PERTANYAAN
Mahessa Ajza
assalamu'alaikum
Adakah hadits tentang upara/selametan kmatian 7 hari/40hari/mendak/nyewu
Maturnuwunn...
JAWABAN
Toni Imam Tontowi
Peringatan 3, 7, 20, 40, 100 Hari Orang Yang Meninggal
--
Tradisi yang berkembang dikalangan NU, jika ada orang yang meningal,
maka akan diadakan acara tahlilan, do’a, dzikir fida dan lain
sebagainya. Untuk mendo’akan orang yang meningal dan biasanya dibarengi
dengan jamuan makanan sebagai sodaqoh untuk simayit.
Dalil yang digunakan hujjah dalam masalah ini yaitu sebagaimana
disebutkan dalam kitab al-Hawi li-Al-Fatawi li as-syuyuti, Juz II, hlm
183
قَالَ طَاوُسِ: اِنَّ اْلمَوْتَى يُفْتَنُوْنَ فِىْ قُبُوْرِهِمْ
سَْعًا فَكَانُوْا يُسْتَحَبُّوْنَ أَنْ يُطْعِمُوْا عَنْهُمْ تِلْكَ
اْلاَيَّامِ-اِلَى اَنْ قَالَ-عَنْ عُبَيْدِ بْنِ عُمَيْرِ قَالَ: يُفْتَنُ
رَجُلَانِ مُؤْمِنٍ وَمُنَافِقٍ فَأَمَّا اْلمُؤْمِنُ فَيُفْتَنُ سَبْعًا
وَاَمَّا الْمُنَافِقُ يُفْتَنُ اَرْبَعِيْنَ صَبَاحًا.
Imam Thawus berkata : seorang yang mati akan beroleh ujian dari
Alloh dalam kuburnya selama tujuh hari. Untuk itu, sebaiknya mereka
(yang masih hidup) mengadakan sebuah jamuan makan (sedekah) untuknya
selama hari-hari tersebut. Sampai kata-kata: dari sahabat Ubaid Ibn
Umair, dia berkata: seorang mu’min dan seorang munafiq sama-sama akan
mengalami ujian dalam kubur. Bagi seorang mu’min akan beroleh ujian
selama 7 hari, sedang seorang munafik selama 40 hari diwaktu pagi.
Dalil diatas adalah sebuah atsar yang menurut Imam As-Syuyuty
derajatnya sama dengan hadis marfu’ Mursal maka dapat dijadikan hujjah
makna penjelasannya:
اِنَّ أَثَرَ طَاوُسَ حُكْمُهُ حُكْمُ اْلحَدِيْثِ الْمَرْفُوْعِ
اْلمُرْسَلِ وَاِسْنَادُهُ اِلَى التَّابِعِى صَحِيْحٌ كَانَ حُجَّةً
عِنْدَ اْلاَئِمَّةِ الثَّلَاثَةِ اَبِي حَنِيْفَةَ وَمَالِكٍ وَاَحْمَدَ
مُطْلَقًا مِنْ غَيْرِ شَرْطٍ وَاَمَّا عِنْدَ الشَّافِعِي رَضِيَ اللهُ
عَنْهُ فَاِنَّهُ يَحْتَجُ بِاْلمُرْسَلِ اِذَا اعْتَضَدَ بِاَحَدِ
أُمُوْرٍ مُقَرَّرَةٍ فِى مَحَلِهَا فِيْهَا مَجِيْئِ آخَرَ اَوْ
صَحَابِيِّ يُوَافِقُهُ وَالْاِعْتِضَادِ هَهُنَا مَوْجُوْدٌ فَاِنَّهُ
رُوِيَ مِثْلُهُ عَنْ مُجَاهْدِ وَعَْ عُبَيْدِ بْنِ عُمَيْرِ وَهُمَا
تَابِعِيَانِ اِنْ لَمْ يَكُنْ عُبَيْدٌ صَحَابِيًا.
Jka sudah jadi keputusan, atsar (amal sahabat Thawus) diatas
hukumnya sama dengan hadist Marfu’ Mursal dan sanadnya sampai pada
tabi’in itu shahih dan telah dijadikan hujjah yang mutlak(tanpa syarat)
bagi tiga Imam (Maliki, Hanafi, Hambali). Untuk Imam as-Syafi’i ia mau
berhujjah dengan hadis mursal jika dibantu atau dilengkapi dengan
salah satu ketetapan yang terkait dengannya, seperti adanya hadis yang
lain atau kesepakatan Shahabat. Dan, kelengkapan yang dikehendaki Imam
as-Syafi’i itu ada, yaitu hadis serupa riwayat dari Mujahid dan dari
ubaid bin Umair yang keduanya dari golongan tabi’in, meski mereka
berdua bukan sahabat.
Lebih jauh, Imam al-Syuyuti menilai hal tersebut merupakan perbuatan
sunah yang telah dilakukan secara turun temurun sejak masa sahabat.
Kesunnahan memberikan sedekah makanan selama tujuh hari merupakan
perbuatan yang tetap berlaku hingga sekarang (zaman imam as-Syuyuti,
abad x Hijriyah) di mekah dan Madinah. Yang jelas, kebiasaan itu tidak
pernah ditinggalkan sejak masa sahabat Nabi Muhammad SAW sampai
sekarang ini, dan tradisi itu diambil dari Ulama Salaf sejak generasi
pertama (masa Sahabat Nabi Muhammad SAW).”
Selanjutnya dalam Hujjah Ahlussunnh Wal jama’ah, juz 1 hlm. 37 dikatakan:
قَوْلُهُ-كَانُوْا يُسْتَحَبُّوْنَ-مِنْ بَابِ قَوْلِ التَّابِعِي
كَانُوْا يَفْعَلُوْنَ-وَفِيْهِ قَوْلَانِ لِاَهْلِ الْحَدِيْثِ
وَاْلاُصُوْلِ أَحَدُهُمَا اَنَّهُ اَيْضًا مِنْ بَابِ اْلمَرْفُوْعِ
وَأَنَّ مَعْنَاهُ: كَانَ النَّاسُ يَفْعَلُوْنَ فِى عَهْدِ النَّبِي
صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَيَعْلَمُ بِهِ وَيُقِرُّ عَلَيْهِ.
(Kata-kata Imam thawus), pada bab tentang kata-kata Tabi’in, mereka
melaksanakannya. Dalam hal ini ada dua pendapat: pendapat ahli Hadis
dan Ahli Ushul yang salah satunya termasuk hadis Marfu’ maksudnya
orang-orang dizaman Nabi melaksanakan hal itu, Nabi sendiri tahu dan
menyetujuinya.
Dalam kitab Nihayah al-Zain, Juz I, halaman 281 juga disebutkan:
وَالتَّصَدُّقُ عَنِ اْلمَيِّتِ بِوَجْهٍ شَرْعِيٍّ مَطْلُوْبٌ وَلَا
يُتَقَيَّدُ بِكَوْنِهِ فِيْ سَبْعَةِ اَيَّامٍ اَوْ اَكْثَرَ اَوْ
اَقَلَّ وَتَقْيِيْدُهُ بِبَعْضِ اْلاَيَّامِ مِنَ اْلعَوَائِدِ فَقَطْ
كَمَا اَفْتَى بِذَلِكَ السَّيِّدِ اَحْمَدء دَحْلَانِ وَقَدْ جَرَتْ
عَادَةُ النَّاسِ بِالتَّصَدُّقِ عَنِ اْلمَيِّتِ فِي ثَالِثٍ مِنْ
مَوْتِهِ وَفِي سَابِعٍ وَفِيْ تَمَامِ اْلعِشْرِيْنَ وَفِي
اْلاَرْبَعِيْنَ وَفِي الِمأَةِ وَبِذَلِكَ يُفْعَلُ كُلَّ سَنَةٍ حَوْلًا
فِي اْلمَوْتِ كَمَا اَفَادَهُ شَيْخَنَا يُوْسُفُ السُنْبُلَاوِيْنِيْ.
Di anjurkan oleh syara’ shodaqoh bagi mayit,dan shodaqoh itu tidak
di tentukan pada hari ke tujuh sebelumnya maupun
sesudahnya.sesungguhnya pelaksanaan shodaqoh pada hari-hari tertentu
itu cuma sebagai kebiasaan (adat) saja,sebagaimana fatwa Sayid Akhmad
Dahlan yang mengatakan ”Sungguh telah berlaku dimasyarakat adanya
kebiasaan bersedekah untuk mayit pada hari ketiga dari kematian, hari
ketujuh, dua puluh, dan ketika genap empat puluh hari serta seratus
hari. Setelah itu dilakukan setiap tahun pada hari kematiannya.
Sebagaimana disampaikan oleh Syaikh Yusuf Al-Sumbulawini.
>>>>>>
Adapun istilah 7 “tujuh hari” dalam acara tahlil bagi orang yang
sudah meninggal, hal ini sesuai dengan amal yang dicontohkan sahabat
Nabi SAW. Imam Ahmad bin Hanbal RA berkata dalam kitab Al-Zuhd,
sebagaimana yang dikutip oleh Imam Suyuthi dalam kitab Al-Hawi li
Al-Fatawi:
حَدَّثَنَا هَاشِمُ بْنُ اْلقَاسِمِ قَالَ حَدَّثَنَا اْلأَشْجَعِيُّ
عَنْ سُفْيَانَ قَالَ: قَالَ طَاوُسُ: إِنَّ اْلمَوْتَ يُفْتَنُوْنَ فِي
قُبُوْرِهِمْ سَبْعًا فَكَانُوْا يَسْتَحِبُّوْنَ أَنْ يُطْعِمُوْا
عَنْهُمْ تِلْكَ اْلأَيَّامِ (الحاوي للفتاوي,ج:۲,ص:۱۷۸)
“Hasyim bin Al-Qasim meriwayatkan kepada kami, ia berkata,
“Al-Asyja’i meriwayatkan kepada kami dari Sufyan, ia berkata, “Imam
Thawus berkata, “Orang yang meninggal dunia diuji selama tujuh hari di
dalam kubur mereka, maka kemudian para kalangan salaf mensunnahkan
bersedekah makanan untuk orang yang meninggal dunia selama tujuh hari
itu” (Al-Hawi li Al-Fatawi, juz II, hal 178)
Imam Al-Suyuthi berkata:
أَنَّ سُنَّةَ اْلإِطْعَامِ سَبْعَةَ أَيَّامٍ بَلَغَنِي أَنَّهَا
مُسْتَمِرَّةٌ إِلَى اءلآنَ بِمَكَّةَ وَاْلمَدِيْنَةَ فَالظَّاهِرُ
أَنَّهَا
لمَ ْتَتْرُكْ مِنْ عَهْدِ الصَّحَابَةِ إِلَى اْلآنَ وَأَنَّهُمْ
أَخَذُوْهَا خَلَفًا عَنْ سَلَفٍ إِلَى الصَّدْرِ اْلأَوَّلِ (الحاوي
للفتاوي,ج:۲,ص:۱۹۴)
“Kebiasaan memberikan sedekah makanan selama tujuh hari merupakan
kebiasaan yang tetap berlaku hingga sekarang (zaman imam Suyuthi,
sekitar abad IX Hijriah) di Makkah dan Madinah. Yang jelas, kebiasaan
itu tidak pernah ditinggalkan sejak masa sahabat Nabi SAW sampai
sekarang ini, dan tradisi itu diambil dari ulama salaf sejak generasi
pertama (masa sahabat SAW)” (Al-Hawi li Al-Fatawi, juz II, hal 194)
Dari beberapa dalil diatas dapat disimpulkan bahwa kebiasaan
masyarakat NU tentang penentuan hari dalam peringatan kematian itu
dapat dibenarkan secara syara’.
http://ktb-piss.blogspot.com/2011/08/peringatan-3-7-20-40-100-hari-orang.html
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar