam Al-Nawawi sepakat dengan gurunya ini dan berkata, “(Ucapan Al-Syafi’i) ini hanya untuk orang yang telah mencapai derajat mujtahid madzhab. Syaratnya: ia harus yakin bahwa Al-Syafi’i belum mengetahui hadits itu atau tidak mengetahui (status) kesahihannya. Dan hal ini hanya bisa dilakukan setelah mengkaji semua buku Al-Syafi’i dan buku murid-muridnya. Ini syarat yang sangat berat, dan sedikit sekali orang yang mampu memenuhinya. Mereka mensyaratkan hal ini karena Al-Syafi’i sering kali meninggalkan sebuah hadits yang ia jumpai akibat cacat yang ada di dalamnya, atau mansukh, atau ditakhshish, atau ditakwil, atau sebab-sebab lainnya.”

Al-Nawawi juga mengingatkan ucapan Ibn Khuzaimah, “Aku tidak menemukan sebuah hadits yang sahih namun tidak disebutkan Al-Syafii dalam kitab-kitabnya.” Ia berkata, “Kebesaran Ibn Khuzaimah dan keimamannya dalam hadits dan fiqh, serta penguasaanya akan ucapan-ucapan Al-Syafii, sangat terkenal.” ["Majmu' Syarh Al-Muhadzab" 1/105]

Kajian qoul Imam Syafi’i yang lebih lengkap, silahkan membaca tulisan, contohnya pada http://generasisalaf.wordpress.com/2013/06/15/memahami-qoul-imam-syafii-hadis-sahih-adalah-mazhabku-bag-2/

Perlu kita ingat bahwa hadits yang telah terbukukan dalam kitab-kitab hadits jumlahnya jauh di bawah jumlah hadits yang dikumpulkan dan dihafal oleh Al-Hafidz (minimal 100.000 hadits) dan jauh lebih kecil dari jumlah hadits yang dikumpulkan dan dihafal oleh Al-Hujjah (minimal 300.000 hadits). Sedangkan jumlah hadits yang dikumpulkan dan dihafal oleh Imam Mazhab yang empat, jumlahnya lebih besar dari jumlah hadits yang dikumpulkan dan dihafal oleh Al-Hujjah

Asy-Syeikh Abu Amru mengatakan: ”Barang siapa menemui dari Syafi’i sebuah hadits yang bertentangan dengan mazhab beliau, jika engkau sudah mencapai derajat mujtahid mutlak, dalam bab, atau maslah itu, maka silahkan mengamalkan hal itu“

Penjelasan tentang derajat mujtahid mutlak dan tingkatan mufti dalam madzhab As Syafi’i, silahkan baca tulisan pada http://almanar.wordpress.com/2010/09/21/tingkatan-mufti-madzhab-as-syafi’i/

Kesimpulannya ketaatan umat Islam kepada ulil amri setempat yakni para fuqaha (mufti) yang dipimpin oleh mufti agung lebih didahulukan dari pada ketaatan kepada pemimpin ormas maupun penguasa negeri dalam rangka menyunjung persatuan dan kesatuan kaum muslim sesuai semangat piagam Madinah.

Kita dapat mengambil pelajaran dari kerajaan Islam Brunei Darussalam berideologi Melayu Islam Beraja (MIB) dengan penerapan nilai-nilai ajaran Agama Islam dirujuk kepada golongan Ahlus Sunnah wal Jamaah yang dipelopori oleh Imam Al Asyari dan mengikut Mazhab Imam Syafei. Sultan Brunei disamping sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan merangkap sebagai perdana menteri dan menteri pertahanan dengan dibantu oleh dewan penasihat kesultanan dan beberapa menteri, juga bertindak sebagai pemimpin tertinggi Agama Islam dimana dalam menentukan keputusan atas sesuatu masalah dibantu oleh Mufti Kerajaan.

Negara kitapun ketika awal berdirinya memiliki lembaga tinggi negara yang bernama “Dewan Pertimbangan Agung” yang berunsurkan ulama yang sholeh yang dapat memberikan pertimbangan dan usulan kepada pemerintah dalam menyelenggarakan pemerintahan agar tidak bertentangan dengan Al Qur’an dan As Sunnah.

Lembaga negara yang berunsurkan kata “agung” seperti Mahkamah Agung , Jaksa Agung pada hakikatnya adalah wakil-wakil Tuhan dalam menegakkan keadilan di muka bumi agar sesuai dengan Al Qur’an dan As Sunnah.

Salah satu contoh ulama yang menjadi anggota “Dewan Pertimbangan Agung” adalah Syaikh Muhammad Jamil Jambek ulama pelopor pembaruan Islam dari Sumatera Barat awal abad ke-20 yang pernah berguru dengan Syeikh Ahmad Khatib Al-Minangkabawi yang merupakan ulama besar Indonesia yang pernah menjadi imam, khatib dan guru besar di Masjidil Haram, sekaligus Mufti Mazhab Syafi’i pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20.

Namun dalam perjalanannya Dewan Pertimbangan Agung perannya dalam roda pemerintahan di negara kita “dikecilkan”. Bahkan pada zaman era Surharto, singkatan DPA mempunyai arti sebagai “Dewan Pensiun Agung” karena keanggotaanya terdiri dari pensiunan-pensiunan pejabat. Sehingga pada era Reformasi , Dewan Pertimbangan Agung dibubarkan dengan alasan sebagai lembaga yang tidak effisien.

Jadi cara mengawal syariat Islam dalam sistem pemerintahan di negara kita dengan cara mengembalikan wewenang para ahli fiqih untuk menasehati dan membimbing penguasa negeri sehingga dalam menjalankan roda pemerintahan tidak bertentangan dengan Al Qur’an dan As Sunnah sehingga tidak ada keraguan lagi bagi kaum muslim untuk mentaati penguasa negari

Kesimpulannya seperti apapun sistem pemerintahan di manapun kaum muslim tinggal namun menjalankan syariat Islam yakni menjalankan perintahNya dan menjauhi laranganNya tetap wajib dijalankan. Perbedaannya hanya terletak pada tingkat kemudahan dalam menjalankan syariat Islam.
  
Oleh karenanya peran mufti agung yang mengikuti Imam Mazhab yang empat harus ditingkatkan pada negeri yang mayoritas muslim sehingga sistem pemerintahan yang ada berubah merujuk kepada Al Qur'an dan as Sunnah secara perlahan dan sistematik

Sehingga kelirulah mereka yang mengatakan bahwa  "jauh panggang dari api, jika ingin melaksanakan syari'at Islam tanpa melakukan  perubahan sistem pemerintahan yang ada"  atau pernyataan seperti "syariat Islam tidak mungkin tegak tanpa adanya kepemimpinan yang satu umat Islam yakni khalifah"

Pernyataan-pernyataan seperti itu sama saja mengatakan bahwa "kaum muslim mustahil melaksanakan syariat Islam di negeri kaum kafir" atau "syariat Islam tidak perlu dijalankan selama belum tegak kekhalifahan" atau bahkan mereka yang diperbolehkan melawan orang tua, menipu, mencuri atau merampok untuk mengumpulkan dana atau pun meninggalkan shalat selama belum terbentuk negara Islam (darul Islam).

Kewajiban bagi kaum muslim untuk menjalankan syariat Islam yakni menjalankan perintahNya dan menjauhi laranganNya tidaklah dibatasi atau tidak dianulir oleh sistem pemerintahan yang ada.

Begitupula kelirulah mereka yang mengatakan bahwa umat Islam khususnya di Indonesia mendapatkan bencana dan kemudharatan lainnya karena mengabaikan syariat Islam dan menerapkan hukum selain hukum Allah Subhanahu wa Ta'ala  alias karena berhukum dengan hukum thagut.

Umat Islam tinggal di negara manapun termasuk yang tinggal di negara kaum kafir tidaklah termasuk orang-orang yang mengabaikan syariat Islam atau tidak termasuk orang-orang yang berhukum dengan hukum thagut yakni berhukum dengan hukum selain Allah selama mereka menjalankan syariat Islam yakni menjalankan perintahNya dan menjauhi laranganNya

Sebaiknya janganlah termasuk orang-orang seperti Dzul Khuwaishirah dari Bani Tamim al Najdi yakni orang-orang yang menyempal keluar (kharaja) dari mayoritas kaum muslim (as-sawadul a’zham) sehingga disebut juga dengan khawarij. Khawarij adalah bentuk jamak (plural) dari kharij (bentuk isim fail) artinya yang keluar.

Orang-orang seperti Dzul Khuwaishirah dari Bani Tamim al Najdi atau kaum khawarij menyempal keluar (kharaja) dari mayoritas kaum muslim (as-sawadul a’zham) karena mereka salah memahami Al Qur'an dan As Sunnah

Contohnya orang-orang seperti Dzul Khuwaishirah dari Bani Tamim al Najdi atau kaum khawarij pada masa khalifah sayyidina Ali karamalahu wajhu salah memahami firman Allah seperti (QS Al Maidah [5]:44) sehingga menduduh khalifah Sayyidina Ali karamalahu wajhu telah kafir karena berhukum dengan thagut, berhukum dengan selain hukum Allah. Pada akhirnya mereka menganggap halal darah Sayyidina Ali karamalahu wajhu dan berujung eksekusi pembunuhan yang dilakukan oleh Abdurrahman ibn Muljam.

Abdurrahman ibn Muljam adalah seorang yang sangat rajin beribadah. Shalat dan shaum, baik yang wajib maupun sunnah, melebihi kebiasaan rata-rata orang di zaman itu. Bacaan Al-Qurannya sangat baik. Karena bacaannya yang baik itu, pada masa Sayyidina Umar ibn Khattab ra, ia diutus untuk mengajar Al-Quran ke Mesir atas permintaan gubernur Mesir, Amr ibn Al-’Ash. Namun, karena ilmunya yang dangkal, sesampai di Mesir ia malah terpangaruh oleh hasutan (ghazwul fikri) orang-orang Khawarij yang selalu berbicara mengatasnamakan Islam, tapi sesungguhnya hawa nafsu yang mereka turuti. Ia pun terpengaruh. Ia tinggalkan tugasnya mengajar dan memilih bergabung dengan orang-orang Khawarij sampai akhirnya, dialah yang ditugasi menjadi eksekutor pembunuhan Imam Sayyidina Ali karamallahu wajhu.

Padahal dengan memperhatikan asbabun nuzul (riwayat turunnya ayat) dari (QS Al Maidah [5]:44) maka kita akan mengetahui maksud atau tujuan dari ayat itu sebenarnya.

Oleh karenanya Sayyidina Ali karamalahu wajhu berkata “kalimatu haqin urida bihil batil” (perkataan yang benar dengan tujuan yang salah) ketika menanggapi semboyan kaum khawarij pada waktu itu yakni “La hukma illah lillah”, tidak ada hukum melainkan hanya dari Allah.

Al-Imam Ahmad dan Ath-Thabrani dalam Al-Mu’jam Al-Kabir meriwayatkan dari Abdullah bin ‘Abbas radhiallahu ‘anhuma dan beliau menyebutkan sebab turunnya ayat ini: “Allah Ta’ala menurunkan ayat ini berkenaan tentang dua kelompok di kalangan Yahudi di masa jahiliyyah, di mana salah satu kelompok telah menguasai yang lainnya sehingga mereka ridha…”

Imam Abu Abdillah Al-Qurthubi rahimahullah (wafat 671 H) berkata : “Adapun seorang muslim dia tidak dikafirkan walaupun melakukan dosa besar. Di sini ada yang tersembunyi, yaitu siapa yang tidak berhukum dengan apa yang Allah subhanahu wata’ala turunkan yakni menolak Al-Quran dan menentang ucapan Rasul shalallahu ‘alaihi wasallam maka dia kafir. Demikian yang dikatakan oleh Ibnu Abbas dan Mujahid. Maka ayat ini umum dalam hal ini.

Dari Anas radhiyallahuanhu, Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda : “Tiga hal merupakan pokok iman ; menahan diri dari orang yang menyatakan Tiada Tuhan kecuali Allah. Tidak memvonis kafir akibat dosa dan tidak mengeluarkannya dari agama Islam akibat perbuatan dosa ; Jihad berlangsung terus semenjak Allah mengutusku sampai akhir ummatku memerangi Dajjal. Jihad tidak bisa dihapus oleh kelaliman orang yang lalim dan keadilan orang yang adil ; dan meyakini kebenaran takdir”.

Jadi yang dimaksud tidak berhukum dengan apa yang Allah subhanahu wa ta’ala turunkan adalah bagi orang yang menolak Al-Quran dan menentang ucapan Rasululullah shalallahu ‘alaihi wasallam yakni kaum non muslim.

Sehingga kaum muslim boleh berhukum dengan hukum buatan manusia seperti perjanjian ( tahkim / arbitrase ) selama isi perjanjian tidak bertentangan dengan Al Qur’an dan As Sunnah.Salah satu penyebab kemudharatan bagi umat Islam adalah akibat mereka yang menjadikan orang-orang yang dimurkai Allah ta'ala yakni kaum Yahudi atau yang kita kenal sekarang dengan Zionis Yahudi sebagai sekutu, teman kepercayaan, pelindung, penasehat yang diikuti segala nasehatnya padahal mereka berkata-kata tidak berdasarkan Al Qur'an dan As Sunnah
Firman Allah Azza wa Jalla, yang artinya,
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu ambil menjadi teman kepercayaanmu orang-orang yang, di luar kalanganmu (karena) mereka tidak henti-hentinya (menimbulkan) kemudharatan bagimu. Mereka menyukai apa yang menyusahkan kamu. Telah nyata kebencian dari mulut mereka, dan apa yang disembunyikan oleh hati mereka adalah lebih besar lagi. Sungguh telah Kami terangkan kepadamu ayat-ayat (Kami), jika kamu memahaminya” , (QS Ali Imran, 118)

“Beginilah kamu, kamu menyukai mereka, padahal mereka tidak menyukai kamu, dan kamu beriman kepada kitab-kitab semuanya. Apabila mereka menjumpai kamu, mereka berkata “Kami beriman”, dan apabila mereka menyendiri, mereka menggigit ujung jari antaran marah bercampur benci terhadap kamu. Katakanlah (kepada mereka): “Matilah kamu karena kemarahanmu itu”. Sesungguhnya Allah mengetahui segala isi hati“. (QS Ali Imran, 119)

“Tidakkah kamu perhatikan orang-orang yang menjadikan suatu kaum yang dimurkai Allah sebagai teman? Orang-orang itu bukan dari golongan kamu dan bukan (pula) dari golongan mereka. Dan mereka bersumpah untuk menguatkan kebohongan, sedang mereka mengetahui“. (QS Al Mujaadilah [58]:14 )

Firman Allah pada (QS Al Maidah [5]:44) adalah ayat yang diturunkan bagi orang-orang kafir.

Salah satu ciri khas dari orang-orang seperti Dzul Khuwaishirah at Tamim An Najdi atau kaum khawarij adalah suka menggunakan ayat-ayat yang diturunkan bagi orang-orang kafir untuk menyerang kaum muslim

Abdullah bin Umar ra dalam mensifati kelompok khawarij mengatakan: “Mereka menggunakan ayat-ayat yang diturunkan bagi orang-orang kafir lantas mereka terapkan untuk menyerang orang-orang beriman”.[Lihat: kitab Sahih Bukhari jilid:4 halaman:197]

Ciri khas lainnya dari orang-orang seperti Dzul Khuwaishirah at Tamim An Najdi atau kaum khawarij telah disampaikan dalam tulisan pada http://mutiarazuhud.wordpress.com/2013/06/16/ciri-khas/

Mereka yang menyempal keluar (kharaja) dari mayoritas kaum muslim (as-sawadul a’zham ) dikarenakan mereka salah memahami Al Qur’an dan Hadits sebagaimana yang telah disampaikan dalam tulisan pada http://mutiarazuhud.wordpress.com/2013/09/20/pengertian-khawarij/ atau dalam tulisan pada http://mutiarazuhud.wordpress.com/2013/07/21/khawarij-salah-paham/

Fitnah dari orang-orang seperti Dzul Khuwaishirah dari Bani Tamim An Najdi menurut sabda Rasulullah shallallahu alaihi wasallam adalah fitnah dari orang-orang yang membaca Al Qur’an tetapi tidak sampai melewati kerongkongan mereka alias tidak masuk ke hati atau tidak menjadikannya berakhlak baik.

Sebagaimana yang telah disampaikan dalam tulisan pada http://mutiarazuhud.wordpress.com/2013/10/07/masalah-karena-salahpaham/ tentang permasalahan yang dapat timbul karena salah memahami Al Qur’an dan Hadits salah satunya adalah menuduh muslim lainnya telah musyrik seperti menuduh menyembah kuburan atau menuduh berhukum dengan selain hukum Allah sehingga menganggap telah halal darahnya sehingga berujung pembunuhan.

Rasulullah shallallahu alaihi wasallam telah memperingatkan kita bahwa akan bermunculan orang-orang yang salah memahami Al Qur’an dan As Sunnah sehingga menuduh muslim lainnya telah musyrik.

Dari Hudzaifah Radhiyallahu anhu, Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda “Sesungguhnya yang paling aku khawatirkan atas kamu adalah seseorang yang telah membaca al-Qur’an, sehingga ketika telah tampak kebagusannya terhadap al-Qur’an dan dia menjadi pembela Islam, dia terlepas dari al-Qur’an, membuangnya di belakang punggungnya, dan menyerang tetangganya dengan pedang dan menuduhnya musyrik”. Aku (Hudzaifah) bertanya, “Wahai nabi Allah, siapakah yang lebih pantas disebut musyrik, penuduh atau yang dituduh?”. Beliau menjawab, “Penuduhnya”.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pun bersabda: Dari kelompok orang ini, akan muncul nanti orang-orang yang pandai membaca Al Qur`an tetapi tidak sampai melewati kerongkongan mereka, bahkan mereka membunuh orang-orang Islam, dan membiarkan para penyembah berhala; mereka keluar dari Islam seperti panah yang meluncur dari busurnya. Seandainya aku masih mendapati mereka, akan kumusnahkan mereka seperti musnahnya kaum ‘Ad. (HR Muslim 1762)

Sabda Rasululullah di atas yang artinya “mereka membunuh orang-orang Islam, dan membiarkan para penyembah berhala” maksudnya mereka memahami Al Qur’an dan As Sunnah dan berkesimpulan atau menuduh kaum muslim lainnya telah musyrik (menyembah selain Allah) seperti menuduh menyembah kuburan atau menuduh berhukum dengan selain hukum Allah, sehingga membunuhnya namun dengan pemahaman mereka tersebut mereka membiarkan para penyembah berhala yang sudah jelas kemusyrikannya.

Yang dimaksud dengan “membiarkan para penyembah berhala” adalah “membiarkan” kaum Yahudi atau yang kita kenal sekarang dengan Zionis Yahudi, sebagaimana yang telah disampaikan dalam tulisan pada http://mutiarazuhud.wordpress.com/2013/06/24/tidak-sekedar-membiarkan/

Rasulullah shallallahu alaihi wasallam telah bersabda bahwa orang-orang yang membunuh orang-orang Islam karena dituduh musyrik atau dituduh berhukum dengan selain hukum Allah ditetapkan sebagai orang yang telah murtad atau telah keluar dari agama Islam seperti panah yang meluncur dari busurnya sebagaimana yang telah kami sampaikan dalam tulisan pada http://mutiarazuhud.wordpress.com/2013/06/28/pembunuh-dan-murtad/

Allah ta’ala telah berfirman bahwa jika bermunculan orang-orang yang murtad atau keluar dari Islam seperti panah yang meluncur dari busurnya karena membunuh umat la ilaha illallah yang dituduh musyrik atau dituduh berhukum dengan selain hukum Allah maka Allah Azza wa Jalla akan tetap menjaga adanya kaum yang Allah mencintai mereka dan merekapun mencintai Allah seperti ahlul hadramaut (Yaman).

Firman Allah ta’ala yang artinya, “Hai orang-orang yang beriman, barang siapa di antara kamu yang murtad dari agamanya maka kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Allah mencintai mereka dan merekapun mencintaiNya, yang bersikap lemah lembut terhadap orang yang mu’min, yang bersikap keras terhadap orang-orang kafir, yang berjihad dijalan Allah, dan yang tidak takut kepada celaan orang yang suka mencela. Itulah karunia Allah, diberikan-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya, dan Allah Maha Luas (pemberian-Nya), lagi Maha Mengetahui.” (QS Al Ma’iadah [5]:54)

Abu Musa al-Asy’ari meriwayatkan dari Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda , ‘Allah akan mendatangkan suatu kaum yang dicintai-Nya dan mereka mencintai Allah”. Bersabda Nabi shallallahu alaihi wasallam : mereka adalah kaummu Ya Abu Musa, orang-orang Yaman’.

Dari Jabir, Rasulullah shallallahu alaihi wasallam ditanya mengenai ayat tersebut, maka Rasul menjawab, ‘Mereka adalah ahlu Yaman dari suku Kindah, Sukun dan Tajib’.

Ibnu Jarir meriwayatkan, ketika dibacakan tentang ayat tersebut di depan Rasulullah shallallahu alaihi wasallam, beliau berkata, ‘Kaummu wahai Abu Musa, orang-orang Yaman’.

Dalam kitab Fath al-Qadir, Ibnu Jarir meriwayat dari Suraikh bin Ubaid, ketika turun ayat 54 surat al-Maidah, Umar berkata, ‘Saya dan kaum saya wahai Rasulullah’. Rasul menjawab, ‘Bukan, tetapi ini untuk dia dan kaumnya, yakni Abu Musa al-Asy’ari’.

Al-Hafidz Ibnu Hajar al-Asqalani telah meriwayatkan suatu hadits dalam kitabnya berjudul Fath al-Bari, dari Jabir bin Math’am dari Rasulullah shallallahu alaihi wasallam berkata, ‘Wahai ahlu Yaman kamu mempunyai derajat yang tinggi. Mereka seperti awan dan merekalah sebaik-baiknya manusia di muka bumi’

Dalam Jami’ al-Kabir, Imam al-Suyuthi meriwayatkan hadits dari Salmah bin Nufail, ‘Sesungguhnya aku menemukan nafas al-Rahman dari sini’. Dengan isyarat yang menunjuk ke negeri Yaman”. Masih dalam Jami’ al-Kabir, Imam al-Sayuthi meriwayatkan hadits marfu’ dari Amru ibnu Usbah , berkata Rasulullah shallallahu alaihi wasallam, ‘Sebaik-baiknya lelaki, lelaki ahlu Yaman‘.

Dari Ali bin Abi Thalib, Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda, ‘Siapa yang mencintai orang-orang Yaman berarti telah mencintaiku, siapa yang membenci mereka berarti telah membenciku”

Rasulullah shallallahu alaihi wasallam telah bersabda bahwa jika telah bermunculan fitnah atau perselisihan atau bahkan pembunuhan terhadap umat la ilaha illallah karena perbedaan pendapat maka hijrahlah ke Yaman, bumi para Wali Allah atau ikutilah atau merujuklah kepada pendapat Ahlul Hadramaut, Yaman.

Diriwayatkan dari Ibnu Abi al-Shoif dalam kitab Fadhoil al-Yaman, dari Abu Dzar al-Ghifari, Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda, ‘Kalau terjadi fitnah pergilah kamu ke negeri Yaman karena disana banyak terdapat keberkahan’

Dalam syarah Shahih Muslim, Jilid. 17, No.171 diriwayatkan Khalid bin Walīd ra bertanya kepada Rasulullah shallallahu alaihi wasallam tentang orang-orang seperti Dzul Khuwaisarah at Tamimi an Najdi yang berakhlak buruk dengan pertanyaan

“Wahai Rasulullah, orang ini memiliki semua bekas dari ibadah-ibadah sunnahnya: matanya merah karena banyak menangis, wajahnya memiliki dua garis di atas pipinya bekas airmata yang selalu mengalir, kakinya bengkak karena lama berdiri sepanjang malam (tahajjud) dan janggut mereka pun lebat”

Rasulullah shallallahu alaihi wasallam menjawab : camkan makna ayat ini : qul in’kuntum tuhib’būnallāh fattabi’unī – Katakanlah: “Jika kamu mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu. karena Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”

Khalid bin Walid bertanya, “Bagaimana caranya ya Rasulullah ? ”

Nabi shallallahu alaihi wasallam menjawab, “Jadilah orang yang ramah seperti aku, bersikaplah penuh kasih, cintai orang-orang miskin dan papa, bersikaplah lemah-lembut, penuh perhatian dan cintai saudara-saudaramu dan jadilah pelindung bagi mereka.”

Indikator atau ciri-ciri atau tanda-tanda orang yang mencintai Allah dan dicintai oleh Allah sehingga menjadi wali Allah (kekasih Allah) adalah sebagaimana yang disampaikan dalam firmanNya dalam (QS Al Maidah [5]:44)

1. Bersikap lemah lembut terhadap sesama muslim
2. Bersikap keras (tegas / berpendirian) terhadap orang-orang kafir
3. Berjihad di jalan Allah, bergembira dalam menjalankan kewajibanNya dan menjauhi laranganNya
4. Tidak takut kepada celaan orang yang suka mencela.

Rasulullah shallallahu alaihi wasallam telah menyampaikan bahwa ahlul Yaman adalah orang-orang yang mudah menerima kebenaran, mudah terbuka mata hatinya (ain bashiroh) dann banyak dikaruniakan hikmah (pemahaman yang dalam terhadap Al Qur’an dan Hadits) sebagaimana Ulil Albab

Telah menceritakan kepada kami Abul Yaman Telah mengabarkan kepada kami Syu’aib Telah menceritakan kepada kami Abu Zinad dari Al A’raj dari Abu Hurairah radliallahu ‘anhu dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam beliau bersabda: “Telah datang penduduk Yaman, mereka adalah orang-orang yang berperasaan dan hatinya paling lembut, kefaqihan dari Yaman, hikmah ada pada orang Yaman.” (HR Bukhari 4039)

Dan telah menceritakan kepada kami Amru an-Naqid dan Hasan al-Hulwani keduanya berkata, telah menceritakan kepada kami Ya’qub -yaitu Ibnu Ibrahim bin Sa’d- telah menceritakan kepada kami bapakku dari Shalih dari al-A’raj dia berkata, Abu Hurairah berkata; “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Telah datang penduduk Yaman, mereka adalah kaum yang paling lembut hatinya. Fiqh ada pada orang Yaman. Hikmah juga ada pada orang Yaman. (HR Muslim 74)

Kita dapat telusuri apa yang telah disampaikan oleh ahlul Yaman melalui apa yang disampaikan oleh Al Imam Al Haddad dan yang setingkat dengannya, sampai ke Al Imam Umar bin Abdurrahman Al Attos dan yang setingkat dengannya, sampai ke Asy’syeh Abubakar bin Salim, kemudian Al Imam Syihabuddin, kemudian Al Imam Al Aidrus dan Syeh Ali bin Abibakar, kemudian Al Imam Asseggaf dan orang orang yang setingkat mereka dan yang diatas mereka, sampai keguru besar Al Fagih Almuqoddam Muhammad bin Ali Ba’alawi Syaikhutthoriqoh dan orang orang yang setingkat dengannya, sampai ke Imam Ahmad Al Muhajir bin Isa bin Muhammad bin Ali Al Uraidhi bin Ja’far Ash Shodiq bin Muhammad Al Baqir bin Ali Zainal Abidin bin Sayyidina Husain ra

Imam Ahmad Al Muhajir bin Isa bin Muhammad bin Ali Al Uraidhi bin Ja’far Ash Shodiq bin Muhammad Al Baqir bin Ali Zainal Abidin bin Sayyidina Husain ra sejak Abad 7 H di Hadramaut Yaman beliau menganut madzhab Syafi’i dalam fiqih , Ahlus Sunnah wal jama’ah dalam akidah (i’tiqod) mengikuti Imam Asy’ari (bermazhab Imam Syafi’i) dan Imam Maturidi (bermazhab Imam Hanafi) serta tentang akhlak atau tentang ihsan mengikuti ulama-ulama tasawuf yang muktabaroh dan bermazhab dengan Imam Mazhab yang empat.

Di Hadramaut kini, akidah dan madzhab Imam Al Muhajir yang adalah Sunni Syafi’i, terus berkembang sampai sekarang, dan Hadramaut menjadi kiblat kaum sunni yang “ideal” karena kemutawatiran sanad serta kemurnian agama dan aqidahnya.

Dari Hadramaut (Yaman), anak cucu Imam Al Muhajir menjadi pelopor dakwah Islam sampai ke “ufuk Timur”, seperti di daratan India, kepulauan Melayu dan Indonesia. Mereka rela berdakwah dengan memainkan wayang mengenalkan kalimat syahadah , mereka berjuang dan berdakwah dengan kelembutan tanpa senjata , tanpa kekerasan, tanpa pasukan , tetapi mereka datang dengan kedamaian dan kebaikan. Juga ada yang ke daerah Afrika seperti Ethopia, sampai kepulauan Madagaskar. Dalam berdakwah, mereka tidak pernah bergeser dari asas keyakinannya yang berdasar Al Qur’an, As Sunnah, Ijma dan Qiyas.

Salah satu alasan mereka menyempal keluar (kharaja) dari mayoritas kaum muslim (as-sawadul a’zham) karena mereka merasa sebagai yang dimaksud dengan Al Ghuroba atau orang-orang yang asing sebagaimana hadits berikut

Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Abbad dan Ibnu Abu Umar semuanya dari Marwan al-Fazari, Ibnu Abbad berkata, telah menceritakan kepada kami Marwan dari Yazid -yaitu Ibnu Kaisan- dari Abu Hazim dari Abu Hurairah dia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Islam muncul dalam keadaan asing, dan ia akan kembali dalam keadaan asing, maka beruntunglah orang-orang yang terasing.” (HR Muslim 208)

Ghuroba atau “orang-orang yang terasing” dalam hadits tersebut bukanlah mereka yang mengasingkan diri dari para ulama yang sholeh atau mereka yang menyempal dari mayoritas kaum muslim (as-sawadul a’zham)

Hal yang dimaksud dengan ghuroba adalah semakin sedikit kaum muslim yang sholeh diantara mayoritas kaum muslim (as-sawad al a’zham)

Rasulullah shallallahu alaihi wasallam besabda “Orang yang asing, orang-orang yang berbuat kebajikan ketika manusia rusak atau orang-orang shalih di antara banyaknya orang yang buruk, orang yang menyelisihinya lebih banyak dari yang mentaatinya”. (HR. Ahmad)

Dari Abu Hurairah, Rasulullah bersabda “Sesungguhnya Islam itu pada mulanya datang dengan asing dan akan kembali dengan asing lagi seperti pada mulanya datang. Maka berbahagialah bagi orang-orang yang asing”. Beliau ditanya, “Ya Rasulullah, siapakah orang-orang yang asing itu ?”. Beliau bersabda, “Mereka yang memperbaiki dikala rusaknya manusia”. [HR. Ibnu Majah dan Thabrani]

Pada akhir zaman salah satu tandanya adalah semakin sulit ditemukan muslim yang sholeh

Dari Ummul Mukminin Zainab binti Jahsy (isteri Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam), beliau berkata:” (Pada suatu hari) Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam masuk ke dalam rumahnya dengan keadaan cemas sambil bersabda, “La ilaha illallah, celaka (binasa) bangsa Arab dari kejahatan (malapetaka) yang sudah hampir menimpa mereka. Pada hari ini telah terbuka bagian dinding Ya’juj dan Ma’juj seperti ini”, dan Baginda menemukan ujung ibu jari dengan ujung jari yang sebelahnya (jari telunjuk) yang dengan itu mengisyaratkan seperti bulatan. Saya (Zainab binti Jahsy) lalu bertanya, Ya Rasulullah! Apakah kami akan binasa, sedangkan di kalangan kami masih ada orang-orang yang shaleh?” Lalu Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda, Ya, jikalau kejahatan sudah terlalu banyak.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Mereka menyempal keluar (kharaja) dari mayoritas kaum muslim (as-sawadul a’zham) salah satunya dikarenakan salah memahami firman Allah ta’ala yang artinya “Dan jika kamu menuruti kebanyakan orang-orang yang di muka bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah. Mereka tidak lain hanyalah mengikuti persangkaan belaka, dan mereka tidak lain hanyalah berdusta (terhadap Allah)” (QS Al An’aam [6]:116)

Yang dimaksud “menuruti kebanyakan orang-orang yang di muka bumi” adalah menuruti kaum musyrik. Hal ini dapat kita ketahui dengan memperhatikan ayat-ayat sebelumnya pada surat tersebut.

Mereka menyempal keluar (kharaja) dari mayoritas kaum muslim (as-sawadul a’zham) karena menuhankan pendapat (kaum) mereka sendiri (istibdad bir ro’yi) sehingga merasa (kaum) mereka pasti masuk surga

Sayyidina Umar ra menasehatkan “Yang paling aku khawatirkan dari kalian adalah bangga terhadap pendapatnya sendiri. Ketahuilah orang yang mengakui sebagai orang cerdas sebenarnya adalah orang yang sangat bodoh. Orang yang mengatakan bahwa dirinya pasti masuk surga, dia akan masuk neraka“

Salah satu ciri khas atau alasan utama dari mereka yang menyempal keluar (kharaja) dari mayoritas kaum muslim (as-sawadul a’zham) adalah karena beranggapan mayoritas kaum muslim telah rusak atau mereka beranggapan lebih suci, lebih benar daripada mayoritas kaum muslim (as-sawadul a’zham)

Telah menceritakan kepada kami ‘Abdullah bin Maslamah bin Qa’nab; Telah menceritakan kepada kami Hammad bin Salamah dari Suhail bin Abu Shalih dari Bapaknya dari Abu Hurairah dia berkata; Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: Demikian juga diriwayatkan dari jalur lainnya, Dan telah menceritakan kepada kami Yahya bin Yahya dia berkata; Aku membaca Hadits Malik dari Suhail bin Abu Shalih dari Bapaknya dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: Apabila ada seseorang yang berkata; ‘Celakalah (rusaklah) manusia’, maka sebenarnya ia sendiri yang lebih celaka (rusak) dari mereka. (HR Muslim 4755)


Wassalam




Zon di Jonggol, Kabupaten Bogor 16830
Baca Selengkapnya >>

1135 ; JENAZAH WANITA YANG HAMIL

PERTANYAAN

Nunu Nurul Qomariyah

Assalamu'alaikum sahabat Huda,
mungkin sudah pernah di bahas,
saya ingin bertanya,
seorang perempuan hamil sudah menginjak 9 bulan,
dan dia meninggal,
pertanyaanya apakah bayi yang ada di dalam kandungannya harus di keluarkan dulu atau tidak ?

JAWABAN

Rampak Naung

waalaikum salam. kalau ada tanda2 hidup wajib. Kalau tidak ada tanda2 hidup haram. Refrensi dibawah ini.


>> Ghufron Bkl:
kalau bayinya ada tanda2 kehidupan dan di harapkan hidup maka harus di bedah dan bila tidak dapat di harapkan hidup maka ibuay harus di kubur setelah bayinya mati.i

anah 2/122 dan bughyah 95

http://www.piss-ktb.com/2012/02/556-jenazah-meninggalnya-wanita-yang.html?m=1

Opick Syahreza

wa,alaikum salam. ,

kalau menurut imam hanafi wajib di keluarkan ,tapi law menurut imam syafii belum ada nash

(ALHAWI KABIR)

ﻓَﺼْﻞٌ : ﺍﻟْﻘَﻮْﻝُ ﻓِﻲ ﺍﺳْﺘِﺨْﺮَﺍﺝِ ﺍﻟْﺠَﻨِﻴﻦِ ﻣِﻦْ ﺑَﻄْﻦِ ﺃُﻣِّﻪِ ﻭَﻫِﻲَ ﻣَﻴِّﺘَﺔٌ ﺇِﺫَﺍ ﻣَﺎﺗَﺖِ ﺍﻣْﺮَﺃَﺓٌ ﻭَﻓِﻲ ﺟَﻮْﻓِﻬَﺎ ﻭَﻟَﺪٌ ﺣَﻲٌّ ، ﻓَﻠَﻴْﺲَ ﻟِﻠﺸَّﺎﻓِﻌِﻲِّ ﻓِﻴﻪِ ﻧَﺺٌّ ، ﻟَﻜِﻦْ ﻗَﺎﻝَ ﺃَﺑُﻮ ﺍﻟْﻌَﺒَّﺎﺱِ ﺑْﻦُ ﺳُﺮَﻳْﺞٍ ﻭَﻫُﻮَ ﻗَﻮْﻝُ ﺃَﺑِﻲ ﺣَﻨِﻴﻔَﺔَ ﻭَﺃَﻛْﺜَﺮِ ﺍﻟْﻔُﻘَﻬَﺎﺀِ : ﻳُﺨْﺮَﺝُ ﺟَﻮْﻓُﻬَﺎ ﻭَﻳُﺨْﺮَﺝُ ﻭَﻟَﺪُﻫَﺎ ؛ ﻟِﺄَﻥَّ ﺣُﺮْﻣَﺔَ ﺍﻟْﺤَﻲِّ ﺃَﻭْﻛَﺪُ ﻣِﻦْ ﺣُﺮْﻣَﺔِ ﺍﻟْﻤَﻴِّﺖِ

FOKUS:
ﺇِﺫَﺍ ﻣَﺎﺗَﺖِ ﺍﻣْﺮَﺃَﺓٌ ﻭَﻓِﻲ ﺟَﻮْﻓِﻬَﺎ ﻭَﻟَﺪٌ ﺣَﻲٌّ ، ﻓَﻠَﻴْﺲَ ﻟِﻠﺸَّﺎﻓِﻌِﻲِّ ﻓِﻴﻪِ ﻧَﺺٌّ ، ﻟَﻜِﻦْ ﻗَﺎﻝَ ﺃَﺑُﻮ ﺍﻟْﻌَﺒَّﺎﺱِ ﺑْﻦُ ﺳُﺮَﻳْﺞٍ ﻭَﻫُﻮَ ﻗَﻮْﻝُ ﺃَﺑِﻲ ﺣَﻨِﻴﻔَﺔَ ﻭَﺃَﻛْﺜَﺮِ ﺍﻟْﻔُﻘَﻬَﺎﺀِ : ﻳُﺨْﺮَﺝُ ﺟَﻮْﻓُﻬَﺎ ﻭَﻳُﺨْﺮَﺝُ ﻭَﻟَﺪُﻫَﺎ ؛ ﻟِﺄَﻥَّ ﺣُﺮْﻣَﺔَ ﺍﻟْﺤَﻲِّ ﺃَﻭْﻛَﺪُ ﻣِﻦْ ﺣُﺮْﻣَﺔِ ﺍﻟْﻤَﻴِّﺖِ .

bila perempuan meninggal perutnya ada anak yg hidup, dalam mdadhab syafii tdk ada nas. tapi ibnu abas bin suroij berkata madhab hanafi wajib di belah dan di keluarkan, krna menghrmati org hidup lebih muakad dari pada orang mati.



Kakek Jhøsy

 Wa'alaikum salam wr wb

idem
Wajib hukumnya membedahkan mayat bila mengandung janin yang masih hidup. Karena janin tersebut tidak berdaya untuk menyelamatkan dirinya, maka orang hiduplah yang berkewajiban untuk menolongnya meskipun dengan melalui pembedahan mayat

المجموع - محيى الدين النووي - ج ٥ - الصفحة ٢٦٧
وإن ماتت امرأة وفي جوفها جنين حي شق جوفها لأنه استبقاء حي بإتلاف جزء من الميت فأشبه إذا اضطر إلى أكل جزء من الميت

***************
و) وقال ابن حزم في المحلي لابن حزم (5/166 – 167.....إلخ
مسألة: ولو ماتت امرأة حامل والولد حي يتحرك قد تجاوز ستة أشهر فإنه يشق بطنها طولا ويخرج الولد لقول الله تعالى: (ومن أحياها فكأنما أحيا الناس جميعا) }المائدة: 32{، ومن تركه عمدا حتى يموت فهو قاتل نفس بلا معنى لقول أحمد رحمه الله: تدخل القابلة يدها فتخرجه، لوجهين: أحدهما: أنه محال لا يمكن ولو فعل ذلك لمات الجنين بيقين قبل أن يخرج، ولولا دفع الطبيعة المخلوقة المقدرة له وجُرَّ ليخرج لهلك بلا شك، والثاني: أن مس فرجها لغير ضرورة حرام. اهـ


link dokumen :

https://www.facebook.com/notes/huda-sarungan-humor-dan-dawah-sarana-untuk-ngaji/1135-jenazah-wanita-yang-hamil/665911766766898
Baca Selengkapnya >>

1134 : AMALAN AGAR TIDAK LUPA HAFALAN AL -QUR'AN

AMALAN AGAR TIDAK LUPA HAFALAN AL-QUR'AN

Rasulullah mengajarkan suatu amalan kepada Sayyidina Ali agar hafalan qur'annya tidak hilang, yaitu:

- Mengerjakan sholat sunat 4 roka'at pada malam jum'at

- Pada roka'at pertama membaca surat Al-Fatihah dan surat Yasin

- Pada roka'at kedua membaca surat Al-Fatihah dan "Hamiim Dukhon" (surat Ad-Dukhon)

- Pada roka'at ketiga membaca surat Al-Fatihah dan "Alif Lam Mim Sajdah (surat As-Sajdah).

- Pada roka'at keempat membaca surat Al-Fatihah dan Tabarok (Al-Mulk).

- Seusai tahiyat, memuji Allah, membaca sholawat, meminta ampun bagi kaum muslimin, lalu membaca do'a berikut ini:

اللَّهُمَّ ارْحَمْنِىْ بِتَرْكِ الْمَعَاصِىْ أَبَدًا مَا أَبْقَيْتَنِىْ، وَارْحَمْنِىْ مِنْ أَنْ أَتَكَلَّفَ مَا لَا يَعْنِيْنِىْ، وَارْزُقْنِىْ حُسْنَ النَّظَرِ فِيمَا يُرْضِيكَ عَنِّىْ، اللَّهُمَّ بَدِيعُ السّمََوَاتِ وَالْأرْضِ ذَا الْجَلاَلِ وَالْإكْرَامِ، وَالْعِزَّةِ التى لَا تُرَامُ، أَسْأَلُكَ يا اللَّهُ يا رَحْمَنُ بِجَلاَلِكَ وَنُورِ وَجْهِكَ، أَنْ تَلْزَمَ قَلْبِىْ حُبَّ كِتَابِكَ كَمَا عَلَّمْتَنِىْ، وَارْزُقْنِىْ أَنْ أَتْلُوَهُ عَلَى النَّحْوِ الَّذِي يُرْضِيكَ عَنِّىْ، وَأَسْأَلُكَ أَنَّ تُنَوِّرَ بِالْكِتَابِ بَصَرِىْ، وَتُطْلِقَ بِهِ لِسَانِىْ، وَتُفَرِّجَ بِهِ عَنْ قَلْبِىْ، وَتُشَرِّحَ بِهِ صَدْرِىْ، وَتَسْتَعْمِلَ بِهِ بَدَنِىْ، وَتُقَوِّينَِيْ عَلَى ذَلِكَ وَتُعِيْنَنِيْ عَلَيْهِ، فَإِنَّه لَا يُعِيْنُنِيْ عَلَى الْخَيْرِ غيرُكَ، وَلَا مُوَفِّقَ لَهُ إلّا أَنْتَ

( Sumber: Fadho'ilul Qur'an Li Ibnu Katsir )

link dokumen :  https://www.facebook.com/notes/huda-sarungan-humor-dan-dawah-sarana-untuk-ngaji/1134-amalan-agartidak-lupa-hafalan-al-quran/665907736767301
Baca Selengkapnya >>

Minggu, 20 Oktober 2013

1133 : SHOLAT MEMAKAI SEPATU

PERTANYAAN

assalamu alaikum ma'had huda mau tanya sibodoh ini tentang solat pake sepatu.apa memang ada solat khauf itu.gmn caranya?

JAWABAN

Ibnu Hasyim Alwi

wa'alaikum salam

Pakai sepatu ketika sholat maka sholatnya tetap SAH selama sepatu yang di pakai tidak mutanajjis dan juga karena anggota sujud yang wajib terbuka hanya dahi sedangkan kedua telapak tangan dan kedua ujung telapak kaki tidak harus terbuka Bahkan kedua lutut harus tertutup karena lutut itu aurat.
ﻭﻟﺨﺑﺮ ﺍﻟﺷﻴﺨﺎﻥ : ﺃﻤﺮﺖ ﺃﻥ ﺃﺴﺠﺪ ﻋﻟﻰ ﺴﺑﻌﺔ ﺃﻋﻆﻡ ﺍﻟﺠﺑﻬﺔ ﻮﺍﻟﻴﺩﻴﻦ ﻮﺍﻟﺮﻜﺑﺘﻴﻦ ﻮﺃﻄﺮﺍﻑ ﺍﻟﻗﺪﻤﻴﻦ ﻮﻻ ﻴﺠﺐ ﻜﺸﻔﻬﺎ ﺑﻞ ﻴﻜﺮﻩ ﻜﺸﻒ ﺍﻟﺮﻜﺑﺗﻴﻦ ﻛﻤﺎ ﻧﺺ ﻋﻟﻴﻪ ﺍﻷﻡ
Al Iqna' : I/117



ﺍﻟﻤﻮﺳﻮﻋﺔ ﺍﻟﺸﺎﻣﻠﺔ - ﻣﺘﻦ ﺃﺑﻲ ﺷﺠﺎﻉ 1/41 :

ﻓﺼﻞ ﻓﻲ ﺍﻟﻤﺴﺢ ﻋﻠﻰ ﺍﻟﺨﻔﻴﻦ

ﻭﺍﻟﻤﺴﺢ ﻋﻠﻰ ﺍﻟﺨﻔﻴﻦ ﺟﺎﺋﺰ ﺑﺜﻼﺛﺔ ﺷﺮﺍﺋﻂ :

ﺃﻥ ﻳﺒﺘﺪﺉ ﻟﺒﺴﻬﻤﺎ ﺑﻌﺪ ﻛﻤﺎﻝ ﺍﻟﻄﻬﺎﺭﺓ ﻭﺃﻥ ﻳﻜﻮﻧﺎ ﺳﺎﺗﺮﻳﻦ ﻟﻤﺤﻞ ﻏﺴﻞ ﺍﻟﻔﺮﺽ ﻣﻦ ﺍﻟﻘﺪﻣﻴﻦ ﻭﺃﻥ ﻳﻜﻮﻧﺎ ﻣﻤﺎ ﻳﻤﻜﻦ ﺗﺘﺎﺑﻊ ﺍﻟﻤﺸﻲ ﻋﻠﻴﻬﻤﺎ

ﻭﻳﻤﺴﺢ ﺍﻟﻤﻘﻴﻢ ﻳﻮﻣﺎ ﻭﻟﻴﻠﺔ ﻭﺍﻟﻤﺴﺎﻓﺮ ﺛﻼﺛﺔ ﺃﻳﺎﻡ ﺑﻠﻴﺎﻟﻴﻬﻦ ﻭﺍﺑﺘﺪﺍﺀ ﺍﻟﻤﺪﺓ ﻣﻦ ﺣﻴﻦ ﻳﺤﺪﺙ ﺑﻌﺪ ﻟﺒﺲ ﺍﻟﺨﻔﻴﻦ ﻓﺈﻥ ﻣﺴﺢ ﻓﻲ ﺍﻟﺤﻀﺮ ﺛﻢ ﺳﺎﻓﺮ ﺃﻭ ﻣﺴﺢ ﻓﻲ ﺍﻟﺴﻔﺮ ﺛﻢ ﺃﻗﺎﻡ ﺃﺗﻢ ﻣﺴﺢ ﻣﻘﻴﻢ

ﻭﻳﺒﻄﻞ ﺍﻟﻤﺴﺢ ﺑﺜﻼﺛﺔ ﺃﺷﻴﺎﺀ : ﺑﺨﻠﻌﻬﻤﺎ ﻭﺍﻧﻘﻀﺎﺀ ﺍﻟﻤﺪﺓ ﻭﻣﺎ ﻳﻮﺟﺐ ﺍﻟﻐﺴﻞ

Fasal Menerangkan Tentang Mengusap Khuff (muzah)

Mengusap khuff (muzah) itu boleh dg tiga syarat :

(1). Memakai khuff setelah suci dari hadats kecil dan hadats besar.

(2) Khuff menutupi anggota yg wajib dibasuh (kedua telapak kaki sampai mata kaki).

(3). Khuff dapat dipakai untuk berjalan (tahan dan kuat).

Orang yg mukim dapat mengusap khuff selama satu hari satu malam (24 jam). Sedangkan musafir (boleh mengusap khuff) selama tiga hari tiga malam. Masanya terhitung dari saat hadats (kecil) setelah memakai khuff. Lantas apabila seseorang memakai khuff di rumah kemudian ia bepergian atau ia mengusap khuff di perjalanan kemudian ia mukim (sebelum melewati masa 24 jam), maka hendaknya ia menyempurnakannya sebagaimana orang yg mukim dalam mengusap khuff.

Mengusap khuff batal oleh tiga hal : (a). Melapasnya (b). Habisnya masa (c). Datangnya hal-hal yg mewajibkan mandi besar.
______________

CATATAN :

1. Mengusap khuff dilakukan sebagai ganti dari membasuh kaki saat berwudhu` karena itu waktu pengusapan adalah saat giliran membasuh kaki saat wudhu`.

2. Caranya adalah mengusapkan air (tanpa mengalirkan) ke bagian atas khuff atau punggung kaki (kebalikan telapak kaki) tanpa melepas khuff.

3. Khuff (muzah) adalah jenis sepatu yg terbuat dari kulit. Bentuknya seperti kaos kaki.

4. Meskipun diperbolehkan mengusap khuff sebagai ganti membasuh kaki namun yg lebih utama adalah membasuh kaki
 
LINK DOKUMEN :
 
 https://www.facebook.com/notes/huda-sarungan-humor-dan-dawah-sarana-untuk-ngaji/1133-sholat-memakai-sepatu/664064516951623
Baca Selengkapnya >>

1132 : HUKUM MENCUKUR BULU KETIAK

PERTANYAAN 

Aulia Ziawan

Assalamu'alaikum
maaf mau tanya
apakah hukum mencukur bulu ketiak dan kemaluan?trmksh
Wassalam

JAWABAN

Ibnu Hasyim Alwi

Wa alaikum salam


MEN-KERIK (MENGHABISKAN) BULU KEMALUAN & MENCUKUR KUMIS & MEMOTONG KUKU & MENCABUT BULU KETIAK... HUKUMNYA ADALAH SUNNAH.
-> mencukur bulu kemaluan caranya bagi lelaki : dengan mencukur habis, dan bagi wanita dengan mencabuti bulu kemaluannya.
bulu kemaluan adalah : yang tumbuh di sekitar kemaluan depan dan kemaluan belakang.
-> kesunnahannya adalah setiap 40 hari sekali,, akan tetapi bagi yang sudah lebat bulunya / panjang kukunya sebelum 40 hari disunnahkannya pula baginya untuk menghilangkannya,, yang INTI nya kesunnahan mencukur berbeda-beda bagi setiap orang.
-> bulu ketiak boleh di cukur oleh orang lain yang termasuk mahromnya,, akan tetapi bulu kemaluan tidak boleh di cukur oleh orang lain walaupun mahrom nya sendiri (kecuali ada hubungan suami istri, akan tetapi makruh hukumnya bagi suami / istri saling melihat kemaluan satu sama lain).
-> keutamaan mencabut bulu ketiak adalah bagi yang kuat, karena mungkin sudah terbiasa atau mungkin dia tahan sakit.
-> mendapatkan kesunnahan menghilangkan bulu ketiak tidak harus dengan mencabutinya, dengan mencukurnya pun sudah mendapatkan kesunnahannya.
-> disunnahakan mendahulukan ketiak bagian kanan ketika menghilangkan bulunya.
Referensi Kitab :
حدثنا قُتَيْبَةُ ، حدثنا جعفربنُ سُلَيْمَان َ ، عن أَبي عِمْرَانَ الْجَوْنِي ِّ ، عن أَنَسِ بنِ مَالِكٍ ، قَالَ: «وُقِّتَ لَنَا رسول الله في قصِّ الشَّارِبِ وَتَقْلِيم ِ الأَظْفَار ِ وَحَلْقِ الْعَانَةِ وَنَتْفِ الإِبِطِ أَنْ لاَ نَتْرُكَ أَكْثَرَ مِنْ أَرْبَعِين َ يَوْماً» .
"Bercerita pada kami Qutaibah, Bercerita pada kami Ja’far bin Sulaiman,Bercerita pada kami Abi Imram al-Juwainy , Bercerita pada kami Anas Bin Maalik ra, ia berkata, berkata padaku Rasulullah SAW “kami memberi batas waktu dalam mencukur kumis, memotong kuku, membersihkan bulu ketiak dan mencukur bulu kemaluan agar tidak ditinggalkan lebih dari batas waktu 40 hari” (HR. Muslim).

> Mughnil Muhtaj :
وأن يحلق العانة ويقلم الظفر وينتف الإبط، ويجوز حلق الإبط ونتف العانة ويكون آتياً بأصلالسنة. قال المصنف في تهذيبه: والسنة في الرجل حلق العانة، وفي المرأة نتفها والخنثى مثلـها كما بحثه شيخنا. والعانة الشعر النابت حول الفرج والدبر
"Dan hendaknya dicukur bulu kemaluan, dipotong kuku, dicabuti bulu ketiak dan boleh bila bulu ketiak dicukur, bulu kemaluan dicabuti dan yang demikian justru lebih sesuai asal kesunahan. Pengarang berkata dalam kitab at-Tahdzib “Yang disunahkan bagi pria mencukur bulu kemaluan,bagi wanita mencabutinya, bagi banci seperti wanita seperti yang telah dibahas oleh guru kami”.‘Aanah adalah bulu yang tumbuh disekitar kemaluan dan dubur.

> Fatawi Ibnu Hajar al Haitami :
وَمِنْ ثَمَّ قَالَ الأَئِمَّة ُ فِي حَلْقِ الْعَانَةِ وَالإِبْطِ وَالْقَلْم ِ وَقَصِّ الشَّارِبِ : (أَنَّ ذَلِكَ لا يَتَقَيَّد ُ بِمُدَّةٍ بَلْ يَخْتَلِفُ بِاخْتِلاف ِ الأَبَدَان ِ وَالْمَحَا لِّ فَيُعْتَبَ رُ وَقْتُ الْحَاجَةِ إلَى إزَالَةِ ذَلِكَ فِي حَقِّ كُلِّ أَحَدٍ بِمَا يُنَاسِبُه ُ
"Karenanya para imam-imam (tokoh-tokoh ulama) berkata dalam hal mencukur bulu kemaluan, ketiak, memotong kuku dan kumis “Yang demikian tidak dibatasi dengan masa namun akan berbeda masanya di masing-masing tubuh seseorang dan kondisinya , maka yang menjadi pertimbangan dalam kesunahannya adalah waktu yang sesuai saat dibutuhkan menghilangkannya pagi setiap personal individu seseorang” .

> Fathul Bari :
ويفترق الحكم في نتف الإبط وحلق العانة أيضاً بأن نتف الإبط وحلقه يجوز أن يتعاطاه الأجنبي،بخلاف حلق العانة فيحرمإلا في حق من يباح له المس والنظر كالزوج والزوجة
"Dan dibedakan hukum dalam mencabuti bulu ketiak dengan mencukur bulu kemaluan yakni bahwa mencabut dan mencukur bulu ketiak boleh dilakukan orang lain berbeda dengan mencukur bulu kemaluan maka haram dilakukan orang lain kecuali bagi orang yang punya hak diperboleh kan memegang serta melihatnya seperti sepasang suami istri.

> Syarah Nawawi 'ala shahih muslim
أما نتف الإبط فسنة بالاتفاق والأفضل فيه النتف لمن قوي عليه ويحصل أيضاً بالحلق وبالنورة. وحكي عن يونسبن عبد الأعلى قال: دخلتعلى الشافعي رحمه الله وعنده المزين يحلق إبطه فقال الشافعي: علمت أن السنة النتف ولكن لا أقوى على الوجع. ويستحب أن يبدأ بالإبط الأيمن
"Sedang dalam mencabuti bulu ketiak maka sunnah hukumnya atas kesepakatan ulama, yang utama mencabutinya bagi orang yang kuat (menahan sakitnya) dan kesunahannya juga sudah diperoleh dengan dicukur dan (dihilangkan memakai) kapur.
Dihikayahkan dari Yunus Bin Abd al-A’laa “aku mendatangi as-Syafi’i dan didekatnya al-Muziin yang sedang mencukur bulu ketiaknya, as-Syafi’i berkata “Aku tahu bahwa yang sunnah mencabutinya namun aku tidak kuat sakit”.Dan disunahkan memulai dengan bulu ketiak bagian kanan. wallahu a'lam.


LINK DOKUMEN : 

 https://www.facebook.com/notes/huda-sarungan-humor-dan-dawah-sarana-untuk-ngaji/1132-hukum-mencukur-bulu-ketiak/664056786952396
Baca Selengkapnya >>

1131 : Orang yang bermasalah

Orang yang bermasalah


Orang yang bermasalah sehingga menimbulkan permasalahan dalam dunia Islam salah satunya adalah mereka yang merasa kembali kepada Al Qur'an dan As Sunnah atau mereka yang merasa mengikuti manhaj salaf atau mereka yang merasa mengikuti Salaful Ummah (generasi terbaik) namun pada kenyataannya mereka mengikutinya dengan cara mengikuti apa yang dipahami oleh ulama Najed yakni Muhammad bin Abdul Wahhab sebagaimana informasi dari situs resmi mereka seperti pada http://www.saudiembassy.net/about/country-information/Islam/saudi_arabia_Islam_heartland.aspx di mana terlihat jelas kebanggaan mereka sebagai ulama Najed. Berikut kutipannya,

“In the 18th century, a religious scholar of the central Najd, Muhammad bin Abdul Wahhab, joined forces with Muhammad bin Saud, the ruler of the town of Diriyah, to bring the Najd and the rest of Arabia back to the original and undefiled form of Islam”.

Ulama Najed mengingatkan kita kepada penduduk Najed yang mempunyai keunikan tersendiri karena mereka disebutkan dalam beberapa hadits untuk kita ambil hikmah atau pelajaran sebagaimana yang telah disampaikan dalam tulisan pada http://mutiarazuhud.wordpress.com/2013/08/29/mengenal-najed

Pada awalnya sanad guru (sanad ilmu) Muhammad bin Abdul Wahhab terjaga dengan bertalaqqi (mengaji) pada ulama yang mengikuti Imam Mazhab yang empat namun pada akhirnya Muhammad bin Abdul Wahhab mengikuti pola pemahaman Ibnu Taimiyyah yakni memahami Al Qur’an dan As Sunnah bersandarkan mutholaah (menelaah kitab) secara otodidak (shahafi) dengan akal pikirannya sendiri sebagaimana informasi dari kalangan mereka sendiri yang menyebut Muhammad bin Abdul Wahhab sebagai imam seperti pada http://rizqicahya.wordpress.com/tag/imam-muhammad-bin-abdul-wahhab-bag-ke-1/

***** awal kutipan *****
Lengkaplah sudah ilmu yang diperlukan oleh seorang yangpintar yang kemudian dikembangkan sendiri melalui metode otodidak (belajar sendiri) sebagaimana lazimnya para ulama besar Islam mengembangkan ilmu-ilmunya. Di mana bimbingan guru hanyalah sebagai modal dasar yang selanjutnya untuk dapat dikembangkan dan digali sendiri oleh yang bersangkutan
***** akhir kutipan *****

Begitupula dari biografi Ibnu Taimiyyah pun kita mengetahui bahwa beliau termasuk orang-orang yang memahami Al Qur’an dan as Sunnah bersandarkan mutholaah (menelaah kitab) secara otodidak (shahafi) dengan akal pikiran sendiri seperti contoh informasi dari http://zakiaassyifa.wordpress.com/2011/05/10/biografi-tokoh-islam/

***** awal kutipan ******
Ibn Taimiyyah juga seorang otodidak yang serius. Bahkan keluasan wawasan dan ketajaman analisisnya lebih terbentuk oleh berbagai literatur yang dia baca dan dia teliti sendiri.
***** akhir kutipan ******

Contoh yang lain seperti Al Albani , ahli hadits dalam arti ahli membaca hadits bukan ahli hadits dalam arti menerima hadits dari ahli hadits sebelumnya.

Al Albani sangat terkenal sebagai ulama yang banyak menghabiskan waktunya untuk membaca hadits di balik perpustakaan sebagaimana contoh informasi pada http://id.wikipedia.org/wiki/Muhammad_Nashiruddin_Al-Albani

**** awal kutipan *****
Semakin terpikatnya Syaikh al-Albani terhadap hadits Nabi, itulah kata yang tepat baginya. Bahkan hingga toko reparasi jamnya pun memiliki dua fungsi, sebagai tempat mencari nafkah dan tempat belajar, dikarenakan bagian belakang toko itu sudah diubahnya sedemikian rupa menjadi perpustakaan pribadi. Bahkan waktunya mencari nafkah pun tak ada apa-apanya bila dibandingkan dengan waktunya untuk belajar, yang pada saat-saat tertentu hingga (total) 18 jam dalam sehari untuk belajar, di luar waktu-waktu salat dan aktivitas lainnya (Asy Syariah Vol. VII/No. 77/1432/2011 hal. 12, Qomar Suaidi, Lc)

Syaikh al-Albani pun secara rutin mengunjungi perpustakaan azh-Zhahiriyyah di Damaskus untuk membaca buku-buku yang tak biasanya didapatinya di toko buku. Dan perpustakaan pun menjadi laboratorium umum baginya, waktu 6-8 jam bisa habis di perpustakaan itu, hanya keluar di waktu-waktu salat, bahkan untuk makan pun sudah disiapkannya dari rumah berupa makanan-makanan ringan untuk dinikmatinya selama di perpustakaan
***** akhir kutipan *****

Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda,“Barangsiapa menguraikan Al Qur’an dengan akal pikirannya sendiri dan merasa benar, maka sesungguhnya dia telah berbuat kesalahan”. (HR. Ahmad)

Apakah orang yang otodidak dari kitab-kitab hadits layak disebut ahli hadits ?

Syaikh Nashir al-Asad menjawab pertanyaan ini: “Orang yang hanya mengambil ilmu melalui kitab saja tanpa memperlihatkannya kepada ulama dan tanpa berjumpa dalam majlis-majlis ulama, maka ia telah mengarah pada distorsi. Para ulama tidak menganggapnya sebagai ilmu, mereka menyebutnya shahafi atau otodidak, bukan orang alim… Para ulama menilai orang semacam ini sebagai orang yang dlaif (lemah). Ia disebut shahafi yang diambil dari kalimat tashhif, yang artinya adalah seseorang mempelajari ilmu dari kitab tetapi ia tidak mendengar langsung dari para ulama, maka ia melenceng dari kebenaran. Dengan demikian, Sanad dalam riwayat menurut pandangan kami adalah untuk menghindari kesalahan semacam ini” (Mashadir asy-Syi’ri al-Jahili 10)

Orang yang berguru tidak kepada guru tapi kepada buku saja maka ia tidak akan menemui kesalahannya karena buku tidak bisa menegur tapi kalau guru bisa menegur jika ia salah atau jika ia tak faham ia bisa bertanya, tapi kalau buku jika ia tak faham ia hanya terikat dengan pemahaman dirinya sendiri menurut akal pikirannya sendiri.

Sebagaimana yang telah disampaikan dalam tulisan padahttp:// mutiarazuhud.wordpress.com/2013/10/07/masalah-karena-salahpaham/ tentang permasalahan yang dapat timbul karena salah dalam memahami Al Qur’an dan As Sunnah, salah satunya adalah dapat menimbulkan perselisihan dan bahkan kebencian sebagaimana yang telah disampaikan dalam tulisan pada http://mutiarazuhud.wordpress.com/2013/08/19/menimbulkan-kebencian/

Contoh perselisihan dan bahkan kebencian karena masing-masing merasa pasti benar adalah apa yang mereka pertontonkan pada

http://tukpencarialhaq.com/2013/07/14/parodi-rodja-bag-10-beking-dakwah-halabiyun-firanda-adalah-pendusta-besar/
http://tukpencarialhaq.com/2013/08/06/parodi-rodja-13-menjawab-tantangan-dokter-dan-guru-besar-beladiri/
http://mutiarazuhud.wordpress.com/2013/10/08/di-antara-mereka/
http://mutiarazuhud.wordpress.com/2012/11/27/salafi-yamani-dan-haraki/

Rasulullah shallallahu alaihi wasallam juga telah memperingatkan kita bahwa perselisihan timbul dari ulama bangsa Arab sendiri. Maksudnya perselisihan timbul dari orang-orang yang berkemampuan bahasa Arab yang berupaya mengambil hukum-hukum dari Al Qur’an dan As Sunnah dari sudut arti bahasa saja.

Saya (Khudzaifah Ibnul Yaman) bertanya ‘Ya Rasulullah, tolong beritahukanlah kami tentang ciri-ciri mereka!
Nabi menjawab; Mereka adalah seperti kulit kita ini, juga berbicara dengan bahasa kita.
Saya bertanya ‘Lantas apa yang anda perintahkan kepada kami ketika kami menemui hari-hari seperti itu?
Nabi menjawab; Hendaklah kamu selalu bersama jamaah muslimin dan imam mereka!
Aku bertanya; kalau tidak ada jamaah muslimin dan imam bagaimana?
Nabi menjawab; hendaklah kau jauhi seluruh firqah (kelompok-kelompok/ sekte) itu, sekalipun kau gigit akar-akar pohon hingga kematian merenggutmu kamu harus tetap seperti itu. (HR Bukhari)

Berkata Ibnu Hajar rahimahullah dalam Fathul Bari XIII/36:“Yakni dari kaum kita, berbahasa seperti kita dan beragama dengan agama kita. Ini mengisyaratkan bahwa mereka adalah bangsa Arab”.

Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda, “Akan datang pada akhir zaman, orang-orang muda dan berpikiran sempit. Mereka senantiasa berkata baik. Mereka keluar dari agama Islam, sebagaimana anak panah lepas dari busurnya. Mereka mengajak manusia untuk kembali kepada Al-Quran, padahal mereka sama sekali tidak mengamalkannya. Mereka membaca Al-Quran, namun tidak melebihi kerongkongan mereka. Mereka berasal dari bangsa kita (Arab). Mereka berbicara dengan bahasa kita (bahasa Arab). Kalian akan merasa shalat kalian tidak ada apa-apanya dibandingkan shalat mereka, dan puasa kalian tidak ada apa-apanya dibandingkan puasa mereka.”

Perselisihan timbul pada umumnya disebabkan karena sembarangan dalam beristinbat yakni menetapkan sesuatu boleh atau tidak boleh dilakukan atau sesuatu jika ditinggalkan berdosa atau sesuatu jika dikerjakan berdosa bersandarkan mutholaah (menelaah kitab) secara otodidak (shahafi) dengan akal pikiran sendiri.

Pada umumnya orang-orang yang mendalami Al Qur’an dan As Sunnah bersandarkan mutholaah (menelaah kitab) secara otodidak, memahaminya dari sudut arti bahasa dan istilah saja atau dikatakan mereka bermazhab dzahiriyyah yakni berpendapat, berfatwa, beraqidah (beri’tiqod) selalu berpegang pada nash secara dzahir atau makna dzahir sebagaimana yang telah disampaikan dalam tulisan pada http://mutiarazuhud.wordpress.com/2013/07/24/arti-bahasa-saja

Hal yang perlu diketahui bahwa seseorang ketika menyatakan pendapat dengan berdalilkan Kitabullah, sabda Rasulullah atau perkataan para ulama terdahulu maka hal itu termasuk berijtihad

Ketika seseorang menyampaikan dan menjelaskan Kitabullah, sabda Rasulullah maupun perkataan para ulama terdahulu maka hal itu termasuk berijtihad.

Ketika seseorang menetapkan sesuatu boleh atau tidak boleh dilakukan atau sesuatu jika ditinggalkan berdosa atau sesuatu jika dikerjakan berdosa berdasarkan Kitabullah, sabda Rasulullah dan didukung dengan perkataan para ulama terdahulu maka hal itu termasuk beristinbat atau menggali hukum.

Fatwa adalah berijtihad dan beristinbat. Jika seseorang berfatwa tanpa ilmu maka akan sesat dan menyesatkan

Telah menceritakan kepada kami Isma’il bin Abu Uwaisnberkata, telah menceritakan kepadaku Malik dari Hisyam bin ‘Urwah dari bapaknya dari Abdullah bin ‘Amru bin Al ‘Ash berkata; aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: Sesungguhnya Allah tidaklah mencabut ilmu sekaligus mencabutnya dari hamba, akan tetapi Allah mencabut ilmu dengan cara mewafatkan para ulama hingga bila sudah tidak tersisa ulama maka manusia akan mengangkat pemimpin dari kalangan orang-orang bodoh, ketika mereka ditanya mereka berfatwa tanpa ilmu, mereka sesat dan menyesatkan (HR Bukhari 98).

Asy Syaikh Al Imam Abu Abdullah Muhammad Ibnu Hazm~rahimahullah mengatakan

***** awal kutipan *****
“rukun atau pilar penyangga yang paling besar di dalam bab“ijtihad” adalah mengetahui naql. Termasuk di antara faedah ilmu naql ini adalah mengetahui nasikh dan mansukh. Karena untuk memahami pengertian khitab-khitab atau perintah-perintah itu amatlah mudah, yaitu hanya dengan melalui makna lahiriah (makna tersurat / makna dzahir) dari berita-berita yang ada. Demikianpula untuk menanggung bebannya tidaklah begitu sulit pelaksanananya.

Hanya saja yang menjadi kesulitan itu adalah mengetahui bagaimana caranya mengambil kesimpulan hukum-hukum dari makna yang tersirat dibalik nas-nas yang ada. Termasuk di antara penyelidikan yang menyangkut nas-nas tersebut adalah mengetahui kedua perkara tersebut, yaitu makna lahiriah (makna dzahir) dan makna yang tersirat, serta pengertian-pengertian lain yang terkandung didalamnya.

Sehubungan dengan hal yang telah disebutkan di atas, ada sebuah atsar yang bersumber dari Abu Abdur Rahman. ia telah menceritakan bahwa sahabat Ali ra, berjumpa dengan seorang qadi atau hakim, lalu Ali ra bertanya kepadanya “Apakah kamu mengetahui masalah nasikh dan masukh?” Si Qadi tadi menjawab: “Tidak”. Maka Ali ra menegaskan “Kamu adalah orang yang celaka dan mencelakakan”
***** akhir kutipan *****

Contohnya kepada orang Arab yang berprofesi sebagai pedagang yang tentunya berbahasa Arab atau paham bahasa Arab karena mengerti bahasa Arab atau dapat memahami berdasarkan arti bahasa, lalu kita serahkan kitab Al Qur’an dan kitab Hadits lengkap berikut penilaian ke-shahih-annya dari para ahli hadits.

Tentunya pedagang Arab tersebut tidak akan berani berpendapat, berfatwa atau menyampaikan seputar aqidah (i’tiqod) berdasarkan mutholaah (menelaah kitab) secara otodidak (shahafi) dengan akal pikirannya sendiri dengan kemampuan memahami berdasarkan arti bahasa saja.

Dalam memahami Al Qur’an dan Hadits untuk keperluan beristinbat atau menggali hukum atau menetapkan sesuatu boleh atau tidak boleh dilakukan atau sesuatu jika ditinggalkan berdosa atau sesuatu jika dikerjakan berdosa berdasarkan Al Qur’an dan Hadits tidak cukup bermodalkan arti bahasa (lughot) dan istilah (terminologi) saja

Diperlukan ilmu untuk memahami Al Qur’an dan As Sunnah seperti ilmu tata bahasa Arab atau ilmu alat seperti nahwu, sharaf, balaghah (ma’ani, bayan dan badi’) ataupun ilmu fiqih maupun ushul fiqih dan lain lain. Kalau tidak menguasai ilmu untuk memahami Al Qur’an dan As Sunnah maka akan sesat dan menyesatkan.

Syeikh Al Islam Izzuddin bin Abdissalam dalam kitab beliau Qawaid Al Ahkam (2/337-339) sebagaimana diuraikan dalam tulisan pada http://syeikhnawawial-bantani.blogspot.com/2011/12/pembagian-bidah-menurut-imam-izzuddin.html menyatakan bahwa menguasai ilmu tata bahasa Arab atau ilmu alat seperti nahwu, sharaf, balaghah (ma’ani, bayan dan badi’) adalah termasuk bid’ah hasanah dan hukumnya wajib. Bid’ah tersebut hukumnya wajib, karena memelihara syari’at juga hukumnya wajib. Tidak mudah memelihara syari’at terkecuali harus mengetahui tata bahasa Arab. Sebagaimana kaidah ushul fiqih: “Maa laa yatimmul waajibu illa bihi fahuwa wajibun”. Artinya: “Sesuatu yang tidak sempurna kecuali dengannya, maka hukumnya wajib”.

Dalam dialog antara Syaikh al Buthi bersama Al Albani sebagaimana yang telah disampaikan dalam tulisan pada http://mutiarazuhud.wordpress.com/2013/07/06/bidah-yang-gawat/

Al Albani menyampaikan bahwa,

“Sebenarnya manusia itu terbagi menjadi tiga, yaitu muqallid (orang yang taqlid), muttabi’ (orang yang mengikuti) dan mujtahid. Orang yang mampu membandingkan madzhab-madzhab yang ada dan memilih yang lebih dekat pada al-Qur’an adalah muttabi’. Jadi muttabi’ itu derajat tengah, antara taqlid dan ijtihad.”

Berikut kutipan dialognya

****** awal kutipan ******
Ulama Al-Albani menjawab: “Sebenarnya yang diharamkan bagi muqallid itu menetapi satu madzhab dengan keyakinan bahwa Allah memerintahkan demikian.”

Syaikh al-Buthi berkata: “Jawaban Anda ini persoalan lain. Dan memang benar demikian. Akan tetapi, pertanyaan saya, apakah seorang muqallid itu berdosa jika menetapi satu mujtahid saja, padahal ia tahu bahwa Allah tidak mewajibkan demikian?”

Al-Albani menjawab: “Tidak berdosa.”

Syaikh al-Buthi berkata: “Tetapi isi buku yang Anda ajarkan, berbeda dengan yang Anda katakan. Dalam buku tersebut disebutkan, menetapi satu madzhab saja itu hukumnya haram. Bahkan dalam bagian lain buku tersebut, orang yang menetapi satu madzhab saja itu dihukumi kafir.”

Menghadapi pertanyaan tersebut, ulama al-Albani terdiam.
***** akhir kutipan *****

Jadi bagi Al Albani , kaum muslim dilarang menjadi muqallid (orang yang taqlid) dan bagi yang tidak berkompetensi sebagai mujtahid seharusnyalah menjadi muttabi’ (orang yang mengikuti) yakni membandingkan madzhab-madzhab yang ada dan memilih yang lebih dekat pada al-Qur’an dan As Sunnah.

Kalau begitu bagaimana nasib kaum muslim yang tidak mempunyai kemampuan untuk membeli kitab-kitab hadits ataupun tidak mempunyai waktu dan kompetensi untuk membandingkan madzhab-madzhab yang ada dan memilih yang lebih dekat pada al-Qur’an dan As Sunnah ? Apakah mereka akan masuk neraka karena mengerjakan perkara terlarang yakni menjadi muqallid (orang yang taqlid) ?

KH. Muhammad Nuh Addawami menyampaikan,

***** awal kutipan *****
Mengharamkan taqlid dan mewajibkan ijtihad atau ittiba’ dalam arti mengikuti pendapat orang disertai mengetahui dalil-dalilnya terhadap orang awam (yang bukan ahli istidlal) adalah fatwa sesat dan menyesatkan yang akan merusak sendi-sendi kehidupan di dunia ini.

Memajukan dalil fatwa terhadap orang awam sama saja dengan tidak memajukannya. (lihat Hasyiyah ad-Dimyathi ‘ala syarh al- Waraqat hal 23 pada baris ke-12).

Apabila si awam menerima fatwa orang yang mengemukakan dalilnya maka dia sama saja dengan si awam yang menerima fatwa orang yang tidak disertai dalil yang dikemukakan. Dalam artian mereka sama-sama muqallid, sama-sama taqlid dan memerima pendapat orang tanpa mengetahui dalilnya.

Yang disebut muttabi’ “bukan muqallid” dalam istilah ushuliyyin adalah seorang ahli istidlal (mujtahid) yang menerima pendapat orang lain karena dia selaku ahli istidlal dengan segala kemampuannya mengetahui dalil pendapat orang itu.

Adapun orang yang menerima pendapat orang lain tentang suatu fatwa dengan mendengar atau membaca dalil pendapat tersebut padahal sang penerima itu bukan atau belum termasuk ahli istidlal maka dia tidak termasuk muttabi’ yang telah terbebas dari ikatan taqlid.

Pendek kata arti ittiba’ yang sebenarnya dalam istilah ushuliyyin adalah ijtihad seorang mujtahid mengikuti ijtihad mujtahid yang lain.
***** akhir kutipan *****

Jadi muttabi bukanlah sebagaimana yang dikatakan oleh Al Albani sebagai “derajat tengah, antara taqlid dan ijtihad” namun muttabi adalah orang yang mengikuti pendapat orang lain karena dia ahli istidlal.

Sedangkan orang yang menerima atau mengikuti pendapat orang lain walaupun mengetahui dalilnya namun bukan ahli istidal adalah sama-sama muqallid, sama-sama taqlid dan menerima atau mengikuti pendapat orang tanpa mengetahui dalilnya.

Kompetensi sebagai ahli istidlal adalah sebagaimana yang disampaikan KH. Muhammad Nuh Addawami yakni

*****awal kutipan *****
a. Mengetahui dan menguasai bahasa arab sedalam-dalamnya, karena al-quran dan as-sunnah diturunkan Allah dan disampaikan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam dalam bahasa Arab yang fushahah dan balaghah yang bermutu tinggi, pengertiannya luas dan dalam, mengandung hukum yang harus diterima. Yang perlu diketahui dan dikuasainya bukan hanya arti bahasa tetapi juga ilmu-ilmu yang bersangkutan dengan bahasa arab itu seumpama nahwu, sharaf, balaghah (ma’ani, bayan dan badi’).

b. Mengetahui dan menguasai ilmu ushul fiqh, sebab kalau tidak, bagaimana mungkin menggali hukum secara baik dan benar dari al-Quran dan as-Sunnah padahal tidak menguasai sifat lafad-lafad dalam al-Quran dan as-Sunnah itu yang beraneka ragam yang masing-masing mempengaruhi hukum-hukum yang terkandung di dalamnya seperti ada lafadz nash, ada lafadz dlahir, ada lafadz mijmal, ada lafadz bayan, ada lafadz muawwal, ada yang umum, ada yang khusus, ada yang mutlaq, ada yang muqoyyad, ada majaz, ada lafadz kinayah selain lafadz hakikat. ada pula nasikh dan mansukh dan lain sebagainya.

c. Mengetahui dan menguasai dalil ‘aqli penyelaras dalil naqli terutama dalam masalah-masalah yaqiniyah qath’iyah.

d. Mengetahui yang nasikh dan yang mansukh dan mengetahui asbab an-nuzul dan asbab al-wurud, mengetahui yang mutawatir dan yang ahad, baik dalam al-Quran maupun dalam as-Sunnah. Mengetahui yang sahih dan yang lainnya dan mengetahui para rawi as-Sunnah.

e. Mengetahui ilmu-ilmu yang lainnya yang berhubungan dengan tata cara menggali hukum dari al-Quran dan as-Sunnah.

Bagi yang tidak memiliki kemampuan, syarat dan sarana untuk menggali hukum-hukum dari al-Quran dan as-Sunnah dalam masalah-masalah ijtihadiyah padahal dia ingin menerima risalah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam secara utuh dan kaffah, maka tidak ada jalan lain kecuali taqlid kepada mujtahid yang dapat dipertanggungjawabkan kemampuannya.

Diantara para mujtahid yang madzhabnya mudawwan adalah empat imam mujtahid, yaitu:

- Imam Abu Hanifah Nu’man bin Tsabit;
- Imam Malik bin Anas;
- Imam Muhammad bin Idris Asy-Syafi’i ; dan
- Imam Ahmad bin Hanbal.
***** akhir kutipan *****

Oleh karenanya setelah masa kehidupan Imam Madzhab yang empat, para mufti yakni orang yang faqih untuk membuat fatwa selalu merujuk kepada salah satu dari Imam Madzhab yang empat.

Perkataan Al Albani yang terkenal adalah “Aku membandingkan antara pendapat semua imam mujtahid serta dalil-dalil mereka lalu aku ambil yang paling dekat terhadap al-Qur’an dan Sunnah.”

Secara logika, seseorang yang mampu menghakimi pendapat-pendapat Imam Mazhab yang empat dengan barometer al-Qur’an dan As Sunnah, jelas ia lebih berkompetensi atau lebih pandai dari Imam Mazhab yang empat.

Imam Ahmad bin Hanbal yang memiliki kompetensi dalam berijtihad dan beristinbat atau berkompetensi sebagai Imam Mujtahid Mutlak, tentu beliau lebih berhak “menghakimi” Imam Mazhab sebelum beliau. Namun kenyataannya beliau tetap secara independen berijtihad dan beristinbat atas sumber atau bahan yang dimilikinya dengan ilmu yang dikuasainya.

Perbedaan di antara Imam Mazhab yang empat semata-mata dikarenakan terbentuk setelah adanya furu’ (cabang), sementara furu’ tersebut ada disebabkan adanya sifat zanni dalam nash. Oleh sebab itu, pada sisi zanni inilah kebenaran bisa menjadi banyak (relatif), mutaghayirat disebabkan pengaruh bias dalil yang ada. Boleh jadi nash yang digunakan sama, namun cara pengambilan kesimpulannya berbeda.

Jadi perbedaan pendapat di antara Imam Mazhab yang empat tidak dapat dikatakan pendapat yang satu lebih kuat (arjah atau tarjih) dari pendapat yang lainnya atau bahkan yang lebih ekstrim mereka yang mengatakan pendapat yang satu yang benar dan yang lain salah.

Perbedaan pendapat di antara Imam Mazhab yang empat yang dimaksud dengan “perbedaan adalah rahmat”. Sedangkan perbedaan pendapat di antara bukan ahli istidlal adalah kesalahpahaman semata yang dapat menyesatkan orang banyak.

Sementara ada segelintir umat Islam menggabungkan pendapat Imam Mazhab yang empat atau talfiq.

Dalam bahasa Arab, kata talfiq (التَّلْفِيقُ     ) berasal dari kata (لَفَّقَ – يُلَفِّقُ – تَلْفِيقاً     ) yang berarti menggabungkan sesuatu dengan yang lain artinya mereka mengikuti seluruh pendapat Imam Mazhab yang empat.

Kita tidak dapat talfiq dalam arti menghakimi pendapat Imam Mazhab yang empat karena selain kita tidak berkompetensi sebagai Imam Mujtahid Mutlak dan kita pun tidak memiliki sumber-sumber untuk melakukan ijtihad dan istinbat sebagaimana yang dimiliki oleh Imam Mazhab yang empat.

Talfiq dalam arti digunakan dikarenakan situasi dan kondisi tidaklah mengapa. Seperti ikutilah apapun mazhab imam sholat karena diriwayatkan oleh Umamah al Bahiliy dari Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda,”Ikatan-ikatan Islam akan lepas satu demi satu. Apabila lepas satu ikatan, akan diikuti oleh lepasnya ikatan berikutnya. Ikatan islam yang pertama kali lepas adalah pemerintahan (kekhalifahan) dan yang terakhir adalah shalat.” (HR. Ahmad)

Allah ta’ala berfirman yang artinya “Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) dari golongan Muhajirin dan Anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan merekapun ridha kepada Allah dan Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya selama-lamanya. Mereka kekal di dalamnya. Itulah kemenangan yang besar“. (QS at Taubah [9]:100)

Dari firmanNya tersebut dapat kita ketahui bahwa orang-orang yang diridhoi oleh Allah Azza wa Jalla adalah orang-orang yang mengikuti Salafush Sholeh. Sedangkan orang-orang yang mengikuti Salafush Sholeh yang paling awal dan utama adalah Imam Mazhab yang empat.

Memang ada mazhab yang lain selain dari Imam Mazhab yang empat namun pada kenyataannya ulama yang memiliki ilmu riwayah dan dirayah dari Imam Mazhab yang lain sudah sukar ditemukan pada masa kini.

Tentulah kita mengikuti atau taqlid kepada Imam Mazhab yang empat dengan merujuk kepada Al Qur’an dan As Sunnah. Imam Mazhab yang empat patut untuk diikuti oleh kaum muslim karena jumhur ulama telah sepakat dari dahulu sampai sekarang sebagai para ulama yang berkompetensi sebagai Imam Mujtahid Mutlak, pemimpin atau imam ijtihad dan istinbat kaum muslim.

Kelebihan lainnya, Imam Mazhab yang empat adalah masih bertemu dengan Salafush Sholeh.

Contohnya Imam Syafi”i ~rahimahullah adalah imam mazhab yang cukup luas wawasannya karena bertemu atau bertalaqqi (mengaji) langsung kepada Salafush Sholeh dari berbagai tempat, mulai dari tempat tinggal awalnya di Makkah, kemudian pindah ke Madinah, pindah ke Yaman, pindah ke Iraq, pindah ke Persia, kembali lagi ke Makkah, dari sini pindah lagi ke Madinah dan akhirnya ke Mesir. Perlu dimaklumi bahwa perpindahan beliau itu bukanlah untuk berniaga, bukan untuk turis, tetapi untuk mencari ilmu, mencari hadits-hadits, untuk pengetahuan agama. Jadi tidak heran kalau Imam Syafi’i ~rahimahullah lebih banyak mendapatkan hadits dari lisannya Salafush Sholeh, melebihi dari yang didapat oleh Imam Hanafi ~rahimahullah dan Imam Maliki ~rahimahullah

Imam Mazhab yang empat adalah para ulama yang sholeh dari kalangan “orang-orang yang membawa hadits” yakni membawanya dari Salafush Sholeh yang meriwayatkan dan mengikuti sunnah Rasulullah shallallahu alaihi wasallam

Jadi kalau kita ingin ittiba li Rasulullah (mengikuti Rasulullah) atau mengikuti Salafush Sholeh maka kita menemui dan bertalaqqi (mengaji) dengan para ulama yang sholeh dari kalangan “orang-orang yang membawa hadits”.

Para ulama yang sholeh dari kalangan “orang-orang yang membawa hadits” adalah para ulama yang sholeh yang mengikuti salah satu dari Imam Mazhab yang empat.

Para ulama yang sholeh yang mengikuti dari Imam Mazhab yang empat adalah para ulama yang sholeh yang memiliki ketersambungan sanad ilmu (sanad guru) dengan Imam Mazhab yang empat atau para ulama yang sholeh yang memiliki ilmu riwayah dan dirayah dari Imam Mazhab yang empat.

Jadi bermazhab dengan Imam Mazhab yang empat adalah sebuah kebutuhan bagi kaum muslim yang tidak lagi bertemu dengan Rasulullah maupun Salafush Sholeh.

Ustadz Ahmad Sarwat,Lc,.MA dalam tulisan pada http://www.rumahfiqih.com/x.php?id=1357669611&title=adakah-mazhab-salaf.htm mengatakan

***** awal kutipan ****
Ibnu Taimiyah, Ibnul Qayyim dan Ibnu Hazm, kalau dilihat angka tahun lahirnya, mereka juga bukan orang salaf, karena mereka hidup jauh ratusan tahun setelah Rasulullah shallallahu alaihi wasallam wafat. Apalagi Syeikh Bin Baz, Utsaimin dan Al-Albani, mereka bahkan lebih bukan salaf lagi, tetapi malahan orang-orang khalaf yang hidup sezaman dengan kita.

Sayangnya, Ibnu Taymiyah, Ibnul Qayyim, apalagi Bin Baz, Utsaimin termasuk Al-Albani, tak satu pun dari mereka yang punya manhaj, kalau yang kita maksud dengan manhaj itu adalah arti sistem dan metodologi istimbath hukum yang baku. Bahasa mudahnya, mereka tidak pernah menciptakan ilmu ushul fiqih. Jadi mereka cuma bikin fatwa, tetapi tidak ada kaidah, manhaj atau polanya.

Kalau kita ibaratkan komputer, mereka memang banyak menulis file word, tetapi mereka tidak menciptakan sistem operasi. Mereka punya banyak fatwa, mungkin ribuan, tetapi semua itu levelnya cuma fatwa, bukan manhaj apalagi mazhab.

Bukan Salaf Tetapi Dzahihiri

Sebenarnya kalau kita perhatikan metodologi istimbath mereka yang mengaku-ngaku sebagai salaf, sebenarnya metode mereka itu tidak mengacu kepada masa salaf. Kalau dipikir-pikir, metode istimbah yang mereka pakai itu lebih cenderung kepada mazhab Dzhahiriyah. Karena kebanyakan mereka berfatwa hanya dengan menggunakan nash secara Dzhahirnya saja.

Mereka tidak menggunakan metode istimbath hukum yang justru sudah baku, seperti qiyas, mashlahah mursalah, istihsan, istishhab, mafhum dan manthuq. Bahkan dalam banyak kasus, mereka tidak pandai tidak mengerti adanya nash yang sudah dinasakh atau sudah dihapus dengan adanya nash yang lebih baru turunnya.

Mereka juga kurang pandai dalam mengambil metode penggabungan dua dalil atau lebih (thariqatul-jam’i) bila ada dalil-dalil yang sama shahihnya, tetapi secara dzhahir nampak agak bertentangan. Lalu mereka semata-mata cuma pakai pertimbangan mana yang derajat keshahihannya menurut mereka lebih tinggi. Kemudian nash yang sebenarnya shahih, tapi menurut mereka kalah shahih pun dibuang.

Padahal setelah dipelajari lebih dalam, klaim atas keshahihan hadits itu keliru dan kesalahannya sangat fatal. Cuma apa boleh buat, karena fatwanya sudah terlanjur keluar, ngotot bahwa hadits itu tidak shahih. Maka digunakanlah metode menshahihan hadits yang aneh bin ajaib alias keluar dari pakem para ahli hadits sendiri.

Dari metode kritik haditsnya saja sudah bermasalah, apalagi dalam mengistimbath hukumnya. Semua terjadi karena belum apa-apa sudah keluar dari pakem yang sudah ada. Seharusnya, yang namanya ulama itu, belajar dulu yang banyak tentang metode kritik hadits, setelah itu belajar ilmu ushul agar mengeti dan tahu bagaimana cara melakukan istimbath hukum. Lah ini belum punya ilmu yang mumpuni, lalu kok tiba-tiba bilang semua orang salah, yang benar cuma saya seorang.
***** akhir kutipan *****

Orang-orang yang meninggalkan Imam Mazhab yang empat memang sering mengungkapan pendapat seperti “kita harus mengikuti hadits shahih. Bukan mengikuti ulama. Al-Imam Al-Syafi’i sendiri berkata, “Idza shahha al-hadits fahuwa mazhabi (apabila suatu hadits itu shahih, maka hadits itulah mazhabku)”.

Banyak kalangan yang tidak memahami dengan benar perkataan Beliau. Sehingga, jika yang bersangkutan menemukan sebuah hadits shahih yang menurut pemahaman mereka bertentangan dengan pendapat mazhab Syafi’i maka yang bersangkutan langsung menyatakan bahwa pendapat mazhab itu tidak benar, karena Imam Syafi’i sendiri mengatakan bahwa hadits shahih adalah mazhab beliau. Atau ketika seseorang menemukan sebuah hadits yang shahih, yang bersangkutan langsung mengklaim, bahwa ini adalah mazhab Syafi’i.

Imam Al-Nawawi sepakat dengan gurunya ini dan berkata, “(Ucapan Al-Syafi’i) ini hanya untuk orang yang telah mencapai derajat mujtahid madzhab. Syaratnya: ia harus yakin bahwa Al-Syafi’i belum mengetahui hadits itu atau tidak mengetahui (status) kesahihannya. Dan hal ini hanya bisa dilakukan setelah mengkaji semua buku Al-Syafi’i dan buku murid-muridnya. Ini syarat yang sangat berat, dan sedikit sekali orang yang mampu memenuhinya. Mereka mensyaratkan hal ini karena Al-Syafi’i sering kali meninggalkan sebuah hadits yang ia jumpai akibat cacat yang ada di dalamnya, atau mansukh, atau ditakhshish, atau ditakwil, atau sebab-sebab lainnya.”

Al-Nawawi juga mengingatkan ucapan Ibn Khuzaimah, “Aku tidak menemukan sebuah hadits yang sahih namun tidak disebutkan Al-Syafii dalam kitab-kitabnya.” Ia berkata, “Kebesaran Ibn Khuzaimah dan keimamannya dalam hadits dan fiqh, serta penguasaanya akan ucapan-ucapan Al-Syafii, sangat terkenal.” ["Majmu' Syarh Al-Muhadzab" 1/105]

Kajian qoul Imam Syafi’i yang lebih lengkap, silahkan membaca tulisan, contohnya pada http://generasisalaf.wordpress.com/2013/06/15/memahami-qoul-imam-syafii-hadis-sahih-adalah-mazhabku-bag-2/

Perlu kita ingat bahwa hadits yang telah terbukukan dalam kitab-kitab hadits jumlahnya jauh di bawah jumlah hadits yang dikumpulkan dan dihafal oleh Al-Hafidz (minimal 100.000 hadits) dan jauh lebih kecil dari jumlah hadits yang dikumpulkan dan dihafal oleh Al-Hujjah (minimal 300.000 hadits). Sedangkan jumlah hadits yang dikumpulkan dan dihafal oleh Imam Mazhab yang empat, jumlahnya lebih besar dari jumlah hadits yang dikumpulkan dan dihafal oleh Al-Hujjah

Asy-Syeikh Abu Amru mengatakan: ”Barang siapa menemui dari Syafi’i sebuah hadits yang bertentangan dengan mazhab beliau, jika engkau sudah mencapai derajat mujtahid mutlak, dalam bab, atau maslah itu, maka silahkan mengamalkan hal itu“

Penjelasan tentang derajat mujtahid mutlak dan tingkatan mufti dalam madzhab As Syafi’i, silahkan baca tulisan pada http://almanar.wordpress.com/2010/09/21/tingkatan-mufti-madzhab-as-syafi’i/

Al-Imam Al-Amir Muhammad bin Ismail Ash-Shon’ani (Penulis Kitab Subulus Salam syarah Bulughul Marom, Yaman).  Beliau meralat pujiannya kepada Muhammad bin Abdul Wahhab yang sebelumnya dimuat pada Diwan Ash-Shon’ani, hal 128-129, sebagaimana dalam Majmu’atur Rosaail At-Taujihaat Al-Islamiyah Li Ishlahil Fardi wal Mujtama’, 3/239

Gubahan bait-bait Ash Shon’ani ini sangat masyhur dan tersebar kemana-mana. Maklum, Al Allamah Ash Shon’ani dikenal sebagai ulama besar yang zuhud, wara’ dan alim. Karangannya yang amat masyhur adalah Subulus Salam, syarh kitab Bulughul Marom

Setelah qasidah itu tersebar kemana-mana, para ulama menegur Ash-Shon’ani, beliau pun diam mempertimbangkan. Apakah aku telah memuji orang yang salah?

Adalah Syaikh Marbad bin Ahmad At Tamimi, yang atas kehendak Allah menyingkap tabir, datang ke Yaman, bertemu dengan Imam Al Amir Ash shon’ani, dan menjelaskan semua.

Bahkan sebelumnya, juga datang dari najd bernama Syeikh Abdurrahman An Najdi menjelaskan tentang ulama Muhammad bin Abdul Wahhab. Kedatangan dua ulama Nejd ini telah  mengungkapkan kenyataan di hadapan Iman Ash Shon’ani.

Setelah kedatangan Syeikh Marbad At Tamimi, Ash Shon’ani menuturkan :

**** awal kutipan *****
Telah datang kepadaku, seorang alim dari Najd bernama Marbad bin Ahmad At Tamimi. Dia tiba bulan Shofar tahun 1170 H dan tinggal di negeri kami selama 8 bulan. Dia kembali ke negerinya  bulan Syawal tahun 1170 bersama dengan jamaah haji. Dia mengabariku, bahwa bait-bait qasidahku telah disampaikan kepada Muhammad bin Abdul Wahab, namun dia hanya diam tak menjawab

Sebelumnyanya, pernah datang juga kepadaku, Asy Syaikh al Fadhil Abdurrahman An Najdi. Dia bercerita kepadaku tentang Muhammad bin Abdul Wahab banyak hal. Suka menumpahkan darah, perampokan, pembunuhan dan tudingan kafirnya pada umat nabi Muhammad di mana-mana. Aku diam memikirkan apa yang disampaikan Syaikh Abdurrahman, hingga datanglah Marbad at Tamimi membawa beberapa pernyataan Muhammad bin Abdul Wahab

Semua menjadi jelas bagiku, tampaknya Muhammad bin abdul Wahab ini orangnya baru mengenal syari’at baru setengah, tak melihat secara teliti. Tak mau belajar dari orang yang telah berjasa padanya (ayahnya yakni syeikh Abdul Wahab) membimbingnya dan mengajarinya ilmu yang bermanfaat.

Sebaliknya, dia malah mempelajari tulisan Ibnu Taimiyah, Ibnul Qoyyim dan bertaklid buta pada keduanya, padahal mereka berdua tidaklah layak ditaklidi.

Saat telah jelas bagiku tentang pribadi Muhammad bin Abdul Wahab, dan telah kulihat ucapan-ucapannya, bagaimana ketika bait-baitku telah sampai padanya, dia berusaha mengelak dari apa yang kusampaikan, kulihat tanggapannya atas perkataanku, adalah jawaban yang jauh dari keinsafan.
***** akhir kutipan ******

Kemudian ditulisnya qasidah lain sebagai koreksi atas pujiannya dulu, beliau juga menjelasknnya dalam kitabnya berjudul ” Irsyadu Dzawil Albab Ila Haqiqati Aqwali Muhammad bin Abdil Wahab” atau “Mahwul Haubah fi Syarhi Abyatit Taubah”. Kitab ini sangat masyhur di Yaman, hingga para santri ibtida’ pun bila ditanya kitab itu, mereka langsung paham

Dalam kitab itu beliau tulis :

**** awal kutipan *****
“Aku meralat kembali apa yang pernah kutulis untuk Muhammad bin Abdul Wahab an Najdi, benarlah pada dirinya terdapat perbedaan dengan apa yang kuyakini.

Pada mulanya, aku mengira dia baik, andai aku dapat menjumpainya, mengambil nasehatnya yang dapat mencerahkan manusia demi menggapai petunjuk. Ternyata perkiraanku meleset, namun harapanku untuk mendapat kebaikan tak jadi soal, karna dzon pada dasarnya tidak membuahkan petunjuk.

Telah datang padaku, dari Nejd, Syeikh Marbad, beliau jelaskan apa yang sebenarnya terjadi. Dalam berbagai tulisannya, Muhammad bin Abdul Wahab telah dengan sengaja mengkafirkan banyak orang. Dia mencampur-adukkan hujjah-hujjah yang rapuh bagai rumah laba-laba. Dia juga banyak menumpahkan darah muslimin, janjinya pun tak dapat dipegang.

Sungguh, Allah dalam surat Al Bara’ah telah ada perintah untuk berlepas diri dari mereka berikut kekufuran serta pembangkangannya.

Mereka (muslimin) adalah saudara kami, demikian Allah menyebut mereka, dengarkanlah apa yang dikatakan Tuhan Yang Maha Tunggal.

Demikian pula sebaik-baik utusan melarang takfir, mengapa lelaki Najd ini tak jua berhenti.

Tidak, mereka tidaklah kafir, selagi mereka menegakkan sholat

Jelaskanlah padaku, jelaskan..

Mengapa darah mereka kau tumpahkan, apa alasanmu merampok harta mereka dengan sengaja?

Padahal mereka telah terjaga, terlindungi dengan syahadah, tak ada Tuhan selain Allah, Pemilik Keagungan”
**** akhir kutipan *****

Imam Ibn Hajar Al-Haitami dalam kitab Al-FatawaAl-Hadithiyyah menisbahkan kepada Imam Ibn ‘Uyainah, beliau berkata: “Haditsitu menyesatkan kecuali bagi para fuqaha (ahli fiqih)”

Imam Ibn Hajar Al-Haitami dalam kitab tersebut lalu mensyarahkan perkataan itu: “Sesungguhnya hadits-hadits Rasulullah shallallahu alaihiwasallam sama seperti Al-Qur’an dari sudut bahwa keduanya mengandung lafaz umum yang maknanya khusus begitu juga sebaliknya, bahkan ada juga yang mengandungnasikh mansukh yang tidak layak lagi beramal dengannya. Bahkan dalam haditsjuga mengandung lafaz-lafaz yang dzahirnya membawa kepada tasybih sepertihadits yanzilu Rabbuna… yang mana tidak diketahui maknanya melainkan golongan fuqaha’ (ahli fiqh). Berbeda dengan mereka yang sekedar mengetahui apa yang dzahir (makna dzahir) daripada hadits-hadits (khususnya mutasyabihat) sehingga akhirnya dia (yang hanya faham hadits-hadits mutasyabihat dengan makna dzahir) pun sesat seperti yang berlaku pada sebahagian ahli hadits terdahulu dan masa kini seperti Ibnu Taimiyyah dan para pengikutnya.” (Al-Fatawa Al-Hadithiyyah halaman 202)

Imam Ibn Hajar Al-Haitami dalam kitab yang sama pada halaman 116, berkata dengan menukil permasalahan-permasalahan Ibnu Taimiyyah yang menyalahi kesepakatan umat Islam, yaitu : (Ibnu Taimiyyah telah berpendapat) bahwa alam itu bersifat dahulu dengan satu macam, dan selalu makhluk bersama Allah. Ia telah menyandarkan alam dengan Dzat Allah Subhanahu wa Ta’ala bukan dengan perbuatan Allah secara ikhtiar, sungguh Maha Luhur Allah dari penyifatan yang demikian itu. Ibnu Taimiyyah juga berkeyakinan adanya jisim pada Allah Subhanahu wa Ta’ala arah dan perpindahan. Ia juga berkeyakinan bahwa Allah tidak lebih kecil dan tidak lebih besar dari Arsy. Sungguh Allah maha Suci atas kedustaan keji dan buruk ini serta kekufuran yang nyata

Syeikh Ahmad Khatib Al-Minangkabawi, ulama besar Indonesia yang pernah menjadi imam, khatib dan guru besar di Masjidil Haram, sekaligus Mufti Mazhab Syafi’i pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20 menjelaskan dalam kitab-kitab beliau seperti ‘al-Khiththah al-Mardhiyah fi Raddi fi Syubhati man qala Bid’ah at-Talaffuzh bian-Niyah’, ‘Nur al-Syam’at fi Ahkamal-Jum’ah’ bahwa pemahaman Ibnu Taimiyyah dan Ibnu Qoyyim Al Jauziah menyelisihi pemahaman Imam Mazhab yang empat.

Beliau (Syaikh Ibnu Hajar Al-Haitamy) berkata ” Maka berhati-hatilahkamu, jangan kamu dengarkan apa yang ditulis oleh Ibnu Taimiyyah dan muridnya Ibnul Qoyyim Al-Jauziyyah dan selain keduanya dari orang-orang yang telah menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhannya dan Allah telah menyesatkannya dari ilmu serta menutup telinga dan hatinya dan menjdaikan penghalang atas pandangannya. Maka siapakah yang mampu memberi petunjuk atas orang yang telahAllah jauhkan?”. (Al-Fatawa Al-Haditsiyyah : 203)

Para ulama ahlus sunnah terdahulu juga telah membantah pendapat atau pemahaman Ibnu Taimiyyah yang telah banyak menyelisihi pendapat para ulama terdahulu yang mengikuti Imam Mazhab yang empat sebagaimana contohnya termuat pada http://mutiarazuhud.files.wordpress.com/2010/02/ahlussunnahbantahtaimiyah.pdf atau  pada http://mutiarazuhud.wordpress.com/2013/01/07/kontrofersi-paham-taimiyah/

Sebagaimana tulisan pada http://mutiarazuhud.wordpress.com/2012/04/22/kabar-waktu-lampau/ bahwa di dalam kitab “Risalah Ahlussunnah wal Jama’ah” karya Hadratusy Syeikh Hasyim Asy’ari (pendiri pondok pesantren Tebuireng Jombang Jawa Timur dan pendiri organisasi Nahdhatul Ulama) halaman 9-10 menasehatkan untuk tidak mengikuti pemahaman Muhammad bin Abdul Wahhab , Ibnu Taimiyah, dan kedua muridnya, Ibnul Qoyyim dan Ibnu Abdil Hadi

Begitupula wasiat ulama dari Malaysia, Syaikh Abdullah Fahimsebagaimana contohnya yang termuat pada http://hanifsalleh.blogspot.com/2009/11/wasiat-syeikh-abdullah-fahim.html

***** awal kutipan *****
Supaya jangan berpecah belah oleh bangsa Melayu sendiri.Sekarang sudah ada timbul di Malaya mazhab Khawarij yakni mazhab yang keluardari mazhab 4 mazhab Ahlis Sunnah wal Jama`ah. Maksud mereka itu hendakmengelirukan faham awam yang sebati dan hendak merobohkan pakatan bangsa Melayuyang jati. Dan menyalahkan kebanyakan bangsa Melayu.

Hukum-hukum mereka itu diambil daripada kitab Hadyur-Rasulyang mukhtasar daripada kitab Hadyul-’Ibad dikarang akan dia oleh Ibnul Qayyimal-Khariji, maka Ibnul Qayyim dan segala kitabnya ditolak oleh ulama AhlisSunnah wal Jama`ah.
***** akhir kutipan *****

Kabar yang lain dari Malaysia tentang pemahaman Wahhabi

Taklimat tentang Fahaman Wahhabiy anjuran Jabatan Mufti Negeri Sembilan disampaikan oleh Ustaz Abdullah Jalil dari USIM

http://www.youtube.com/watch?v=d3ep3LODV5E
http://www.youtube.com/watch?v=zkA1gxH87_k
http://www.youtube.com/watch?v=JKJ24FDd3B8

Taklimat Khas Fahaman Wahhabiy Dan Ancamannya Terhadap Aqidah Umat Islam anjuran Jabatan Mufti Negeri Sembilan disampaikan oleh Ustaz Zamihan al-Ghari

http://www.youtube.com/watch?v=lolOeJ8CXSc
http://www.youtube.com/watch?v=lP7dqXHT01g
http://www.youtube.com/watch?v=Zep7-4-asVo
http://www.youtube.com/watch?v=IltK_VKhwtY
http://www.youtube.com/watch?v=elalhSVpY3o

Ucapan pengangguhan oleh SS Dato’ Haji Mohd Yusof Bin Hj Ahmad, Mufti Negeri Sembilan dalam Taklimat Khas Fahaman Wahhabiy

http://www.youtube.com/watch?v=ZCh2nVfgRt4
http://www.youtube.com/watch?v=2JT28bp_Ep4

Bedah buku terbaru tulisan Ustaz Zamihan al-Ghari bertajuk “Penyelewengan Fahaman Tajsim Wahhabiy” membongkar segala permasalahan Aqidah Tajsim Wahhabiy.

http://www.youtube.com/watch?v=XpGuEfRQSv4
http://www.youtube.com/watch?v=ACGtp3Ze7eA

Wassalam




Zon di Jonggol, Kabupaten Bogor 16830

link dokumen :

 https://www.facebook.com/notes/huda-sarungan-humor-dan-dawah-sarana-untuk-ngaji/1131-orang-yang-bermasalah/662771680414240
Baca Selengkapnya >>