Senin, 22 Oktober 2012

360 : MAHAR DALAM HUKUM ISLAM

oleh : Aryo Mangku Langit



<=MAHAR DALAM HUKUM ISLAM =>
========================

Mahar atau maskawin yang dalam kitab-kitab fiqh klasik disebut juga dengan shadaq, nihlah, faridlah, ‘aliqah, ‘iqar atau ajr adalah harta yang diberikan oleh pihak mempelai laki-laki (atau keluarganya) kepada mempelai perempuan (atau keluarganya) pada saat akad pernikahan. Syeikh Taqiyuddin Abu Bakr Bin Muhammad al-Husaini dalam kitabnya Kifayah al-Akhyar mendefinisikan mahar sebagai berikut:


اسم للمال الواجب للمرأة على الرجل بالنكاح أو الوطء
Artinya: sebutan untuk harta yang wajib diberikan kepada seorang perempuan oleh seorang laki-laki karena sebab pernikahan atau wath’i.
Fuqaha berpendapat bahwa memberikan mahar hukumnya wajib. Hal ini didasarkan pada firman Allah swt. dan sunnah Rasul-Nya. Adapun firman Allah yang dimaksud adalah:
وَآَتُوا النِّسَاءَ صَدُقَاتِهِنَّ نِحْلَةً فَإِنْ طِبْنَ لَكُمْ عَنْ شَيْءٍ مِنْهُ نَفْسًا فَكُلُوهُ هَنِيئًا مَرِيئًا
“Berikanlah mahar (maskawin) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian yang wajib. Kemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari mahar itu dengan senang hati, Maka makanlah (ambillah) pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap lagi baik akibatnya.” (Qs. An-Nisa’ : 4).
Imam Ibn Jarir at-Thabary dalam kitab tafsirnya menjelaskan sabab al nuzul ayat di atas. Bahwa sebelum ayat ini diturunkan, apabila ada seorang bapak menikahkan anak perempuannya, atau kakak laki-laki menikahkan adik perempuannya, maka mahar dari pernikahan tersebut diambil dan dimiliki oleh sang ayah atau kakak laki-laki tersebut, bukan oleh si perempuan yang dinikahi. Lalu Allah melarang hal tersebut dan menurunkan ayat di atas.
Ibnu ‘Asyur dalam menjelaskan ayat ini mengatakan:
والمهر علامة معروفة للتفرقة بين النكاح وبين المخادنة ، لكنّهم في الجاهلية كان الزوج يعطي مالاً لولي المرأة ويسمّونه حلواناً بضم الحاء ولا تأخذ المرأة شيئاً ، فأبطل الله ذلك في الإسلام بأن جعل المال للمرأة بقوله : وآتوا النساء صداقتهن نحلة
“Mahar merupakan ciri (simbol) yang dikenal untuk membedakan antara pernikahan dengan mukhadanah. Hanya saja dalam masyarakat Jahiliyah ada kebiasaan dimana mempelai laki-laki memberikan sejumlah harta kepada wali dari perempuan yang ia kehendaki yang biasa mereka sebut hulwan (dengan dlammah ha) dan si perempuan sama sekali tidak mendapatkan apa-apa. Maka Allah membatalkan hal tersebut dalam Islam dengan menjadikan harta (mahar) tersebut sebagai milik perempuan tersebut (isteri) dengan firman-Nya: “Berikanlah mahar (maskawin) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian yang wajib”.
Dalam hadis disebutkan tentang wajibnya mahar dalam pernikahan diantaranya:
التمس ولو خاتما من حديد
“Carilah olehmu (mahar) meskipun hanya sebuah cincin dari besi”. (HR. Bukhari).
Dalam konsep hukum Islam, mahar bukan merupakan “harga” dari seorang perempuan yang dinikahi, sebab pernikahan bukanlah akad jual beli. Oleh karenanya, tidak ada ukuran dan jumlah yang pasti dalam mahar, ia bersifat relatif disesuaikan dengan kemampuan dan kepantasan dalam suatu masyarakat. Rasulullah Saw mengajarkan kepada umatnya agar tidak berlebihan di dalam menentukan besarnya mahar. Hal ini dimaksudkan agar tidak menimbulkan kesulitan bagi para pemuda yang bermaksud untuk menikah, karena mempersulit pernikahan akan berdampak negatif bagi mereka yang sudah memiliki keinginan untuk menjalankannya. Dalam sebuah hadits, Rasulullah saw. bersabda,
خيرهن أيسرهن صداقا
“Sebaik-baik perempuan adalah yang paling mudah (ringan) maskawinnya.” (HR. Ibn Hibban).
Mahar merupakan hak penuh mempelai perempuan. Hak tersebut tidak boleh diambil oleh orang tua, keluarga maupun suaminya, kecuali bila perempuan tersebut telah merelakannya. Namun, dalam budaya patriarkhi, mahar seringkali dijelaskan sebagai bentuk lain dari transaksi jual beli. Adanya pemahaman seperti ini diakui atau tidak telah memposisikan isteri dalam posisi yang lebih rendah daripada suaminya. Oleh karenanya sang suami merasa berkuasa atas diri, jiwa dan raga sang isteri, sehingga si isteri harus taat kepada suaminya secara mutlak dalam kondisi apapun. Hak-hak dasar si isteri pun terkadang menjadi terabaikan bahkan menjadi hilang, karena sang suami merasa bahwa dirinya sudah membeli isterinya dengan mahar yang ia berikan pada saat akad nikah. Pola pikir seperti ini merupakan pola pikir masa jahiliyah, dimana kaum perempuan tidak diakui eksistensinya, bahkan ia dianggap sebagai properti yang bisa diwariskan dan diperjualbelikan..
Wallohu A'lam Bisshowab
Johor Bahru'22 oktober 2012
========18;29=======
Dari berbagai Sumber,

Tidak ada komentar:

Posting Komentar