oleh :Muhsin Amrin
MAKAN DITEMPAT AHLI MUSIBAH DIMULAI DARI MASA RASUL DAN SHAHABAT
Baiklah jika sebagian saudara kita masih belum tenang, maka riwayat
dibawah ini semoga dapat menenangkan mereka, didalam riwayat shahih
telah diceritakan bahwa:
فلما احتضرعمر أمر صهيبا أن يصلي بالناس ثلاثة أيام ، وأمر أن يجعل
للناس طعام فيطعموا حتى يستخلفوا إنسانا ، فلما رجعوا من الجنازة جئ
بالطعام ووضعت الموائد، فأمسك الناس عنها للحزن الذي هم فيه ، فقال العباس
بن عبد المطلب : أيها الناس !، إن رسول الله صلى الله عليه وسلم قد مات
فأكلنا بعده وشربنا ومات أبو بكر فأكلنا بعده وشربنا وإنه لابد من الاجل
فكلوا من هذا الطعام ، ثم مد العباس يده فأكل ومد الناس أيديهم فأكلوا
Ketika Umar ra terluka sebelum wafatnya, ia memerintahkan pada
Shuhaib untuk memimpin shalat, dan memberi makan para tamu selama 3
hari hingga mereka memilih seseorang sebagai pengganti-Nya, maka ketika
hidangan – hidangan disajikan, orang – orang tak mau makan karena
sedihnya sedang menghadapi janazah Umar ra karena telah wafat, maka
berkatalah Abbas bin Abdulmuttalib ra : Wahai hadirin.., sungguh telah
wafat Rasulullah saw dan kita makan dan minum setelahnya, lalu wafat
Abubakar ra dan kita makan dan minum sesudahnya, dan ajal itu adalah
hal yang mesti, maka makanlah makanan ini..!”, lalu beliau ( Abbas bin
Abdulmuttalib ra ) mengulurkan tangannya dan makan, maka orang – orang
pun mengulurkan tangannya lalu masing – masing mereka makan.
Hal ini terdapat didalam beberapa kitab yaitu(Al Fawaidussyahiir Li
Abi Bakar Assyafii juz 1 hal 288, Kanzul ummaal fii sunanil aqwaal wal
af’al Juz 13 hal 309, Thabaqatul Kubra Li Ibn Sa’d Juz 4 hal 29, Tarikh
Dimasyq juz 26 hal 373, Al Makrifah wattaarikh Juz 1 hal 110) dari
kitab Qurrah al-’Ain bi Fatawi Isma’il Zain al-Yamani halaman 175
cetakan Maktabah al-Barakah dan kitab al-Hawi lil Fatawi karya
al-Hafizh Jalaluddin as-Suyuthi juz 2 halaman 179 cetakan Darul Kutub,
Bairut.
Hal yang sama juga diceritakan dari Ahnaf bin Qeis ra berkata :
“Ketika Umar ra ditusuk dan terluka parah, ia memerintahkan Shuhaib
untuk membuat makanan untuk orang -orang yang hadir” (Hujjatul Islam Al
Imam Ibn Hajar pada Mathalibul ‘Aliyah Juz 1 hal 199 No.709, dan ia
berkata sanadnya Hasan)
Dari Thaawus ra : “Sungguh mayyit tersulitkan di kubur selama 7
hari, maka merupakan sebaiknya mereka memberi makan orang – orang
selama hari hari itu” (Diriwayatkan Oleh Al Hafidh Imam Ibn Hajar pd
Mathalibul ‘Aliyah Juz 1 hal 199 dan berkata sanadnya Kuat).
Mengenai pengadaan makanan dan jamuan makanan pada rumah duka telah kuat dalilnya sebagaimana sabda Rasul saw :
إِصْنَعُوا لِآلِ جَعْفَرَ طَعَامًا فَقَدْ أَتَاهُنَّ مَا يُشْغِلُهُنَّ أَوْ أَتَاهُمْ مَا يُشْغِلُهُمْ
“Buatlah makanan untuk keluarga Ja‘far, karena anggota keluarga yang
wanita sedang sibuk atau anggota keluarga laki-laki sedang sibuk.”
(diriwayatkan oleh Al Imam Tirmidziy No.998 dengan sanad hasan, dan di Shahihkan oleh Imam Hakim Juz 1/372),
Dalil ini menunjukkan bahwa bolehnya makan dan membuat makanan
dirumah ahli mushibah. Rasulullah saw bukan mengatakan tidak boleh
makan dirumah Jakfar, tapi justru buatkan makanan, dan perintahnya
jamak, Ishna’uu.. yaitu : “wahai kalian (bukan untuk satu orang), ramai
ramailah membuat makanan untuk keluarga Jakfar karena mereka sedang
ditimpa hal yang menyibukkan mereka”.
Adapun menanggapi perkataan (hadits) al-Jarir bin Abdillah yang
mengatakan bahwa berkumpul dengan keluarga mayit dan membuatkan
hidangan untuk mereka adalah termasuk niyahah (meratapi mayit) yang
diharamkan, Syaikh Isma‘il memberi jawaban: “Maksud dari ucapan Jarir
tersebut adalah mereka berkumpul dengan memperlihatkan kesedihan dan
meratap. Hal itu terbukti dari redaksi ucapan Jarir yang menggunakan
kata niyahah. Hal itu menunjukkan bahwa keharaman tersebut dipandang
dari sisi niyahahnya, bukan dari berkumpulnya. Sedangkan apabila tidak
ada niyahah tentu hal tersebut tidak di haramkan.”
Selanjutnya Syaikh Isma’il Zain al-Yamani mengutip sebuah Hadits dari Sunan Abu Dawud hadits nomor 2894 dituliskan:
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ الْعَلاَءِ أَخْبَرَنَا ابْنُ إِدْرِيسَ
أَخْبَرَنَا عَاصِمُ بْنُ كُلَيْبٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ رَجُلٍ مِنْ
اْلأَنْصَارِ قَالَخَرَجْنَا مَعَ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ فِي جَنَازَةٍ فَرَأَيْتُ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ وَهُوَ عَلَى الْقَبْرِ يُوصِي الْحَافِرَ أَوْسِعْ مِنْ قِبَلِ
رِجْلَيْهِ أَوْسِعْ مِنْ قِبَلِ رَأْسِهِ فَلَمَّا رَجَعَ اسْتَقْبَلَهُ
دَاعِي امْرَأَةٍ فَجَاءَ وَجِيءَ بِالطَّعَامِ فَوَضَعَ يَدَهُ ثُمَّ
وَضَعَ الْقَوْمُ فَأَكَلُوا فَنَظَرَ آبَاؤُنَا رَسُولَ اللهِ صَلَّى
اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَلُوكُ لُقْمَةً فِي فَمِهِ ثُمَّ قَالَ أَجِدُ
لَحْمَ شَاةٍ أُخِذَتْ بِغَيْرِ إِذْنِ أَهْلِهَا فَأَرْسَلَتْ
الْمَرْأَةُ قَالَتْ يَا رَسُولَ اللهِ إِنِّي أَرْسَلْتُ إِلَى
الْبَقِيعِ يَشْتَرِي لِي شَاةً فَلَمْ أَجِدْ فَأَرْسَلْتُ إِلَى جَارٍ
لِي قَدْ اشْتَرَى شَاةً أَنْ أَرْسِلْ إِلَيَّ بِهَا بِثَمَنِهَا فَلَمْ
يُوجَدْ فَأَرْسَلْتُ إِلَى امْرَأَتِهِ فَأَرْسَلَتْ إِلَيَّ بِهَا
فَقَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَطْعِمِيهِ
اْلأُسَارَى
“Muhammad bin al-‘Ala’ menceritakan dari (Abdullah) bin Idris dari
‘Ashim bin Kulaib dari ayahnya (Kulaib) dari seorang laki-laki Anshar
(shahabat), berkata: ‘Aku keluar bersama Rasulallah berta’ziyah ke
salah satu jenazah. Selanjutnya aku melihat Rasulallah di atas kubur
berpesan kepada penggali kubur (dengan berkata): ‘Lebarkanlah bagian
arah kedua kaki dan lebarkan pula bagian arah kepala!’ Setelah
Rasulallah hendak kembali pulang, tiba-tiba seseorang yang menjadi
pesuruh wanita (istri mayit) menemui beliau, mengundangnya (untuk
datang ke rumah wanita tersebut).
Lalu Rasulallah pun datang dan diberi hidangan suguhan makanan.
Kemudian Rasulallah pun mengambil makanan tersebut yang juga diikuti
oleh para shahabat lain dan memakannya. Ayah-ayah kami melihat
Rasulallah mengunyah sesuap makanan di mulut beliau, kemudian Rasulallah
berkata: ’Aku merasa menemukan daging kambing yang diambil dengan
tanpa izin pemiliknya?!’ Kemudian wanita itu berkata:
’Wahai Rasulallah, sesungguhnya aku telah menyuruh untuk membeli
kambing di Baqi,[1] tapi tidak menemukannya, kemudian aku mengutus
untuk membeli dari tetangga laki-laki kami dengan uang seharga (kambing
tersebut) untuk dikirimkan kepada saya, tapi dia tidak ada dan
kemudian saya mengutus untuk membeli dari istrinya dengan uang seharga
kambing tersebut lalu oleh dia dikirimkan kepada saya.’ Rasulallah
kemudian menjawab: ’Berikanlah makanan ini kepada para tawanan!’”
Hadits Abu Dawud tersebut juga tercatat dalam Misykah al-Mashabih
karya Mulla Ali al-Qari bab mukjizat halaman 544 dan tercatat juga
dalam as-Sunan al-Kubra serta Dala’il an-Nubuwwah, keduanya karya
al-Baihaqi
Pernyataan ini dikuatkan dengan riwayat dalam Shahih al-Bukhari dari Aisyah:
عَنْ عَائِشَةَ زَوْجِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
أَنَّهَا كَانَتْ إِذَا مَاتَ الْمَيِّتُ مِنْ أَهْلِهَا فَاجْتَمَعَ
لِذَلِكَ النِّسَاءُ ثُمَّ تَفَرَّقْنَ إِلاَّ أَهْلَهَا وَخَاصَّتَهَا
أَمَرَتْ بِبُرْمَةٍ مِنْ تَلْبِينَةٍ فَطُبِخَتْ ثُمَّ صُنِعَ ثَرِيدٌ
فَصُبَّتْ التَّلْبِينَةُ عَلَيْهَا ثُمَّ قَالَتْ كُلْنَ مِنْهَا فَإِنِّي
سَمِعْتُ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ
التَّلْبِينَةُ مُجِمَّةٌ لِفُؤَادِ الْمَرِيضِ تَذْهَبُ بِبَعْضِ
حُزْنِ ل
“Dari Aisyah, istri Rasulallah, ketika salah satu keluarganya ada
yang meninggal, para wanita-wanita berkumpul dan kemudian pergi kecuali
anggota keluarganya dan orang-orang tertentu. Kemudian beliau
memerintahkan untuk membawakannya periuk berisi sup yang terbuat dari
tepung yang dicampuri dengan madu kemudian dimasak. Kemudian dibuatlah
bubur sarid dan sup tadi dimasukkan ke dalam bubur tersebut. Lalu beliau
berkata: ‘Makanlah makanan ini karena aku mendengar dari Rasulallah
bersabda bahwa bahwa sup dapat melegakan hati orang yang sedang sakit;
menghilangkan sebagian kesusahan.”
Orang yang mengerti kaidah syari’at berpandangan bahwa walimah yang
dibuat oleh keluarga mayit adalah tidak dilarang selama mereka membuat
walimah tersebut karena taqarrub kepada Allah, menghibur keluarga yang
sedang mendapat musibah dan menghormat para tamu yang datang untuk
bertakziyah.
Selanjutnya dalam Hujjah Ahlussunnh Wal jama’ah, juz 1 hlm. 37 dikatakan:
قَوْلُهُ-كَانُوْا يُسْتَحَبُّوْنَ-مِنْ بَابِ قَوْلِ التَّابِعِي
كَانُوْا يَفْعَلُوْنَ-وَفِيْهِ قَوْلَانِ لِاَهْلِ الْحَدِيْثِ
وَاْلاُصُوْلِ أَحَدُهُمَا اَنَّهُ اَيْضًا مِنْ بَابِ اْلمَرْفُوْعِ
وَأَنَّ مَعْنَاهُ: كَانَ النَّاسُ يَفْعَلُوْنَ فِى عَهْدِ النَّبِي
صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَيَعْلَمُ بِهِ وَيُقِرُّ عَلَيْهِ.
(Kata-kata Imam thawus), pada bab tentang kata-kata Tabi’in, mereka
melaksanakannya. Dalam hal ini ada dua pendapat: pendapat ahli Hadis dan
Ahli Ushul yang salah satunya termasuk hadis Marfu’ maksudnya
orang-orang dizaman Nabi melaksanakan hal itu, Nabi sendiri tahu dan
menyetujuinya.
Dalam kitab Nihayah al-Zain, Juz I, halaman 281 juga disebutkan:
وَالتَّصَدُّقُ عَنِ اْلمَيِّتِ بِوَجْهٍ شَرْعِيٍّ مَطْلُوْبٌ وَلَا
يُتَقَيَّدُ بِكَوْنِهِ فِيْ سَبْعَةِ اَيَّامٍ اَوْ اَكْثَرَ اَوْ اَقَلَّ
وَتَقْيِيْدُهُ بِبَعْضِ اْلاَيَّامِ مِنَ اْلعَوَائِدِ فَقَطْ كَمَا
اَفْتَى بِذَلِكَ السَّيِّدِ اَحْمَدء دَحْلَانِ وَقَدْ جَرَتْ عَادَةُ
النَّاسِ بِالتَّصَدُّقِ عَنِ اْلمَيِّتِ فِي ثَالِثٍ مِنْ مَوْتِهِ وَفِي
سَابِعٍ وَفِيْ تَمَامِ اْلعِشْرِيْنَ وَفِي اْلاَرْبَعِيْنَ وَفِي
الِمأَةِ وَبِذَلِكَ يُفْعَلُ كُلَّ سَنَةٍ حَوْلًا فِي اْلمَوْتِ كَمَا
اَفَادَهُ شَيْخَنَا يُوْسُفُ السُنْبُلَاوِيْنِيْ.
Di anjurkan oleh syara’ shodaqoh bagi mayit,dan shodaqoh itu tidak
di tentukan pada hari ke tujuh sebelumnya maupun
sesudahnya.sesungguhnya pelaksanaan shodaqoh pada hari-hari tertentu
itu cuma sebagai kebiasaan (adat) saja,sebagaimana fatwa Sayid Akhmad
Dahlan yang mengatakan ”Sungguh telah berlaku dimasyarakat adanya
kebiasaan bersedekah untuk mayit pada hari ketiga dari kematian, hari
ketujuh, dua puluh, dan ketika genap empat puluh hari serta seratus
hari. Setelah itu dilakukan setiap tahun pada hari kematiannya.
Sebagaimana disampaikan oleh Syaikh Yusuf Al-Sumbulawini.
Adapun istilah 7 “tujuh hari” dalam acara tahlil bagi orang yang
sudah meninggal, hal ini sesuai dengan amal yang dicontohkan sahabat
Nabi SAW. Imam Ahmad bin Hanbal RA berkata dalam kitab Al-Zuhd,
sebagaimana yang dikutip oleh Imam Suyuthi dalam kitab Al-Hawi li
Al-Fatawi:
حَدَّثَنَا هَاشِمُ بْنُ اْلقَاسِمِ قَالَ حَدَّثَنَا اْلأَشْجَعِيُّ
عَنْ سُفْيَانَ قَالَ: قَالَ طَاوُسُ: إِنَّ اْلمَوْتَ يُفْتَنُوْنَ فِي
قُبُوْرِهِمْ سَبْعًا فَكَانُوْا يَسْتَحِبُّوْنَ أَنْ يُطْعِمُوْا
عَنْهُمْ تِلْكَ اْلأَيَّامِ (الحاوي للفتاوي,ج:۲,ص:۱۷۸)
“Hasyim bin Al-Qasim meriwayatkan kepada kami, ia berkata,
“Al-Asyja’i meriwayatkan kepada kami dari Sufyan, ia berkata, “Imam
Thawus berkata, “Orang yang meninggal dunia diuji selama tujuh hari di
dalam kubur mereka, maka kemudian para kalangan salaf mensunnahkan
bersedekah makanan untuk orang yang meninggal dunia selama tujuh hari
itu” (Al-Hawi li Al-Fatawi, juz II, hal 178 Imam Al-Suyuthi berkata:
أَنَّ سُنَّةَ اْلإِطْعَامِ سَبْعَةَ أَيَّامٍ بَلَغَنِي أَنَّهَا
مُسْتَمِرَّةٌ إِلَى اءلآنَ بِمَكَّةَ وَاْلمَدِيْنَةَ فَالظَّاهِرُ
أَنَّهَا
لمَ ْتَتْرُكْ مِنْ عَهْدِ الصَّحَابَةِ إِلَى اْلآنَ وَأَنَّهُمْ
أَخَذُوْهَا خَلَفًا عَنْ سَلَفٍ إِلَى الصَّدْرِ اْلأَوَّلِ (الحاوي
للفتاوي,ج:۲,ص:۱۹۴)
“Kebiasaan memberikan sedekah makanan selama tujuh hari merupakan
kebiasaan yang tetap berlaku hingga sekarang (zaman imam Suyuthi,
sekitar abad IX Hijriah) di Makkah dan Madinah. Yang jelas, kebiasaan
itu tidak pernah ditinggalkan sejak masa sahabat Nabi SAW sampai
sekarang ini, dan tradisi itu diambil dari ulama salaf sejak generasi
pertama (masa sahabat SAW)” (Al-Hawi li Al-Fatawi, juz II, hal 194)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar