Muslim yang mengikuti sebaik baik manusia
Dalam tulisan sebelumnya pada http://mutiarazuhud.wordpress.com/2012/02/26/pendahulu-para-istri/ telah disampaikan bahwa perkataan Rasulullah shallallahu alaihi wasallam kepada Fatimah Radhiallahu Anha yang artinya "Sesungguhnya kamu adalah orang yang paling pertama menyusulku dari kalangan ahlul baitku. Sebaik-baik pendahulumu adalah aku" bukanlah menjelaskan adanya manhaj salaf atau mazhab salaf. Salaf dalam hadits tersebut semata-mata bermakna pendahulu.
Begitupula firman Allah ta'ala yang artinya, “Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) dari golongan muhajirin dan anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan merekapun ridha kepada Allah dan Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya selama-lamanya. Mereka kekal di dalamnya. Itulah kemenangan yang besar”. (QS At Taubah [9]:100 )
Firman Allah ta'ala di atas juga bukan menjelaskan adanya manhaj Salaf ataupun mazhab salaf. Dalam firman tersebut , Allah Azza wa Jalla menjamin untuk masuk surga bagi “sebaik-baik manusia” paling awal atau manusia yang bersaksi/bersyahadat paling awal atau yang membenarkan Nabi Muhammad Shallallahu alaihi wasallam sebagai utusan Allah ta’ala paling awal atau as-sabiqun al-awwalun
Mereka yang termasuk 10 paling awal bersyahadat/bersaksi atau yang termasuk “as-sabiqun al-awwalun” adalah, Abu Bakar Ash Shidiq ra, Umar bin Khattab ra, Ustman bin Affan ra, Ali bin Abi Thalib ra, Thalhah bin Abdullah ra, Zubeir bin Awwam ra, Sa’ad bin Abi Waqqas ra, Sa’id bin Zaid ra, ‘Abdurrahman bin ‘Auf ra dan Abu ‘Ubaidah bin Jarrah ra
Sahabat dikatakan “sebaik-baik manusia” karena termasuk manusia awal yang “melihat” Rasulullah atau manusia awal yang bersaksi atau bersyahadat. Hal ini terkait dengan firman Allah ta'ala yang artinya “kuntum khayra ummatin ukhrijat lilnnaasi“, “Kamu (umat Rasulullah) adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia” (QS Ali Imran [3]:110 ).
Ibnu Hajar al-Asqalani asy-Syafi’i berkata: “Ash-Shabi (sahabat) ialah orang yang bertemu dengan Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam, beriman kepada beliau dan meninggal dalam keadaan Islam“
"Sebaik-baik manusia" tidaklah dibatasi oleh generasi. Semua manusia yang bersyahadat dapat menjadi "sebaik-baik manusia" yakni manusia yang mengikuti Rasulullah sehingga meraih maqom disisiNya. "Sebaik-baik manusia" atau muslim yang meraih maqom disisiNya adalah muslim yang bertaqwa.
Firman Allah ta’ala yang artinya, “Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling taqwa di antara kamu” (Al-Hujuraat [49]: 13 )
"Sebaik-baik manusia" atau muslim yang meraih maqom disisiNya atau muslim yang bertaqwa adalah minimal muslim yang sholeh, berkumpul dengan 4 golongan manusia yang meraih maqom disisiNya.
Firman Allah ta'ala yang artinya, “Dan barangsiapa yang menta’ati Allah dan Rasul(Nya), mereka itu akan bersama-sama dengan orang-orang yang dianugerahi ni’mat oleh Allah, yaitu : Nabi-nabi, para shiddiiqiin, orang-orang yang mati syahid, dan orang-orang saleh. Dan mereka itulah teman yang sebaik-baiknya .” (QS An Nisaa [4]: 69 )
Muslim yang terbaik untuk bukan Nabi dan meraih maqom disisiNya sehingga menjadi kekasih Allah (wali Allah) dengan mencapai shiddiqin. Bermacam-macam tingkatan shiddiqin sebagaimana yang diuraikan dalam tulisan pada http://mutiarazuhud.wordpress.com/2011/01/14/2011/09/28/maqom-wali-allah/
Syaikh M. Said Ramadhan Al- Buthi, dalam kitab “As-Salafiyyah” Marhalah Zamaniyah Mubarakah La Mazhab Islami mengatakan bahwa "Salaf adalah rentang waktu zaman terbaik dalam Islam (fase sejarah bukan golongan atau madzhab), oleh sebab itu apabila di zaman sekarang ada yang mengaku bahwa ia adalah bermadzhab salaf maka ia termasuk ahli bid’ah"
Syaikh M. Said Ramadhan Al- Buthi menjelaskan bahwa generasi Salaf sangat berbeda dibandingkan dengan mazhab as Salafiyyah yang digembar-gemborkan oleh pengamal Wahabi di Makkah.
Beliau berkata, bahwa "istilah yang digunakan oleh para ulama’ untuk menamakan kedudukan para ulama’ yang benar adalah ulama Ahli Sunnah wal Jama’ah. Istilah ini telah disepakati oleh para ulama’ generasi Salaf untuk menamakan golongan yang benar. Tatkala istilah as-Salafiyyah yang digunakan oleh golongan Wahhabi untuk melambangkan golongan yang benar [menurut sangkaan mereka] adalah satu bid’ah yang tercela".
Beliau melanjutkan : “Apabila ada seorang Muslim yang memperkenalkan dirinya bahwa dia adalah pengikut mazhab Salafiyyah, maka tanpa ragu-ragu lagi bahwa dia adalah seorang ahli bid’ah. Sebab jika istilah Salafiyyah itu disamakan dengan “Ahli Sunnah wal Jamaah”, maka sungguh dia telah menciptakan nama yang berbeda dengan nama yang telah disepakati oleh generasi Salaf. Bahkan nama serta istilah Salafiyah ini telah cukup menimbulkan perpecahan di kalangan umat Islam sendiri”.
“Dan jika istilah Salafiyyah ini memiliki maksud yang berbeda dengan Ahli Sunnah wal Jama’ah, maka mereka telah membuat istilah Salafiyyah baru dengan isi ajarannya yang bathil. Dan telah terbuktilah bahwa golongan Salafi Wahhabi ini telah menggunakan istilah Salafiyyah untuk memisahkan diri dari jemaah mayoritas Umat Islam yang bersatu dalam menggunakan istilah “Ahli Sunnah wal Jama’ah” yang benar”
Imam an-Nawawi di dalam kitab al-Majmu’ Syarh al-Muhazzab pada bab Adab Berfatwa, Mufti dan Orang Yang Bertanya Fatwa. berpendapat : “Tidak boleh bagi si awam untuk bermazhab kepada salah seorang dari para sahabat r.a atau bermazhab kepada generasi awal, walaupun mereka lebih alim dan lebih tinggi derajatnya dibanding dengan ulama’ sesudah mereka. Kerena mereka tidak meluangkan waktu sepenuhnya untuk merumuskan prinsip-prinsip asas dan furu’nya. Maka tidak ada seorang pun dari generasi sahabat yang memiliki mazhab yang telah dianalisis, Tapi para ulama’ yang datang sesudah merekalah yang melakukan usaha merumuskan hukum-hukum serta menerangkan prinsip-prinsip asas dan furu’, seperti Imam Malik dan Imam Abu Hanifah dan lain-lain.”
“Bahkan Imam Syafi’ie adalah imam berikutnya yang telah menganalisis mazhab-mazhab pendahulunya seperti mereka melihat mazhab-mazhab para ulama’ sebelumnya. Beliau menguji, mengkritik dan memilih mana yang paling rajih (kuat), dan beliau mendapat hasil dari usaha ulama’ sebelumnya dan telah meluangkan waktu untuk memilih dan mentarjih serta menyempurnakannya. Dan dengan alasan inilah beliau mendapat kedudukan yang lebih kuat dan rajih, bahkan tidak ada sesudah beliau, ulama yang mencapai kedudukan ini. Maka dengan alasan ini pula, mazhab beliau adalah mazhab yang paling utama untuk diikuti dan bertaqlid dengannya”.
Lalu kenapa kita butuh mengikuti apa yang disampaikan oleh Imam Mazhab yang empat ?
Karena Imam Mazhab yang empat telah disepakati oleh jumhur ulama sejak dahulu sampai sekarang sebagai pemimpin ijtihad kaum muslim (Imam Mujtahid Mutlak)
Imam Mazhab yang empat bertalaqqi (mengaji) langsung dengan Salaf yang sholeh
Imam Mazhab yang empat mendapatkan pemahaman Salaf yang sholeh langsung dari lisannya Salaf yang sholeh bukan berdasarkan muthola'ah, menelaah kitab sebagaimana yang dilakukan oleh para ulama yang mengaku-aku mengikuti pemahaman Salaf yang sholeh. Mereka yang mengaku-aku mengikuti pemahaman Salaf yang sholeh pada kenyataannya mereka mengikuti akal pikiran mereka sendiri karena mereka tidak bertalaqqi (mengaji) dengan Salaf yang sholeh
Abad Salaf mencakup tiga generasi atau abad pertama umat Islam, sejak masa Nabi, Sahabat dan berakhir pada era Anas bin Malik (W. 91 H/710 M atau 93 H/712 M), masa Tabi’in (180 H/796 M), masa Tabi’ut tabi’in (241 H/855 H), dan Ahmad bin Hanbal (64-241 H/780-855 M).
Sedangkan ulama-ulama seperti Ibnu Taimiyah (W.728 H/1328 M), Ibnu Qoyyim Al Jauziah(W.751 H/1350 M), dan M. Ibn Abdul Wahab At Tamimi An-Najdi (W. 1206 H/1792 M) adalah termasuk ulama akhir zaman atau ulama khalaf (kemudian) bukan ulama Salaf.
Kesimpulannya kalau kita mau mengikuti cara beragamanya para Sahabat yang telah dipuji dan direkomendasi kan langsung oleh Allah Ta’ala maka kita ikuti apa yang disampaikan oleh Imam Mazhab yang empat karena Imam Mazhab yang empat melihat langsung cara beragama Salaf yang sholeh. Imam Mazhab yang empat melihat langsung penerapan, perbuatan serta contoh nyata, jalan atau cara (manhaj) beribadah dari Salaf yang sholeh.
Imam Mazhab yang empat menasehatkan kita agar mencapai ke-sholeh-an sebagaimana Salaf yang sholeh adalah menjalankan perkara syariat sebagaimana yang mereka sampaikan dalam kitab fiqih sekaligus menjalankan tasawuf untuk mencapai muslim yang baik, muslim yang sholeh, muslim yang berakhlakul karimah atau muslim yang Ihsan
Imam Syafi’i ~rahimahullah menyampaikan nasehat (yang artinya) ,”Berusahalah engkau menjadi seorang yang mempelajari ilmu fiqih dan juga menjalani tasawuf, dan janganlah kau hanya mengambil salah satunya. Sesungguhnya demi Allah saya benar-benar ingin memberikan nasehat padamu. Orang yang hanya mempelajari ilmu fiqih tapi tidak mau menjalani tasawuf, maka hatinya tidak dapat merasakan kelezatan takwa. Sedangkan orang yang hanya menjalani tasawuf tapi tidak mau mempelajari ilmu fiqih, maka bagaimana bisa dia menjadi baik (ihsan)?” [Diwan Al-Imam Asy-Syafi'i, hal. 47]
Begitupula dengan nasehat Imam Malik ~rahimahullah bahwa menjalankan tasawuf agar manusia tidak rusak dan menjadi manusia berakhlak baik
Imam Malik ~rahimahullah menyampaikan nasehat (yang artinya) “Dia yang sedang tasawuf tanpa mempelajari fiqih (perkara syariat) rusak keimanannya , sementara dia yang belajar fikih tanpa mengamalkan Tasawuf rusaklah dia, hanya dia siapa memadukan keduanya terjamin benar"
Sejak dahulu kala, diperguruan-perguruan tinggi Islam, tasawuf adalah jalan (thariqat) untuk mencapai "sebaik-baik manusia" atau muslim yang berakhlakul karimah, muslim yang sholeh, muslim yang ihsan, muslim yang bermakrifat, muslim yang dapat menyaksikan Allah ta'ala dengan hati (ain bashiroh).
Tentang Ihsan, Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda "Kamu takut (takhsya / khasyyah) kepada Allah seakan-akan kamu melihat-Nya (bermakrifat), maka jika kamu tidak melihat-Nya maka sesungguhnya Dia melihatmu.’ (HR Muslim 11)
Imam Sayyidina Ali r.a. pernah ditanya oleh seorang sahabatnya bernama Zi’lib Al-Yamani,
“Apakah Anda pernah melihat Tuhan?”
Beliau menjawab, “Bagaimana saya menyembah yang tidak pernah saya lihat?”
“Bagaimana Anda melihat-Nya?” tanyanya kembali.
Sayyidina Ali ra menjawab “Dia tak bisa dilihat oleh mata dengan pandangan manusia yang kasat, tetapi bisa dilihat oleh hati , ain bashiroh (bermakrifat)”
Sebuah riwayat dari Ja’far bin Muhammad beliau ditanya: “Apakah engkau melihat Tuhanmu ketika engkau menyembah-Nya?” Beliau menjawab: “Saya telah melihat Tuhan, baru saya sembah”. Bagaimana anda melihat-Nya? dia menjawab: “Tidak dilihat dengan mata yang memandang, tapi dilihat dengan hati yang penuh Iman (bermakrifat)”
Rasulullah bersabda “Iman paling afdol ialah apabila kamu mengetahui bahwa Allah selalu menyertaimu dimanapun kamu berada“. (HR. Ath Thobari)
Muslim yang meyakini diawasi Allah -Maha Agung sifatNya atau mereka yang dapat melihat Rabb dengan hati (ain bahiroh) atau muslim yang Ihsan maka ia mencegah dirinya dari melakukan sesuatu yang dibenciNya, mencegah dirinya dari perbuatan maksiat, mencegah dirinya dari melakukan perbuatan keji dan mungkar. Sehingga terwujud dalam berakhlakul karimah. Inilah tujuan Rasulullah shallallahu alaihi wasallam diutus oleh Allah Subhanahu wa ta’ala
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda “Sesungguhnya aku diutus (Allah) untuk menyempurnakan Akhlak.” (HR Ahmad)
Pada hakikatnya upaya kaum Zionis Yahudi menjauhkan kaum muslim dari tasawuf adalah dalam rangka merusak akhlak kaum muslim sebagaimana mereka menyebarluaskan pornografi, gaya hidup bebas, liberalisme, sekulerisme, pluralisme, hedonisme dll
Upaya kaum Zionis Yahudi menghasut atau menjauhkan kaum muslim dari tasawuf dengan cara mencitrakan hal yang buruk terhadap tasawuf agar kaum muslim gagal mencapai "sebaik baik manusia" atau gagal mencapai muslim yang berakhlakul karimah atau muslim yang sholeh atau muslim yang ihsan atau muslim yang bermakrifat.
Salah satu yang termakan hasutan atau korban ghazwul fikri (perang pemahaman) dari kaum Zionis Yahudi adalah pemerintahan kerajaan dinasti Saudi
Ulama keturunan cucu Rasulullah shallallahu alaihi wasallam, Abuya Prof. DR. Assayyid Muhammad bin Alwi Almaliki Alhasani dalam makalahnya dalam pertemuan nasional dan dialog pemikiran yang kedua, 5 s.d. 9 Dzulqo’dah 1424 H di Makkah al Mukarromah, menyampaikan bahwa dalam kurikulum tauhid kelas tiga Tsanawiyah (SLTP) cetakan tahun 1424 Hijriyyah di Arab Saudi berisi klaim dan pernyataan bahwa kelompok Sufiyyah (aliran–aliran tasawuf) adalah syirik dan keluar dari agama. Kutipan makalah selengkapnya ada pada http://mutiarazuhud.wordpress.com/2010/08/18/ekstrem-dalam-pemikiran-agama/
Mereka yang gagal mencapai "sebaik baik manusia" atau gagal mencapai muslim yang berakhlakul karimah atau muslim yang sholeh atau muslim yang ihsan atau muslim yang bermakrifat akan menularkan kepada yang lain.
Ahmad Shodiq, MA-Dosen Akhlak & Tasawuf, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta mengutip perkataan Imam Syafi’i ~rahimahullah yang menyatakan bahwa orang yang buruk itu seperti pantatnya dandang (tempat menanak nasi) yang hitam. Kata Imam Syafi’i, dia hitam, dan dia ingin menempelkannya ke kulit kita. Kalau kita terpancing, maka yang hitam itu dua. Jadi kalau sampai kita sadar bahwa ada ruhani yang tidak stabil, dan kita terpancing untuk tidak stabil, maka sesungguhnya yang terjadi adalah dua ketidakstabilan, karena kita terpancing. Selengkapnya uraian dosen Ahmad Shodiq tentang tasawuf dan pendidikan akhlak ada dalam tulisan pada http://mutiarazuhud.wordpress.com/2010/06/07/pendidikan-akhlak/
Semoga Allah Azza wa Jalla melindungi kita dari tertular mereka yang berakhlak buruk dan mewafatkan kita dalam keadaan muslim yang sholeh.
Wassalam
Zon di Jonggol, Kab Bogor 16830
Dalam tulisan sebelumnya pada http://mutiarazuhud.wordpress.com/2012/02/26/pendahulu-para-istri/ telah disampaikan bahwa perkataan Rasulullah shallallahu alaihi wasallam kepada Fatimah Radhiallahu Anha yang artinya "Sesungguhnya kamu adalah orang yang paling pertama menyusulku dari kalangan ahlul baitku. Sebaik-baik pendahulumu adalah aku" bukanlah menjelaskan adanya manhaj salaf atau mazhab salaf. Salaf dalam hadits tersebut semata-mata bermakna pendahulu.
Begitupula firman Allah ta'ala yang artinya, “Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) dari golongan muhajirin dan anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan merekapun ridha kepada Allah dan Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya selama-lamanya. Mereka kekal di dalamnya. Itulah kemenangan yang besar”. (QS At Taubah [9]:100 )
Firman Allah ta'ala di atas juga bukan menjelaskan adanya manhaj Salaf ataupun mazhab salaf. Dalam firman tersebut , Allah Azza wa Jalla menjamin untuk masuk surga bagi “sebaik-baik manusia” paling awal atau manusia yang bersaksi/bersyahadat paling awal atau yang membenarkan Nabi Muhammad Shallallahu alaihi wasallam sebagai utusan Allah ta’ala paling awal atau as-sabiqun al-awwalun
Mereka yang termasuk 10 paling awal bersyahadat/bersaksi atau yang termasuk “as-sabiqun al-awwalun” adalah, Abu Bakar Ash Shidiq ra, Umar bin Khattab ra, Ustman bin Affan ra, Ali bin Abi Thalib ra, Thalhah bin Abdullah ra, Zubeir bin Awwam ra, Sa’ad bin Abi Waqqas ra, Sa’id bin Zaid ra, ‘Abdurrahman bin ‘Auf ra dan Abu ‘Ubaidah bin Jarrah ra
Sahabat dikatakan “sebaik-baik manusia” karena termasuk manusia awal yang “melihat” Rasulullah atau manusia awal yang bersaksi atau bersyahadat. Hal ini terkait dengan firman Allah ta'ala yang artinya “kuntum khayra ummatin ukhrijat lilnnaasi“, “Kamu (umat Rasulullah) adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia” (QS Ali Imran [3]:110 ).
Ibnu Hajar al-Asqalani asy-Syafi’i berkata: “Ash-Shabi (sahabat) ialah orang yang bertemu dengan Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam, beriman kepada beliau dan meninggal dalam keadaan Islam“
"Sebaik-baik manusia" tidaklah dibatasi oleh generasi. Semua manusia yang bersyahadat dapat menjadi "sebaik-baik manusia" yakni manusia yang mengikuti Rasulullah sehingga meraih maqom disisiNya. "Sebaik-baik manusia" atau muslim yang meraih maqom disisiNya adalah muslim yang bertaqwa.
Firman Allah ta’ala yang artinya, “Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling taqwa di antara kamu” (Al-Hujuraat [49]: 13 )
"Sebaik-baik manusia" atau muslim yang meraih maqom disisiNya atau muslim yang bertaqwa adalah minimal muslim yang sholeh, berkumpul dengan 4 golongan manusia yang meraih maqom disisiNya.
Firman Allah ta'ala yang artinya, “Dan barangsiapa yang menta’ati Allah dan Rasul(Nya), mereka itu akan bersama-sama dengan orang-orang yang dianugerahi ni’mat oleh Allah, yaitu : Nabi-nabi, para shiddiiqiin, orang-orang yang mati syahid, dan orang-orang saleh. Dan mereka itulah teman yang sebaik-baiknya .” (QS An Nisaa [4]: 69 )
Muslim yang terbaik untuk bukan Nabi dan meraih maqom disisiNya sehingga menjadi kekasih Allah (wali Allah) dengan mencapai shiddiqin. Bermacam-macam tingkatan shiddiqin sebagaimana yang diuraikan dalam tulisan pada http://mutiarazuhud.wordpress.com/2011/01/14/2011/09/28/maqom-wali-allah/
Syaikh M. Said Ramadhan Al- Buthi, dalam kitab “As-Salafiyyah” Marhalah Zamaniyah Mubarakah La Mazhab Islami mengatakan bahwa "Salaf adalah rentang waktu zaman terbaik dalam Islam (fase sejarah bukan golongan atau madzhab), oleh sebab itu apabila di zaman sekarang ada yang mengaku bahwa ia adalah bermadzhab salaf maka ia termasuk ahli bid’ah"
Syaikh M. Said Ramadhan Al- Buthi menjelaskan bahwa generasi Salaf sangat berbeda dibandingkan dengan mazhab as Salafiyyah yang digembar-gemborkan oleh pengamal Wahabi di Makkah.
Beliau berkata, bahwa "istilah yang digunakan oleh para ulama’ untuk menamakan kedudukan para ulama’ yang benar adalah ulama Ahli Sunnah wal Jama’ah. Istilah ini telah disepakati oleh para ulama’ generasi Salaf untuk menamakan golongan yang benar. Tatkala istilah as-Salafiyyah yang digunakan oleh golongan Wahhabi untuk melambangkan golongan yang benar [menurut sangkaan mereka] adalah satu bid’ah yang tercela".
Beliau melanjutkan : “Apabila ada seorang Muslim yang memperkenalkan dirinya bahwa dia adalah pengikut mazhab Salafiyyah, maka tanpa ragu-ragu lagi bahwa dia adalah seorang ahli bid’ah. Sebab jika istilah Salafiyyah itu disamakan dengan “Ahli Sunnah wal Jamaah”, maka sungguh dia telah menciptakan nama yang berbeda dengan nama yang telah disepakati oleh generasi Salaf. Bahkan nama serta istilah Salafiyah ini telah cukup menimbulkan perpecahan di kalangan umat Islam sendiri”.
“Dan jika istilah Salafiyyah ini memiliki maksud yang berbeda dengan Ahli Sunnah wal Jama’ah, maka mereka telah membuat istilah Salafiyyah baru dengan isi ajarannya yang bathil. Dan telah terbuktilah bahwa golongan Salafi Wahhabi ini telah menggunakan istilah Salafiyyah untuk memisahkan diri dari jemaah mayoritas Umat Islam yang bersatu dalam menggunakan istilah “Ahli Sunnah wal Jama’ah” yang benar”
Imam an-Nawawi di dalam kitab al-Majmu’ Syarh al-Muhazzab pada bab Adab Berfatwa, Mufti dan Orang Yang Bertanya Fatwa. berpendapat : “Tidak boleh bagi si awam untuk bermazhab kepada salah seorang dari para sahabat r.a atau bermazhab kepada generasi awal, walaupun mereka lebih alim dan lebih tinggi derajatnya dibanding dengan ulama’ sesudah mereka. Kerena mereka tidak meluangkan waktu sepenuhnya untuk merumuskan prinsip-prinsip asas dan furu’nya. Maka tidak ada seorang pun dari generasi sahabat yang memiliki mazhab yang telah dianalisis, Tapi para ulama’ yang datang sesudah merekalah yang melakukan usaha merumuskan hukum-hukum serta menerangkan prinsip-prinsip asas dan furu’, seperti Imam Malik dan Imam Abu Hanifah dan lain-lain.”
“Bahkan Imam Syafi’ie adalah imam berikutnya yang telah menganalisis mazhab-mazhab pendahulunya seperti mereka melihat mazhab-mazhab para ulama’ sebelumnya. Beliau menguji, mengkritik dan memilih mana yang paling rajih (kuat), dan beliau mendapat hasil dari usaha ulama’ sebelumnya dan telah meluangkan waktu untuk memilih dan mentarjih serta menyempurnakannya. Dan dengan alasan inilah beliau mendapat kedudukan yang lebih kuat dan rajih, bahkan tidak ada sesudah beliau, ulama yang mencapai kedudukan ini. Maka dengan alasan ini pula, mazhab beliau adalah mazhab yang paling utama untuk diikuti dan bertaqlid dengannya”.
Lalu kenapa kita butuh mengikuti apa yang disampaikan oleh Imam Mazhab yang empat ?
Karena Imam Mazhab yang empat telah disepakati oleh jumhur ulama sejak dahulu sampai sekarang sebagai pemimpin ijtihad kaum muslim (Imam Mujtahid Mutlak)
Imam Mazhab yang empat bertalaqqi (mengaji) langsung dengan Salaf yang sholeh
Imam Mazhab yang empat mendapatkan pemahaman Salaf yang sholeh langsung dari lisannya Salaf yang sholeh bukan berdasarkan muthola'ah, menelaah kitab sebagaimana yang dilakukan oleh para ulama yang mengaku-aku mengikuti pemahaman Salaf yang sholeh. Mereka yang mengaku-aku mengikuti pemahaman Salaf yang sholeh pada kenyataannya mereka mengikuti akal pikiran mereka sendiri karena mereka tidak bertalaqqi (mengaji) dengan Salaf yang sholeh
Abad Salaf mencakup tiga generasi atau abad pertama umat Islam, sejak masa Nabi, Sahabat dan berakhir pada era Anas bin Malik (W. 91 H/710 M atau 93 H/712 M), masa Tabi’in (180 H/796 M), masa Tabi’ut tabi’in (241 H/855 H), dan Ahmad bin Hanbal (64-241 H/780-855 M).
Sedangkan ulama-ulama seperti Ibnu Taimiyah (W.728 H/1328 M), Ibnu Qoyyim Al Jauziah(W.751 H/1350 M), dan M. Ibn Abdul Wahab At Tamimi An-Najdi (W. 1206 H/1792 M) adalah termasuk ulama akhir zaman atau ulama khalaf (kemudian) bukan ulama Salaf.
Kesimpulannya kalau kita mau mengikuti cara beragamanya para Sahabat yang telah dipuji dan direkomendasi kan langsung oleh Allah Ta’ala maka kita ikuti apa yang disampaikan oleh Imam Mazhab yang empat karena Imam Mazhab yang empat melihat langsung cara beragama Salaf yang sholeh. Imam Mazhab yang empat melihat langsung penerapan, perbuatan serta contoh nyata, jalan atau cara (manhaj) beribadah dari Salaf yang sholeh.
Imam Mazhab yang empat menasehatkan kita agar mencapai ke-sholeh-an sebagaimana Salaf yang sholeh adalah menjalankan perkara syariat sebagaimana yang mereka sampaikan dalam kitab fiqih sekaligus menjalankan tasawuf untuk mencapai muslim yang baik, muslim yang sholeh, muslim yang berakhlakul karimah atau muslim yang Ihsan
Imam Syafi’i ~rahimahullah menyampaikan nasehat (yang artinya) ,”Berusahalah engkau menjadi seorang yang mempelajari ilmu fiqih dan juga menjalani tasawuf, dan janganlah kau hanya mengambil salah satunya. Sesungguhnya demi Allah saya benar-benar ingin memberikan nasehat padamu. Orang yang hanya mempelajari ilmu fiqih tapi tidak mau menjalani tasawuf, maka hatinya tidak dapat merasakan kelezatan takwa. Sedangkan orang yang hanya menjalani tasawuf tapi tidak mau mempelajari ilmu fiqih, maka bagaimana bisa dia menjadi baik (ihsan)?” [Diwan Al-Imam Asy-Syafi'i, hal. 47]
Begitupula dengan nasehat Imam Malik ~rahimahullah bahwa menjalankan tasawuf agar manusia tidak rusak dan menjadi manusia berakhlak baik
Imam Malik ~rahimahullah menyampaikan nasehat (yang artinya) “Dia yang sedang tasawuf tanpa mempelajari fiqih (perkara syariat) rusak keimanannya , sementara dia yang belajar fikih tanpa mengamalkan Tasawuf rusaklah dia, hanya dia siapa memadukan keduanya terjamin benar"
Sejak dahulu kala, diperguruan-perguruan tinggi Islam, tasawuf adalah jalan (thariqat) untuk mencapai "sebaik-baik manusia" atau muslim yang berakhlakul karimah, muslim yang sholeh, muslim yang ihsan, muslim yang bermakrifat, muslim yang dapat menyaksikan Allah ta'ala dengan hati (ain bashiroh).
Tentang Ihsan, Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda "Kamu takut (takhsya / khasyyah) kepada Allah seakan-akan kamu melihat-Nya (bermakrifat), maka jika kamu tidak melihat-Nya maka sesungguhnya Dia melihatmu.’ (HR Muslim 11)
Imam Sayyidina Ali r.a. pernah ditanya oleh seorang sahabatnya bernama Zi’lib Al-Yamani,
“Apakah Anda pernah melihat Tuhan?”
Beliau menjawab, “Bagaimana saya menyembah yang tidak pernah saya lihat?”
“Bagaimana Anda melihat-Nya?” tanyanya kembali.
Sayyidina Ali ra menjawab “Dia tak bisa dilihat oleh mata dengan pandangan manusia yang kasat, tetapi bisa dilihat oleh hati , ain bashiroh (bermakrifat)”
Sebuah riwayat dari Ja’far bin Muhammad beliau ditanya: “Apakah engkau melihat Tuhanmu ketika engkau menyembah-Nya?” Beliau menjawab: “Saya telah melihat Tuhan, baru saya sembah”. Bagaimana anda melihat-Nya? dia menjawab: “Tidak dilihat dengan mata yang memandang, tapi dilihat dengan hati yang penuh Iman (bermakrifat)”
Rasulullah bersabda “Iman paling afdol ialah apabila kamu mengetahui bahwa Allah selalu menyertaimu dimanapun kamu berada“. (HR. Ath Thobari)
Muslim yang meyakini diawasi Allah -Maha Agung sifatNya atau mereka yang dapat melihat Rabb dengan hati (ain bahiroh) atau muslim yang Ihsan maka ia mencegah dirinya dari melakukan sesuatu yang dibenciNya, mencegah dirinya dari perbuatan maksiat, mencegah dirinya dari melakukan perbuatan keji dan mungkar. Sehingga terwujud dalam berakhlakul karimah. Inilah tujuan Rasulullah shallallahu alaihi wasallam diutus oleh Allah Subhanahu wa ta’ala
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda “Sesungguhnya aku diutus (Allah) untuk menyempurnakan Akhlak.” (HR Ahmad)
Pada hakikatnya upaya kaum Zionis Yahudi menjauhkan kaum muslim dari tasawuf adalah dalam rangka merusak akhlak kaum muslim sebagaimana mereka menyebarluaskan pornografi, gaya hidup bebas, liberalisme, sekulerisme, pluralisme, hedonisme dll
Upaya kaum Zionis Yahudi menghasut atau menjauhkan kaum muslim dari tasawuf dengan cara mencitrakan hal yang buruk terhadap tasawuf agar kaum muslim gagal mencapai "sebaik baik manusia" atau gagal mencapai muslim yang berakhlakul karimah atau muslim yang sholeh atau muslim yang ihsan atau muslim yang bermakrifat.
Salah satu yang termakan hasutan atau korban ghazwul fikri (perang pemahaman) dari kaum Zionis Yahudi adalah pemerintahan kerajaan dinasti Saudi
Ulama keturunan cucu Rasulullah shallallahu alaihi wasallam, Abuya Prof. DR. Assayyid Muhammad bin Alwi Almaliki Alhasani dalam makalahnya dalam pertemuan nasional dan dialog pemikiran yang kedua, 5 s.d. 9 Dzulqo’dah 1424 H di Makkah al Mukarromah, menyampaikan bahwa dalam kurikulum tauhid kelas tiga Tsanawiyah (SLTP) cetakan tahun 1424 Hijriyyah di Arab Saudi berisi klaim dan pernyataan bahwa kelompok Sufiyyah (aliran–aliran tasawuf) adalah syirik dan keluar dari agama. Kutipan makalah selengkapnya ada pada http://mutiarazuhud.wordpress.com/2010/08/18/ekstrem-dalam-pemikiran-agama/
Mereka yang gagal mencapai "sebaik baik manusia" atau gagal mencapai muslim yang berakhlakul karimah atau muslim yang sholeh atau muslim yang ihsan atau muslim yang bermakrifat akan menularkan kepada yang lain.
Ahmad Shodiq, MA-Dosen Akhlak & Tasawuf, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta mengutip perkataan Imam Syafi’i ~rahimahullah yang menyatakan bahwa orang yang buruk itu seperti pantatnya dandang (tempat menanak nasi) yang hitam. Kata Imam Syafi’i, dia hitam, dan dia ingin menempelkannya ke kulit kita. Kalau kita terpancing, maka yang hitam itu dua. Jadi kalau sampai kita sadar bahwa ada ruhani yang tidak stabil, dan kita terpancing untuk tidak stabil, maka sesungguhnya yang terjadi adalah dua ketidakstabilan, karena kita terpancing. Selengkapnya uraian dosen Ahmad Shodiq tentang tasawuf dan pendidikan akhlak ada dalam tulisan pada http://mutiarazuhud.wordpress.com/2010/06/07/pendidikan-akhlak/
Semoga Allah Azza wa Jalla melindungi kita dari tertular mereka yang berakhlak buruk dan mewafatkan kita dalam keadaan muslim yang sholeh.
Wassalam
Zon di Jonggol, Kab Bogor 16830
Tidak ada komentar:
Posting Komentar